Penjaminan Mutu Pendidikan itu Utamanya Dilakukan di Sekolah

Oleh : James P Pardede

PENJAMINAN mutu pendidikan itu utamanya dilakukan di sekolah-sekolah dan diawali dengan komitmen melakukan tugas-tugas sesuai dengan garis-garis yang telah disepakati. Selain itu, guru dalam hal ini sebagai tenaga pendidik di sekolah harus mampu menciptakan inovasi-inovasi baru dalam konsep pembelajaran serta membuka wawasan siswa dalam menyikapi satu hal.
Demikian disampaikan Kepala Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Sumut Drs. H. Mahdi Ibrahim,MM di kantor LPMP Jalan Bunga Raya Medan didampingi Humas LPMP Drs. Yan Hendra MSi.

Secara rinci, Kepala LPMP Sumut Mahdi Ibrahim menegaskan tugas dan fungsi LPMP Sumut saat ini adalah melakukan koordinasi dengan kabu¬paten/kota, memfasilitasi tena¬ga pengajar dan sebagai data center.

“Semua pembangunan di bidang pendidikan saat ini harus berkoordinasi dengan LPMP Sumut. Pemerintah telah menganggarkan dana Rp. 1 miliar untuk mengakses data-data tentang pendidikan dari tingkat PAUD sampai Pendidikan Menengah,” tegasnya.
Beberapa kegiatan yang dilakukan LPMP untuk meningkatkan mutu pendidikan bermitra dengan Dinas Pendidikan Provinsi dan Universitas Negeri Medan (Unimed). Seperti kegiatan sertifikasi guru, LPMP dalam hal ini sebagai pelaksana dan perpanjangan tangan pusat dalam rangka pendanaan sertifikasi guru yang disalurkan ke Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LP¬TK), masing-masing Unimed, Nommensen dan UMN Medan.

Menyinggung permasalahan sertifikasi guru, kata Mahdi Ibrahim, tahun 2008 lalu kuota untuk sertifikasi guru di Sumut adalah 12.405 orang dan sudah dibagi tiap-tiap daerah. Namun sampai hari terakhir pendaftaran, berdasarkan jumlah por¬tofolio yang masuk ke Unimed tidak sama dengan kuota yang diajukan.

“Alasannya, ada beberapa ka¬bupaten/kota yang belum memi¬liki guru S-1, kemudian ada kepala dinas yang tidak memiliki performance untuk melaksanakan sosialisasi sertifikasi ini kepada guru-guru di wilayah kerjanya,” tandas Mahdi.

Langkah-langkah yang harus ditempuh untuk proses sertifikasi guru dimulai dari pembagian kuota untuk kabupaten/kota. Penetapan kuota ini didasarkan pada jumlah guru yang ada di kabupaten/kota tersebut. Setelah penetapan kuota, guru-guru yang akan disertifikasi menyiapkan portofolio (jejak rekam guru selama menjadi guru) secara tertulis. Berkas portofolio tersebut diserahkan ke LPTK untuk diseleksi.

“Umumnya, berdasarkan temuan di lapangan yang lulus portofolio ini hanya sekitar 10 persen sampai 15 persen. Sisanya yang tidak lulus akan mengikuti PLPG selama 9 hari,” jelasnya.

Pelatihan

Setelah lulus portofolio dan mengikuti PLPG, lanjutnya, guru masih harus mengikuti tahapan penting apakah layak mendapatkan tunjangan profesi. Setelah lulus, guru harus menyerahkan berkas SK terakhir, SK kenaikan gaji berkala, nomor rekening dan Nomor Unik Pendidik Tenaga Kependidikan (NUPTK). Berkas ini akan diproses di Jakarta dan penyaluran tunjangan profesinya dilakukan oleh Dinas Pendidikan Provinsi langsung ke rekening guru bersangkutan.

