UMKM - Harian Analisa edisi Minggu, 12 Oktober 2008

UMKM, Tak Butuh Janji Tapi Solusi

Oleh : James P. Pardede

Sudah lebih sepuluh tahun Misliani Tanjung (36) berjualan koran, tabloid, majalah, rokok, permen dan jajanan lainnya di Jalan Balai Kota Medan (Sim­pang Jalan Tembakau Deli). Setiap hari ia bisa mengantongi untung untuk tambahan biaya hidup bersama suami dan dua anaknya.

“Sejak gadis saya sudah ber­jualan sampai menikah dan pu­nya dua anak,” katanya saat dite­mui di lokasi usahanya di ping­giran jalan Balai Kota Me­dan.

Dengan bermodalkan mobil tua yang sudah butut (Daihatsu Hijet 55 keluaran tahun 70-anyang mesinnya tak berfungsi lagi), Mis­liani tetap ramah dalam me­layani pembeli. Mobil bekas yang ia gunakan sebagai tempat berjualan merupakan warisan dari kakaknya.

Menurut penga­kuan Misli­ani, selama berjualan di kawa­san jalan protokol yang ramai di­lintasi kendaraan bermotor tersebut banyak suka duka yang ia hadapi. Kucing-kucingan de­ngan petugas penertiban dan polisi pamong praja sudah se­ring terjadi. Duka lainnya, kalau hujan lebat dan cuaca ku­rang men­dukung, omzet bisa ber­kurang.

Sebenarnya, kata Misliani, ia memiliki kerinduan untuk men­dapatkan bantuan dari per­bankan untuk mengganti mobil butut yang ia tempati sekarang dengan mobil pick-up baru yang bisa dirancang sedemikian rupa menjadi warung berjalan dan bisa dipindah-pindahkan deng­an mudah.

“Kalau yang ada sekarang sudah kurang nyaman dan sempit,” tandasnya.
Kenapa tidak mencoba me­nga­jukan kredit ke bank ? De­mikian pertanyaan yang terlon­tar dari Analisa.

“Mana mungkin bank mau mengasihkan kredit sama usaha kecil seperti kami ini. Padahal, kalau saja ada bank yang mau memberikan pinjaman dan pen­dampingan, mungkin masih bisa meningkat dari yang seka­rang, ” tegasnya.

Apa yang dihadapi Misliani hampir sama dengan Marni (30) yang sudah bertahun-tahun meng­geluti usaha berjualan nasi dan lontong untuk sarapan pagi, sore harinya usaha berjualan mie goreng, nasi goreng diterus­kan suaminya.

Membuka usaha di kawasan perumahan Komplek Kejaksa­an Simpang Selayang Medan, Marni masih menyewa rumah se­derhana berdinding tepas dan papan serta beratapkan seng.
Walau dengan kondisi yang serba darurat tersebut, Marni bersama suaminya terus beru­paya untuk mencukupi kebutu­han anak-anaknya. Dite­ngah kondisi seperti itu pun, Marni masih sempat untuk menanamkan kebia­saan menabung kepada anaknya agar kelak setelah mereka dewa­sa bisa belajar hidup man­diri.

Niat untuk pengembangan usaha, menurut pengakuan Marni ia masih enggan menga­ju­kan kredit ke perbankan. Terlalu rumit dan harus ada agunan. Sementara mereka hanya ting­gal di rumah kontrakan dan usa­ha yang mereka geluti pun boleh dikata masuk dalam kategori usaha mikro kecil menengah yang sangat se­derhana.

Belum Penuh

Dua jenis usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang dipaparkan diatas boleh dika­takan jadi gambaran (wajah) jutaan UMKM yang ada di In­do­nesia. Banyak dari mereka yang tidak mengerti bagaimana untuk men­­dapatkan akses ban­tuan kre­­dit dari perbankan. Namun demikian, banyak juga yang berhasil mendapatkan link ke perbankan. Pen­dam­ping­an dari pemerintah, pihak swas­ta atau lembaga lain­nya pun belum sepenuhnya bisa me­nyen­tuh keinginan UMKM.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, persoalan utama yang dihadapi UMKM saat ini adalah keberpihakan pemerin­tah yang belum penuh untuk membe­rikan pendampingan dan pem­bi­naan. Beberapa perbankan pun masih enggan untuk me­nya­lurkan kreditnya ke sektor ini. Padahal, sektor UM­KM su­dah teruji menjadi salah satu sektor yang tahan terhadap ter­pa­an badai krisis moneter di ta­­hun 1997 yang lalu. Sektor ini ba­nyak yang tetap bertahan dan terus melang­kah walau per­lahan.

Kemudian persoalan cukup krusial adalah mayoritas pengusaha UMKM tidak bankable (tidak memenuhi syarat untuk memperoleh kredit dari bank). Terutama kepada pengusaha pemula yang tanpa pengalaman, tanpa pembukuan dan ad­ministrasi usaha memadai serta belum adanya konsep usaha sehingga kurang memiliki jaminan kredit (collateral).

Pemerhati permasalahan eko­nomi kecil dan menengah di Sumatera Uta­ra, dr. Sofyan Tan menegas­kan bahwa tahun ini sebenarnya ada prospek yang baik terutama untuk sektor UMKM. Jika me­lihat trend yang terjadi be­laka­ngan ini, beberapa per­ban­kan swasta sa­ngat gencar untuk menggu­lir­kan bantuan kredit kepada pe­ngu­saha UMKM.

Untuk mendukung upaya ini, lanjut Sofyan Tan pemerintah daerah perlu mela­ku­kan per­bai­kan birokrasi dan mem­per­kecil aturan-aturan yang mem­be­ratkan pelaku UMKM.
Selain itu, tambahnya, peme­rin­tah harus ikut berperan dalam menjembatani pelaku UMKM dalam mendapatkan bantuan kredit dari perbankan. Dengan cara ini, UMKM bisa bangkit dan ikut meningkatkan pereko­nomian bangsa.

Setiap pelaku UMKM sangat membutuhkan informasi dan sosialisasi tentang bagai­mana pengurusan ijin-ijin untuk ke­langsungan dan pengem­bangan usaha mereka. Mereka juga sangat mengharapkan adanya kejuju­ran dan transparansi dari instan­si terkait tentang biaya-biaya yang harus mereka ke­luarkan.

UMKM memang tidak bisa dilihat sebelah mata. Seperti kita ketahui, UMKM adalah sektor yang paling fleksibel dalam menyerap tenaga kerja secara cepat dan alamiah dibandingkan sektor lain. Jumlah yang banyak serta sebaran yang merata, men­jadikan sektor ini tidak hanya mampu menciptakan pertum­buhan namun sekaligus mengu­rangi disparitas antar daerah.

Ketahanan yang Relatif

Peran UMKM dalam pere­konomian domestik semakin meningkat terutama setelah krisis 1997. Di saat perbankan meng­hadapi kesulitan untuk mencari debitur yang tidak bermasalah, UMKM menjadi alternatif penyaluran kredit perbankan. Berdasarkan sta­tistik BPS tahun 2000, UMKM (kurang lebih 40 juta unit) men­dominasi lebih dari 90 persen total unit usaha dan menyerap ang­katan kerja dengan prosentase yang hampir sama.

Data BPS juga memper­kirakan 57persen PDB bersumber dari unit usaha ini dan menyum­bang hampir 15persen dari ekspor barang Indonesia. Ditinjau dari reputasi kreditnya, UMKM juga mem­punyai prestasi yang cu­kup membanggakan dengan tingkat kemacetan kredit yang relatif kecil. Pada akhir 2002, kredit bermasalah UMKM (non-performing loan/NPL) hanya 3,9 persen, jauh lebih kecil dibandingkan dengan total kredit perbankan yang menca­pai 10,2 persen.

