Gizi Buruk dan Kemiskinan

http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=75922:gizi-buruk-dan-kemiskinan&catid=830:16-november-2010&Itemid=222

Gizi Buruk dan Kemiskinan


Oleh : James P. Pardede

Pemerintah merilis bahwa angka kemiskinan di negeri ini mengalami penurunan. Data BPS menyampaikan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 memang telah berkurang 1,51 juta orang menjadi 31,02 juta orang (13,33 persen) dibandingkan dengan Maret 2009 sebanyak 32,53 juta orang. Namun, angka kemiskinan itu terbilang tinggi.

Penduduk miskin dalam pendataan ini adalah mereka yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Angka garis kemiskinan pada Maret 2010 adalah Rp 211.726,- per kapita per bulan. Ketersediaan data kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran, sangat penting digunakan untuk mengevaluasi kebijakan strategis pemerintah terhadap kemiskinan. Ini juga penting untuk membandingkan kemiskinan antar waktu dan daerah, serta menentukan target penduduk miskin dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi mereka.

Jika membandingkan antar daerah, BPS mencatat sejumlah wilayah masih menghadapi persoalan kemiskinan yang tinggi. Bahkan, angka kemiskinan yang tertinggi itu justru terjadi di wilayah dengan kekayaan sumber daya alam melimpah, seperti Papua dan Papua Barat. Prosentase angka kemiskinannya mencapai 34-36 persen, jauh lebih besar dibandingkan rata-rata nasional sebesar 13,33 persen.

Selain Papua, propinsi lain yang memiliki prosentase penduduk miskin tinggi adalah Maluku, Nusa Tenggara, Aceh, Bangka Belitung dan lainnya. Jumlah penduduk di propinsi-propinsi tersebut yang memang tidak sebanyak di Jawa, tetapi secara prosentase dibandingkan total penduduk di wilayah tersebut, kelompok orang miskinnya sangat tinggi.

Pengamat Ekonomi Umar Juoro memperkirakan angka kemiskinan mengalami penurunan pada 2010 menjadi 13,5 persen jika dibandingkan dengan jumlah penduduk. Kemiskinan akan turun karena inflasi yang rendah dan juga ekonomi yang lebih baik menyusul pemulihan ekonomi dunia.

Pada 2009, tingkat kemiskinan tercatat mencapai 14,15 persen atau sebanyak 32,53 juta jiwa atau turun dibandingkan 2008 yang mencapai 15,42 persen. Pada 2010, pemerintah menargetkan angka kemiskinan turun lagi menjadi 13 persen.

Menurutnya lagi, angka kemiskinan yang turun ke tingkat 13,5 persen memang lebih tinggi sedikit dibandingkan target pemerintah sebesar 13 persen pada 2010. Namun demikian jika program pemerintah mengatasi kemiskinan bisa berlangsung lebih efektif lagi, target angka kemiskinan bisa tercapai. Untuk mencapainya pemerintah harus lebih banyak lagi menciptakan lapangan kerja di sektor formal dan bukan informal. Karena, di 2009, tingkat inflasi mencapai 2,78 persen atau merupakan rekor terendah dalam 10 tahun terakhir sejak 1999 sebesar 2,1 persen.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Armida Alisyahbana mengatakan bahwa pengentasan kemiskinan memang menjadi program prioritas pemerintah. Jumlah orang miskin yang mendekati miskin per Maret 2010 mencapai 60 juta orang. Hal ini menunjukkan penanggulangan kemiskinan bukan hanya masalah pemerintah namun membutuhkan bantuan dari masyarakat.

Tahun ini saja, anggaran untuk pengentasan kemiskinan mencapai Rp70 triliun-Rp80 triliun, namun angka tersebut sudah termasuk subsidi kepada masyarakat. Anggaran tersebut berhasil menurunkan jumlah kemiskinan dari 14,15 persen pada 2009 menjadi 13,3 pada 2010. Dia juga mengatakan bahwa pemerintah mempunyai program penanggulangan kemiskinan yang dibuat pemerintah adalah terdapat dua program yang terkait dengan program prorakyat, yaitu program penanggulangan kemiskinan yang berbasis keluarga, dan program penanggulangan kemiskinan berbasis masyarakat.

