Dukungan Seluruh Elemen Masyarakat Sangat Dibutuhkan

Sebenarnya, promosi wisata Sumatera Utara ke dunia inter­na­sional sudah banyak dilaku­kan oleh pemerintah dan pihak swasta. Salah satu diantaranya adalah event North Suma­tera International Travel Fair (NSI­TF) yang sudah menjadi agenda tahunan Badan pariwisata Daerah Sumatera Utara.

Demkian disampaikan Ketua Perhimpunan Hotel dan Resto­ran Indonesia (PHRI) Sumut, DR (HC) Drs. La­yari S. Kaban, MBA di sela-sela kesibukannya pada acara pemberkatan nikah anaknya.

Perlu diketahui, lanjutnya, sejak ta­hun 1995 sampai 1999 arus kun­jungan wisata in­ter­nasional me­nu­run setiap ta­hun­nya. Kemu­dian sejak tahun 2000 sampai 2002 kembali me­ngalami pe­ning­katan dan anjlok lagi di tahun 2003. Tahun 2005 sampai tahun ini boleh dika­takan arus kunjungan wisata­wan internasional tidak menga­lami peningkatan yang signi­fikan.

“Itu sebabnya, ajang NSITF yang digelar setiap tahun meru­pakan kesempatan besar bagi industri pariwisata Sumut untuk memberikan informasi ten­tang objek wisata di Sumut yang selama ini tidak bisa dilakukan hanya melalui iklan atau brosur saja. Lebih baik mengun­dang mereka langsung datang me­nyak­sikan keadaan Indonesia.

Dengan cara ini, mereka akan me­nulis berbagai hal tentang In­donesia. Otomatis, masyarakat di­sa­na akan mem­baca dan me­nge­tahui kebe­radaan Indonesia, Sumatera Utara khususnya.

Selama ini, banyak yang mengakui kalau promosi wisata Indonesia ke mancanegara me­mang belum maksimal. Pada­hal, bebe­rapa kabupaten/kota di Sumut memiliki potensi wisata yang tak kalah menarik dengan negara-negara lain di Asia dan Eropa.

Lebih lanjut Layari S. Kaban menegaskan, tingkat hunian hotel akan me­ningkat dan men­dapat imbas positif dengan ada­nya pameran pariwisata yang digelar setiap tahun.

PENINGKATAN ANGGARAN

Disamping itu, pengem­ba­ng­an citra pariwisata di Indone­sia, khusus­nya Sumatera Utara saat ini, tidak terlepas dari ke­mam­puan para ahli dan pemikir, untuk mencari dan mengem­bangkan beberapa pendekatan alternatif di bidang pariwisata. Walau demikian, harus dipa­hami, selain dana untuk promosi wisata, saat ini SDM untuk me­ng­em­bangkan pariwisata sangat dibutuhkan.

Beberapa tragedi bom yang me­nim­pa Bali dan Jakarta bebe­rapa waktu lalu sudah menjadi ancaman berat bagi masa depan kepariwisataan Indonesia yang pada akhirnya berimbas juga ke daerah-daerah yang memiliki sentra wisata. Namun demikian, sampai hari ini pengaruhnya terhadap arus kunjungan wisata ke Suma­t­era Utara tidak berpe­ngaruh sig­ni­fikan.

Industri pariwisata dewasa ini merupakan usaha yang sangat menjanjikan, berkat kemajuan tek­nologi produksi, transportasi dan komunikasi.
Untuk hal ini, kebutuhan akan SDM yang profesional dan handal dalam pengelolaan industri pariwi­sata itu, terasa semakin besar dan mendesak kalau dikaitkan deng­an berba­gai unggulan daya tarik pariwi­sata yang hendak di kem­bang­kan, seperti wisata budaya, wi­sa­ta alam dan wisata agro.

Menyangkut masalah peng­em­bangan kepariwisataan di Su­matera Utara dan di Kota Me­dan khususnya, tandas Layari, selama ini berapa persen angga­ran yang diberikan kepa­da sek­tor kepari­wisataan kota Medan yang merupakan sa­lah satu pe­nyum­bang kontri­busi terbe­sar.

“Diharapkan ke depan, Pe­me­­rintah Kota dan Pemerintah Pro­pinsi perlu meningkatkan atau menambah anggaran kepa­ri­wi­sataan kalau ingin pariwi­sata tersebut berkembang,” paparnya.

Kemudian, kepedulian dari anggota dewan kepada sektor kepariwisataan akan turut menen­tukan perkembangan kepariwi­sataan di Sumatera Utara

Tak cukup hanya dukungan dari pemerintah. Semua elemen masyarakat pun sebenarnya harus ikut mendukung pengem­bangan sektor kepariwisataan. Dengan kesatuan tekad dan dukungan tadi, sektor kepari­wisataan akan kembali bergai­rah dan pada akhirnya berimbas kepada kesejahteraan masya­rakat banyak. james p pardede
Ketua PHRI Sumut, Layari S. Kaban :
Janji Memberi Madu tapi Racun yang Didapat


Salah seorang re­sepsionis ho­tel ber­bin­tang di Medan dengan ramah menyapa empat orang wisatawan luar negeri yang ingin me­ngi­nap di hotel tersebut. Dari perbincangan sing­kat resepsionis dengan wisatawan tersebut di­ke­­ta­hui kalau mereka bera­sal dari LSM Jer­man yang sedang ber­tugas di Nanggroe Aceh Darus­salam (NAD).

Ketika resepsionis bermaksud meng-in put data dari tamu tersebut ke dalam komputer. Ti­ba-tiba listrik padam. “Hah, padam lagi,” kata resepsionis tadi seraya meminta maaf kepada tamu.