Kondisi tersebut mencer­minkan bahwa pemberian kredit ke UMKM merupakan salah satu upaya dalam rangka penye­baran risiko perbankan, semen­tara suku bunga kredit UMKM sesuai dengan tingkat bunga pasar sehingga bank akan mem­punyai margin yang cukup.
Sek­tor ini mempunyai keta­hanan yang relatif lebih baik diban­dingkan dengan usaha be­sar karena kurangnya keter­gan­tungan pada bahan baku impor dan potensi pasar yang tinggi mengingat harga produk yang dihasilkan relatif rendah se­hingga terjangkau oleh golo­ngan ekonomi lemah.

Namun demikian, UMKM juga mempunyai karakteristik pembiayaan yang unik, yakni diperlukannya ketersediaan da­na pada saat ini, jumlah dan sa­saran yang tepat, prosedur yang relatif sederhana, adanya kemudahan akses ke sumber pem­biayaan serta perlunya pro­gram pendampingan (tech­ni­cal assistance).

Dibalik ketangguhan pulu­han juta UMKM di atas, upaya pengembangan UMKM masih menjumpai berbagai kendala seperti pengelolaan usaha yang masih tradisional, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang belum memadai, skala dan teknik produksi yang rendah serta masih terbatasnya akses kepada lembaga keuangan, khususnya perbankan.

Solusi Usaha

Ditengah kondisi seperti sekarang ini, beberapa perban­kan mulai mengurangi porsi pemberian kredit ke koorporasi dan mengalih­kan­nya ke sektor ritel khususnya usaha mikro kecil dan mene­ngah. Hal ini dilakukan oleh beberapa per­ban­kan karena UMKM diang­gap mempunyai peranan dan potensi yang sangat besar.

Salah satu dari sekian banyak perbankan yang saat ini serius untuk menyalurkan bantuan kredit kepada sektor UMKM adalah PT Bank Internasional Indonesia Tbk (BII). Sebagai wujud nyata kepedulian lemba­ga keuangan ini terhadap per­kembangan ekonomi kecil, salah satu produk yang dita­warkan untuk UMKM adalah BII Suka (Solusi Usaha Kecil Anda) yang ditujukan khusus un­tuk pengusaha kecil dan menengah.

Komitmen BII untuk ker­jasama dengan Bank Perkre­ditan Rakyat (BPR) sebagai sa­luran pendistribusian kredit ke­pada bisnis UKM melalui lin­kage program, telah berhasil memenangkan penghargaan Kriya Pranala Pratama Award dari Bank Indonesia pada awal Maret 2008 lalu. Kriya Pranala Award me­ru­pakan penghar­ga­an yang di­berikan oleh BI bagi bank umum yang melaksanakan lin­kage program dalam penya­luran kredit usaha mikro kecil bekerjasama dengan BPR.

Berbeda dengan tahun sebe­lumnya, dimana penghargaan diberikan berdasarkan kate­go­risasi aspek-aspek tertentu, pa­da tahun 2007 penilaian dila­kukan secara komprehensif mencakup aspek-aspek terting­gi dalam plafond, terbesar da­lam outstanding, terluas dalam coverage area, dan terbanyak bekerja sama dengan BPR.

Presiden Direktur BII, Henry Ho pernah mengatakan bahwa kinerja mereka saat ini sangat menjanjikan dan sesuai dengan harapan. Perkembangan yang pesat telah terealisasi dalam peningkatan kredit inti dan simpanan serta membaiknya penyisihan kerugian kredit.

Meskipun inflasi terus me­ning­­kat sejak akhir tahun 2007, biaya-biaya dapat dikendalikan dengan baik.Ketidakpastian yang berkelanjutan dalam pasar uang dunia dan tekanan persai­ngan yang kuat, ketatnya spread kredit, tekanan inflasi dengan kenaikan harga pangan dan minyak yang bisa berdampak pada keseluruhan kinerja eko­nomi secara luas dan industri perbankan di Indonesia.

Dalam hal penya­luran kredit ke UMKM, bebera­pa perbankan termasuk BII pas­tilah akan tetap menge­depankan unsur kehati-hatian dalam me­ngambil kepu­tusa­n. Tidak lan­tas semua UM­KM bisa dibiayai. Perbankan juga melakukan kla­sifikasi ter­hadap UMKM yang layak dan tidak layak dalam mem­peroleh kucu­ran kredit. Bank Indonesia selaku penjaga gawang inflasi diharapkan ikut mengawasi dan mensosialisasikan hal ini ke berbagai pihak.

Karena untuk penyaluran kredit ini pun, banyak elemen pen­ting yang harus diperha­tikan oleh pelaku UMKM. Dari beberapa elemen penting yang perlu mendapat perhatian terse­but, sa­lah satu di­antaranya ada­lah perma­sa­la­han kesiapan SDM yang berke­cim­pung da­lam UMKM tersebut.

Menagih Janji

Pada sebuah kesempatan Men­neg Koperasi dan UKM Drs. Suryadharma Ali menga­ta­kan bahwa selama ini pelaku UMKM sering dipersepsikan sebagai pelaku usaha yang miskin, bodoh, malas, dan tidak efesien. Pelaku UMKM juga dinilai kurang produktif, pasif dan skeptis, sehingga tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalahnya, selain meminta bantuan material.

Di antara titik kelemahan UMKM tersebut, kata Surya­dharma Ali, adalah bukti keti­dak­­mampuan mereka mengor­ganisasikan diri sehingga mam­pu melakukan tindakan kolektif secara pro­duk­tif, efektif, dan efesien. Ke­tidakmampuan ini disebabkan lemahnya kemam­puan manaje­rial dan vested interest (kepen­tingan pribadi) para pelaku UMKM itu sendiri.

Terkait dengan pentingnya peningkatan kualitas SDM pe­laku UMKM antara lain terben­tur pada minimnya program bantuan seperti modal, pening­katan kapasitas serta lemahnya koordinasi antara lembaga da­lam memberikan pendidikan bagi pelaku UMKM. Hal ini juga terpaut dengan minimnya alokasi anggaran dari peme­rintah provinsi dan kabupaten/kota untuk mendidik dan mela­tih mereka.

Andai saja pemerintah mau memberikan pendampingan dan pembinaan kepada bebe­ra­pa pelaku UMKM, seperti Mis­­liani Tanjung dan Marni yang memiliki kerinduan untuk men­dapatkan bantuan dana (kredit) dari perbankan. Barang­kali, cita-cita mereka untuk me­ng­em­bangkan usaha sudah terta­nam selama bertahun-tahun.

Namun sampai hari ini, be­lum ada satu lembaga keua­ngan atau dampingan dari pe­me­rintah untuk mengubah na­sib mereka. Yang jelas, jutaan UMKM yang tahan terhadap terpaan krisis masih menagih janji manis dari pemerintah. Selama ini mereka sudah bosan mendengar janji-janji manis tersebut. Mereka, tak butuh janji tapi solusi.
UMKM-Analisa edisi Minggu, 12 Oktober 2008

Upaya Pengembangan UMKM
Tak Cukup Hanya Kondusif

Oleh : James P. Pardede

Jika memperhatikan kon­disi bangsa seperti sekarang ini, dimana di awal tahun 2008 ke­ma­rin, ada prediksi dari bebe­rapa pakar yang mengatakan bahwa tahun 2008 nanti prospek in­ves­tasi masih mengarah ke sek­tor industri, niaga, properti dan pariwisata. Investasi di dalam negeri menjadi kunci utama proses pemulihan eko­nomi, akan tetapi investasi masih terus menghadapi berba­gai per­soalan. Dari persoalan regulasi sampai soal keamanan sosial politik.

