Sekarang Saatnya Introspeksi Diri
Oleh : J. Pandapotan Pardede
Penulis adalah jurnalis tinggal di Medan, Sumatera Utara

Jika melihat kondisi bang­sa kita saat ini, satu hal yang perlu ditekankan adalah pen­ting­­nya untuk melakukan in­tros­peksi diri, evaluasi diri dan memperbaharui diri dari hal-hal yang selama ini telah mem­buat kita kian terpuruk. Korupsi, kolusi dan nepotisme sudah se­jak dulu dibasmi. Bencana yang melanda negeri ini pun kerap da­tang silih berganti.
Belum lagi hilang dari ingat­an kita rentetan bencana (gempa di Bengkulu, Sumatera Barat dan Lampung) yang datang silih berganti mengakibatkan pendu­duk kehilangan tempat tinggal, persawahan gagal panen yang pada akhirnya menyebabkan tu­runnya produksi padi di ber­ba­gai wilayah diperkirakan bisa mengakibatkan kondisi rawan pangan, bencana juga tu­rut me­ne­lan korban jiwa, bencana te­lah menorehkan rasa sedih yang berkepanjangan.
Menyikapi makin banyak­nya bencana yang datang silih berganti tersebut, sekaranglah saatnya untuk melakukan in­tros­peksi diri. Mari kita mere­nung sejenak. Kesalahan apa yang telah kita perbuat terhadap alam, apa yang telah kita perbuat terhadap sesama, terhadap bangsa dan negara ini.
Ketika kita merenung deng­an hati yang sungguh-sungguh, mengingat semua perbuatan ma­sa lampau. Mungkin sangat banyak kesalahan yang telah kita perbuat. Setelah merenung, perasaan bersalah akan muncul, perasaan menyesal pun ikut menyertainya.
Dalam tahapan introspeksi diri tersebut sangat banyak pe­ristiwa-peristiwa masa lam­pau yang terlintas di benak kita dan tiba-tiba muncul perasaan ber­salah untuk tidak melakukannya lagi di kemudian hari. Atau ha­nya sekedar introspeksi diri me­ngingat kesalahan masa lalu, lantas mengulanginya lagi di lain kesempatan dan waktu.
Penekanan introspeksi diri seperti diserukan banyak kala­ngan bukanlah sekedar intros­peksi lantas berbuat lagi. Yang terpenting adalah introspeksi diri yang sungguh-sungguh. Dimana dalam perenungan ter­se­but muncul perasaan bersa­lah dan sesal. Jika dilakukan dengan sungguh-sungguh, sesal akan membuat orang mengu­curkan air mata. Karena sesal adalah suatu persiapan ke arah perbaikan perilaku yang sung­guh-sungguh yang disertai pera­saan untuk bertobat.
Seseorang baru dinyatakan bertobat jika dengan kesadaran penuh memutuskan untuk tidak lagi melakukan kesalahan atau kejahatan sejak seseorang terse­but memutuskan untuk benar-benar bertobat. Tanpa keputu­san dan tekad bulat untuk tidak lagi mengulangi perbuatan ma­sa lampau, tobat tidak akan ber­jalan sebagaimana diharapkan dan akan sia-sia saja (Kompas 13/3/2007).
Tuhan menciptakan manusia memiliki dua mata, dua telinga dan satu mulut. Berarti dari kea­daan ini kita dituntut untuk lebih banyak membaca, men­dengar dan sedikit berbicara. Membaca buku-buku yang bermanfaat un­tuk pengembangan diri dan men­dengar nasehat orangtua de­mi untuk perbaikan masa de­pan. Menghindari banyak bica­ra apalagi membicarakan orang lain.
Selama ini, kita terlalu ba­nyak membuang-buang wak­tu, tenaga dan pikiran untuk sesu­atu yang ada di luar diri kita. Terlalu banyak energi dan po­tensi kita untuk memikirkan ke­salahan, kaburukan maupun ke­lalaian orang lain. Sementara diri kita yang kita anggap se­ba­gai yang terbaik ternyata tidak efektif untuk memperbaiki apa yang kita anggap salah.
Belakangan ini, banyak o­rang yang menginginkan orang lain berubah sesuai dengan kei­nginannya. Sebagai contoh si Polan menu­ding si A dan si B me­la­kukan tindak pidana ko­rup­si. Dengan mati-matian si Polan membeberkan kejelekan si A dan si B. Namun, setelah dilakukan pemeriksaan dan pihak berwajib tidak tinggal diam. Ternyata, usut punya usut justru si Polan yang paling parah melakukan tindak pidana ko­rupsi. Dalam kaitan ini, si Polan menginginkan si A dan si B bisa mengalihkan perhatian pihak berwajib dan melupakan dirinya yang ternyata paling korup.