Kurang Gizi

Berbicara tentang kemiskinan, pasti akan bersinggungan langsung dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat seperti masalah kurang gizi dan sulitnya masyarakat miskin mendapatkan akses layanan kesehatan. Permasalahan ini patut mendapat perhatian karena salah satu indikator produktivitas manusia adalah berbadan sehat dan cukup dalam asupan gizi yang seimbang. Bagaimana mungkin negeri ini mencetak SDM berkualitas kalau asupan gizi dan makanan yang masuk ke dalam tubuhnya tidak mendukung.

Tulisan ini tidak mengupas masalah kemiskinan secara detail, tapi akan mengangkat salah satu indikator kemiskinan, yaitu masalah gizi buruk. Gizi buruk adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan, dan kedokteran. Istilah gizi buruk kerap juga disebut busung lapar, meskipun anak yang gizi buruk belum tentu kelaparan. Yang tepat sebenarnya kelaparan tidak kentara (hidden hunger) karena mereka hanya kenyang karbohidrat, tetap "lapar" banyak zat gizi lainnya.

Gizi buruk adalah bentuk terparah (akut) dari proses terjadinya kekurangan gizi. Anak balita sehat atau kurang gizi dapat diketahui dari pertambahan berat badannya tiap bulan sampai usia minimal dua tahun. Apabila pertambahan berat badan sesuai dengan pertambahan umur, menurut standar Organisasi Kesehatan Dunia, dia bergizi baik. Kalau sedikit di bawah standar disebut bergizi kurang yang bersifat kronis. Apabila jauh di bawah standar dikatakan bergizi buruk. Jadi, istilah gizi buruk adalah salah satu bentuk kekurangan gizi tingkat berat atau akut.

Anak yang bergizi kurang, berarti kekurangan gizi pada tingkat ringan atau sedang, belum menunjukkan gejala sakit. Dia seperti anak-anak lain, masih bermain dan sebagainya, tetapi jika diamati dengan saksama badannya mulai kurus. Gizi buruk bukanlah suatu peristiwa yang terjadi seketika. Pada banyak kasus, anak melalui beberapa tahap gangguan pertumbuhan sebelum sampai pada kondisi gizi buruk. Umumnya, anak gizi buruk sudah bermasalah sejak dalam kandungan ibunya. Mereka lahir sebagai anak yang kesekian dari seorang ibu yang mengalami kekurangan gizi atau mengalami KEK (kurang energi kronis, bahasa program yang digunakan saat ini).

Oleh karena cadangan makanan pada ibu hamil sudah sangat terbatas (tidak seperti pada anak pertama atau kedua), maka bayi yang lahir dari ibu yang mengalami KEK mengalami hambatan pertumbuhan sejak dalam kandungan. Hal ini seterusnya berdampak pada berat badan lahir yang rendah (BBLR) atau kurang dari seharusnya.

Bayi yang lahir dengan BBLR, akan memiliki risiko untuk mengalami hambatan pertumbuhan pada tahun-tahun pertama kehidupannya. Lebih daripada itu, akibat status gizi yang rendah, bayi ini juga akan mudah mengalami penyakit infeksi dibanding bayi seumurnya yang lahir dengan berat badan normal. Apabila bayi mengalami penyakit infeksi seperti diare, maka kemungkinan penurunan berat badan dapat dengan mudah terjadi. Dapat diduga kemudian, bayi ini akan mempunyai berat badan yang sangat rendah atau mengalami gangguan pertumbuhan yang berat.

Selanjutnya sudah dapat diduga, anak yang tidak mendapat gizi yang memadai akan mempunyai daya tahan tubuh yang rendah sehingga mudah mengalami penyakit infeksi. Pada kondisi tertentu bayi akan dengan mudah meninggal dengan penyakit yang dideritanya. Bila bayi terus bertahan (tetap hidup), maka kemungkinan mengalami gizi buruk sangat besar.