Melalui Inpres No. 6 Tahun 2007, tentang Kebijakan Perce­patan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UM­KM, terhadap pertumbuhan UKM bisa membantu kondisi perekonomian nasional. Untuk itu semua pihak harus turut membina UMKM, bukan seba­liknya malah mengham­batnya.

Mengamati kembali per­kem­bangan perekonomian ta­hun ini, kita bisa sedikit ber­bangga karena di tahun ini ada banyak juga peru­bahan yang terjadi di Indonesia. Walaupun pada akhirnya kita masih diha­dapkan pada masalah ke­mis­kinan dan pengangguran.
Kita mengakui kalau di ta­hun ini ada penurunan inves­tasi akibat dari berbagai perso­alan seperti tidak tersedianya pasokan ener­gi untuk kelang­sungan sebuah usaha. Padahal, ketika kita mengundang inves­tor untuk menanamkan inves­tasinya di beberapa daerah, kita tidak sadar kalau negara kita sebe­narnya tidak siap untuk menye­diakan lahan investasi bagi mereka.

Beberapa daerah pun men­jadi raja di daerahnya sendiri. Terutama sejak bergulirnya Oto­nomi Daerah 1999, kabu­pa­ten/kota sudah mempunyai kekua­tan untuk mencari inves­tor. Te­lah banyak contoh kisah sukses investasi di beberapa kabupaten dan kota.
Untuk menjaring para inves­tor, ba­nyak evaluasi yang harus dila­kukan para pelaksana keku­asaan di daerah. Mereka harus lebih memahami kondisi yang di­ingin­kan kalangan dunia usaha. Daerah juga harus sege­ra meng­hilangkan watak untuk meng­genjot pendapatan asli daerah dari pajak. Dimana hal ini dalam jangka pendek me­mang mem­beri keuntungan bagi peme­rintah daerah. Na­mun se­terus­nya akan mem­bawa dam­pak bagi stagnannya pereko­nomian daerah.

Kepastian Hukum

Dalam upaya mengundang investor ke beberapa daerah, seharusnya daerah harus siap dalam beberapa faktor. Antara lain faktor kelembagaan, teru­tama dalam masalah kepastian hukum, apratur dan pelayanan pemerintah daerah. Termasuk juga potensi ekonomi dan struk­tur ekonomi di tiap-tiap daerah.

Faktor lainnya adalah faktor sosial politik, keamanan dan budaya daerah setempat, faktor tenaga kerja dan produktivitas terutama dalam masalah keter­se­diaan tenaga kerja, biaya tena­ga kerja dan produktivitas serta kualitas tenaga kerja di setiap daerah.

Pada faktor infrastruktur, hal-hal yang perlu diper­hitung­kan adalah masalah ketersedia­an infrastruktur fisik dan kuali­tas infrastruktur fisik yang ada di masing-masing daerah.

Selama lima tahun berjalan­nya otonomi daerah di negeri ini, upaya penciptaan iklim usa­ha yang kondusif di seba­gian daerah masih menemui sejum­lah kendala. Salah satu kendala yang sering muncul adalah kehadiran sejumlah peraturan daerah (perda) ber­ma­salah dan distorsi bagi kegi­atan dunia usaha serta inves­tasi. Permasa­lahan terse­but muncul baik dari sisi regu­lasi perizinan yang ber­belit-belit maupun berupa ane­ka pungu­tan pajak dan retri­busi yang tak wajar. Akibatnya, biaya berbisnis melonjak tajam.

Sejak pemberlakuan otono­mi daerah, diakui atau tidak ternyata banyak menimbulkan dampak negatif. Meski pada saat yang bersamaan juga harus diakui tidak sedikit daerah yang mampu menjadikan oto­no­mi daerah sebagai instrumen bagi peningkatan investasi didae­rah­nya. Di sisi lain, ba­nyak investor asing menge­luh­kan sulitnya sistem birokrasi peri­zi­nan yang harus dihadapi.

Menilik soal perizinan in­ves­­tasi, keberadaan perda yang tidak mendukung inves­tasi me­mang menjadi persoalan klasik yang dikeluhkan bebera­pa ta­hun terakhir ini. Tak jarang keluhan juga banyak disam­pai­kan kalangan swasta yang menggerutu karena diwajibkan membayar berbagai pungutan dan retribusi yang tidak masuk akal secara bisnis. Padahal, untuk berinvestasi di daerah terpencil, modal yang dibu­tuhkan jauh lebih tinggi dari­pada daerah maju.

Perhatian

Beberapa pengamat mem­pre­diksikan bahwa tahun ini tetap akan ada pemu­lihan daya beli dari masya­rakat. Tak hanya itu, beberapa per­bankan juga akan gencar dalam menya­lurkan kreditnya terutaka terha­dap pelaku UMKM.

Permasalahan kemiskinan dan pengangguran yang setiap tahunnya selalu menjadi per­bin­­cangan hangat juga perlu men­jadi prioritas dalam mem­per­baiki iklim investasi yang kondusif di Sumut.

Sektor UMKM, yang dalam sejarahnya sangat tahan terha­dap badai krisis juga perlu mendapat perhatian peme­rin­tah. Krisis eko­nomi global yang terjadi di Amerika Se­rikat belum begitu berpengaruh terhadap sektor usaha kecil ini.
Upaya untuk pengembangan sektor UMKM ini tak cukup hanya menciptakan suasan kondusif, mereka juga sangat membutuhkan dana dan pen­dam­pingan untuk pengem­bangan usahanya.

Pola pendekatan pember­dayaan UMKM ada 4, yaitu : Pola Pendekatan dalam pember­dayaan UMKM, Pola Klaster, pola Kemitraan dan Pola Busi­ness Development Service/Pro­vider (BDSP) dimana masing-masin pola ini memiliki sasaran yang ingin dicapai.
Sesuai dengan Instruksi Presiden (Inpres) No.6 Tahun 2007 menekankan pada empat aspek pokok yaitu peningkatan akses UMKM pada sumber pembiayaan, pengembangan kewirausahaan dan SDM, pe­ning­katan peluang pasar dan re­formasi peraturan untuk mem­berdayakan sektor UMKM.

Tenyata, porsi penyaluran kredit UMKM tahun 2007 saja menurun dari 99,5% menjadi 99,3 persen. Perbankan mulai melirik sektor usaha berat. Padahal sektor UMKM seharus­nya lebih diperhatikan karena sektor tersebut menyerap 96,1% dari jumlah tenaga kerja yang ada, sementara sektor usaha berat hanya menyerap 3,8-3,9 persen.
Berbenah Diri

Selama ini UMKM selalu berkeluh kesah sulitnya men­dapat kucuran kredit, karena selain bunganya yang relative tinggi juga sulitnya persyaratan yang diterapkan dengan dalih faktor kehati-hatian perbankan (prudential banking). Semen­tara, perbankan membela diri dengan menuding UKM tidak memiliki kesungguhan dan daya juang untuk memenuhi segala persyaratan perbankan.

Disi lain, UMKM pun sebe­narnya harus berbenah diri. Me­ningkatkan kualitas manajemen dan administrasinya, supaya setiap usulan pemohonan kredit yang diajukannya menjadi eligible dan bankable.