Kita juga sering melihat orang yang menginginkan In­donesia berubah. Tapi pada saat yang bersamaan, ternyata ke­luar­ganya hancur-hancuran, di kantor sendiri tak disukai, di lingkungan masyarakat tak bermanfaat. Keinginan tersebut terlampau muluk-muluk. Ja­ngan­kan mengubah Indonesia, mengubah anaknya saja tidak mampu. Banyak yang mengi­nginkan situasi negara berubah, tapi kenapa mengubah sikap istri saja tidak sanggup? Mung­kin salah satu jawabannya ada­lah karena kita tidak pernah mempunyai waktu yang me­madai untuk bersungguh-sung­guh mengubah diri sendiri. Tentu saja, jawaban ini tidak mutlak benar, namun kiranya patut direnungkan baik-baik.
Itu sebabnya kita perlu berpikir tentang diri sendiri. Tapi bukankah orang yang me­mikirkan diri sendiri itu orang yang egois ? Memang, panda­ngan itu ada benarnya jika kita memikirkan diri sendiri lalu hasilnya juga hanya untuk diri sendiri. Tapi yang dimaksud di sini adalah memikirkan diri sendiri, justru sebagai upaya sa­dar dan sungguh-sungguh untuk memperbaiki yang lebih luas.
Mengubah diri dengan sadar, sebenarnya sama dengan me­ngubah orang lain. Walaupun dia tidak mengucap sepatah kata untuk perubahan itu, perbua­tannya sudah menjadi ucapan yang sangat berarti bagi orang lain. Kegigihan kita memper­baiki diri akan membuat orang lain melihat dan merasakannya.
Di lain pihak, jika seseorang tidak pernah berusaha mengu­bah dirinya, dia pasti akan sulit dengan perubahan yang secara alamiah terus terjadi setiap hari dalam hidupnya. Sesung­guh­nya, sebesar apa pun dosa kita, pengampunan Allah lebih besar lagi, selama kita mau bertobat. Dan salah satu wujud bukti tobat adalah kegigihan untuk mem­per­baiki diri.
Selanjutnya, kalau kita mau terjadi perubahan dalam diri sendiri, kita tentunya harus mengetahui apa yang harus diubah. Kuncinya yang pertama adalah kita harus punya kebe­ranian untuk mengetahui keku­rangan diri kita sendiri. Dengan keberanian inilah kita akan lebih mudah dalam mengubah diri.
Orang yang berani membuka kekurangan orang lain, itu biasa. Tapi, kalau ada orang yang berani melihat kekurangan diri sendiri, bertanya tentang keku­rangan itu secara sistematis, lalu dia buat sistem untuk melihat kekurangan dirinya. Itulah yang luar biasa. Dengan demikian, sejak sekarang milikilah kawan yang bisa menjadi kontributor dalam memberitahukan kekura­ngan kita, bacalah buku-buku mengenai penyakit hati, dan luangkan waktu untuk mencatat kekurangan diri.
Kalau kita sudah dapat me­ngendalikan diri dengan baik, ketika berbicara akan terdengar enak, bergaul akan enak. Kita dapat lebih banyak menye­lesaikan masalah di mana pun kita berada. Karena sebenarnya ketika kita menjadi orang tua yang bermasalah, kita akan menghancurkan anak-anak kita, ketika kita jadi bos yang ber­masalah, kita akan meng­han­curkan kantor kita.
Jadi walaupun negara benar kalau kita tidak benar, kita sen­dirilah yang justru meru­saknya. Solusi yang tepat untuk menye­hatkan bangsa ini adalah terus­lah memperbaiki diri, jangan lewatkan hari tanpa perbaikan.
Kalau kita sebagai pemimpin negara, jangan banyak menya­lahkan rakyatnya. Lebih baik para penyelenggara negara ini gigih memperbaiki diri sehing­ga bisa menjadi teladan.
Mengubah diri dan cara hidup berarti berupaya untuk menemukan jati diri yang ter­baik dalam kehidupan. Suatu proses memadu elemen pikiran dan hati agar menyatu atau bersepakat memperoleh hidup yang lebih bermakna berupa pen­cerahan spiritual atau pema­haman nilai-nilai moral kema­nu­siaan yang memberi kete­na­ngan. Apalagi dalam suasana bulan suci Ramadhan seperti sekarang ini, upaya untuk melakukan introspeksi diri adalah saat yang sangat tepat. Mengevaluasi diri dan melakukan perbaikan hendaknya tidak hanya dilakukan saat bulan Ramadhan, tapi juga setiap saat.