JALAN TOL : Bangkitkan Partisipasi Masyarakat dalam Setiap Pembangunan
Oleh James P. Pardede

Serangkaian dengan kunjungan kerja Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) ke Kuala Lumpur Malaysia beberapa waktu lalu, Analisa berkesempatan ikut rombongan DPD dan menikmati jalan-jalan di Kuala Lumpur Malaysia yang bersih dan nyaman.

Terutama saat rombongan DPD RI memenuhi undangan pemerintah Malaysia untuk bertemu dengan unsur pemerintahannya di kawasan perkantoran Putra Jaya Malaysia. Jika membandingkan perkembangan jalan-jalan tol di Malaysia dengan di Indonesia, boleh dikata kita tertinggal jauh. Berbicara tentang pembangunan jalan tol, Malaysia patut menjadi contoh bagi Indonesia. Meskipun 27 tahun lalu Malaysia belajar dari Indonesia, tapi fakta membuktikan saat ini pengelolaan tol negeri jiran itu jauh lebih maju.

Tak hanya dalam hal pembangunan jalan tol, beberapa sektor lainnya seperti bidang kesehatan. Indonesia yang dulunya menjadi tempat mereka berguru dan mahasiswa mereka belajar di Indonesia, sekarang justru terbalik. Kita malah jadi berguru dari murid sendiri, masyarakat kita justru berbondong-bondong berobat ke Malaysia.

Berdasar pada kajian dan kunjungan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) beberapa waktu lalu ke negara tetangga tersebut, ada beberapa hal yang bisa ditiru dari Malaysia, salah satu diantaranya adalah soal pembebasan tanah, yang selama ini menjadi hantu bagi investor tol di Indonesia.

Pembangunan jalan tol di satu kawasan bisa terhenti akibat Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) melonjak dua kali lipat dari rencana bisnis yang ditetapkan pada awal tender. Kasus-kasus seperti ini menunjukkan pemerintah tidak siap dalam melaksanakan pembangunan jalan tol. NJOP sebenarnya menjadi satu-satunya instrumen yang dapat dikendalikan, akan tetapi kenyataannya tidak demikian.

Seperti disampaikan Anggota DPD RI Asal Sumatera Utara Parlindungan Purba yang ikut dalam rombongan DPD ke Malaysia beberapa waktu lalu mengatakan, investasi pemerintah dalam pembangunan infrastruktur seperti jalan tol harus benar-benar matang dan mengikuti berbagai kajian.

“Pada umumnya, pembebasan lahan yang sangat sulit menjadi kendala pembangunan jalan tol di Indonesia. Disamping itu, perbankan nasional belum mempunyai skim kredit yang khusus di bidang infrastruktur seperti jalan tol, listrik dan yang lainnya,” paparnya. Dalam kaitan ini, lanjutnya, pemerintah harus memberi insentif bagi swasta apakah dalam bidang perizinan, dukungan perbankan agar cepat mengejar ketertinggalan,” tandasnya.

Lebih Panjang

Memang, pembebasan tanah untuk pembangunan jalan tol di Malaysia relatif tidak menimbulkan masalah berarti. Persoalannya Indonesia dan Malaysia memiliki perbedaan prinsip dalam mengadopsi pembebasan tanah. Tipikal masyarakat Indonesia juga tidak sama dengan negara tetangga.

Malaysia menganut sistem ‘memaksa’ dalam pengadaan tanah bagi fasilitas umum atau dikenal dengan pola “compulsory acquisition”, serta dilaksanakan melalui satu instansi saja dibawah kendali pemerintah. Bagi masyarakat yang tidak puas dapat mengajukan gugatan ganti rugi lebih tinggi, akan tetapi pembangunan tetap berlangsung.

Berbeda jauh dengan Indonesia. Sepanjang gugatan tanah belum selesai maka peralatan kerja tidak diperkenankan memasuki lokasi. Disamping itu pembebasan tanah juga melibatkan berbagai institusi di daerah maupun pusat yang membuat pelaksanaannya menjadi lebih panjang.

Memang sesuai Perpres No. 65 tahun 2005 revisi dari Pepres 36 tahun 2005 pemerintah memiliki kewenangan untuk mencabut hak atas tanah yang akan dilalui jalan tol. Akan tetapi prosesnya cukup panjang mulai dari rekomendasi pemerintah daerah di tingkat bawah (Bupati/ Walikota), Gubernur, Menteri PU, sebelum akhirnya dicabut oleh Presiden.