Yang pasti hubungan tidak harmonis antara UMKM deng­an perbankan bukanlah hubu­ngan yang ideal. Perbankan akan menghadapi kesulitan jika tak mampu menggulirkan dana­nya sesuai target yang diha­rapkan. Toh, bank juga harus memenuhi kewajiban mem­bayar bunga kepada nasabah atau pihak ketiga lainnya. Di lain pihak, peranan perbankan selalu dibutuhkan oleh UMKM, karena untuk memperbesar ka­pa­sitas usahanya UMKM tentu tidak bisa hanya me­ngan­dalkan modalnya sendiri.
JALAN TOL : Bangkitkan Partisipasi Masyarakat dalam Setiap Pembangunan
Oleh James P. Pardede

Serangkaian dengan kunjungan kerja Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) ke Kuala Lumpur Malaysia beberapa waktu lalu, Analisa berkesempatan ikut rombongan DPD dan menikmati jalan-jalan di Kuala Lumpur Malaysia yang bersih dan nyaman.

Terutama saat rombongan DPD RI memenuhi undangan pemerintah Malaysia untuk bertemu dengan unsur pemerintahannya di kawasan perkantoran Putra Jaya Malaysia. Jika membandingkan perkembangan jalan-jalan tol di Malaysia dengan di Indonesia, boleh dikata kita tertinggal jauh. Berbicara tentang pembangunan jalan tol, Malaysia patut menjadi contoh bagi Indonesia. Meskipun 27 tahun lalu Malaysia belajar dari Indonesia, tapi fakta membuktikan saat ini pengelolaan tol negeri jiran itu jauh lebih maju.

Tak hanya dalam hal pembangunan jalan tol, beberapa sektor lainnya seperti bidang kesehatan. Indonesia yang dulunya menjadi tempat mereka berguru dan mahasiswa mereka belajar di Indonesia, sekarang justru terbalik. Kita malah jadi berguru dari murid sendiri, masyarakat kita justru berbondong-bondong berobat ke Malaysia.

Berdasar pada kajian dan kunjungan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) beberapa waktu lalu ke negara tetangga tersebut, ada beberapa hal yang bisa ditiru dari Malaysia, salah satu diantaranya adalah soal pembebasan tanah, yang selama ini menjadi hantu bagi investor tol di Indonesia.

Pembangunan jalan tol di satu kawasan bisa terhenti akibat Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) melonjak dua kali lipat dari rencana bisnis yang ditetapkan pada awal tender. Kasus-kasus seperti ini menunjukkan pemerintah tidak siap dalam melaksanakan pembangunan jalan tol. NJOP sebenarnya menjadi satu-satunya instrumen yang dapat dikendalikan, akan tetapi kenyataannya tidak demikian.

Seperti disampaikan Anggota DPD RI Asal Sumatera Utara Parlindungan Purba yang ikut dalam rombongan DPD ke Malaysia beberapa waktu lalu mengatakan, investasi pemerintah dalam pembangunan infrastruktur seperti jalan tol harus benar-benar matang dan mengikuti berbagai kajian.

“Pada umumnya, pembebasan lahan yang sangat sulit menjadi kendala pembangunan jalan tol di Indonesia. Disamping itu, perbankan nasional belum mempunyai skim kredit yang khusus di bidang infrastruktur seperti jalan tol, listrik dan yang lainnya,” paparnya. Dalam kaitan ini, lanjutnya, pemerintah harus memberi insentif bagi swasta apakah dalam bidang perizinan, dukungan perbankan agar cepat mengejar ketertinggalan,” tandasnya.

Lebih Panjang

Memang, pembebasan tanah untuk pembangunan jalan tol di Malaysia relatif tidak menimbulkan masalah berarti. Persoalannya Indonesia dan Malaysia memiliki perbedaan prinsip dalam mengadopsi pembebasan tanah. Tipikal masyarakat Indonesia juga tidak sama dengan negara tetangga.

Malaysia menganut sistem ‘memaksa’ dalam pengadaan tanah bagi fasilitas umum atau dikenal dengan pola “compulsory acquisition”, serta dilaksanakan melalui satu instansi saja dibawah kendali pemerintah. Bagi masyarakat yang tidak puas dapat mengajukan gugatan ganti rugi lebih tinggi, akan tetapi pembangunan tetap berlangsung.

Berbeda jauh dengan Indonesia. Sepanjang gugatan tanah belum selesai maka peralatan kerja tidak diperkenankan memasuki lokasi. Disamping itu pembebasan tanah juga melibatkan berbagai institusi di daerah maupun pusat yang membuat pelaksanaannya menjadi lebih panjang.

Memang sesuai Perpres No. 65 tahun 2005 revisi dari Pepres 36 tahun 2005 pemerintah memiliki kewenangan untuk mencabut hak atas tanah yang akan dilalui jalan tol. Akan tetapi prosesnya cukup panjang mulai dari rekomendasi pemerintah daerah di tingkat bawah (Bupati/ Walikota), Gubernur, Menteri PU, sebelum akhirnya dicabut oleh Presiden.

Sementara di Malaysia, pemerintah memiliki kekuatan memerintah masyarakatnya untuk pindah, di Indonesia sengketa tanah untuk jalan tol sering dibawa ke ranah politik. Akibatnya pemerintah tidak sepenuhnya berhasil melaksanakan pembebasan tanah.

Seperti dilansir dari Kompas (20/8) disebutkan bahwa hingga akhir tahun ini, baru akan dibangun 641 kilometer jalan tol dari rencana 1.600 kilometer. Tol Trans-Jawa juga gagal diwujudkan tahun 2009/2010 sebab lahan belum bebas sehingga konstruksi belum berdiri.

Salah satu upaya untuk mewujudkan konsep investasi pembangunan jalan tol sebagai dukungan terhadap rencna pemerintah untuk mengembangkan jaringan jalan tol dalam keterbatasan APBN adalah dengan menaikkan tarif tol. Upaya ini menjadi agenda terdekat yang dilakukan PT Jasa Marga (Persero) Tbk dalam mengatasi makin besarnya biaya operasional di lapangan.

Menurut Undang-Undang Jalan Nomor 38 Tahun 2004 disebutkan bahwa “...penyesuaian tarif tol tiap dua tahun...didasarkan tarif lama, yang disesuaikan dengan kenaikan tingkat inflasi...”

Dalam sebuah kesempatan Sekretaris Perusahaan PT Jasa Marga Okke Merlina menyampaikan bahwa kenaikan tarif tol berlaku di 13 ruas jalan tol di Indonesia, kecuali tol Sedyatmo dan tol Jakarta - Cikampek. Karena, tarif dua jalan tol ini sudah lebih dulu melakukan penyesuaian tarif.

Melihat perkembangan pembangunan jalan tol di beberapa daerah, mungkin ada anggapan dari sebagian besar masyarakat bahwa investasi di jalan bebas hambatan tersebut sangat menguntungkan dan membangun jalan tol di Indonesia adalah investasi yang empuk.

Anggapan ini belum tentu benar sebab risiko yang dihadapi juga ternyata sangat banyak. Risiko yang harus dihadapi antara lain risiko akibat volume lalulintas kendaraan yang jauh dari prediksi awal, biaya pembebasan tanah yang harganya selangit, suku bunga, inflasi, biaya konstruksi, biaya perawatan dan biaya-biaya lainnya.

Harus Berjalan

Salah satu contoh adalah pengelolaan jalan tol Belawan - Medan - Tanjung Morawa (Belmera) sepanjang 34 kilometer sampai hari ini belum menguntungkan sejak dioperasikan pada
tahun 1986.

