MATERI KULIAH RABU, 12 OKTOBER 2011

Materi Kuliah MEKANISASI PERTANIAN
RABU, 12 Oktober 2011

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN MEKANISASI PERTANIAN (James P Pardede, SP)

Mekanisasi pertanian adalah aplikasi mekanis berupa mesin atau alat pada proses produksi pertanian (dalam arti luas) baik on-farm maupun off-farm. Mekanisasi pertanian di Indonesia telah dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu. Mekanisasi pertanian yang tepat berperan sangat signifikan untuk peningkatkan kualitas dan kuantitas produksi pertanian serta pengolahannya. Mekanisasi pertanian mencakup keuntungan efisiensi, efektifitas, kualitas dan produktifitas pertanian. Kemudian berdampak sistemik pada kesejahteraan petani dan pemenuhan kebutuhan pangan , energi dan bahan produksi masyarakat.

Penerapan Mekanisasi Pertanian dipengaruhi oleh beberapa faktor penting, yaitu :
1. Ekonomi
Ekonomi adalah faktor yang paling diprioritaskan oleh petani dalam memutuskan pengunaan mesin pertanian (Al-Haq, 2009). Petani secara sendiri-sendiri merasa belum mampu dalam investasi alat dan mesin pertanian (jika mereka belum merasa sangat membutuhkannya). Hal ini tentu tidak akan terlalu berat jika kelembagaan kelompok tani, koperasi, ataupun Unit Pelayanan Jasa Alsintan masih banyak yang aktif. Karena dengan mengelompok, maka kemampuan beli petani serta biaya pemeliharaan akan terjangkau. Yang menjadi permasalahan adalah, pasca orde baru kelembagaan UPJA, KUD banyak yang bubar dan sampai saat ini banyak yang belum dibangun. Akhirnya alat mesin pertanian hanya dikuasai oleh petani kaya atau rentenir saja. Sebenarnya, dalam jangka panjang, ketika biaya variabel dapat menurun karena efisiensi waktu dan beberapa komponen biaya seperti tenaga kerja, ditambah dengan kenaikan pemasukan hasil penjualan karena produktifitas naik, maka secara otomatis besarnya biaya pokok akan turun dan pendapatan petani akan meningkat. Ini jika saja alsintan dapat digunakan.

2. Teknis (Teknologi)
Hasil penelitian pada studi kasus alat mesin perontok padi, di lapangan ditemukan banyak sekali alat mesin hasil penyebaran proyek pemerintah yang tidak dapat digunakan karena bahannya sangat mudah rusak. Ini dikarenakan oleh “proyektor” yang nakal alias Makelar Proyek. Proyek dilakukan asal jalan dan menghabiskan anggran saja (sebab jika anggaran tidak habis, tahun depan kecil kemungkinan akan diberi lagi). Akhirnya alsintan diproduksi dengan asal-asalan. Ini jelas sangat merugikan petani.

3. Fungsional
Banyak data yang menyebutkan kapasitas suatu alsintan tinggi. Studi kasus pada alat perontok padi pedal thresher buatan Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian yang menurut data dijelaskan kapasitas 100 kg/jam. Namun faktanya, 25 kg/jam saja sulit, dan petani memilih menggunakan manual karena lebih mudah. Penelitian-penelitian dan percobaan kapasitas tidak dinormalisasi terlebih dahulu. Kapasitas 100 kg mungkin jika digunakan oleh petani yang sudah terbiasa, namun bagi yang belum terbiasa, akan sulit. Disinilah perlunya pembiasaan penggunaan alsintan (teknologi baru).

4. Ergonomi
Beberapa alsintan dirasakan petani tidak ergonomis. Hal ini disebabkan alsintan hanya diasopsi, bukan diadaptasi. Alsintan dari luar apalagi impor tentunya secara ergonomi belum tentu sesuai dengan antropometri masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Disinilah diperlukan adaptasi dan modifikasi alsintan agar sesuai dengan kondisi masyarakat di setiap daerah di Indonesia.