Wajah resepsionis terlihat malu kala menyampaikan permohonan maaf kepada tamu dari Jerman. Bagaimana tidak malu, akibat listrik padam tamu-tamu terlihat seperti mengeluh. Belum lagi tamu hotel yang sedang menikmati suasana tenang di dalam kamarnya atau yang sedang menggunakan fasilitas elektronik dan tiba-tiba listrik padam.

Ditengah kondisi pasokan listrik saat ini yang sangat terbatas membuat pengusaha hotel lebih memilih menggunakan mesin genset. Padahal, menurut beberapa pelaku usaha di bidang hotel dan restoran, penggunaan energi listrik dari PT PLN lebih untung dibandingkan listrik yang diperoleh dari mesin genset sendiri. Selain harus menyediakan bahan bakarnya, perawatannya dan yang tak bisa dielakkan lagi adalah retribusinya.

Beberapa waktu lalu, Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Sumatera Utara (PHRI-Sumut) Layari S. Kaban mengatakan kalau PT PLN telah mengundang beberapa asosiasi termasuk PHRI di Hotel Emerald dan membicarakan permasalahan pemadaman bergilir yang dilakukan PLN. Dalam pertemuan tersebut PLN berjanji akan memberikan insentif dan kemudahan kepada pengusaha dalam membayar tagihan listrik. Namun, apa yang didapat. Janji PLN ingin memberikan madu tapi racun yang didapat.

“Dalam kaitan pemadaman secara bergilir yang dilakukan PLN, PHRI protes berat atas hal itu,” tandasnya.

Sesuai dengan usulan PHRI dalam kesempatan tersebut, bahwa perlu diketahui PHR termasuk salah satu wadah organisasi yang menaungi sektor usaha dominan di Sumut dan kota Medan khususnya. Diperkirakan, PHRI termasuk pemberi kontribusi besar (mencapai 30 persen) sebagai penyumbang PAD bagi kota Medan.

Kalau saja PLN membiarkan pemadaman ini sampai berlarut-larut, kata Layari akan banyak perusahaan di sektor perhotelan dan restoran yang mengalami kerugian. Dengan banyaknya sektor usaha yang mengalami kerugian, sudah pasri akan berimbas kepada kontribusi usaha tersebut kepada pemerintah juga akan terimbas dan berkurang.

“Pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas harus segera menyikapi hal ini. Upaya yang mungkin bisa dilakukan adalah dengan restrukturisasi manajemen PLN dari pusat hingga ke daerah. Untuk apa membangun pembangkit kalau toh manajemennya amburadul,” katanya.

Selain itu, tambahnya, PLN juga kalau memang benar-benar kesulitan dalam memenuhi pasokan listrik bagi masyarakat dan dunia usaha, sudah saatnya PLN mencari energi alternatif yang baru atau mengundang investor asing untuk berinvestasi di sektor kelistrikan.

Harapan kita dari PHRI, lanjut Layari, PT. PLN harus memperbaiki kinerjanya ke depan terutama dalam upaya mengatasi krisis listrik yang telah berkepanjangan. (james p pardede)
Ketua DPD Apindo Sumut, Parlindungan Purba : PLN Harus Siap Membuka Diri Terhadap Investor Asing

Atas pemadaman listrik secara bergilir yang dilakukan oleh PT PLN (Persero), Asosiasi Pengusaha Indonesia Sumatera Utara akan mengajukan class action terhadap peru­sa­haan setrum tersebut.

Seperti disampaikan Ketua DPD Apindo Sumut, Parlindu­ngan Purba SH, gugatan itu diajukan terkait dengan keru­gian material dan nonmaterial akibat pa­sokan listrik yang tidak stabil sehingga mengganggu kelancaran produksi.

“Tim advokasi sudah me­nyu­sun gugatan dan akan me­nyampaikannya. Tim kita se­dang bekerja keras untuk me­mbuat dua gugatan yang berbe­da, masing-masing untuk PLN dan PGN,” katanya saat bertemu beberapa waktu lalu di Medan.

Menurut Parlindungan Purba yang juga anggota DPD Asal Sumut, se­lain gugatan terhadap PLN, Apindo Sumut juga meminta agar abonemen tidak perlu dibayar. Pembayaran hanya diberlakukan untuk jam pema­kaian listrik. Selain itu Apindo juga akan meminta ganti rugi kepada PLN karena alat pro­duksi dan alat pendukung yang rusak akibat tegangan listrik yang berubah-ubah.

Pemadaman listrik secara bergilir dan masih sulitnya men­dapatkan pasokan gas bagi industri telah berdampak luas bagi dunia usaha. Diperkirakan, hingga saat ini sekitar 30 persen karyawan perusahaan yang beroperasi di Sumut (khususnya kawasan KIM) telah di-PHK dan banyak perusahaan tutup, bahkan perusahaan penanaman modal asing (PMA) berencana angkat kaki dan mencabut investasinya di Sumut.

Krisis listrik yang terjadi di Indonesia termasuk Sumatera Utara merupakan dampak dari kesalahan pemerintahan pada masa lalu. Dimana pemerintah pada masa itu tidak pernah memikirkan energi alternatif selain minyak untuk bahan bakar pembangkit listrik.

Ketika harga Bahan Bakar Minyak (BBM) masih murah, pemerintah memanfaatkan minyak sebagai bahan bakar untuk mesin pembangkit listrik. Hampir seluruh mesin pembangkit menggunakan BBM. Pemerintah tidak memikirkan bahan bakar alternatif seperti batubara, gas, hidro, biofuel dan yang lainnya. Akibatnya, ketika harga minyak naik dan pemerintah mengurangi subsidi, terjadilah krisis listrik.

MELIRIK ENERGI ALTERNATIF

Seharusnya, pemerintah mempunyai rancangan pembangunan jangka panjang sehingga mampu memprediksi dan mengantisipasi situasi perekonomian di Indonesia dalam kurun waktu beberapa tahun ke depan.