Dengan demikian, penyebab gizi buruk bukanlah hanya sebatas keterbatasan ibu memberikan makanan kepada anaknya. Keterkaitan satu faktor dengan yang lainnya dalam suatu rangkaian panjang, dimulai sejak terjadinya penanaman benih dalam kandungan seorang ibu, mengisyaratkan kepada kita bahwa kejadian gizi buruk tidak dapat diselesaikan dengan cara yang sederhana.

Kasus gizi buruk lebih cepat menarik perhatian media masa karena dapat dipotret dan kelihatan nyata sakit, kurus, bengkak (busung), dan lemah. Mereka mudah dikenal dan dihitung karena dibawa ke rumah sakit. Keluarga dan masyarakat tidak dapat berbuat banyak bagi anak yang gizi buruk.

Berbeda dengan anak yang gizi kurang, meskipun jumlahnya lebih banyak, mereka kurang mendapat perhatian karena tidak mudah diketahui umum. Padahal, kelompok anak ini adalah kandidat gizi buruk apabila tidak dilakukan upaya pencegahan. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh orangtua dan masyarakat untuk menjaga agar anak yang sehat dan bergizi kurang terhindar dari gizi buruk.

Dapat Dicegah

Maraknya kasus gizi buruk di desa-desa, salah satu penyebabnya adalah tidak berfungsinya posyandu dengan baik dan benar. Terjadinya busung lapar atau gizi buruk adalah suatu proses, tidak tiba-tiba. Karena itu, apabila pemerintah dan masyarakat mau mengerti dan mau bertindak, terjadinya busung lapar dan gizi buruk dapat dicegah, yakni dengan mengetahui sebab langsung dan tidak langsung gizi buruk. Kemudian memantau (surveillance), dan lakukan tindakan pencegahan.

Penyebab langsung gizi buruk adalah, Pertama, bayi dan anak balita tidak mendapat makanan yang bergizi seimbang, dalam hal ini air susu ibu, dan kalau sudah lebih dari enam bulan anak tidak mendapat makanan pendamping selain ASI.

Makanan pendamping yang baik tidak hanya cukup mengandung energi dan protein, tetapi juga mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B, vitamin, dan mineral lainnya. Hanya keluarga mampu dan berpendidikan yang mampu menyediakan makanan pendamping yang baik ini, baik memasak sendiri atau membeli.

Karena itu, umumnya anak-anak mereka tumbuh kembang dengan baik, sedangkan anak balita dari keluarga tidak mampu harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi anak balita.

Kedua, pola pengasuhan anak. Suatu studi positive deviance mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan anak balita di suatu desa miskin hanya sebagian kecil yang gizi buruk, padahal orangtua mereka semuanya petani miskin. Dari studi ini diketahui pola pengasuhan anak berpengaruh terhadap timbulnya gizi buruk.

Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan dan mengerti soal pentingnya ASI, posyandu, kebersihan, meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat. Unsur pendidikan wanita berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak. Sebaliknya sebagian anak yang gizi buruk ternyata diasuh oleh nenek atau tetangga bukan kerabat yang juga miskin dan tidak berpendidikan. Banyaknya wanita yang meninggalkan desa mencari kerja di kota, bahkan menjadi TKI, kemungkinan juga dapat menjadi penyebab gizi buruk.

Ketiga, pelayanan kesehatan, terutama imunisasi, penanganan diare dengan oralit, tindakan cepat pada anak balita yang tidak naik berat badan, pendidikan dan penyuluhan kesehatan dan gizi, dukungan pelayanan di posyandu, penyediaan air bersih, kebersihan lingkungan, dan sebagainya. Pelayanan kesehatan yang lemah dan tidak memuaskan masyarakat terkait dengan kedua penyebab di atas.

Dikhawatirkan, mewabahnya berbagai penyakit menular akhir-akhir ini, seperti demam berdarah, diare, polio, dan malaria, secara hampir bersamaan waktu di mana-mana menggambarkan melemahnya pelayanan kesehatan di daerah-daerah. Munculnya kasus gizi buruk logikanya juga terkait dengan hal tersebut.