Sementara di Malaysia, pemerintah memiliki kekuatan memerintah masyarakatnya untuk pindah, di Indonesia sengketa tanah untuk jalan tol sering dibawa ke ranah politik. Akibatnya pemerintah tidak sepenuhnya berhasil melaksanakan pembebasan tanah.

Seperti dilansir dari Kompas (20/8) disebutkan bahwa hingga akhir tahun ini, baru akan dibangun 641 kilometer jalan tol dari rencana 1.600 kilometer. Tol Trans-Jawa juga gagal diwujudkan tahun 2009/2010 sebab lahan belum bebas sehingga konstruksi belum berdiri.

Salah satu upaya untuk mewujudkan konsep investasi pembangunan jalan tol sebagai dukungan terhadap rencna pemerintah untuk mengembangkan jaringan jalan tol dalam keterbatasan APBN adalah dengan menaikkan tarif tol. Upaya ini menjadi agenda terdekat yang dilakukan PT Jasa Marga (Persero) Tbk dalam mengatasi makin besarnya biaya operasional di lapangan.

Menurut Undang-Undang Jalan Nomor 38 Tahun 2004 disebutkan bahwa “...penyesuaian tarif tol tiap dua tahun...didasarkan tarif lama, yang disesuaikan dengan kenaikan tingkat inflasi...”

Dalam sebuah kesempatan Sekretaris Perusahaan PT Jasa Marga Okke Merlina menyampaikan bahwa kenaikan tarif tol berlaku di 13 ruas jalan tol di Indonesia, kecuali tol Sedyatmo dan tol Jakarta - Cikampek. Karena, tarif dua jalan tol ini sudah lebih dulu melakukan penyesuaian tarif.

Melihat perkembangan pembangunan jalan tol di beberapa daerah, mungkin ada anggapan dari sebagian besar masyarakat bahwa investasi di jalan bebas hambatan tersebut sangat menguntungkan dan membangun jalan tol di Indonesia adalah investasi yang empuk.

Anggapan ini belum tentu benar sebab risiko yang dihadapi juga ternyata sangat banyak. Risiko yang harus dihadapi antara lain risiko akibat volume lalulintas kendaraan yang jauh dari prediksi awal, biaya pembebasan tanah yang harganya selangit, suku bunga, inflasi, biaya konstruksi, biaya perawatan dan biaya-biaya lainnya.

Harus Berjalan

Salah satu contoh adalah pengelolaan jalan tol Belawan - Medan - Tanjung Morawa (Belmera) sepanjang 34 kilometer sampai hari ini belum menguntungkan sejak dioperasikan pada
tahun 1986.

Menurut Kepala Cabang Belmera, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, Ricky Distawardhana melalui Kabag Operasionalnya Ir. Teddy Rosady bahwa beban biaya operasional masih lebih besar dibandingkan dengan pendapatan. Salah satu penyebabnya adalah peningkatan pengguna jalan tol sangat kecil. Semester pertama tahun ini hanya 0,5 persen. Lima tahun terakhir peningkatannya dari 2 sampai 5 persen. Peningkatan ini sangat erat kaitannya dengan arus manusia dan barang.

Walaupun operasional beberapa ruas jalan tol di Indonesia belum memetik keuntungan yang sepadan, rencana pemerintah untuk terus meningkatkan pembangunan infrastruktur tetap harus berjalan. Sebab, mobilitas perekonomian Indonesia sangatlah tergantung pada keandalan dan tingkat layanan dari jaringan jalan. Berbagai barang diangkut melalui transportasi jalan darat. Sebuah survey dari tempat asal dan tujuan yang dilakukan oleh Departemen Perhubungan memperlihatkan bahwa sebesar 80 sampai 90 persen jalan berada di pulau Jawa dan Sumatera.

Pengadaan dan pembangunan infrastruktur jalan raya, termasuk jalan tol, merupakan tanggung jawab pemerintah. Namun mengingat keterbatasan dana, pemerintah membuka peluang investasi kepada swasta dengan memberikan konsesi pengelolaan secara komersial untuk jangka waktu tertentu.

Partisipasi Masyarakat

Sampai sejauh ini, pembangunan jalan tol di Indonesia berjalan lambat. Selama tiga puluh tahun sejak pembangunan dan pengoperasian jalan tol pertama, total panjang jalan tol yang sudah ada hanya mencapai sekitar 600-an kilometer lebih. Jumlah ini relatif rendah dibandingkan luas daratan Indonesia.