Untuk peningkatan mutu pendidikan di Sumut, kata Mahdi Ibrahim yang beberapa waktu lalu mengikuti pameran kebudayaan di Kanada, LPMP mendorong/mendampingi dan memfasilitasi guru-guru yang tergabung dalam Kelompok Kerja Guru (KKG), MGMP, Kepala Sekolah dan Pengawas se-Sumut untuk meningkatkan kompetensinya antara lain dengan melakukan pelatihan-pelatihan di kelompoknya.

Dari beberapa kelompok tersebut, lanjutnya sudah ada 30 ribu lebih guru di Sumut yang sudah pernah mengikuti pelatihan-pelatihan di kelompoknya masing-masing. Pelatihan ini sangat membantu para guru dalam proses sertifikasi guru.
Upaya lain yang dilakukan LPMP adalah menyalurkan bantuan beasiswa dalam hal peningkatan kualitas guru, baik guru PNS maupun non PNS pada tiap satuan pendidikan untuk mengambil program S-1.

Berdasar pada data, di Sumut sampai sekarang hanya ada sekitar 40 persen guru yang mengantongi ijazah sarjana.

Sebuah Acuan

Salah satu penyebab berkurangnya guru-guru S-1 di salah satu daerah adalah karena ada beberapa Kabupaten/Kota yang mengalami pemekaran sehingga mutasi guru-guru yang S-1 makin berkurang, dan hambatan lainnya adalah tidak adanya universitas di beberapa kabupaten/kota yang bisa memberikan kemudahan bagi para guru dalam meningkatkan kualifikasinya.

“Menyikapi hal ini, akan ada 10 ribu guru yang akan diberi bantuan untuk menyelesaikan kuliah S-1 dengan besarnya dana bantuan Rp. 2 juta per tahun. Dana bantuan ini akan disalurkan oleh PMPTK melalui LPMP Sumut,” jelasnya.
Persyaratan untuk menda¬patkan bantuan dari pemerintah tersebut, tegasnya guru harus memiliki NUPTK, Kartu Rencana Studi dan Transkrip Nilai terakhir.

Karena, berdasarkan data juga, ada sekitar 62 ribu guru di Sumut yang belum S-1. Itu sebabnya, pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota agar menganggarkan peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan ini dalam APBN dan APBD.

“Untuk jumlah guru yang telah disertifikasi di Sumut, 2008 ada 24.732 kuota dan yang diikutkan 12.405 orang, lulus PLPG 1.454 orang. Di 2009, kuotanya mencapai 10.853. Sementara jumlah guru di Sumut saat ini sudah mencapai 185 ribu orang mulai dari pendidikan TK sampai SLTA.

Perlu diketahui, bahwa guru yang telah mendapatkan sertifikasi pun, papar Mahdi Ibrahim masih tetap akan dievaluasi dan dimonitoring sampai 5 tahun ke depan. Evaluasi dan monitoring dilakukan terhadap profesionalisme, sosialisme, pedagogik dan kepribadian dari guru yang bersangkutan.

Masih dalam kaitan peningkatan mutu, kata Yan Hendra, beberapa waktu lalu LPMP telah mengundang berbagai pihak termasuk kepala-kepala daerah untuk duduk bersama sekaligus sosialisasi tentang penerapan aturan-aturan baru dalam dunia pendidikan.
Lebih lanjut Yan Hendra menyampaikan bahwa selama ini, Kepala LPMP juga sering roadshow ke daerah-daerah untuk melihat langsung keberadaan guru di beberapa kabupaten/kota di Sumut. Ibarat aki (baterai), perlu dicas ulang untuk memulihkan kekuatannya. Samahalnya dengan guru, mereka juga perlu di ‘cas’ dengan mendengarkan langsung keluhan-keluhan mereka dan apa kesulitan mereka di daerah. Keluhan-keluhan tersebut akan dikumpulkan kemudian dipelajari dan jika ditemukan jalan keluar yang optimal maka akan ditetapkan sebagai sebuah acuan demi untuk peningkatan mutu pendidikan.