Menurut Kepala Cabang Belmera, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, Ricky Distawardhana melalui Kabag Operasionalnya Ir. Teddy Rosady bahwa beban biaya operasional masih lebih besar dibandingkan dengan pendapatan. Salah satu penyebabnya adalah peningkatan pengguna jalan tol sangat kecil. Semester pertama tahun ini hanya 0,5 persen. Lima tahun terakhir peningkatannya dari 2 sampai 5 persen. Peningkatan ini sangat erat kaitannya dengan arus manusia dan barang.

Walaupun operasional beberapa ruas jalan tol di Indonesia belum memetik keuntungan yang sepadan, rencana pemerintah untuk terus meningkatkan pembangunan infrastruktur tetap harus berjalan. Sebab, mobilitas perekonomian Indonesia sangatlah tergantung pada keandalan dan tingkat layanan dari jaringan jalan. Berbagai barang diangkut melalui transportasi jalan darat. Sebuah survey dari tempat asal dan tujuan yang dilakukan oleh Departemen Perhubungan memperlihatkan bahwa sebesar 80 sampai 90 persen jalan berada di pulau Jawa dan Sumatera.

Pengadaan dan pembangunan infrastruktur jalan raya, termasuk jalan tol, merupakan tanggung jawab pemerintah. Namun mengingat keterbatasan dana, pemerintah membuka peluang investasi kepada swasta dengan memberikan konsesi pengelolaan secara komersial untuk jangka waktu tertentu.

Partisipasi Masyarakat

Sampai sejauh ini, pembangunan jalan tol di Indonesia berjalan lambat. Selama tiga puluh tahun sejak pembangunan dan pengoperasian jalan tol pertama, total panjang jalan tol yang sudah ada hanya mencapai sekitar 600-an kilometer lebih. Jumlah ini relatif rendah dibandingkan luas daratan Indonesia.

Sedangkan, Malaysia yang baru memulai pembangunan jalan tol sepuluh tahun dibelakang Indonesia kini memiliki lebih dari 6.000 km jalan tol. Bahkan China hanya dalam kurun dua puluh tahun sudah mampu membangun jalan tol lebih dari 90.000 km. Faktanya, infrastrukur jalan mampu memberikan stimulasi pesatnya pertumbuhan ekonomi sebuah negara.
Di sisi lain, kita juga harus menyadari bahwa pemerintah tidak memiliki dana yang memadai untuk membangun infrastruktur jalan, sehingga salah satu solusinya membuka peluang pada swasta untuk membangun jalan tol.

Rencana pemerintah membangun jalan tol Medan-Tebing Tinggi dan Medan-Binjai juga masih mengalami beberapa kendala termasuk masalah pembebasan lahan. Rencana pembangunan jalan tol Medan-Tebing Tinggi berjarak sekitar 70-an kilometer sangat mendesak direalisasikan. Apalagi saat ini pembangunan Bandara Kuala Namu sudah berjalan.
Diperkirakan, setelah bandara ini selesai dibangun dan beroperasi, roda perekonomian di sekitarnya akan bergerak dengan cepat. Pengembangan kawasan ini akan terjadi seiring dengan pembangunan infrastruktur pendukungnya termasuk jalan tol, sebagai jalan alternatif lebih lancar, cepat dan ekonomis.

Terlaksananya rencana pemerintah ini ke depan tidak terlepas dari peran serta masyarakat dan dukungan dari semua pihak yang terlibat. Dimana, apabila ada masyarakat yang tanahnya terkena pembangunan jalan tol janganlah mematok harga yang tidak wajar (sampai dua kali lipat dari NJOP). Sebab, jalan tol tersebut dibangun bukan untuk kepentingan satu golongan, satu perusahaan atau seseorang, tapi untuk kepentingan seluruh elemen masyarakat dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Itu sebabnya, semua elemen saat ini harus mempunyai rasa memiliki. Untuk mensosialisasikan rasa memiliki tadi, pemerintah perlu membangkitkan partisipasi masyarakat dalam setiap gerak pembangunan, salah satunya pembangunan jalan tol, sebagai jalan alternatif yang lebih lancar, cepat dan ekonomis.
Menumbuhkan Motivasi, Menggali Potensi yang Tersembunyi