Sedangkan, Malaysia yang baru memulai pembangunan jalan tol sepuluh tahun dibelakang Indonesia kini memiliki lebih dari 6.000 km jalan tol. Bahkan China hanya dalam kurun dua puluh tahun sudah mampu membangun jalan tol lebih dari 90.000 km. Faktanya, infrastrukur jalan mampu memberikan stimulasi pesatnya pertumbuhan ekonomi sebuah negara.
Di sisi lain, kita juga harus menyadari bahwa pemerintah tidak memiliki dana yang memadai untuk membangun infrastruktur jalan, sehingga salah satu solusinya membuka peluang pada swasta untuk membangun jalan tol.

Rencana pemerintah membangun jalan tol Medan-Tebing Tinggi dan Medan-Binjai juga masih mengalami beberapa kendala termasuk masalah pembebasan lahan. Rencana pembangunan jalan tol Medan-Tebing Tinggi berjarak sekitar 70-an kilometer sangat mendesak direalisasikan. Apalagi saat ini pembangunan Bandara Kuala Namu sudah berjalan.
Diperkirakan, setelah bandara ini selesai dibangun dan beroperasi, roda perekonomian di sekitarnya akan bergerak dengan cepat. Pengembangan kawasan ini akan terjadi seiring dengan pembangunan infrastruktur pendukungnya termasuk jalan tol, sebagai jalan alternatif lebih lancar, cepat dan ekonomis.

Terlaksananya rencana pemerintah ini ke depan tidak terlepas dari peran serta masyarakat dan dukungan dari semua pihak yang terlibat. Dimana, apabila ada masyarakat yang tanahnya terkena pembangunan jalan tol janganlah mematok harga yang tidak wajar (sampai dua kali lipat dari NJOP). Sebab, jalan tol tersebut dibangun bukan untuk kepentingan satu golongan, satu perusahaan atau seseorang, tapi untuk kepentingan seluruh elemen masyarakat dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Itu sebabnya, semua elemen saat ini harus mempunyai rasa memiliki. Untuk mensosialisasikan rasa memiliki tadi, pemerintah perlu membangkitkan partisipasi masyarakat dalam setiap gerak pembangunan, salah satunya pembangunan jalan tol, sebagai jalan alternatif yang lebih lancar, cepat dan ekonomis.
Menumbuhkan Motivasi, Menggali Potensi yang Tersembunyi