5. Kesehatan dan keselamatan kerja
Pekerjaan yang tidak tersentuk aspek kesehatan dan keselamatan adalah pertanian subsistem petani kecil. Berbeda dengan industri non-pertanian yang sangat memperhatikan kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Kalaupun ada, K3 hanya dilakukan pada perusahan pertanian level besar. Sedangkan petani kecil di lahan tidak pernah diprioritaskan menggunakan sepatu but ketika ke lahan, menggunakan masker ketika menyemprot pestisida, petani cenderung tak berpakaian lengkap ketika bekerja. Padahal resiko kecelakaan kerja di lahan sangat besar. Pemerintahpun belum menuju kea rah sana sepertinya. Jika sudah seperti ini, pertanian terus dianggap pekerjaan yang rendahan. Padahal jika alsintan akan dikembangkan, maka aspek K3 harus disertakan karena resiko kesehatan dan keselamatan pada saat menggunakan alat mesin lebih besar dibandingkan manual.

6. Kondisi lapangan (Faktor Alam)
Mekanisasi pertanian terhambat oleh kondisi lahan petani Indonesia yang hanya 0,2 ha/orang. Kondisi ini dipersulit lagi dengan ketidakkompakan petani dalam menanam dan masa tanam. Teringat dulu ketika orde baru petani sangat kompak dalam menanam dan masa tanam. Padahal jika saat inipun petani kompak dalam masa tanam, maka luasan tanah yang 0,2 ha bisa menjadi 2-3 ha, di mana alsintan akan mudah masuk dan efisien akhirnya. Lagi pula sebenarnya masa tanam yang serempak dapat mengurangi penyebaran hama penyakit.

Selain luasan tanah yang sempit, kondisi lapangan yang berbukit-bukit menyebabkan alsintan sulit masuk ke lahan. Dari dua permasalahan tadi, solusi terbaiknya adalah adanya konsolidasi lahan. Jika sudah seperti ini mau tidak mau petani harus mengurangi egoismenya untuk saling “aku dan aku” (ini tanahku, terserah aku mau tanam apa dan kapan”.

7. Faktor Sumber Daya Manusia dan Fasilitas penunjang operasi
Alsintan membutuhkan fasilitas penunjang operasi untuk dapat digunakan dengan baik. Fasilitas itu adalah BBM, suku cadang, perbengkelan, operator dan jalan akses transportasi alsintan. Pada faktanya, BBM sulit didapatkan, terlebih setelah adanya PP No 09 2006 dimana tidak diperbolehkan membeli bensin selain kendaraan bermotor. Jika ada pun BBM di daerah pedesaan harganya sudah lebih mahal (Rp. 5500/lt bensin) dan itu pun tidak dipastikan murni bensin. Suku cadang alsintan lebih banyak produk luar negeri dan harus diimpor jika ada kerusakan. Inilah penjajahan bentuk baru luar negeri. Sampai saat ini merek-merek yang digunakan adalah merek luar negeri untuk alsintan dan mesin. Padahal sudah banyak hasil riset alsintan. Penyebabnya adalah karena pengusaha tidak berani berinvestasi untuk produk anak bangsa sendiri.

Selain itu fasilitas paling penting untuk aksesibilitas alsintan adalah jalan pertanian yang memadai. Saat ini di beberapa daerah belum memiliki fasiltas jalan pertanian yang dapat dengan mudah alsintan masuk ke lahan. Ini juga yang menjadi alasan para petani enggan menggunakan alsintan, karena mereka merasa kerepotan dalam mengangkut ke lahan.

Satu hal yang tak bisa dilupakan adalah, untuk pengoperasian alsintan dibutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang benar-benar menguasai penggunaan alsintan.