Beberapa waktu lalu, kata Mahdi Ibrahim, LPMP mengumpulkan pengelola PAUD se-Sumut dalam satu acara untuk meningkatkan mutu pendidik dan tenaga kepedidikan PAUD. Kenapa harus PAUD ? Karena di pendidikan anak usia dini (PAUD) inilah usia anak paling rentan. Usia anak dibawah usia sekolah adalah merupakan usia emas yang sangat menentukan keberhasilan anak ke depan.

“Dalam waktu dekat juga, kita akan mengumpulkan pimpinan pondok-pondok pesantren se-Sumut untuk mengikuti semiloka yang bertema optimalisasi peran ponndok pesantren dalam meningkatkan mutu pendidikan,” tandasnya.
Jangan Pernah Berhenti untuk Edukasi dan Sosialisasi

Oleh : James P. Pardede

Apakah anak Bapak sudah diasuransikan ? Sebuah pertanyaan terlontar saat saya dan keluarga sedang menikmati makan siang di sebuah acara pesta pernikahan kerabat. Pertanyaan itu membuat otak saya berpikir sejenak. Apa manfaat asuransi bagi saya dan keluarga ? Beberapa kasus yang pernah saya dengar berkelebat di pikiran saya. Apakah uang saya aman dan bisa diklaim nantinya ? Apakah petugas atau pegawai asuransi menjamin uang saya aman dan bisa diambil tepat pada waktunya ?


Perbincangan dengan seseorang itu terus berlanjut dan suatu waktu ia memberikan saya buku petunjuk berasuransi dan aturan mainnya. Saya membaca buku itu berkali-kali. Rasa curiga saya tetap lebih tinggi dari pada rasa percaya. Buat apa menanamkan uang lewat asuransi, bukankah sudah ada tabungan atau deposito ?

Proses pembelajaran tentang asuransi dan keuntungannya masih terus berlanjut. Hal yang sama juga pasti pernah dirasakan oleh beberapa keluarga di negeri ini. Edukasi dan sosialisasi tentang pentingnya asuransi masih sangat penting dilaksanakan. Asuransi tidak lagi hanya sekedar proteksi diri tapi sudah mengarah ke produk investasi.

Memang, saat ini perkembangan asuransi di Indonesia makin mengarah ke pola investasi, karena sejak masa krisis orang tak berminat lagi investasi dalam jangka panjang. Banyak orang saat ini lebih menginginkan investasi jangka pendek. Kepercayaan itu mulai menurun pada saat krisis, sehingga penanaman modal yang jangka panjang kalah dengan yang jangka pendek. Dulu orang berinvestasi hingga sepuluh sampai lima belas tahun tidak apa-apa. Sekarang, mereka mau yang dekat-dekat saja, satu - dua tahun dan masksimalnya lima tahun.

Faktor lain yang menyebabkan asuransi pola tabungan/investasi lebih digemari adalah tingkat suku bunga SBI dan deposito yang terus menurun. Akibatnya orang berusaha mencari alternatif investasi yang lebih menguntungkan.

Beberapa perusahaan asu¬ransi saat ini menerapkan se¬jumlah strategi. Salah satu dari perusahaan tersebut adalah AJB Bumiputera 1912. Perusahaan asuransi ini sekarang sedang fokus dalam mengedukasi masyarakat tentang arti pentingnya asuransi dalam keberlangsungan hidup manusia.

Hal ini akan terus dilakukan AJB Bumiputera 1912 karena, tingkat kesadaran masyarakat Indonesia berasuransi masih tergolong sangat rendah jika dibandingkan dengan kondisi di negara lain. Penilaian itu terutama jika dilihat dari sudut pandang tingkat penetrasi industri untuk pasar nasional nasabah individual. Hanya sekitar lima juta orang dari 220 juta jiwa lebih penduduk Indonesia yang saat ini tercatat sebagai pemegang polis asuransi secara individual. Itu pun ada beberapa orang yang memiliki polis lebih dari satu.