“Dalam mengatasi krisis listrik seperti yang terjadi di Sumut, pemerintah harus lebih bijaksana, menghilangkan sifat kemo­nopolian seperti yang selama ini dianut oleh PLN. PLN sudah saatnya membuka diri terhadap investor asing yang mau berinvesasi di bidang kelistrikan,” tandasnya.

Selain itu, kata Parlindungan, pemerintah perlu secepatnya mengoperasikan pembangkit listrik yang telah dibangun seperti PLTA Renun di Dairi dan PLTU Labuhan Angin di Tapanuli Utara serta PLTP Sarulla. Sebagaimana pengakuan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), persediaan batubara sangat cukup memenuhi kebutuhan pembangkit listrik. Karenanya dalam pembahasan APBN 2007, direncanakan akan dibangun pem­bangkit listrik tenaga batubara dengan kapasitas 10.000 mega watt.

PLN juga sudah saatnya melirik energi alternatif lainnya seperti biodisel yang bisa diolah dari hasil bumi seperti kelapa sawit, jarak dan singkong.

Pemanfaatan energi alternatif untuk pembangkit listrik layak secara teknis dan ekonomis. Pemanfaatannya bisa dimulai dari skala kecil mulai dari listrik pedesaan. Hal ini tentunya dapat dilakukan oleh pihak swasta dan PLN dengan pola kemitraan sebagai salah satu alternatif untuk mengatasi keterbatasan dana.

Peran minyak dunia memang akan digantikan oleh energi baru dan terbarukan sedangkan peran gas dan batu bara relatif stabil. Dalam cetak biru pengelolaan energi nasional Indonesia hingga 2025, batu bara akan meningkat menjadi 30 persen menyamai BBM, demikian pula dengan pemanfaatan energi baru dan terbarukan.

Jadi, tambahnya, upaya presiden Susilo Bambang Yudhoyono me­ngun­dang investor ke berbagai bela­han dunia untuk menanamkan investasinya di Indonesia, khu­susnya Sumut akan sia-sia jika kita tidak siap dalam infra­struk­tur. Dimana infrastruktur dalam hal ini sudah mencakup sumber daya energi seperti listrik dan gas. (james p pardede)
Iman Sjahputra:
Masalah HaKI Masih Perlu Sosialisasi

Merebaknya pen­jua­lan VCD bajakan di beberapa kota besar di Indonesia sebenar­nya tidak bisa lepas dari siapa otak pelaku perbanyakan dari VCD bajakan tersebut. Kalau penjual boleh dikatakan hanya mencari keuntungan dari pro­duk yang ia jual tanpa pernah memikirkan apakah produk tersebut original atau bukan.
Yang terkena imbasnya adalah toko-toko penjual VCD yang original dan mempunyai ijin usaha jelas. Omzet pen­jualan mereka jadi berkurang, keuntungan yang mereka pero­leh pun makin sedikit.

Hal ini terlontar dari pem­bicaraan Analisa dengan salah seorang pengacara yang konsen dalam menangani perma­sala­han Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) Iman Sjahputra, SH.,SpN.,LL.M saat berada di Me­dan beberapa waktu lalu.

Dalam perbincangan tersebut, lulusan Master of Law, the American University, Washington College of Laws, U.S.A. ( LL.M, 1996) ini menegaskan kalau pembajakan itu sebenarnya tidak terlepas dari pihak pencipta dan produser. Kalau saja royaltinya sesuai dan pengawasan terhadap setiap produksi dilaksanakan dengan ketat, yang namanya pembajakan mungkin akan bisa ditelusuri dimana proses terjadinya.

Sebenarnya, dengan keikutsertaan Indonesia dalam pergaulan masyarakat dunia berkaitan dengan HaKI juga ditegaskan tatkala Indonesia memutuskan menjadi anggota World Intellectual Property Organization (WIPO) pada 1974. Selanjutnya, Indonesia meratifikasi pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization / WTO).

Dalam persetujuan pembentukan WTO tersebut, terlampir pula perjanjian tentang aspek-aspek yang terkait dengan perdagangan HaKI (Trade Related Aspects of Intellectual Property rights - TRIPs). Kemudian, pemerintah bersama DPR menjadikannya sebagai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994.

Semestinya, lanjut pria yang sering menulis di berbagai media ini, setelah Indonesia menjadi anggota WIPO, HaKI telah membudaya di seluruh masyarakatnya. Nyatanya, jangankan khalayak biasa, di kalangan intelektual pun yang seharusnya lebih mengenal HaKI, tingkat kesadarannya masih rendah.

Padahal HaKI telah menjadi alat perdagangan dan alat persaingan dalam perdagangan internasional. Apabila ada negara anggota WTO melakukan pelanggaran atas perjanjian TRIPs, maka dibenarkan melakukan pembalasan, sampai-sampai dibenarkan melakukan pembalasan silang (cross retaliation) oleh negara yang dilanggar haknya secara hukum internasional.

Itu sebabnya, praktisi hukum Iman Sjahputra mengkritisi keras soal memblenya penegakan hukum di bidang HaKI ini. “Memprihatinkan!” katanya. “Buktinya” Luangkan saja waktu anda sejenak menelusuri shopping mall hingga emperan toko-toko di manapun. Anda akan menemukan barang-barang bajakan yang luar biasa banyaknya. Dari barang ciptaan seperti VCD (video compact disc), CD (compact disc), optical disc, program software sampai dengan produk-produk merek terkenal (Donna Karan New York, Burbery, Calvin Klein, Hugo Boss) sangat mudah didapatkan,” ungkap Iman Sjahputra.