Kemiskinan sangat erat kaitannya dengan masalah gizi buruk. Data dari Indonesia dan di negara lain menunjukkan adanya hubungan antara kurang gizi dan kemiskinan. Proporsi anak yang gizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik dengan pendapatan.

Data empiris dari dunia menunjukkan bahwa program perbaikan gizi dapat dilakukan tanpa harus menunggu rakyat menjadi makmur, tetapi menjadi bagian yang eksplisit dari program pembangunan untuk memakmurkan rakyat. Perlu juga diketahui, bahwa selama masyarakat belum demokratis dan transparan, selama masih ada KKN, masalah kekurangan gizi tidak akan dapat diatasi sampai tuntas.

Ada kesan masalah kurang gizi di negeri tercinta ini masih "tersembunyikan" di balik hiruk-pikuknya kasus korupsi, bencana alam yang melanda beberapa daerah, pesta demokrasi, transformasi, otonomi, serta agenda studi banding para eksekutif dan legislatif.

Padahal, di balik hiruk-pikuk itu, sejak krisis berbagai program dan proyek telah digelar pemerintah dengan anggaran ratusan miliar rupiah bahkan mungkin triliun dengan berbagai nama menarik, di antaranya Program Jaring Pengaman Sosial (JPS), Dana Kompensasi BBM, Bantuan Pangan Raskin (untuk keluarga miskin), dan Makanan Tambahan Balita Kurang Gizi (MPASI), program Jamkesmas, PNPM, Program Keluarga Harapan (PKH), Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) serta program pengentasan kemiskinan lainnya.

Program tersebut bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat miskin. Karena label miskin inilah barangkali program-program itu relatif mudah mendapat persetujuan anggaran oleh pemerintah dan DPR atau DPRD meskipun belum ada bukti efektif tidaknya program dan proyek tersebut.

Kita berharap, dengan adanya program-program bantuan yang disalurkan oleh pemerintah kepada masyarakat miskin bukan hanya sebatas program yang pada gilirannya banyak dinikmati oleh orang-orang yang (kalau didata ulang) tidak masuk dalam kategori miskin.

Lantas, benarkah orang miskin datang mengambil beras miskin dengan naik sepeda motor ? Kategori penduduk miskin seperti apa sebenarnya yang dapat bantuan beras miskin tersebut ? Masyarakat luas masih banyak yang belum mengetahui hal ini. Ada orang yang benar-benar miskin dan seharusnya mendapatkan bantuan yang layak tapi malah terpinggirkan.***

Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan pendidikan tinggal di Medan.

Pencegahan HIV/AIDS

CEGAH PENULARAN HIV/AIDS SEJAK DINI

Oleh : James P. Pardede

Berita terbaru yang dirilis dari Antara menyebutkan, bahwa sebanyak 69 orang penderita HIV/AIDS di Subang meninggal dunia. Dari sebanyak 352 kasus penderita HIV/AIDS di Kabupaten Subang, tercatat ada sebanyak 69 orang penderita HIV/AIDS telah meninggal dunia.

Hal tersebut disampaikan Koordinator Penanggulangan HIV/AIDS, Dinas Kesehatan Kabupaten Subang, Jawa Barat (Jabar), Suwata. Para penderita HIV/AIDS yang meninggal dunia didominasi dengan temuan kasus di kawasan Pantai Utara (Pantura) Subang. Hingga saat ini Dinkes Subang telah menyatakan kawasan pantura Subang sebagai kawasan merah atau kawasan dengan resiko tinggi penyebaran HIV/AIDS dikarenakan di kawasan pantura Subang masih terdapat lokalisasi tersembunyi sehingga proses penyebaran HIV/AIDS di wilyah itu sulit dideteksi.

Berdasar pada temuan Dinkes Subang, penderita HIV/AIDS tahun ini didominasi oleh golongan Pekerja Seks Komersial (PSK) serta pengguna PSK. Adapun untuk titik sebaran terkonsentrasi penularan HIV/AIDS di Subang, terdiri dari 13 titik sebaran. Dominansi dari temuan kasus antara di Kecamatan Patokbeusi, Blanakan, Ciasem, Pamanukan serta Cipunagara Subang.