8. Sosial budaya
Di beberapa tempat sentra padi, seperti karawang, ada anggapan “jika power thresher masuk, maka masyarakat akan beramai-ramai membakarnya. Ini terjadi karena ada konflik kepentingan antara buruh tani degan alsintan. Paradigma berfikir masyarakat adalah bahwa alsintan dapat mengurangi jatah pekerja tani. Padahal, seharusnya paradigma yang harus diazamkan adalah konsep pengalihan tenaga kerja dari on-farm menjadi off-farm. Dengan masuknya alsintan, maka produktivitas akan meningkat dengan waktu yang lebih cepat. Dengan demikian input produksi akan lebih besar dan cepat, sehingga tenaga kerja di off-farm lebih banyak dibutuhkan.

Memang di beberapa tempat sudah menjadi budaya, masyarakat yang selalu memegang teguh tradisional dan enggan berganti dengan teknologi baru. Disinilah pentingnya pendekatan sosial kultural untuk mengadaptasikan teknologi. Proyek pemerintah dalam memberikan bantuan alsintan seringkali tidak memperhatikan sosial kultural masyarakat yang menjadi target. Disinilah pentingnya orang-orang mekanisasi juga belajar persoalan sosial. Intinya seorang engineer juga harus berjiwa sosial.
Kebijakan

Wajar jika kebijakan pengembangan mekanisasi pertanian belum benar. Suatu kebijakan didasarkan atas data dan informasi di lapangan. Namun yang menjadi ironi, data alsintan mana yang bisa dianggap valid? Jawabannya jarang, bahkan tidak ada. Data alsintan diperoleh dari UPTD alsintan di setiap Kabupaten. Dan data temuan di lapangan (kasus Kab Bogor), data tersebut didapatkan hanya berdasarkan kira2. Data sangat mudah dirubah-rubah tergantung kebutuhan. Jika ingin bantuan, maka data dikurangi. Jika ingin dinilai baik, data ditambahkan. Itulah wajah pengelolaan data alsintan negeri ini. Banyak kebijakan yang salah sasaran akhirnya. Sehingga banyak juga traktor yang menganggur tak digunakan karena masyarakat yang tidak disiapkan sebelumnya.

10. Koordinasi antar sektor

Menjadi persoalan yang tak berujung. Setiap seminar, kita terus mempersoalkan ini. Kesimpulan diskusi, seminar adalah selalu koordinasi, koordinasi…ya sebuah kata yang mudah diucapkan tapi sulit direalisasikan. Fakta-faktanya adalah : 1) jangankan koordinasi antar pihak, intra 1 pihak saja belum beres. Faktanya sebuah riset alsintan dikembangkan oleh banyak pihak dari mulai Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Balai Besar Pengolahan Pascapanen, Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Perkebunan (ini padahal masih dalam 1 departemen pertanian). Biodiesel (topik yang sama) saja dikembangkan bukan hanya di berbagai lembaga di departemen pertanian, tapi di departemen perindustrian pun mengerjakannnya. 2) Riset alsintan juga ternyata dikembangkan oleh BPPT LIPI, kementrian ristek. Hal semacam ini jelas membingungkan kita, sebenarnya siapa yang mengkomandoi mengembangkan alsintan? Akhirnya pengembangan alsintan tidak jelas, karena semua buat roadmape. Anggrana riset juga akhirnya tidak efisien, karena sebuah riset yang sama, dikerjakan oleh banyak lembaga. Inilah yang disebut MARSET atau “makelar riset”. Semua berlomba melakukan riset agar diberikan anggaran, atau hanya sekedar eksistensi lembaga.
Koordinasi juga terlihat ketika kegiatan sosialisasi alsintan dilakukan. Sangat jarang sekali pengusaha yang mau datang di seminar alsintan. Maklum, pengusaha selalu menghitung untung ruginya. Kedepan, koordinasi ABGC harus terus dilakukan. Lembaga-lembaga independen keteknikan pertanian memiliki potensi untuk dapat menjadi fasilitator koordinasi antar pihak tersebut.