Ada beberapa hal yang menjadi penyebab kondisi tersebut terjadi di Indonesi. Pertama, tingkat kesejahteraan masyarakat masih rendah. Kedua, kapasitas dunia usaha asuransi yang masih tergolong rendah sehingga upaya melakukan edukasi kepada publik masih terbatas. Padahal, edukasi itulah yang sangat penting untuk meningkatkan kesadaran, paling tidak pemahaman masyarakat akan pentingnya berasuransi.

Ketiga, sosialisasi yang menyeluruh dan merata belum terealisasi dengan baik. Pada¬hal, pasar asuransi di negeri ini masih sangat terbuka luas.

Kemudian, upaya lain yang tak kalah penting untuk mema¬jukan industri asuransi ialah serangkaian regulasi yang kuat dari pemerintah. Faktor satu ini harus diakui memang masih lemah, terutama dalam hal perlindungan bagi nasabah. Mengapa perlindungan bagi pemegang polis alias nasabah harus kuat karena merekalah pemilik dana yang dikelola penyelenggara asuransi. Mereka pula yang akan mengambil manfaat di kemudian hari.

Regulasi memang harus bermata dua. Di sisi lain, regulasi juga harus bisa mendorong tumbuh suburnya industri asuransi, memiliki daya ungkit untuk berkembangnya asuransi menjadi lembaga keuangan yang tangguh, sebagai pilar ketahanan sistem finansial nasional. Dengan demikian, daya saing asuransi dapat meningkat untuk ikut bermain di pasar global, setidaknya men¬jadi tuan di rumah sendiri.

Sudah ada langkah-langkah yang diambil pemerintah untuk memperkuat industri asuransi, sebagai bagian memperkuat sistem keuangan nasional. Namun, dinamika industri global menuntut lebih banyak lagi.

Asuransi bisa dikatakan sebagai salah satu pilar ekonomi suatu bangsa, selain perbankan dan pasar modal. Asuransi, dengan segala dinamikanya, kini juga sudah mengambil peran yang cukup besar sebagai penyedia lapangan kerja, sumber penghasilan bagi masyarakat.

Jika melihat fenomena yang ada saat ini, mulai dari mahasiswa sampai ibu-ibu rumah tangga sudah banyak yang bekerja sebagai agen penjual atau pemasar asuransi. Asuransi su¬dah mulai dilirik kaum terdidik sebagai salah satu profesi yang tidak kalah gengsinya dengan profesi lain .

Perkembangan industri asuransi belakangan ini boleh dikata sudah semakin pesat. Penetrasi pasar perbankan yang semakin meluas, hingga menjangkau masyarakat pelosok desa. Kantor-kantor cabang perbankan sudah masuk sampai wilayah kecamatan.

Sedangkan asuransi, baru mulai semarak di ibu kota provinsi. Kalaupun ada yang telah menembus pasar di tingkat ibu kota kabupaten, itu pun masih bisa dihitung jari. Artinya, infrastruktur perasuransian memang jauh tertinggal, kalah dibandingkan perbankan. Padahal, dengan bekerja sama perbankan, asuransi pun bisa cepat meluaskan jangkauannya di tengah-tengah masyarakat, sampai pelosok desa sekalipun.

Asuransi kini bukan lagi sebagai alat perlindungan diri atau perlindungan harta benda semata. Jangan lupa, asuransi telah berkembang sedemikian jauh, menjadi suatu instrumen investasi yang diharapkan dapat menjamin tersedianya dana untuk kebutuhan masa depan bagi diri peserta dan keluarganya, manakala seseorang sudah tidak produktif lagi menghasilkan uang.