Oleh : James P. Pardede

Tidak mudah untuk me­wu­­jud­kan target Indonesia me­nu­runkan angka buta aksara hing­ga 5 persen pada 2009 men­datang, diperlukan komit­men se­mua elemen bangsa dan ino­vasi-inovasi yang kreatif oleh pa­ra tutor dalam memelek­ak­sa­rakan war­ga bela­jar buta aksa­ra di bebe­rapa daerah di Indo­ne­sia. Terutama daerah yang ang­ka buta aksaranya ma­sih ter­golong sangat tinggi.
Dalam sebuah kesempatan, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo menge­mu­kakan bahwa untuk menun­tas­kan masalah buta aksara agar lebih cepat dan efisien perlu ‘di­ke­royok’ ramai-ramai. Mulai dari pemerintah pusat, peme­rintah daerah (pemda), swasta, perusahaan, LSM maupun orga­­nisasi kemasyarakatan.
Memang, siapa pun menga­kui kalau potret masyarakat buta huruf atau buta aksara identik dengan kantong kemiskinan pe­ngetahuan, kete­rampilan, dan ke­­terbelakangan. Oleh karena itu, fenomena daerah tertinggal me­mang se­nantiasa bersen­tu­han lang­sung dengan karak­te­ristik masya­rakatnya yang ber­ci­rikan keter­ba­tasan sumber da­ya baik sum­ber daya alam apa­lagi sumber daya manu­sianya.
Untuk menetapkan daerah mis­kin beberapa variabel do­minan­nya dirujuk dari penda­patan penduduk, kecukupan ke­butu­han dasar, dan derajat kese­ha­tan. Hasilnya menunjuk­kan bah­wa kantong kemiskinan bagi masyarakat Indonesia ter­se­bar di ribuan kecamatan dan ribuan desa tertinggal. Adapun ukuran kemiskinan pengeta­huan, khu­susnya masyarakat yang dika­tegorikan buta huruf dan buta aksara, dilihat dari sensus pen­duduk yang datanya menun­juk­kan bahwa masya­rakat tersebut (baca: usia 15-44 tahun) mengi­dap penyakit tiga buta, buta ak­sara, buta penge­tahuan umum/pendidikan da­sar, dan buta ba­ha­sa Indonesia.
Selain itu, tingginya angka putus sekolah di tingkat SD te­rutama kelas 1,2,dan 3 juga ber­po­tensi menciptakan buta ak­sara. Jika melihat perkem­ba­ng­an penurunan buta aksara hing­ga 2006, hasilnya sangat meng­gembirakan. Tapi sema­kin se­dikit jumlah pendu­duk buta ak­sara, maka akan semakin sulit memberantasnya. Karena, pen­du­duk buta aksara yang ter­sisa adalah yang terma­suk da­lam golongan hardrock (sangat sulit dimelek­aksara­kan).
Mengatasi permasalahan ma­­sih tingginya angka buta aksara, diperlukan kerja sama berbagai pihak seperti dipapar­kan di atas. Misalnya, lembaga atau instansi pemerin­tah seperti perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan unit pelaksana tek­nis. Selain itu, juga diperlukan peran swasta seperti perusaha­an, BUMN, perban­kan, serta or­ganisasi masyarakat dan kea­gamaan.
Menumbuhkan Motivasi
Jika mengamati kondisi buta ak­sara di Indonesia, maka pola pem­be­lajaran bagi penduduk buta ak­sara harus dilaksanakan secara utuh dan terpadu. Bila perlu, upaya-upaya dengan pen­dekatan psikologis dan profesi perlu dite­rap­kan, antara lain me­numbuhkan motivasi warga be­lajar yang terdeteksi dalam kate­gori warga buta ak­sara.
Motivasi warga belajar ada­lah dorongan yang me­nye­bab­kan terjadinya suatu perbu­atan atau tindakan tertentu. Belajar terjadi karena adanya motivasi yang mendorong seseorang un­tuk melakukan perbuatan bela­jar. Dorongan itu dapat timbul dari diri warga belajar yang ber­sumber dari kebutuhan tertentu yang ingin mendapat pemuasan; atau dorongan yang timbul kare­na rangsangan dari luar diri war­ga belajar, sehingga ia mela­ku­kan kegiatan belajar.
Motivasi yang timbul dari da­­lam diri warga belajar akan lebih baik dibandingkan dengan motivasi yang disebabkan oleh rang­sangan dari luar, namun da­lam prakteknya seringkali mo­tivasi dari dalam sulit dite­mui bahkan cenderung tidak ada. Keadaan demikian memer­lukan rangsangan dari luar se­hingga timbul motivasi belajar.
Rangsangan atau upaya me­numbuhkan motivasi warga be­lajar sebenarnya masih memer­lukan cara-cara yang inovatif dan kreatif. Apakah itu lewat pen­­dekatan kekeluargaan, kea­gamaan atau lewat pekerjaan. Pendekatan lewat kekeluargaan dan keagamaan mungkin tidak terlalu sulit. Yang sulit adalah pen­dekatan lewat pekerjaan. Ber­dasarkan fakta di lapangan, para pekerja termasuk petani di beberapa daerah sangat sulit mem­bagi waktu untuk belajar dan bekerja.
Kreatifitas dari tutor dalam menggiring dan menumbuhkan motivasi warga seperti ini sa­ngat menentukan. Sebab, warga belajar yang ingin diberdayakan ke­banyakan dari kalangan o­rang dewasa (usia antara 15 - 44 tahun) yang telah ba­­nyak makan ‘asam dan ga­ram’ kehidupan.
Dalam pertumbuhan seseo­rang sampai masa dewasa, dia banyak memperoleh pengala­man dalam hidupnya, dan telah banyak belajar dari pengalaman hidup tersebut. Hasil dari peng­alaman itulah yang menen­tukan sikap hidup, pendirian, jalan pikiran, nilai dan sebagainya dari orang bersangkutan.
Apabila sikap hidup, pikiran, ide, pengalaman, informasi dan sebagainya yang terdapat pada diri warga belajar dipupuk dan dikembangkan, maka akan mem­­bantu perkembangan atau ke­majuan belajarnya. Sebalik­nya, apabila hal itu ternyata meng­halangi kemajuan belajar yang bersangkutan, maka men­ja­di kewajiban tutor untuk me­nga­dakan usaha untuk merubah sikap hidup, pendirian atau jalan pikiran tersebut, sehingga dapat membantunya ke arah kema­juan yang dicita-citakan.
Perlu diketahui, bahwa sikap dan pendirian yang menjadi peng­­halang antara lain: Perta­ma, lekas merasa puas dengan hasil yang telah dicapai (tidak ingin mencapai hasil yang lebih baik). Kedua, tidak suka me­man­faatkan waktu luang deng­an kegiatan-kegiatan yang sebe­narnya memberi manfaat posi­tif. Ketiga, tidak suka menga­dakan penelitian atau perhi­tu­ngan sebelum melakukan sesu­atu pekerjaan. Keempat, kurang tekun dan disiplin dalam mela­kukan sesuatu. Kelima, menga­baikan aturan-aturan atau nor­ma-norma yang berdasar ilmu pengetahuan. Keenam, tidak percaya pada kemampuan diri sendiri dan ketujuh, tidak suka bekerjasama dengan orang lain.
Karena sikap hidup dan pen­dirian tersebut, merupakan hasil pengalaman masa lampau, ma­ka untuk mengubahnya harus diberikan pengalaman-penga­laman baru dan motivasi-mo­tivasi positif yang pada akhirnya menimbulkan pengertian, kesa­daran dan keyakinan bahwa me­­reka memiliki potensi yang ter­sembunyi. Bahwa mereka me­miliki potensi yang harus digali agar memiliki rasa per­caya pada diri sendiri, mem­buang rasa gengsi yang tinggi, me­ninggal­kan sikap mau me­nang sendiri dan menge­depan­kan kebersa­ma­an dalam menye­lesaikan se­buah persoalan.
Upaya menumbuhkan moti­vasi kepada warga belajar dan calon warga belajar harus dapat menyadarkan dan meyakinakan warga belajar bahwa mereka yang cepat merasa puas dengan hasil pekerjaannya akan jauh ke­­­tinggalan dengan mereka yang selalu ingin mencapai hasil yang lebih baik. Memberi pe­ngalaman baru dan menum­buh­kan motivasi warga belajar ha­rus dilaksanakan sebagai tinda­kan sosial edukatif dalam pro­gram keaksaraan fungsional ter­hadap warga belajar.