Tidak mengherankan, lanjut Iman, dari pembajakan kaset saja selama tahun 2001, negara telah dirugikan senilai Rp 271 miliar. Sangat jelas, kelemahannya terletak di aparat penegak hukum.

Sosialisasi tentang HaKI ini masih harus terus dilaksanakan hingga ke kalanangan masyarakat kelas bawah. Kelak dengan upaya ini, masyarakat akan mengerti betapa pentingnya melindungi hak cipta.

Seiring dengan perkembangan teknologi sekarang, persoalan yang muncul kemudian adalah masalah penegakan hukum internet. Dengan internet manusia kini bisa melakukan berbagai hal dalam kehidupannya. Namun, keberadaan internet seiring eskalasi teknologi informasi, sering diibaratkan bagai pisau bermata dua.

“Satu sisi bisa mensejahterakan, satu sisi lainnya ebrpotensi mengundang terjadinya perbuatan melanggar hukum,” tandas pria asal Sumatera Utara ini.

Sebagai contoh adalah, kerawanan bertransaksi di internet kini boleh menjadi perhatian dan peringatan bagi konsumen yang biasanya menggunakan internet selaku ajang transasksi. Karena tergiur dengan iklan di internet (website luar negeri) dan mencoba membeli dengan kartu kredit. Ternyata, barang yang dipesan tidak sesuai dengan yang diharapkan, bahkan ada juga yang memesan dan telah membayar tapi pesanan tak pernah diterima.

Menghadapi permasalahan seperti ini, katanya, kemana konsumen harus mengadu ? Lantas muncul pertanyaan, apakah klausula ini dapat diterapkan pada pelaku usaha yang berdomisili di luar negeri ? Jawabnya adalah kecil kemungkinan dapat berlaku. Karena kita tak punya peraturan seperti yang di terapkan di Uni Eropa sana.

Untuk itu, saran Iman, kepada konsumen yang sering menggunakan internet dan tergiur untuk bertransaksi lewat internet ada baiknya teliti dulu apakah website tersebut asli atau palsu. Siapa tau saat konsumen membeli website-nya masih up to date. Tapi setelah transaksi terjadi website-nya telah raib. (james p pardede)
dr. Binsar H. Naibaho :
Menyongsong Dunia Terang Tunanetra

Kerinduannya untuk meno­long sesama terutama masya­rakat kurang mampu dalam memenuhi kesehatan keluarga mereka terjawab sudah dengan didirikannya sebuah klinik kesehatan bersama rekan-rekannya. Hadir dengan sebuah konsep kesehatan yang berbasiskan pelayanan yang seutuhnya dengan sebuah visi “Masyarakat yang sadar akan arti pelayanan Sehat” yang dikemas dengan menggabungkan terapi kebugaran dengan model olah nafas seni Merpati Putih.

Menurut Binsar H. Naibaho yang ditemui di kliniknya Jalan Sei Serayu Medan mengatakan, bahwa klinik tersebut berawal dari kepercayaan dan mandat yang begitu besar dari Ditjen Pajak untuk turut serta dalam penanggulangan bencana alam gempa dan tsunami di Aceh dan Nias tahun 2004 lalu. Berawal dari kepercayaan itu pulalah klinik dengan nama klinik “M-P” dideklarasikan.
Klinik tersebut diperuntukkan untuk masyarakat umum terlebih yang ekonominya menengah ke bawah dan keluarga kurang mampu tanpa dipungut bayaran dan berorientasi ke pelayanan sosial.

Kemudian, lanjutnya, klinik tersebut menjadi tempat pendidikan dan pelatihan peningkatan kepekaan penginderaan tunanetra. Dengan tegas Binsar mengatakan pelatihan dalam hal ini bukan melatih para tunanetra untuk menjadi ahli pijat atau yang lainnya. Tapi melatih mereka untuk menyongsong dunia terang tunanetra Indonesia, khususnya tunanetra di Sumatera Utara.

“Selain mata, manusia rupanya diberi indra penglihatan kedua. Mata kedua itu bisa berupa ujung hidung, ujung telinga, sentuhan tangan, ujung jari atau ujung siku. Dengan latihan secara kontinyu, seorang tunanetra bahkan mampu melihat seperti halnya orang biasa,” paparnya.

Atas dasar ini, Binsar mencoba menerapkannya dan melatih beberap tunanetra untuk bisa berjalan tanpa harus menggunakan tongkat lagi. Bahkan untuk naik sepeda di jalan umum pun para tunanetra bisa dilatih.

Pelatihan untuk tunanetra dibagi dalam tiga tahap. Masing-masing tahap pertama disebut Orientasi Mobilitas yang lebih mengedepankan pengenalan cara latihan dan pengenalan diri. Kemudian tahap kedua disebut Deteksi Benda. Dalam tahap ini, tunanetra akan mampu mencari benda yang disebutkan atau yang diingini. Melawati dan menghindari rintangan-rintangan. Di tahap ini juga peserta sudah dilatih untuk naik sepeda.

Kemudian pada tahap ketiga adalah Deteksi Huruf dan Warna. Pada tahap ini peserta akan mengenal huruf dan warna serta mampu membaca huruf tanpa harus menggunakan huruf Braille lagi.

“Dalam tahap terakhir ini, ada kalanya seseorang sudah lebih cepat untuk mengenal warna atau mengenal huruf,” papar ayah dari tiga anak ini.

Didukung oleh sang istri Rita Helena Br. Hutapea, Binsar tetap konsisten untuk melatih para tunanetra tersebut agar bisa mengikuti setiap pelatihan tanpa dipungut bayaran. Bahkan, biaya transport, pakaian, dan yang lainnya ditanggung oleh klinik “M-P”.