11. Informasi

Sosialisasi alsintan sudah dilakukan, namun belum optimal. Penyuluh pertanian yang saat ini ada belum banyak diantara mereka yang memiliki wawasan alsintan. Mereka lebih banyak kepada proses budidaya. Sosialisasi alsintan hanya sebatas di seminar. Expo, yang jelas-jelas acara seperti itu tidak dapat leluasa diakses petani di daerah. Maka dari itu perlu dilakukan sosialisasi yang lebih menyeluruh kepada masyarakat luas. Disinilah peran mahasiswa, dan lembaga keteknikan pertanian untuk dapat membantu dalam mensosialisasikan alsintan kepada masyarakat luas.

Selain itu kurangnya publikasi ke tataran grassroot/petani dibuktikan dengan banyaknya hasil riset yang hanya tersimpan di perpustakaan atau di lemari, menjadi tantangan kita semua.

Begitu banyak tantangan kita dalam pengembangan mekanisasi pertanian di Indonesia. Akhirnya apa yang bisa kita lakukan sebagai diri sendiri, sebagai akademisi. Politik mercusuar yang selama ini banyak digunakan oleh kita hendaknya sudah harus kita ganti.

Permasalahan Mekanisasi Pertanian di Indonesia
Terdapat sejumlah permasalahan dalam upaya pengembangan teknologi pertanian berupa alat dan mesin pertanian (alsintan) di dalam negeri yakni:
a. sistem standarisasi, sertifikasi, dan pengujian alat dan mesin pertanian (alsintan) masih lemah,
b. pemanfaatan dan ketersediaan alat dan mesin (alsintan) masih kurang,
c. skala usaha penggunaan alat dan alsintan belum memadai,
d. dukungan perbengkelan masih lemah,
e. belum mantapnya kelembagaan alsintan,
f. belum optimalnya pengelolaan alsintan di sub sektor peternakan, dan
g. masih rendahnya partisipasi masyarakat/swasta dalam pemanfaatan dan pengembangan alsintan serta terbatasnya daya beli maupun permodalan akibat daya tukar produk pertanian yang makin menurun.

Faktor – faktor penghambat perkembangan mekanisasi pertanian di Indonesia diantaranya adalah :
• Permodalan
Umumnya petani di Indonesia mempunyai lahan yang relatif sempit dan kurang dalam permodalannya, sehingga tidak semua petani mampu untuk membeli alsin pertaian yang harganya relatif mahal.

• Kondisi Lahan
Tofogarapi lahan pertanian di Indonesia kebanyakan bergelombang dan bergunung-gunung sehinga menyulitkan untuk pengoperasian mesin-mesin pertanian,khususnya mesin prapanen
• Tenaga kerja
Tenaga kerja diIndonesia cukup melimpah/banyak. Oleh karena itu bila digantikan dengan tenaga mesin , dikhawatirkan menimbulkan dampak penganguran
• Tenaga Ahli
Kurangnya tenaga ahli yang atau orang yang kompeten dalam menangani mesin-mesin pertanian.
Mengingat hal tersebut, terutama poin nomer 3 maka perngembangan mekanisasi pertanian di Indonesia menganut azas mekanisasi pertanian selektif, yaitu mengintrodusir alat dan mesin pertanian yang disesuaikan dengan kondisi daerah setempat.

Adapun tantangan yang dihadapi dalam pengembangan teknologi alat dan mesin pertanian adalah:
(1) menyiapkan perangkat peraturan perundangundangan tentang alsintan,
(2) menumbuh kembangkan industri dan penerapan alsintan,
(3) mengembangkan kelembagaan Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) yang mandiri untuk meningkatkan efisiensi penggunaan alsintan,
(4) mengembangkan lembaga pengujian alsintan yang terakreditasi di daerah dalam rangka otonomi daerah,
(5) mengembangkan alsintan sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat, dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengembangan alsintan