Dengan memperhatikan hal-hal seperti dikemukakan di atas, para pengelola program keak­saraan fungsional senantiasa harus berusaha untuk dapat me­ngenal dan memahami berbagai segi kehidupan orang dewasa. Dengan demikian, kita dapat mengenal dan memahami un­sur-unsur kehidupan orang de­wa­sa itu yang benar-benar mem­bawa keuntungan dan man­faat lahir bathin bagi setiap individu dan masyarakat secara keseluruhannya. Unsur-unsur yang mengandung kegu­naan inilah yang harus dijadikan ba­han dalam menyusun materi pembelajaran.
Menggali Potensi
Setelah upaya penyadaran dan motivasi dari warga belajar tumbuh dengan baik dan dengan memperhatikan tingkat kecer­dasan serta kemampuan belajar pada orang dewasa sebagai­ma­na dikemukakan di atas, maka da­lam program keak­sa­raan fung­­­sional kita perlu berpe­do­man pada konsep : materi pem­be­lajaran menggunakan ba­ha­sa yang mudah dimengerti, ma­teri pembelajaran dengan con­toh-contoh dari kehidupan se­hari-hari, mengajak mereka men­­cari contoh dari kehidupan mereka sendiri, mengajak me­reka memahami tentang sesuatu hal sebab akibat, mem­prak­tek­kan hal-hal yang telah diajarkan, jangan bebani mereka dengan ha­falan dan berikan mereka rangsangan untuk berfikir deng­an cara mengajukan perta­nya­an-pertanyaan yang dapat me­nggali kemampuan berfikir me­reka.
Sebenarnya, yang paling penting dalam penuntasan war­ga buta aksara adalah bagai­ma­na cara menggali potensi yang tersem­bunyi di dalam diri mere­ka. Deng­an meng­­gali potensi tersebut kita akan me­nge­tahui ke arah mana minat dan ke­mampuan mereka dalam me­ningkatkan taraf hidupnya di kemudian hari.
Lantas, kenapa pemberan­tasan buta aksara begitu penting sampai peme­rintah melun­cur­kan pro­gram nasional yang di­be­ri nama Gerakan Nasional Pem­beran­tasan Buta Aksara (GNPBA) ?
Karena pemberantasan buta aksara merupakan bagian dari Education for All dan Mille­ni­um Development Goals (MD­Gs). Maka pelaksanaannya bu­kan cuma bertujuan agar warga buta aksara menjadi melek hu­ruf latin atau bisa berhitung. Ta­­pi lebih dari itu, warga buta aksara juga harus didorong un­tuk bisa mening­katkan kualitas hidupnya.
Upaya-upaya lainnya yang bisa dilakukan untuk member­dayakan warga buta aksara sete­lah mendapat dukungan moti­vasi dan penyadaran dari berba­gai elemen sebenarnya masih sangat beragam.
Misal­nya, melalui program bekerja sambil belajar yang me­rupakan pola pembelajaran dan pember­dayaan penduduk secara terpa­du antara upaya pembi­naan pengetahuan dan ke­teram­pilan upajiwa dan mencari naf­kah (vokasional). Inilah yang dina­makan pende­katan bekerja dan belajar, yang dapat diterap­kan dalam mem­ber­daya­kan pen­du­duk usia dewasa (ba­ca: buta ak­sara) me­lalui pen­de­katan an­dra­gogi dan integratif.
Pendekatan dengan bahan ajar yang langsung bersentuhan dengan profesi warga belajar diharapkan akan lebih memu­dahkan mereka dalam me­nye­rap pelajaran yang disam­pai­kan.
Jaringan Belajar
Disamping itu, ada beberapa konsekuensi logis dalam pende­katan tutorial terpadu ini khu­susnya dalam konteks percepa­tan pemberan­tasan buta aksara sambil beker­ja. Pertama, kegia­tan pem­berdayaan penduduk dewasa (15-44 tahun) dalam upaya memberantas kemiski­nan pe­ngetahuan dan ketunaan kete­rampilan ini hendaknya ber­mula dari upaya menggenjot kesadaran dari warga belajar itu sendiri (inner consciousness) bah­wa belajar sambil bekerja pada hakikatnya merupakan su­atu kebutuhan di samping ke­wajiban.
Melalui program tutorial ter­padu ini diharapkan dapat di­ting­katkan dan diberdayakan kemauan dan potensi setiap pen­duduk atau warga belajar untuk berbuat yang terbaik termasuk belajar untuk melek huruf, me­nambah pe­nge­tahuan dan kete­rampilan.
Kedua, pola tutorial terpadu hendaknya diikuti dengan pem­bangunan jaringan belajar (lear­ning network) yang dapat me­ngon­­disikan setiap penduduk/warga belajar untuk senantiasa melek ilmu pengetahuan dan keterampilan. Ini berarti warga belajar tidak berhenti seusai mengikuti program pendidikan keaksaraan dan sekadar mem­pe­roleh surat keterangan melek aksara (Sukma).
Melalui jaringan belajar ma­syarakat ini seperti diba­ngun­nya perpustakaan desa, taman bacaan masyarakat, pusat sum­ber belajar masyarakat, dan lain-lain diharapkan masyarakat/warga belajar diajak untuk terus belajar sepanjang hayat (life long education) dalam rangka peningkatan kualitas hidupnya.
Ini perlu ditindaklanjuti ke­be­­radaannya mengingat pada beberapa kasus pelaksanaan pendidikan keaksaraan, banyak warga belajar yang tadinya su­dah mulai melek aksara/huruf, mereka kembali menjadi ma­sya­rakat yang “lupa huruf”. Ala­sannya, antara lain tidak adanya kesinambungan pro­gram pem­belajaran setelah mengikuti pen­­didikan keaksaraan karena tidak dibinanya jaringan belajar di antara kelompok masyarakat/warga belajar itu sendiri.
Pada akhirnya, dukungan dan partisipasi masyarakat sangat mutlak dibutuhkan untuk menunjang program pengen­tasan buta aksara yang tengah digalakkan oleh pemerintah. Me­libatkan seluruh komponen masyarakat bertujuan untuk menggalakkan kerja sama dan menumbuhkan rasa tang­gung­jawab moral untuk mencer­daskan kehidupan berbangsa dan bernegara, menghilangkan kebodohan dan mengurangi angka kemiskinan. Jika semua elemen masyarakat memiliki komitmen untuk ikut menum­buhkan motivasi dan menggali potensi yang tersembunyi dari warga buta aksara di negeri ini, target pemerintah ke depan un­tuk membebaskan Indonesia da­ri buta aksara bisa terealisasi. Semoga.
Seabad Kebangkitan Nasional :
Mempertanyakan Kejujuran Dunia Pendidikan
Tahun ini Indonesia mem­pe­ringati Seratus tahun Hari Kebangkitan Nasional (Seabad Kebangkitan Nasional). Di beberapa kota, berbagai event telah digelar untuk menye­marakkan acara ini. Yang pasti, memperingati Seabad Kebang­kitan kiranya jangan hanya seremonial belaka. Hari ini di peringati, keesokan harinya gaungnya hilang lenyap ditelan bumi.
Secara khusus, tulisan ini akan menyoroti permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan kita setelah 100 tahun bangkit dari keterpurukan. Salah satu topik hangat yang diperbin­cangkan di berbagai media adalah masalah kecurangan Ujian Nasional (UN) di tingkat pendidikan menengah.
Permasalahan kecurangan pelaksanaan ujian nasional (UN) telah menyita perhatian banyak kalangan. Adanya kecurangan dalam pelaksanaam UN tersebut dibeberkan oleh Komunitas Air Mata Guru (KA­MG). Sejumlah barang bukti tentang indikasi pelang­garan UN tersebut diserahkan ke DPD dan dalam sidang paripurna DPD membahas UN ditolak saja.
Sejak adanya kecurangan UN tersebut, beberapa elemen melakukan aksi penolakan UN di Indonesia. Akan tetapi, Men­diknas kembali menegaskan bahwa UN tetap dijalankan. Tahun ini, UN sudah berlang­sung, bagi siswa yang sudah mengikuti ujian, sekarang mereka sedang menunggu hasil ujian apakah mereka dinyatakan lulus atau harus mengulang kembali.
Kecurangan UN tahun lalu sebenarnya masih berbekas dalam ingatan kita. Tahun ini kecurangan itu kembali terjadi. Komunitas Air Mata Guru be­berapa waktu lalu menye­rahkan Laporan Independen Krono­logis Pelanggaran POS dan Ke­cu­rangan UN SMA/SMK dan SMP?Sederajat 2008 di Su­mut ke Anggota DPD RI Asal Pro­vinsi Su­mut Parlindungan Pur­ba,SH,MM.