Dari temuan kasus HIV/AIDS, tiga orang balita dinyatakan positif terjangkit AIDS yang kemungkinan besar penularannya secara golongan peri-natal atau melalui ibunya yang positif terjangkit AIDS.

Jika melihat kebelakang, sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS di Indonesia masih amat jarang, sebagian besar berasal dari kelompok homoseksual. Sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam terutama akibat penularan melalui narkotika suntik. Hingga dengan Maret 2005 tercatat 6.789 kasus HIV/AIDS. Jumlah itu diperkirakan belum menunjukkan angka sebenarnya. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah antara 90.000 sampai 130.000 orang. Estimasi terbaru jumlah yang terinfeksi HIV lebih dari 500.000 orang.

Berakibat Kematian

Data yang ada menunjukkan kesimpulan bahwa epidemi HIV/AIDS di Indonesia sudah berada dalam tahap lanjut. Waspada terhadap penularan penyakit berbahaya ini harus segera disebarluaskan. Serukan 'lampu kuning' untuk HIV/AIDS. Berdasarkan penelitian, penularan terjadi melalui berbagai cara, baik melalui hubungan homoseksual, heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah, hingga dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya.

Infeksi HIV/AIDS juga telah mengenai semua golongan masyarakat, baik kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika pada awalnya, sebagian besar orang dalam HIV/AIDS (ODHA) berasal dari kelompok homoseksual maka kini telah terjadi pergeseran dimana persentase penularan secara heteroseksual dan pengguna narkotika semakin meningkat. Beberapa bayi yang terbukti tertular HIV dari ibunya menunjukkan tahap yang lebih lanjut dari tahap penularan heteroseksual.

Informasi yang dilansir dari Harian Analisa, di kota Medan ditemukan 952 HIV (Human Immunodeviciency Virus) positif baru selama ini sebagai sumber penyakit penularan yang bisa berakibat kematian. Penemuan ini berdasarkan jumlah kunjungan ke klinik VCT (Voluntary Counselling and Testing/konseling dan testing HIV sukarela) sebanyak 12 ribu orang sejak 2006 hingga akhir 2007 dan mereka telah mendapat informasi tentang HIV dan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom).

Bahkan mereka juga sudah dapat mencegahnya agar tidak menularkan kepada orang lain. Selain itu juga mereka telah mendapat perawatan dan pengobatan untuk lebih meningkatkan kualitas hidupnya. Kasus HIV/AIDS di Sumatera Utara dalam hal ini Dinas Kesehatan Sumut tidak henti-hentinya melakukan upaya penanggulangan HIV/AIDS di Sumut maupun upaya pencegahan dan penanggulangan virus HIV/AIDS dilakukan di bawah koordinasi Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) dan di bawah pengawasan Gubsu dengan melibatkan semua instansi maupun badan yang terkait serta LSM dan di beberapa Kabupaten Kota yang sudah terbentuk Komisi Penanggulangan AIDS.

Dinas Kesehatan dalam hal ini sebagai salah satu anggota dan leading sector harus melakukan beberapa upaya untuk pencegahan dan pelayanan HIV/AIDS. Diantaranya harus ada advokasi ke pemerintah daerah khususnya untuk pendanaan program HIV/AIDS di Kabupaten Kota masing-masing. Bagaimana bisa dilakukan bila tidak ada dananya.

Begitu juga harus ada pembentukan klinik VCT dan CST (Care Support and Treatment) secara bertahap, minimal 1 buah per Kabupaten Kota dengan sasaran kelompok-kelompok risiko tertular virus HIV sebanyak mungkin sehingga diharapkan upaya pencegahan penularan dari kasus tersebut dapat sedini mungkin dilakukan pencegahannya.

Tidak kita pungkiri, bahwa seks bebas dan penyalahgunaan narkoba sangat erat kaitannya dengan penularan HIV/AIDS. Lihat saja, lokalisasi di beberapa kawasan di Sumut, berapa banyak akses penjualan narkoba dan seks bebas terjadi disana. Razia-razia yang dilakukan aparat kepolisian tidaklah cukup mengehentikan penyebaran visrus penyakit ini. Kampanye kondomisasi yang dielu-elukan dapat mengatasi pencegahan HIV/AIDS yang ditunjang dengan pendirian ATM kondom ternyata tetap tidak membawa hasil yang signifikan.