Oleh : James P. Pardede

Tidak mudah untuk me­wu­­jud­kan target Indonesia me­nu­runkan angka buta aksara hing­ga 5 persen pada 2009 men­datang, diperlukan komit­men se­mua elemen bangsa dan ino­vasi-inovasi yang kreatif oleh pa­ra tutor dalam memelek­ak­sa­rakan war­ga bela­jar buta aksa­ra di bebe­rapa daerah di Indo­ne­sia. Terutama daerah yang ang­ka buta aksaranya ma­sih ter­golong sangat tinggi.
Dalam sebuah kesempatan, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo menge­mu­kakan bahwa untuk menun­tas­kan masalah buta aksara agar lebih cepat dan efisien perlu ‘di­ke­royok’ ramai-ramai. Mulai dari pemerintah pusat, peme­rintah daerah (pemda), swasta, perusahaan, LSM maupun orga­­nisasi kemasyarakatan.
Memang, siapa pun menga­kui kalau potret masyarakat buta huruf atau buta aksara identik dengan kantong kemiskinan pe­ngetahuan, kete­rampilan, dan ke­­terbelakangan. Oleh karena itu, fenomena daerah tertinggal me­mang se­nantiasa bersen­tu­han lang­sung dengan karak­te­ristik masya­rakatnya yang ber­ci­rikan keter­ba­tasan sumber da­ya baik sum­ber daya alam apa­lagi sumber daya manu­sianya.
Untuk menetapkan daerah mis­kin beberapa variabel do­minan­nya dirujuk dari penda­patan penduduk, kecukupan ke­butu­han dasar, dan derajat kese­ha­tan. Hasilnya menunjuk­kan bah­wa kantong kemiskinan bagi masyarakat Indonesia ter­se­bar di ribuan kecamatan dan ribuan desa tertinggal. Adapun ukuran kemiskinan pengeta­huan, khu­susnya masyarakat yang dika­tegorikan buta huruf dan buta aksara, dilihat dari sensus pen­duduk yang datanya menun­juk­kan bahwa masya­rakat tersebut (baca: usia 15-44 tahun) mengi­dap penyakit tiga buta, buta ak­sara, buta penge­tahuan umum/pendidikan da­sar, dan buta ba­ha­sa Indonesia.
Selain itu, tingginya angka putus sekolah di tingkat SD te­rutama kelas 1,2,dan 3 juga ber­po­tensi menciptakan buta ak­sara. Jika melihat perkem­ba­ng­an penurunan buta aksara hing­ga 2006, hasilnya sangat meng­gembirakan. Tapi sema­kin se­dikit jumlah pendu­duk buta ak­sara, maka akan semakin sulit memberantasnya. Karena, pen­du­duk buta aksara yang ter­sisa adalah yang terma­suk da­lam golongan hardrock (sangat sulit dimelek­aksara­kan).
Mengatasi permasalahan ma­­sih tingginya angka buta aksara, diperlukan kerja sama berbagai pihak seperti dipapar­kan di atas. Misalnya, lembaga atau instansi pemerin­tah seperti perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan unit pelaksana tek­nis. Selain itu, juga diperlukan peran swasta seperti perusaha­an, BUMN, perban­kan, serta or­ganisasi masyarakat dan kea­gamaan.
Menumbuhkan Motivasi
Jika mengamati kondisi buta ak­sara di Indonesia, maka pola pem­be­lajaran bagi penduduk buta ak­sara harus dilaksanakan secara utuh dan terpadu. Bila perlu, upaya-upaya dengan pen­dekatan psikologis dan profesi perlu dite­rap­kan, antara lain me­numbuhkan motivasi warga be­lajar yang terdeteksi dalam kate­gori warga buta ak­sara.
Motivasi warga belajar ada­lah dorongan yang me­nye­bab­kan terjadinya suatu perbu­atan atau tindakan tertentu. Belajar terjadi karena adanya motivasi yang mendorong seseorang un­tuk melakukan perbuatan bela­jar. Dorongan itu dapat timbul dari diri warga belajar yang ber­sumber dari kebutuhan tertentu yang ingin mendapat pemuasan; atau dorongan yang timbul kare­na rangsangan dari luar diri war­ga belajar, sehingga ia mela­ku­kan kegiatan belajar.
Motivasi yang timbul dari da­­lam diri warga belajar akan lebih baik dibandingkan dengan motivasi yang disebabkan oleh rang­sangan dari luar, namun da­lam prakteknya seringkali mo­tivasi dari dalam sulit dite­mui bahkan cenderung tidak ada. Keadaan demikian memer­lukan rangsangan dari luar se­hingga timbul motivasi belajar.
Rangsangan atau upaya me­numbuhkan motivasi warga be­lajar sebenarnya masih memer­lukan cara-cara yang inovatif dan kreatif. Apakah itu lewat pen­­dekatan kekeluargaan, kea­gamaan atau lewat pekerjaan. Pendekatan lewat kekeluargaan dan keagamaan mungkin tidak terlalu sulit. Yang sulit adalah pen­dekatan lewat pekerjaan. Ber­dasarkan fakta di lapangan, para pekerja termasuk petani di beberapa daerah sangat sulit mem­bagi waktu untuk belajar dan bekerja.