Memang, tak jarang kita jumpai kalau saat ini banyak keluarga Indonesia yang masih kesulitan dalam membagi penghasilannya. Jangankan untuk berasuransi, menyisihkan sedikit saja untuk ditabung sudah kesulitan. Belum lagi kebutuhan mendadak harus menyekolahkan anak-anak dan kebutuhan anak-anak sekolah.

Situasi seperti ini sah-sah saja terjadi. Inflasi, nilai tukar, kondisi moneter yang liar tidak terkendali, yang merupakan wilayah tanggung jawab profesional dan moral pemerintah untuk menjaganya, merupakan momok yang senantiasa menelan nilai aset masyarakat.

Pelaku dan regulator industri perasuransian bertanggung jawab meluruskan persepsi masyarakat yang keliru. Bu¬kankah justru karena minimnya penghasilan sehingga menuntut seseorang harus disiplin menabung agar tidak gelagapan jika menghadapi kebutuhan mendadak, semisal untuk berobat kalau sakit. Menabung secara konvensional itu sendiri sebenarnya bentuk lain dari “perlindungan” yang dilakukan secara sadar atau tidak oleh masyarakat. Berasuransi hanyalah me¬mindahkan pengelolaan risiko kepada pihak lain, yakni perusa¬haan asuransi.

Demikian pula dalam hal perlindungan harta benda, kesadaran masyarakat untuk melindungi harta bendanya dengan asuransi masih dianggap sebagai tindakan buang-buang uang. Membayar premi setiap tahun secara teratur, sedangkan manfaat yang diperoleh sering dirasakan tidak sebanding.

Citra kurang sedap yang melekat pada asuransi masih terasa kental. Saat calon nasabah dibujuk “membeli” polis asuransi untuk menyediakan payung risiko, yang bisa setiap saat datang menimpa atau memusnahkan diri dan aset kita, janji manfaat sepertinya setinggi langit.

Namun, manakala giliran nasabah mengajukan klaim, repotnya minta ampun. Prose¬durnya berbelit, bahkan ada yang tidak jelas karena tidak transparannya proses pemasaran asuransi sejak awal. Begitulah citra asuransi yang masih melekat pada benak sebagian warga masyarakat sehingga popularitas asuransi masih memprihatinkan.

Tak perlu jauh-jauh untuk melihat bukti. Lihat saja misalnya di berbagai media, bertaburan kekecewaan masyarakat pemegang polis diungkapkan. Komplain nasabah terhadap asuransilah yang lebih menonjol. Padahal, mereka yang merasakan manfaat berasuransi juga tak kalah banyaknya. Kalau tidak, tentu sudah lama asuransi lenyap dalam percaturan bisnis. Inilah pekerjaan rumah seluruh komponen industri asuransi. Mulai dari regulator, pelaku, dan lembaga-lembaga penunjangnya, sampai agen independen.

Agen yang berada di garda paling depan industri asuransi juga tak kalah penting dan mendesak pembenahannya. Mulai dari sistem perekrutan, pendidikan dan latihan, serta kepiawaian menyampaikan informasi asuransi, dan menjelaskan produk-produknya kepada masyarakat secara jelas, jujur dan transparan.

Hanya dengan begitu, reputasi industri asuransi dapat diba¬ngun sehingga citra asuransi pun dapat terangkat. Sayangnya, banyak pelaku industri asuransi yang justru mendahulukan penanaman citra, tetapi lupa membangun fondasi industri asuransi, yakni reputasi.

Membangun kesadaran masyarakat berasuransi untuk menyiapkan masa depannya yang lebih baik, menyediakan perlindungan diri dan aset-asetnya di tengah ketidakmampuan pemerintah menyediakan jaminan sosial memadai, memang menuntut kebersamaan seluruh komponen industri asuransi dan regulator.

Upaya untuk membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya asuransi adalah dengan edukasi dan sosialisasi yang tak pernah mengenal kata berhenti.