Kondom bukanlah penyelesaian tuntas, kondom tidak efektif sebagai pencegah penularan virus HIV. Karena pori-pori kondom besarnya 600 kali lebih besar dibanding besar virus HIV. Selain itu, kondom sensitif terhadap perubahan suhu. Sehingga, penggunaan kondom semakin meningkatkan laju infeksi HIV dan menyuburkan seks bebas. Penerapan ide liberalisme di negeri ini, semakin menambah daftar panjang perusakan generasi bangsa.

Bertindak dengan Tegas

Akibat diadopsinya budaya barat seperti seks bebas menimbulkan berbagai permasalahan mulai kehamilan di luar nikah, aborsi, stress, bunuh diri dan kehancuran keluarga. Untuk itu, hendaknya kita lebih waspada terhadap budaya yang bersifat merusak generasi bangsa. Pencegahan penularan HIV/AIDS tidak bisa tidak harus diselesaikan dengan penyelesaian yang menyeluruh dan komprehensif bukan parsial. Ideologi sekular/kapitalis yang banyak diemban oleh beberapa negara ternyata tidak berhasil membawa bangsa ini bermatabat. Kebebasan berperilaku yang diagung-agugkan semakin membuat negeri ini terpuruk dan bakal dipastikan kehilangan generasi bangsa yang berkualitas.

Kita semua yakin dan percaya bahwa di setiap ajaran agama selalu ditekankan untuk hidup sehat, berpikir sehat dan menghindari tempat-tempat maksiat. Untuk kasus pencegahan penularan HIV/AIDS ini, ada tiga solusi yang dapat diberikan yaitu:

Pertama, Pemutusan Rantai Transmisi HIV: Stop Seks Bebas. Aktivitas seks bebas tetap akan terjadi di negeri ini, selama negara juga tetap memfasilitasi terjadinya aktivitas seks bebas. Ada kontradiksi dalam hal ini, di satu sisi negara ingin penularan HIV/AIDS tidak terus meningkat tetapi di sisi lain negara malah memberikan izin beroperasinya tempat-tempat yang jelas-jelas menumbuh suburkan aktivitas seks bebas. Hendaknya Pemerintah bertindak dengan tegas, bukannya plin-plan karena ini menyangkut generasi bangsa di masa yan akan datang.

Kedua, Pemutusan Rantai Transmisi HIV: Stop Penyalahgunaan Narkoba. Dimana narkoba dan segala jenisnya sangat berbahaya, karena selain dapat menghilangkan akal manusia juga dapat menularkan HIV/AIDS melaui jarum suntik yang tidak streril. Untuk memberantasnya harus dilakukan peningkatan ketakwaan individu dan menghabisi mafia narkoba hingga ke akar-akarnya. Penyalahgunaan narkoba diberikan sanksi 40 kali cambuk dan bagi pengedar dapat dikenai hukuman mati.

Ketiga, Pemutusan Rantai Transmisi Melalui ODHA. Untuk menghambat penularan HIV/AIDS melalui “efek spiral”, maka yang harus dilakukan Pemerintah bagi ODHA yang terbukti terinfeksi karena zina dan sudah menikah akan dirajam. Sedangkan ODHA yang terinfeksi karena aktifitas homoseks haruslah dibunuh untuk menekan jumlah yang tertular akibat “efek spiral”. Langkah ini harus ditempuh oleh negara dengan menindak secara tegas bagi para pelaku. Adanya sanksi yang berat dapat semakin menurunkan jumlah penularan HIV/AIDS. Bagi ODHA yang tidak terkena sanksi yang mematikan dan terinfeksi karena “efek spiral” yaitu dengan membuat karantina bagi ODHA.