Paling tidak, lanjut lulusan dokter USU ini, kalau peserta mengikuti pelatihan dengan kontinyu diharapkan dalam 18 bulan saja (masing-masing 6 bulan setiap tahap) para tunanetra sudah mampu untuk menyelesaikannya.

“Untuk gelombang pertama ada 8 orang tunanetra yang dilatih, gelombang kedua ada 13 orang. Namun demikian dari antara mereka ada juga yang mengundurkan diri karena alasan jauh dari lokasi pelatihan, kerja dan alasan lainnya,” katanya.

Dalam pelaksanaan latihan, lanjutnya, Binsar menerapkan tenaga medan magnet yang diolah dari energi listrik tubuh manusia, kemudian energi listrik tersebut diolah menjadi medan listrik dan medan listrik ini kemudian dimanfaatkan menjasi medan magnet.

Perlu diketahui, di Indonesia saat ini ada lebih 2 juta orang yang mengalami gangguan penglihatan atau tunanetra. Keadaan mereka makin kurang beruntung karena mayoritas dari mereka berasal dari kalangan ekonomi lemah. Masa depan mereka hanya ada di sekitar panti pijat. Keadaan memprihatinkan ini memacu klinik “M-P” bersinergi dengan Merpati putih untuk terus mengem­bangkan Ilmu Getaran tersebut.

Pendidikan dan pelatihan tunanetra belum banyak dan juga memerlukan banyak biaya, papar Binsar, sedangkan kita tahu bahwa sebagian besar dri mereka memiliki ekonomi pas-pasan, mustahil bagi mereka untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan tersebut.
Akan tetapi, titik cerah untuk menyongsong dunia terang bagi tunanetra telah terbuka dengan dibukanya klinik “M-P” sejak Oktober 2005 lalu. Klinik ini pun siap memfasilitasi pelaksanaan pendidikan dan pelatihan dan peningkatan kepekaan penginderaan tunanetra. (james p pardede)
Pemuda Harus Menjunjung Tinggi Persatuan dan Kesatuan

Berbicara tentang masalah kepemudaan di negara kita ini seperti di ungkapkan Parlindungan Purba,SH yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah/MPR-RI Utusan Sumut ini sangatlah menarik.

Menarik karena pemuda adalah generasi penerus bangsa dan penentu masa depan sebuah bangsa. Dalam proses menentukan jati diri mereka untuk menempa bekal kepribadian yang mantap dan jiwa kepemimpinan yang melayani, rendah hati dan hidup dengan penuh kesederhanaan .

Dalam upaya membentuk jati diri tersebut, kata Parlindungan, pemuda harus menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan, memahami adanya perbedaan dan menjadikan perbedaan tersebut sebagai titik tolak untuk meningkatkan tali persaudaraan dalam menempa jati diri dan bekal kepemimpinan di masa yang akan datang.

Pria yang pernah aktif di berbagai organisasi kepemudaan ini mengakui kalau untuk menempa jiwa kepemimpinan tidak cukup hanya dengan mengandalkan kemampuan diri sendiri, tapi juga perlu dukungan dari orang lain.

Itu sebabnya, lanjut ayah dari empat putra-putri yang hidup dengan penuh kesederhanaan ini, bahwa setiap saat manusia juga perlu berkomunikasi dengan tiga hal.

Pertama, berkomunikasi dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Kedua, berkomunikasi dengan sesama manusia dan ketiga, berkomunikasi dengan diri sendiri.

Dalam gerak langkah pemuda sekarang yang namanya berkomunikasi dengan diri sendiri sangat jarang dilaksanakan, padahal metode ini sama dengan memotivasi diri.

"Sebagai manusia biasa, kita pasti pernah mengalami kejenuhan. Pada saat itulah, kita perlu berkomunikasi dengan diri sendiri untuk membangkitkan semangat dan rasa percaya diri," tandasnya.

Dalam gerak langkahnya di keorganisasian, Palindungan Purba, tahun 1994 pernah terpilih sebagai Pemuda Pelopor dan saat ini sebagai Pengurus Presidium Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Pusat. Pernah menjadi Wakil Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Sumut, pernah menjadi Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Simalungun (Himapsi) dan sekarang sebagai Ketua Partua Maujana Simalungun (PMS).

Dalam kehidupannya sehari-hari, jika ingin melakukan sesuatu, cobalah untuk lebih mengarahkan sesuatu itu, hasilnya untuk kepentingan orang banyak dan kemudian kita sesuaikanlah kepentingan orang banyak itu untuk kepentingan pribadi.

Kepentingan orang banyak itu adalah masalah lapangan pekerjaan, pendidikan dan kesehatan. Melalui ketiga komponen inilah, pria yang baru saja menyelesaikan program Magister Manajemen USU ini melihat betapa besarnya peluang untuk dapat berbuat banyak terutama untuk kepentingan orang banyak.

"Apalagi kondisi negara yang saat ini masih cukup memprihatinkan, ketiga komponen ini sangat penting diberikan sentuhan. Saya menyadari, masalah sosial, kemiskinan dan pengangguran merupakan hal yang tinggi nilainya untuk dibicarakan. Jika ketiga hal ini dapat diatasi, saya yakin ke depan, bangsa ini akan dapat lepas dari kondisi memprihatinkan," tegasnya.

Terkait dengan kepemudaan tadi, pemuda sekarang juga harus menjunjung tinggi semangat sumpah pemuda 1928 dalam menyatukan gerak langkah, menyamakan persepsi dan tidak menjadikan perbedaan sebagai penghalang dalam menggalang kesatuan dan persatuan.

"Dalam kaitan ini pun, pemuda harus menghindari yang namanya narkoba. Karena narkoba selain merusak kesehatan, menggerogoti keuangan juga menghabiskan waktu dengan percuma," kata Presiden LCM Aranda Mutiara Distrik 307-A ini.

