Seabad Kebangkitan Nasional :
Mempertanyakan Kejujuran Dunia Pendidikan
Tahun ini Indonesia memperingati Seratus tahun Hari Kebangkitan Nasional (Seabad Kebangkitan Nasional). Di beberapa kota, berbagai event telah digelar untuk menyemarakkan acara ini. Yang pasti, memperingati Seabad Kebangkitan kiranya jangan hanya seremonial belaka. Hari ini di peringati, keesokan harinya gaungnya hilang lenyap ditelan bumi.
Secara khusus, tulisan ini akan menyoroti permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan kita setelah 100 tahun bangkit dari keterpurukan. Salah satu topik hangat yang diperbincangkan di berbagai media adalah masalah kecurangan Ujian Nasional (UN) di tingkat pendidikan menengah.
Permasalahan kecurangan pelaksanaan ujian nasional (UN) telah menyita perhatian banyak kalangan. Adanya kecurangan dalam pelaksanaam UN tersebut dibeberkan oleh Komunitas Air Mata Guru (KAMG). Sejumlah barang bukti tentang indikasi pelanggaran UN tersebut diserahkan ke DPD dan dalam sidang paripurna DPD membahas UN ditolak saja.
Sejak adanya kecurangan UN tersebut, beberapa elemen melakukan aksi penolakan UN di Indonesia. Akan tetapi, Mendiknas kembali menegaskan bahwa UN tetap dijalankan. Tahun ini, UN sudah berlangsung, bagi siswa yang sudah mengikuti ujian, sekarang mereka sedang menunggu hasil ujian apakah mereka dinyatakan lulus atau harus mengulang kembali.
Kecurangan UN tahun lalu sebenarnya masih berbekas dalam ingatan kita. Tahun ini kecurangan itu kembali terjadi. Komunitas Air Mata Guru beberapa waktu lalu menyerahkan Laporan Independen Kronologis Pelanggaran POS dan Kecurangan UN SMA/SMK dan SMP?Sederajat 2008 di Sumut ke Anggota DPD RI Asal Provinsi Sumut Parlindungan Purba,SH,MM.
Dalam laporan yang dibacakan oleh Direktur Eksekutif KAMG Januar Pasaribu didampingi Dewan Pembina Denny Boi Saragih terungkap beberapa kasus kecurangan UN di beberapa sekolah di Sumut.
“Sejauh ini, KAMG telah menemukan 21 lokasi terjadinya pelanggaran POS dan kecurangan UN, serta 16 modus operandi pelanggaran POS dan Kecurangan UN 2008 di Sumut untuk tingkat SMA/SMK. Sedangkan untuk tingkat SMP/Sederajat ditemukan 16 lokasi terjadinya pelanggaran POS dan kecurangan UN, 7 modus operandi pelanggaran POS dan kecurangan UN 2008,” jelas Januar Pasaribu.
Beberapa modus pelanggaran POS dan kecurangan UN yang ditemukan dilapangan, kata Januar Pasaribu antara lain guru diminta mengerjakan soal UN di tempat mereka mengajar, pembagian jawaban UN kepada siswa, amplop Lembar Jawaban Ujian Nasional (LJUN) tidak disegel dan dilak, memperbaiki LJUN di sekolah, mengkomunikasikan jawaban lewat SMS, kunci jawaban di tulis di papan ujian, mengijinkan siswa bekerjasama, pembatalan SK guru yang memiliki sikap tegas dalam mengawas dan menjalin kerjasama dengan bimbingan belajar di Medan untuk menyediakan jawaban UN.
Menurut Dewan Pembina KAMG, pelanggaran POS dan kecurangan UN tidak hanya terjadi di sekolah-sekolah yang bukan favorite (berdasarkan catatan pemeringkatan sekolah oleh pemerintah), di sekolah favorite pun juga terjadi kecurangan UN.
Dalam pengungkapan dan penyampaian laporan independen kepada Anggota DPD RI tersebut, KAMG juga memutar video hasil investigasi di lapangan secara tersembunyi. Dalam video tersebut jelas terlihat siswa sengaja datang lebih cepat untuk mempersiapkan contekan (ilmu baru dalam ujian-kopekologi) dimana jawaban-jawaban soal UN telah didistribusikan oleh ‘oknum’ lewat SMS ke HP para siswa. Siswa dengan cekatan menulis jawaban di sapu tangan, kertas kecil dan menyelipkannya di bagian tubuh yang tersembunyi.
Menolak UN
Ironis sekali!! Dunia pendidikan kita telah kehilangan kepercayaan. Sedikit saja rasa jujur ditunjukkan dalam pelaksanaan UN di sekolah-sekolah, akan dianggap sebagai penghianat oleh oknum lain yang menginginkan peringkat sekolahnya bisa dipertahankan.
Anggota DPD RI Parlindungan Purba dengan tegas telah menyatakan agar UN dihapuskan. Opini ini telah terlempar sejak beberapa tahun lalu dan dibawa dalam sidang paripurna di Gedung Senayan.
“Bagaimana mungkin UN bisa berjalan dengan baik kalau kesejahteraan guru-guru yang mengajar masih terlupakan. Menurut laporan, guru-huru yang telah lulus sertifikasi pun belum jelas kapan ia mendapatkan honor yang dijanjikan,” tandas Parlindungan.