Karantina ini bukanlah diskriminasi bagi ODHA karena dalam masa karantina semua kebutuhan fisik dan nalurinya wajib dipenuhi oleh negara serta akan dimotivasi untuk sembuh. Selain terapi fisik, ODHA akan diberikan terapi psikoreligi yaitu dengan memotivasi kesembuhan dan meningkatkan ketakwaan. Selama masa karantina ODHA dapat melakukan aktivitas normal sepanjang tidak membahayakan individu sehat lainnya. Transfusi darah juga harus dipastikan darah donor bersih dari infeksi virus HIV dan yang tidak kalah pentingnya negara wajib menyediakan perawatan khusus bagi ODHA dengan resiko penularan terhadap tenaga kesehatan secara maksimal.

* Penulis adalah pemerhati masalah sosial

Tulisan ini telah dimuat di Harian Analisa Medan

Ulos Batak

http://www.medantalk.com/ulos-masih-terhormat-bagi-suku-batak/

Ulos, Masih Memiliki Tempat Terhormat bagi Suku Batak

Oleh : James P. Pardede

ULOS dalam pesta dan upacara adat suku Batak sangat¬lah penting. Tidak hanya dalam pesta pernikahan, sama halnya dalam upacara adat mangongkal holi, dimana dalam setiap kesempatan seluruh pomparan keturu¬nan dalam pesta adat selalu menyandangkan ulos di bahu mereka.

Ulos tak hanya sebagai benda berharga dimata adat suku Batak, ulos juga mempunyai makna dan nilai luhur yang sangat tinggi.

Menurut penelitian para ahli Antropologi, nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Hindia Belanda. Berdasarkan waktu perpindahan nenek moyang kita dari Hindia Belanda, suku bangsa Indonesia terbagi atas Melayu Tua yang mendiami daerah pedalaman dan Melayu Muda mendiami pesisir pantai. Suku Batak adalah termasuk Melayu Tua.

Sejak zaman dulu, nenek moyang kita sudah memiliki suatu budaya tenun. Keunikan desain yang diciptakan nenek moyang kita pada masa itu adalah kemampuan suatu karya yang mencerminkan unsur-unsur yang erat hubungannya dengan unsur kepercayaan, pemujaan kepada leluhur dan memuja keagungan alam. Semua itu tersimpul pada liku-liku benang, warna benang dan tarikan garis jalur benang yang menghiasi sebuah kain atau ulos hasil tenunan.

Teknik pembuatan kain atau ulos, nenek moyang suku Batak telah membuat benang dari kapas dengan jalan “Manorha” dan menenunnya menjadi kain dengan jalan “Martonun”. Warna yang pada awalnya lebih dominan digunakan adalah tiga warna. Yaitu warna Putih berarti suci, warna Merah berarti Berani dan warna Hitam berarti kuat, teguh dan kokoh. Proses pewarnaan saat ini sudah dilakukan dengan cara sintetik dan cara alami menggunakan sari daun-daunan (Indigovera).

Belakangan, selain merupakan warisan budaya yang perlu dilestarikan, ulos Batak juga sudah banyak mengalami perubahan karena adanya inovasi dalam peningkatan proses produksi yang menyangkut proses pewarnaan maupun desain yang digunakan.

Namun demikian, makna sakral yang tersirat di dalam Ulos Batak tetap dipertahankan terutama dalam upacara adat Batak. Ulos Batak pun ternyata memiliki nilai artistik yang khas dan telah memasuki pasaran hingga memi¬liki nilai ekonomi yang semakin tinggi. Ulos Batak saat ini peruntukannya bukan hanya berfungsi dalam kegiatan budaya masyarakat Batak, tetapi juga dinikmati dan dihargai oleh bangsa lain yang sekaligus mencerminkan tingkat martabat bangsa.

Dalam seni budaya Batak, ulos mempunyai beberapa fung¬si. Selain berfungsi sebagai bahan pakaian sehari-hari, baik bagi pria maupun wanita, ulos juga dipakai dalam upacara adat Batak.

Pemberian ulos menjadi satu ungkapan atau pernyataan sebagai lambang Ulos Ni Daging dan Ulos Ni Tondi. Ulos Ni Daging adalah merupakan pernyataan bahwa ulos itu dapat melindungi tubuh secara alami. Ulos Ni Tondi berarti perlambang bahwa apa yang diinginkan oleh tondi (roh/jiwa) dari seseorang (seperti hagabeon, hahorason dan hasangapon) akan tercapai.