Dalam laporan yang diba­cakan oleh Direktur Eksekutif KAMG Januar Pasaribu didam­pingi Dewan Pembina Denny Boi Saragih terungkap beberapa kasus kecurangan UN di bebe­rapa sekolah di Sumut.
“Sejauh ini, KAMG telah menemukan 21 lokasi terjadi­nya pelanggaran POS dan kecu­rangan UN, serta 16 modus ope­randi pelanggaran POS dan Kecurangan UN 2008 di Sumut untuk tingkat SMA/SMK. Sedangkan untuk tingkat SMP/Sederajat ditemukan 16 lokasi terjadinya pelanggaran POS dan kecurangan UN, 7 modus ope­randi pelanggaran POS dan kecurangan UN 2008,” jelas Januar Pasaribu.
Beberapa modus pelang­garan POS dan kecu­rangan UN yang ditemukan dilapangan, kata Januar Pasa­ribu antara lain guru diminta mengerjakan soal UN di tempat mereka mengajar, pembagian jawaban UN kepada siswa, amplop Lembar Jawaban Ujian Nasional (LJUN) tidak disegel dan dilak, memperbaiki LJUN di sekolah, mengko­mu­nikasi­kan jawaban lewat SMS, kunci jawaban di tulis di papan ujian, mengijinkan siswa beker­ja­sama, pembatalan SK guru yang memiliki sikap tegas dalam mengawas dan menjalin kerja­sa­­ma dengan bimbingan belajar di Medan untuk menye­diakan jawaban UN.
Menurut Dewan Pembina KAMG, pelanggaran POS dan kecurangan UN tidak hanya terjadi di sekolah-sekolah yang bukan favorite (berdasarkan catatan pemeringkatan sekolah oleh pemerintah), di sekolah favorite pun juga terjadi kecu­rangan UN.
Dalam pengungkapan dan penyampaian laporan indepen­den kepada Anggota DPD RI tersebut, KAMG juga memutar video hasil investigasi di lapa­ngan secara tersembunyi. Da­lam video tersebut jelas terlihat siswa sengaja datang lebih cepat untuk mempersiapkan contekan (ilmu baru dalam ujian-kope­kologi) dimana jawaban-jawa­ban soal UN telah didistri­busikan oleh ‘oknum’ lewat SMS ke HP para siswa. Siswa dengan cekatan menulis jawa­ban di sapu tangan, kertas kecil dan menyelipkannya di bagian tubuh yang tersembunyi.
Menolak UN
Ironis sekali!! Dunia pen­didikan kita telah kehilangan keperca­yaan. Sedikit saja rasa jujur ditunjukkan dalam pelak­sanaan UN di sekolah-sekolah, akan dianggap sebagai penghi­anat oleh oknum lain yang mengi­nginkan peringkat seko­lahnya bisa dipertahankan.
Anggota DPD RI Parlin­dungan Purba dengan tegas te­lah menyatakan agar UN diha­puskan. Opini ini telah terlem­par sejak beberapa tahun lalu dan dibawa dalam sidang pari­purna di Gedung Senayan.
“Bagaimana mungkin UN bisa berjalan dengan baik kalau kesejahteraan guru-guru yang mengajar masih terlupakan. Menurut laporan, guru-huru yang telah lulus sertifikasi pun belum jelas kapan ia men­da­patkan honor yang dijanjikan,” tandas Parlindungan.
Dalam sidak ke beberapa sekolah, kata Parlindungan, masih ada ditemukan sekolah di tengah-tengah kota Medan yang bangunannya hampir rubuh. Guru-guru dan kepala sekolah di tempat tersebut merasa pesismis dengan kondisi dunia pendidikan kita sekarang.
“Sudah berkali-kali sekolah ini diberitakan di koran dan TV, bahkan sudah ebrtahun-tahun, tapi perhatian dari pemerintah masih setengah hati. Kalau hujan turun, proses belajar mengajar akan terganggu kare­na murid dan guru harus menye­lamatkan diri ke lokasi yang tidak terkena hujan,” papar seo­rang guru yang menolak mem­berikan namanya.
Ini semua kenyataan yang terjadi di dunia pendidikan kita. Masih banyak elemen yang harus dibenahi. Yang terpenting lagi adalah masalah moralitas bangsa ini. Kalau gurunya sudah melakukan kecurangan, bagaimana pun murid akan mengikuti sikap yang salah tersebut. “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari,” begitu kata pepatah.
Dari kenyataan-kenyataan ini, tegas Parlindungan, ternyata kita belum mampu mem­pro­ses manusia yang merdeka; men­di­dik manusia untuk benar-benar menjadi merdeka. Mereka belum mampu memerdekakan bangsa dan manusia Indonesia dari sikap dan sifatnya yang minder, yang tidak fair, yang digerakkan oleh mentalitas kuli dan babu yang cenderung men­jilat ke atas dan menginjak ke bawah, yang tidak setia kepada kawan, mudah mengkhianati dan menjualnya, yang enak dan tega memfitnah dan mem­bunuh nama baik dan kesem­patan kawan. Dari sana kemudian lahir suatu watak yang tidak suka membela kebenaran.
Suka tidak suka, sadar tidak sadar, harus dikatakan bahwa inilah cermin sebagian besar elite politik kita saat ini, yang tidak berani mengadakan peru­bahan secara radikal dengan merombak sistem lama yang penuh kepal­suan.
Kejujuran
Sungguh ironis, karena su­dah tahu sistem tersebut penuh dengan kebobrokan, namun justru tetap dilestarikan karena berdalih menjaga keso­panan. Tidak ada kesa­daran bah­­wa se­la­ma sistem lama masih berco­kol, jangan harap menghasilkan elite yang ber­kualitas.
Akar persoalannya bisa kita lacak, setidak-tidaknya dari bagaimana karakter sistem pendidikan diselenggarakan. Kita melihat bahwa pendidikan dalam bangsa ini hanya menjadi instrumen kekuasaan politik. Pendidikan disubor­dinasikan dalam kekuasaan politik, dan menghasilkan manusia yang hanya pandai ikut-ikutan.
Mereka bagaikan robot yang dikendalikan oleh remote con­trol, yakni pemegang kekuasaan dan pemilik modal, melalui ideologi penye­ragaman. Ini membuat mereka hanya mampu menunggu petunjuk serta pedo­man dari atas.
Akibatnya birokrasi menjadi lambat dalam meres­pon peru­bahan. Ketidak­mampuan itu disebabkan oleh ketidak­berda­yaan mereka untuk keluar dari kultur lama. Dalam kultur lam itu keman­diran individu dire­duksi menjadi ketaatan buta yang dikendalikan oleh sistem penye­ragaman. Ini membuat reformasi terseok-seok, yang disebabkan oleh ketidak­berda­yaan untuk merespon peruba­han yang begitu cepat.
Seharusnya, tutur Parlin­dungan, sistem pendidikan yang utuh adalah sistem pendidikan yang terkait dengan penana­man nilai, yakni kejujuran, keadilan, kema­nusiaan, kesetiakawanan, profe­si­onalitas, keluhuran, kedisip­linan dan ketulusan. Di sini yang dipentingkan bukan saja sekadar transfer ilmu, tapi juga pemben­tukan karakter.
Pembentukan karakter ter­kait dengan realitas kehidu­pan yang nyata, bukan kehidupan maya yang semu. Realitas hidup sehari-hari menjadi pijakan untuk dire­flek­sikan dalam berbagai ilmu pengetahuan yang diperoleh di bangku sekolah.
Dalam hal ini, anak didik dituntut untuk kritis dalam melihat realitas. Mengapa itu terjadi? Apa yang me­nyebab­kan? Di mana sisi kemanu­siaannya? Di mana dimensi sosialnya? Sifat yang kritis untuk memper­tanyakan segala sesuatu yang terjadi akhirnya menjadi kebia­saan bahwa sega­la keputusan yang diambil harus dipertim­bangkan dengan jeli dan jernih.
Pendidikan yang selama ini disubordinasikan pada kekua­saan politik, mengakibatkan ke­bi­jakan mudah berubah karena tergan­tung pada siapa yang me­megang kekuasaan, seperti si­nya­lemen Foucault, untuk meles­tarikan kekuasaan.
Inilah yang membuat pendi­di­kan kita selalu terseok-seok dan tidak mampu mengikuti peruba­han yang begitu cepat. Pendidi­kan kita lebih ter­gan­tung pada mesin kekuasaan. Mesin kekua­saan itu selalu men­cari kema­panan daripada menginginkan perubahan.