Dalam sidak ke beberapa sekolah, kata Parlindungan, masih ada ditemukan sekolah di tengah-tengah kota Medan yang bangunannya hampir rubuh. Guru-guru dan kepala sekolah di tempat tersebut merasa pesismis dengan kondisi dunia pendidikan kita sekarang.
“Sudah berkali-kali sekolah ini diberitakan di koran dan TV, bahkan sudah ebrtahun-tahun, tapi perhatian dari pemerintah masih setengah hati. Kalau hujan turun, proses belajar mengajar akan terganggu karena murid dan guru harus menyelamatkan diri ke lokasi yang tidak terkena hujan,” papar seorang guru yang menolak memberikan namanya.
Ini semua kenyataan yang terjadi di dunia pendidikan kita. Masih banyak elemen yang harus dibenahi. Yang terpenting lagi adalah masalah moralitas bangsa ini. Kalau gurunya sudah melakukan kecurangan, bagaimana pun murid akan mengikuti sikap yang salah tersebut. “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari,” begitu kata pepatah.
Dari kenyataan-kenyataan ini, tegas Parlindungan, ternyata kita belum mampu memproses manusia yang merdeka; mendidik manusia untuk benar-benar menjadi merdeka. Mereka belum mampu memerdekakan bangsa dan manusia Indonesia dari sikap dan sifatnya yang minder, yang tidak fair, yang digerakkan oleh mentalitas kuli dan babu yang cenderung menjilat ke atas dan menginjak ke bawah, yang tidak setia kepada kawan, mudah mengkhianati dan menjualnya, yang enak dan tega memfitnah dan membunuh nama baik dan kesempatan kawan. Dari sana kemudian lahir suatu watak yang tidak suka membela kebenaran.
Suka tidak suka, sadar tidak sadar, harus dikatakan bahwa inilah cermin sebagian besar elite politik kita saat ini, yang tidak berani mengadakan perubahan secara radikal dengan merombak sistem lama yang penuh kepalsuan.
Kejujuran
Sungguh ironis, karena sudah tahu sistem tersebut penuh dengan kebobrokan, namun justru tetap dilestarikan karena berdalih menjaga kesopanan. Tidak ada kesadaran bahwa selama sistem lama masih bercokol, jangan harap menghasilkan elite yang berkualitas.
Akar persoalannya bisa kita lacak, setidak-tidaknya dari bagaimana karakter sistem pendidikan diselenggarakan. Kita melihat bahwa pendidikan dalam bangsa ini hanya menjadi instrumen kekuasaan politik. Pendidikan disubordinasikan dalam kekuasaan politik, dan menghasilkan manusia yang hanya pandai ikut-ikutan.
Mereka bagaikan robot yang dikendalikan oleh remote control, yakni pemegang kekuasaan dan pemilik modal, melalui ideologi penyeragaman. Ini membuat mereka hanya mampu menunggu petunjuk serta pedoman dari atas.
Akibatnya birokrasi menjadi lambat dalam merespon perubahan. Ketidakmampuan itu disebabkan oleh ketidakberdayaan mereka untuk keluar dari kultur lama. Dalam kultur lam itu kemandiran individu direduksi menjadi ketaatan buta yang dikendalikan oleh sistem penyeragaman. Ini membuat reformasi terseok-seok, yang disebabkan oleh ketidakberdayaan untuk merespon perubahan yang begitu cepat.
Seharusnya, tutur Parlindungan, sistem pendidikan yang utuh adalah sistem pendidikan yang terkait dengan penanaman nilai, yakni kejujuran, keadilan, kemanusiaan, kesetiakawanan, profesionalitas, keluhuran, kedisiplinan dan ketulusan. Di sini yang dipentingkan bukan saja sekadar transfer ilmu, tapi juga pembentukan karakter.
Pembentukan karakter terkait dengan realitas kehidupan yang nyata, bukan kehidupan maya yang semu. Realitas hidup sehari-hari menjadi pijakan untuk direfleksikan dalam berbagai ilmu pengetahuan yang diperoleh di bangku sekolah.
Dalam hal ini, anak didik dituntut untuk kritis dalam melihat realitas. Mengapa itu terjadi? Apa yang menyebabkan? Di mana sisi kemanusiaannya? Di mana dimensi sosialnya? Sifat yang kritis untuk mempertanyakan segala sesuatu yang terjadi akhirnya menjadi kebiasaan bahwa segala keputusan yang diambil harus dipertimbangkan dengan jeli dan jernih.
Pendidikan yang selama ini disubordinasikan pada kekuasaan politik, mengakibatkan kebijakan mudah berubah karena tergantung pada siapa yang memegang kekuasaan, seperti sinyalemen Foucault, untuk melestarikan kekuasaan.
Inilah yang membuat pendidikan kita selalu terseok-seok dan tidak mampu mengikuti perubahan yang begitu cepat. Pendidikan kita lebih tergantung pada mesin kekuasaan. Mesin kekuasaan itu selalu mencari kemapanan daripada menginginkan perubahan.