Dalam kekerabatan dan kekeluargaan suku Batak dikenal “Dalihan Natolu” yang berarti somba marhula-hula, elek marboru dan manat mardongan tubu. Ditengah lingkup kekerabatan inilah ulos Batak berperan untuk meningkatkan rasa saling mengasihi dan saling menghargai.

Menurut kepercayaan suku Batak, hula-hula yang berhak memberi berkat (pasu-pasu) kepada pihak borunya dimana dipercayai bahwa pasu-pasu dari pihak hula-hula ke pihak boru akan memperoleh hahorason, hagabeon dan hamoraon.

Kadang-kadang, pemberian ulos sudah tidak lagi harus dalam upacara adat, sudah banyak yang menjadikan ulos sebagai kado dan cenderamata kepada orang-orang tertentu yang pantas diberi ulos. Dalam situasi seperti ini, nilai dan makna ulos sebagai pelindung dan pemberi berkat sudah bergeser. Ulos akhirnya hanya bermakna sebagai pemberian biasa yang nilainya tak kurang dan tak lebih sebesar harga ulos itu sendiri.

Ulos sebagaimana dikenal secara phisik merupakan sehelai kain yang ditenun dari benang oleh penenun secara tradisional. selain hanya selembar kain, sesungguhnya ulos berarti juga alat untuk menghangatkan badan (selimut) yang bisa menghalangi tubuh dari terpaan angin yang dingin juga beragam penyakit yang datang menyerang.
Sesungguhnya ulos juga meru¬pakan cerminan dari seni yang ada dalam kehidupan dan jiwa orang Batak, apakah itu dalam tata cara perbuatannya, tata cara pemberian, fungsi dan makna yang terkandung dalam ulos sesuai dengan jenis ulos dan saat pemberian atau pemakaiannya.

Sesungguhnya, ulos tak hanya memiliki makna sesuai dengan peruntukannya. Ulos juga me¬miliki makna yang lebih dalam ssuai dengan tulisan dan corak¬nya. Membaca ulos seperti yang dilakukan para orang tua dimulai dari sisi warna, bentuk, panjang dan lebar, garis-gari dalam ulos, benang dan motif.

Menurut para ahli ulos, membaca ulos dimulai dari garis putih dari ujung ke ujung dan jumlah garis tersebut harus ganjil sehingga ulos tersebut baik dipakai, kemudian dibaca juga ukuran panjang - lebar ulos, keseimbangan penggunaan benang. Umumnya ukuran-ukuran yang dipakai harus dihitung ganjil, sebab bila genap disebut kepu¬nyaan ‘hatoban” (atau budak).

Pemakaian ulos pada umum¬nya dilihat dari tempat dimana diletakkan. Misalnya di pundak kanan, dililitkan di kepala, dililitkan di badan (hohop). Pemakaian tergantung pada kegiatan adat yang dilakukan dan status sosial pemakai.
Apabila ulos digunakan seba¬gai ikat kepala memberi makna sesuai warna ulos, yakni tali-tali warna hitam artinya kekuatan dan keteguhan jiwa, tali-tali warna putih menunjukkan kesaktian dan kesucian hati, sementara warna merah mengandung makna berani, kekar dan kuat dalam perang.

Dari paparan diatas, ternyata ulos adalah merupakan gamba¬ran kehidupan, kerajaan dan cita-cita orang Batak. Di dalamnya tersirat seni yang indah dan mengandung makna yang dalam. Sebagai sebuah hasil karya seni, ulos juga telah merambah ke sanubari kita membawa kese¬jukan, memberi kesejahteraan bagi para perajinnya.

Ulos sebagai benda sakral dalam upacara adat suku Batak kian bergeser akibat masuknya budaya asing. Ulos yang dulunya masih banyak digunakan sebagai pakaian sehari-hari, kini hanya berfungsi dan bermakna dalam upacara adat Batak.
Tapi jangan heran, ulos bagi sebagian besar suku Batak masih memiliki tempat terhormat.