Kreatifitas dari tutor dalam menggiring dan menumbuhkan motivasi warga seperti ini sa­ngat menentukan. Sebab, warga belajar yang ingin diberdayakan ke­banyakan dari kalangan o­rang dewasa (usia antara 15 - 44 tahun) yang telah ba­­nyak makan ‘asam dan ga­ram’ kehidupan.
Dalam pertumbuhan seseo­rang sampai masa dewasa, dia banyak memperoleh pengala­man dalam hidupnya, dan telah banyak belajar dari pengalaman hidup tersebut. Hasil dari peng­alaman itulah yang menen­tukan sikap hidup, pendirian, jalan pikiran, nilai dan sebagainya dari orang bersangkutan.
Apabila sikap hidup, pikiran, ide, pengalaman, informasi dan sebagainya yang terdapat pada diri warga belajar dipupuk dan dikembangkan, maka akan mem­­bantu perkembangan atau ke­majuan belajarnya. Sebalik­nya, apabila hal itu ternyata meng­halangi kemajuan belajar yang bersangkutan, maka men­ja­di kewajiban tutor untuk me­nga­dakan usaha untuk merubah sikap hidup, pendirian atau jalan pikiran tersebut, sehingga dapat membantunya ke arah kema­juan yang dicita-citakan.
Perlu diketahui, bahwa sikap dan pendirian yang menjadi peng­­halang antara lain: Perta­ma, lekas merasa puas dengan hasil yang telah dicapai (tidak ingin mencapai hasil yang lebih baik). Kedua, tidak suka me­man­faatkan waktu luang deng­an kegiatan-kegiatan yang sebe­narnya memberi manfaat posi­tif. Ketiga, tidak suka menga­dakan penelitian atau perhi­tu­ngan sebelum melakukan sesu­atu pekerjaan. Keempat, kurang tekun dan disiplin dalam mela­kukan sesuatu. Kelima, menga­baikan aturan-aturan atau nor­ma-norma yang berdasar ilmu pengetahuan. Keenam, tidak percaya pada kemampuan diri sendiri dan ketujuh, tidak suka bekerjasama dengan orang lain.
Karena sikap hidup dan pen­dirian tersebut, merupakan hasil pengalaman masa lampau, ma­ka untuk mengubahnya harus diberikan pengalaman-penga­laman baru dan motivasi-mo­tivasi positif yang pada akhirnya menimbulkan pengertian, kesa­daran dan keyakinan bahwa me­­reka memiliki potensi yang ter­sembunyi. Bahwa mereka me­miliki potensi yang harus digali agar memiliki rasa per­caya pada diri sendiri, mem­buang rasa gengsi yang tinggi, me­ninggal­kan sikap mau me­nang sendiri dan menge­depan­kan kebersa­ma­an dalam menye­lesaikan se­buah persoalan.
Upaya menumbuhkan moti­vasi kepada warga belajar dan calon warga belajar harus dapat menyadarkan dan meyakinakan warga belajar bahwa mereka yang cepat merasa puas dengan hasil pekerjaannya akan jauh ke­­­tinggalan dengan mereka yang selalu ingin mencapai hasil yang lebih baik. Memberi pe­ngalaman baru dan menum­buh­kan motivasi warga belajar ha­rus dilaksanakan sebagai tinda­kan sosial edukatif dalam pro­gram keaksaraan fungsional ter­hadap warga belajar.
Dengan memperhatikan hal-hal seperti dikemukakan di atas, para pengelola program keak­saraan fungsional senantiasa harus berusaha untuk dapat me­ngenal dan memahami berbagai segi kehidupan orang dewasa. Dengan demikian, kita dapat mengenal dan memahami un­sur-unsur kehidupan orang de­wa­sa itu yang benar-benar mem­bawa keuntungan dan man­faat lahir bathin bagi setiap individu dan masyarakat secara keseluruhannya. Unsur-unsur yang mengandung kegu­naan inilah yang harus dijadikan ba­han dalam menyusun materi pembelajaran.
Menggali Potensi
Setelah upaya penyadaran dan motivasi dari warga belajar tumbuh dengan baik dan dengan memperhatikan tingkat kecer­dasan serta kemampuan belajar pada orang dewasa sebagai­ma­na dikemukakan di atas, maka da­lam program keak­sa­raan fung­­­sional kita perlu berpe­do­man pada konsep : materi pem­be­lajaran menggunakan ba­ha­sa yang mudah dimengerti, ma­teri pembelajaran dengan con­toh-contoh dari kehidupan se­hari-hari, mengajak mereka men­­cari contoh dari kehidupan mereka sendiri, mengajak me­reka memahami tentang sesuatu hal sebab akibat, mem­prak­tek­kan hal-hal yang telah diajarkan, jangan bebani mereka dengan ha­falan dan berikan mereka rangsangan untuk berfikir deng­an cara mengajukan perta­nya­an-pertanyaan yang dapat me­nggali kemampuan berfikir me­reka.