Sejak duduk menjadi anggota DPD pun ia masih tetap memiliki kerinduan untuk memberikan yang terbaik begi semua orang.

Keinginan Parlindungan ke depan adalah bagaimana untuk memberikan pelayanan kepada konstituen yang memilihnya dan masyarakat Sumut umumnya. Sebagai penyambung aspirasi rakyat, Parlindungan pun senantiasa berjuang dan tidak akan pernah berhenti. Jabatan yang ia pangku sekarang adalah sebagai amanah dan itu harus dijalankan sebaik mungkin.

"Saya selalu berusaha untuk berkomunikasi dengan siapapun. Itu sebabnya, dalam waktu seminggu, tiga hari saya sisihkan untuk berkomunikasi dengan rakyat. Saya senantiasa menyerap aspirasi mereka," tandas pria yang konsen dengan masalah sosial kemasyarakatan ini.

Dalam mewujudkan cita-cita para generasi muda ke depan sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya sebagai generasi penerus bangsa harus lah mengemban misi menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan. Selain itu harus juga ada kemauan, kemampuan dan kesempatan. (james p pardede)


Artikel dan Berita

Gizi Buruk Erat Kaitannya dengan Masalah Kemiskinan

Gizi buruk adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan, dan kedokteran. Dunia pers lebih suka pakai istilah “busung lapar” meskipun anak yang gizi buruk belum tentu kelaparan. Yang tepat sebenarnya kelaparan tidak kentara (hidden hunger) karena mereka hanya kenyang karbo­hidrat, tetap “lapar” banyak zat gizi lainnya.

Gizi buruk adalah bentuk terpa­rah (akut) dari proses terja­dinya kekurangan gizi. Anak balita (bawah lima tahun) sehat atau kurang gizi dapat diketahui dari pertambahan berat badan­nya tiap bulan sam­pai usia minimal dua tahun (ba­duta).

Apabila pertambahan berat badan sesuai dengan per­tambahan umur me­nu­rut suatu standar Organi­sasi Kesehatan Dunia, dia bergizi baik. Kalau sedikit di bawah standar disebut bergizi kurang yang bersifat kronis. Apabila jauh di bawah standar dikatakan bergizi buruk. Jadi, istilah gizi buruk adalah salah satu bentuk kekurangan gizi tingkat berat atau akut.

Anak yang bergizi kurang, berarti kekurangan gizi pada tingkat ringan atau sedang, be­lum menunjukkan gejala sakit. Dia seperti anak-anak lain, masih bermain dan seba­gainya, tetapi jika diamati deng­an saksama badannya mulai kurus.
Seperti disampaikan salah seorang dokter kandungan dr. Syam­sul Nasution, SpOG saat dihubungi lewat ponsel mene­gaskan, bahwa anak sejak dalam kandungan juga sangat perlu mendapat asupan gizi yang seimbang.

“Anak sejak usia 3 bulan dalam kandungan sudah perlu mendapat asupan gizi yang seimbang,” paparnya.

Dalam masa perkembangan janin sampai anak lahir pun masalah kecukupan gizi sangat perlu diperhatikan, lanjutnya.

“Kalau tidak, pada saat persalinan anak akan lahir diba­wah berat badan lazim (tidak normal),” paparnya.

Akibat berat badan bayi lahir tidak normal ini, diperkirakan ke depan anak akan mengalami gizi buruk dan menyebabkan anak mudah terserang beragam penyakit.
Masih menurut Syamsul, gizi buruk bukanlah suatu peristiwa yang terjadi seketika. Pada banyak kasus, anak mela­lui beberapa tahap gangguan pertumbuhan sebelum sampai pada kondisi gizi buruk. Umum­nya, anak gizi buruk sudah bermasalah sejak dalam kandu­ngan ibunya. Mereka lahir sebagai anak yang kesekian dari seorang ibu yang mengalami keku­rangan gizi atau menga­lami KEK (kurang energi kro­nis, bahasa program yang digunakan saat ini).

Oleh karena cadangan maka­nan pada ibu hamil sudah sangat terbatas (tidak seperti pada anak pertama atau kedua), maka bayi yang lahir dari ibu yang menga­lami KEK mengalami hambatan pertumbuhan sejak dalam kan­du­ngan. Hal ini seterusnya berdampak pada berat badan lahir yang rendah (BBLR) atau kurang dari seharusnya.

Bayi yang lahir dengan BBLR, lanjut Syamsul Nasu­tion, akan memiliki risiko untuk mengalami hambatan pertum­buhan pada tahun-tahun perta­ma kehidupannya. Lebih dari­pa­da itu, akibat status gizi yang rendah, bayi ini juga akan mu­dah mengalami penyakit infeksi dibanding bayi seumurnya yang lahir dengan berat badan normal. Apabila bayi mengalami penyakit infeksi seperti diare, maka kemungkinan penurunan berat badan dapat dengan mudah terjadi. Dapat diduga kemudian, bayi ini akan mem­punyai berat badan yang sangat rendah atau mengalami gang­guan pertumbuhan yang berat.

Bayi yang lahir dari seorang ibu KEK, juga akan mem­peroleh ASI dengan kualitas dan kuantitas yang rendah. Hal ini akan sangat mempengaruhi perkembangan bayi mengingat ASI merupakan satu-satunya makanan bayi yang terbaik. Apabila ASI tidak cukup, anak menjadi rewel, dan akibatnya bayi akan diberikan makanan tambahan selain ASI lebih dini.

Makanan yang diberikan oleh ibu seperti ini (karena tingkat pengetahuan, kebiasaan setempat, dan juga kemis­kinan­nya) pada umumnya hanya terdiri dari sumber karbohidrat semata berupa tepung beras atau bubur yang sangat lembek. Dengan asupan makanan seperti ini tentu sangat jauh dari kebutuhan gizi yang adekuat bagi bayi.

Selanjutnya sudah dapat diduga, tandas Syamsul, anak yang tidak mendapat gizi yang memadai akan mempunyai daya tahan tubuh yang rendah se­hing­ga mudah mengalami pe­nyakit infeksi. Pada kondisi ter­tentu bayi akan dengan mudah meninggal dengan penyakit yang dideritanya. Bila bayi terus bertahan (tetap hidup), maka kemungkinan mengalami gizi buruk sangat besar.

Umumnya masa sakit pada anak akan terus berkepanjangan bila bayi tidak segera dilihat oleh petugas kesehatan. Kalau toh dilihat oleh petugas kese­hatan, kadang tidak banyak yang bisa dilakukan untuk me­no­long mereka. Biasanya, petugas kesehatan hanya mem­berikan obat terhadap penyakit yang diderita oleh si anak dengan penyuluhan yang sing­kat. Praktik pola asuh yang diterapkan oleh si ibu selama ini terhadap anaknya, yang me­rupakan praktik turun-temurun yang dilihatnya dari ibunya, tidak mampu dijamah oleh pe­tugas kesehatan yang me­mang terbatas kemam­puan­nya.

Dengan demikian, penyebab gizi buruk bukanlah hanya sebatas keterbatasan ibu mem­be­rikan makanan kepada anak­nya. Keterkaitan satu faktor dengan yang lainnya dalam suatu rangkaian panjang, dimu­lai sejak terjadinya penanaman benih dalam kandungan seo­rang ibu, mengisyaratkan kepa­da kita bahwa kejadian gizi buruk tidak dapat diselesaikan dengan cara yang sederhana.

Mengutip data BPS 2003, dari sekitar 5 juta anak balita (27,5 persen) yang kekurangan gizi, lebih kurang 3,6 juta anak (19,2 persen) dalam tingkat gizi kurang, dan 1,5 juta anak gizi buruk (8,3 persen).

Meskipun jumlahnya relatif lebih sedikit, kasus gizi buruk lebih cepat menarik perhatian media masa karena dapat dipotret dan kelihatan nyata penderitaan anak: sakit, kurus, bengkak (busung), dan lemah. Mereka mudah dikenal dan dihi­tung karena dibawa ke rumah sakit. Keluarga dan masyarakat tidak dapat berbuat banyak bagi anak yang gizi buruk.

Berbeda dengan anak yang gizi kurang, meskipun jum­lahnya lebih banyak, mereka kurang mendapat perhatian karena tidak mudah diketahui umum. Padahal, kelompok anak ini adalah kandidat gizi buruk apabila tidak dilakukan upaya pencegahan. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh orangtua dan masyarakat untuk menjaga agar anak yang sehat dan bergizi kurang terhindar dari gizi buruk.

Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan me­man­tau pertambahan berat ba­dan anak (terutama baduta) de­ng­an kartu menuju sehat (KMS) di posyandu, dengan syarat bahwa posyandunya masih melakukan fungsi utamanya, yakni melakukan pemantauan berat badan anak dengan baik dan benar. Menurut penelitian, banyak posyandu yang tidak lagi melakukan fungsi tersebut dengan baik dan benar.

Yang perlu disikapi, terus ma­raknya kasus gizi buruk di desa-desa salah satu sebab uta­ma­nya adalah tidak berfung­si­nya posyandu dengan baik dan benar.

Terjadinya busung lapar atau gizi buruk adalah suatu proses, tidak tiba-tiba. Karena itu, apa­bila pemerintah dan masya­rakat mau mengerti dan mau bertin­dak, terjadinya busung lapar dan gizi buruk dapat dicegah, yakni dengan mengetahui sebab lang­sung dan tidak langsung gizi buruk. Kedua memantau (surveillance), dan lakukan tinda­kan pencegahan.

Penyebab langsung yang dia­lami oleh anak ada dua. Per­tama, bayi dan anak balita tidak mendapat makanan yang bergi­zi seimbang, dalam hal ini air susu ibu, dan kalau sudah lebih dari enam bulan anak tidak mendapat makanan pendam­ping selain ASI.

Makanan pendamping yang baik tidak hanya cukup mengan­dung energi dan protein, tetapi juga mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B, vitamin, dan mineral lainnya. Ha­nya keluarga mampu dan ber­pendidikan yang mampu me­nyediakan makanan pen­dam­­ping yang baik ini, baik memasak sendiri atau membeli.

Karena itu, umumnya anak-anak mereka tumbuh kembang dengan baik, sedangkan anak balita dari keluarga tidak mam­pu harus puas dengan ma­kanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi anak balita.

Kedua, pola pengasuhan anak. Suatu studi positive deviance mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan anak balita di suatu desa miskin hanya sebagian kecil yang gizi buruk, padahal orangtua mereka semuanya petani miskin. Dari studi ini diketahui pola penga­suhan anak berpengaruh terha­dap timbulnya gizi buruk.

Anak yang diasuh ibunya sen­diri dengan kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan dan mengerti soal pentingnya ASI, posyandu, kebersihan, meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat.

Unsur pendidikan wanita berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak. Sebaliknya sebagian anak yang gizi buruk ternyata diasuh oleh nenek atau tetangga bukan kerabat yang juga miskin dan tidak berpen­didikan. Banyaknya wanita yang meninggalkan desa men­cari kerja di kota, bahkan men­jadi TKI, kemungkinan juga dapat menjadi penyebab gizi buruk.