Sebenarnya, yang paling penting dalam penuntasan war­ga buta aksara adalah bagai­ma­na cara menggali potensi yang tersem­bunyi di dalam diri mere­ka. Deng­an meng­­gali potensi tersebut kita akan me­nge­tahui ke arah mana minat dan ke­mampuan mereka dalam me­ningkatkan taraf hidupnya di kemudian hari.
Lantas, kenapa pemberan­tasan buta aksara begitu penting sampai peme­rintah melun­cur­kan pro­gram nasional yang di­be­ri nama Gerakan Nasional Pem­beran­tasan Buta Aksara (GNPBA) ?
Karena pemberantasan buta aksara merupakan bagian dari Education for All dan Mille­ni­um Development Goals (MD­Gs). Maka pelaksanaannya bu­kan cuma bertujuan agar warga buta aksara menjadi melek hu­ruf latin atau bisa berhitung. Ta­­pi lebih dari itu, warga buta aksara juga harus didorong un­tuk bisa mening­katkan kualitas hidupnya.
Upaya-upaya lainnya yang bisa dilakukan untuk member­dayakan warga buta aksara sete­lah mendapat dukungan moti­vasi dan penyadaran dari berba­gai elemen sebenarnya masih sangat beragam.
Misal­nya, melalui program bekerja sambil belajar yang me­rupakan pola pembelajaran dan pember­dayaan penduduk secara terpa­du antara upaya pembi­naan pengetahuan dan ke­teram­pilan upajiwa dan mencari naf­kah (vokasional). Inilah yang dina­makan pende­katan bekerja dan belajar, yang dapat diterap­kan dalam mem­ber­daya­kan pen­du­duk usia dewasa (ba­ca: buta ak­sara) me­lalui pen­de­katan an­dra­gogi dan integratif.
Pendekatan dengan bahan ajar yang langsung bersentuhan dengan profesi warga belajar diharapkan akan lebih memu­dahkan mereka dalam me­nye­rap pelajaran yang disam­pai­kan.
Jaringan Belajar
Disamping itu, ada beberapa konsekuensi logis dalam pende­katan tutorial terpadu ini khu­susnya dalam konteks percepa­tan pemberan­tasan buta aksara sambil beker­ja. Pertama, kegia­tan pem­berdayaan penduduk dewasa (15-44 tahun) dalam upaya memberantas kemiski­nan pe­ngetahuan dan ketunaan kete­rampilan ini hendaknya ber­mula dari upaya menggenjot kesadaran dari warga belajar itu sendiri (inner consciousness) bah­wa belajar sambil bekerja pada hakikatnya merupakan su­atu kebutuhan di samping ke­wajiban.
Melalui program tutorial ter­padu ini diharapkan dapat di­ting­katkan dan diberdayakan kemauan dan potensi setiap pen­duduk atau warga belajar untuk berbuat yang terbaik termasuk belajar untuk melek huruf, me­nambah pe­nge­tahuan dan kete­rampilan.
Kedua, pola tutorial terpadu hendaknya diikuti dengan pem­bangunan jaringan belajar (lear­ning network) yang dapat me­ngon­­disikan setiap penduduk/warga belajar untuk senantiasa melek ilmu pengetahuan dan keterampilan. Ini berarti warga belajar tidak berhenti seusai mengikuti program pendidikan keaksaraan dan sekadar mem­pe­roleh surat keterangan melek aksara (Sukma).
Melalui jaringan belajar ma­syarakat ini seperti diba­ngun­nya perpustakaan desa, taman bacaan masyarakat, pusat sum­ber belajar masyarakat, dan lain-lain diharapkan masyarakat/warga belajar diajak untuk terus belajar sepanjang hayat (life long education) dalam rangka peningkatan kualitas hidupnya.
Ini perlu ditindaklanjuti ke­be­­radaannya mengingat pada beberapa kasus pelaksanaan pendidikan keaksaraan, banyak warga belajar yang tadinya su­dah mulai melek aksara/huruf, mereka kembali menjadi ma­sya­rakat yang “lupa huruf”. Ala­sannya, antara lain tidak adanya kesinambungan pro­gram pem­belajaran setelah mengikuti pen­­didikan keaksaraan karena tidak dibinanya jaringan belajar di antara kelompok masyarakat/warga belajar itu sendiri.
Pada akhirnya, dukungan dan partisipasi masyarakat sangat mutlak dibutuhkan untuk menunjang program pengen­tasan buta aksara yang tengah digalakkan oleh pemerintah. Me­libatkan seluruh komponen masyarakat bertujuan untuk menggalakkan kerja sama dan menumbuhkan rasa tang­gung­jawab moral untuk mencer­daskan kehidupan berbangsa dan bernegara, menghilangkan kebodohan dan mengurangi angka kemiskinan. Jika semua elemen masyarakat memiliki komitmen untuk ikut menum­buhkan motivasi dan menggali potensi yang tersembunyi dari warga buta aksara di negeri ini, target pemerintah ke depan un­tuk membebaskan Indonesia da­ri buta aksara bisa terealisasi. Semoga.