Ketiga, pelayanan keseha­tan, terutama imunisasi, pena­nganan diare dengan oralit, tin­da­kan cepat pada anak balita yang tidak naik berat badan, pen­didikan dan penyuluhan ke­sehatan dan gizi, dukungan pela­yanan di posyandu, penye­diaan air bersih, kebersihan ling­kungan, dan sebagainya. Pelayanan kesehatan yang le­mah dan tidak memuaskan ma­syarakat terkait dengan kedua penyebab di atas.

Dikhawatirkan, mewa­bah­nya berbagai penyakit menular akhir-akhir ini, seperti demam berdarah, diare, polio, dan malaria, secara hampir bersamaan waktu di mana-mana menggam­barkan melemahnya pelayanan kesehatan di daerah-daerah. Munculnya kasus gizi buruk logikanya juga terkait dengan hal tersebut.

TIMBAL BALIK

Kemiskinan merupakan pe­nyebab pokok atau akar masalah gizi buruk. Data dari Indonesia dan di negara lain menunjukkan adanya hubungan antara kurang gizi dan kemiskinan. Proporsi anak yang gizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik de­ngan pendapatan. Makin kecil pendapatan penduduk, makin tinggi persentase anak yang kekurangan gizi; makin tinggi pendapatan, makin kecil persen­tasenya.

Hubungannya bersifat tim­bal balik. Kurang gizi berpo­ten­si sebagai penyebab kemis­kinan melalui rendahnya pendi­di­kan dan produktivitas. Seba­lik­nya, kemiskinan menyebab­kan anak tidak mendapat maka­nan bergizi yang cukup sehing­ga kurang gizi dan seterusnya.

Kemiskinan merupakan sa­lah satu peng­­­hambat keluarga untuk memperoleh akses terha­dap ketiga faktor penyebab di atas. Kemiskinan tidak me­mung­­kinkan anak balita menda­pat makanan pendamping ASI yang baik dan benar.

Kemiskinan dan pendidikan rendah membuat anak tidak memperoleh pengasuhan yang baik sehingga anak tidak mem­pe­roleh ASI, misalnya. Kemis­kinan juga menghambat anak memperoleh pelayanan keseha­tan yang memadai.

Apakah dengan demikian untuk mencegah gizi buruk harus menunggu berhasilnya pembangunan ekonomi sampai masalah kemiskinan dituntas­kan? Masalahnya berapa lama kita harus menunggu perbaikan ekonomi, dan membiarkan anak-anak mati akibat gizi buruk .

Kita tahu pembangunan eko­nomi rakyat dan menang­gu­langi kemiskinan memakan waktu lama. Pada masa Orde Ba­ru diperlukan waktu lebih da­ri 20 tahun untuk mengurangi pen­duduk miskin dari 40 persen (1976) menjadi 11 persen (1996).

Data empiris dari dunia menunjukkan bahwa program perbaikan gizi dapat dilakukan tanpa harus menunggu rakyat menjadi makmur, tetapi menja­di bagian yang eksplisit dari program pembangunan untuk memakmurkan rakyat.
Perlu juga diketahui, bahwa selama masyarakat belum demokratis dan transparan, selama masih ada KKN, masa­lah kekurangan gizi tidak akan dapat diatasi sampai tuntas atau minimal mengurangi angkanya.

Penyakit KKN mengurangi efektivitas pelaksanaan program sehingga program dan proyek yang ditujukan untuk memperbaiki berbagai faktor penyebab (ketahanan pangan, pengasuhan anak, dan pelaya­nan kesehatan) tidak tampak dampaknya.

Tampaknya masalah kurang gizi di negeri tercinta ini masih “tersembunyikan” di balik hi­ruk-pikuknya pesta demok­rasi, transformasi, otonomi, serta te­rakhir pemilihan kepala daerah.

Padahal, di balik hiruk-pikuk itu, sejak krisis berbagai program dan proyek telah digelar pemerintah dengan anggaran ratusan miliar rupiah bahkan mungkin triliun dengan berba­gai nama menarik, di antaranya Program Jaring Pengaman Sosial (JPS), Dana Kompensasi BBM, Bantuan Pangan Raskin (untuk keluarga), dan Makanan Tambahan Balita Kurang Gizi (MPASI).

Semua atas nama dan demi orang dan anak balita miskin. Karena label miskin inilah ba­rangkali program-program itu relatif mudah mendapat perse­tujuan anggaran oleh pe­merin­tah dan DPR atau DPRD meski­pun belum ada bukti efektif ti­dak­nya program dan proyek ter­sebut.

Barangkali, dari antara kita masih ada yang ingat dengan kasus seorang dokter puskes­mas di suatu desa miskin yang dimutasikan oleh atasannya gara-gara memberikan data kelaparan kepada pers. Keta­buan ini karena adanya kaitan antara kelaparan, gizi buruk, dan kemiskinan. Bicara gizi buruk berarti bicara soal kemiskinan, suatu istilah yang pada waktu itu masih dianggap tabu.

Kita semua berharap, dengan adanya program-program bantuan yang disalurkan oleh pemerintah kepada masyarakat miskin bukan hanya sebatas program yang pada gilirannya banyak dinikmati oleh orang-orang yang (kalau didata ulang) tidak masuk dalam kategori miskin.

Sebab, sejak bergulirnya ber­bagai ban­tuan dari peme­rintah tersebut, jumlah masya­rakat mis­kin di Indonesia sema­kin ber­tambah dengan sangat sig­nifikan. Dalam hal ini, pe­me­rintah perlu melakukan pen­da­taan ulang terhadap pen­du­duk miskin yang sesuai deng­an ber­ba­gai aturan-aturan yang te­lah di­­tetapkan. Benarkah o­rang mis­­kin datang mengambil dana BLT dengan naik sepeda motor sendiri ? Kategori penduduk miskin seperti apa sebenarnya yang dapat dana BLT tersebut ? Masyarakat luas masih banyak yang belum mengetahui hal ini.