Jangan Pernah Berhenti untuk Edukasi dan Sosialisasi

Oleh : James P. Pardede

Apakah anak Bapak sudah diasuransikan ? Sebuah pertanyaan terlontar saat saya dan keluarga sedang menikmati makan siang di sebuah acara pesta pernikahan kerabat. Pertanyaan itu membuat otak saya berpikir sejenak. Apa manfaat asuransi bagi saya dan keluarga ? Beberapa kasus yang pernah saya dengar berkelebat di pikiran saya. Apakah uang saya aman dan bisa diklaim nantinya ? Apakah petugas atau pegawai asuransi menjamin uang saya aman dan bisa diambil tepat pada waktunya ?


Perbincangan dengan seseorang itu terus berlanjut dan suatu waktu ia memberikan saya buku petunjuk berasuransi dan aturan mainnya. Saya membaca buku itu berkali-kali. Rasa curiga saya tetap lebih tinggi dari pada rasa percaya. Buat apa menanamkan uang lewat asuransi, bukankah sudah ada tabungan atau deposito ?

Proses pembelajaran tentang asuransi dan keuntungannya masih terus berlanjut. Hal yang sama juga pasti pernah dirasakan oleh beberapa keluarga di negeri ini. Edukasi dan sosialisasi tentang pentingnya asuransi masih sangat penting dilaksanakan. Asuransi tidak lagi hanya sekedar proteksi diri tapi sudah mengarah ke produk investasi.

Memang, saat ini perkembangan asuransi di Indonesia makin mengarah ke pola investasi, karena sejak masa krisis orang tak berminat lagi investasi dalam jangka panjang. Banyak orang saat ini lebih menginginkan investasi jangka pendek. Kepercayaan itu mulai menurun pada saat krisis, sehingga penanaman modal yang jangka panjang kalah dengan yang jangka pendek. Dulu orang berinvestasi hingga sepuluh sampai lima belas tahun tidak apa-apa. Sekarang, mereka mau yang dekat-dekat saja, satu - dua tahun dan masksimalnya lima tahun.

Faktor lain yang menyebabkan asuransi pola tabungan/investasi lebih digemari adalah tingkat suku bunga SBI dan deposito yang terus menurun. Akibatnya orang berusaha mencari alternatif investasi yang lebih menguntungkan.

Beberapa perusahaan asu¬ransi saat ini menerapkan se¬jumlah strategi. Salah satu dari perusahaan tersebut adalah AJB Bumiputera 1912. Perusahaan asuransi ini sekarang sedang fokus dalam mengedukasi masyarakat tentang arti pentingnya asuransi dalam keberlangsungan hidup manusia.

Hal ini akan terus dilakukan AJB Bumiputera 1912 karena, tingkat kesadaran masyarakat Indonesia berasuransi masih tergolong sangat rendah jika dibandingkan dengan kondisi di negara lain. Penilaian itu terutama jika dilihat dari sudut pandang tingkat penetrasi industri untuk pasar nasional nasabah individual. Hanya sekitar lima juta orang dari 220 juta jiwa lebih penduduk Indonesia yang saat ini tercatat sebagai pemegang polis asuransi secara individual. Itu pun ada beberapa orang yang memiliki polis lebih dari satu.

Ada beberapa hal yang menjadi penyebab kondisi tersebut terjadi di Indonesi. Pertama, tingkat kesejahteraan masyarakat masih rendah. Kedua, kapasitas dunia usaha asuransi yang masih tergolong rendah sehingga upaya melakukan edukasi kepada publik masih terbatas. Padahal, edukasi itulah yang sangat penting untuk meningkatkan kesadaran, paling tidak pemahaman masyarakat akan pentingnya berasuransi.

Ketiga, sosialisasi yang menyeluruh dan merata belum terealisasi dengan baik. Pada¬hal, pasar asuransi di negeri ini masih sangat terbuka luas.

Kemudian, upaya lain yang tak kalah penting untuk mema¬jukan industri asuransi ialah serangkaian regulasi yang kuat dari pemerintah. Faktor satu ini harus diakui memang masih lemah, terutama dalam hal perlindungan bagi nasabah. Mengapa perlindungan bagi pemegang polis alias nasabah harus kuat karena merekalah pemilik dana yang dikelola penyelenggara asuransi. Mereka pula yang akan mengambil manfaat di kemudian hari.

Regulasi memang harus bermata dua. Di sisi lain, regulasi juga harus bisa mendorong tumbuh suburnya industri asuransi, memiliki daya ungkit untuk berkembangnya asuransi menjadi lembaga keuangan yang tangguh, sebagai pilar ketahanan sistem finansial nasional. Dengan demikian, daya saing asuransi dapat meningkat untuk ikut bermain di pasar global, setidaknya men¬jadi tuan di rumah sendiri.

Sudah ada langkah-langkah yang diambil pemerintah untuk memperkuat industri asuransi, sebagai bagian memperkuat sistem keuangan nasional. Namun, dinamika industri global menuntut lebih banyak lagi.

Asuransi bisa dikatakan sebagai salah satu pilar ekonomi suatu bangsa, selain perbankan dan pasar modal. Asuransi, dengan segala dinamikanya, kini juga sudah mengambil peran yang cukup besar sebagai penyedia lapangan kerja, sumber penghasilan bagi masyarakat.

Jika melihat fenomena yang ada saat ini, mulai dari mahasiswa sampai ibu-ibu rumah tangga sudah banyak yang bekerja sebagai agen penjual atau pemasar asuransi. Asuransi su¬dah mulai dilirik kaum terdidik sebagai salah satu profesi yang tidak kalah gengsinya dengan profesi lain .

Perkembangan industri asuransi belakangan ini boleh dikata sudah semakin pesat. Penetrasi pasar perbankan yang semakin meluas, hingga menjangkau masyarakat pelosok desa. Kantor-kantor cabang perbankan sudah masuk sampai wilayah kecamatan.

Sedangkan asuransi, baru mulai semarak di ibu kota provinsi. Kalaupun ada yang telah menembus pasar di tingkat ibu kota kabupaten, itu pun masih bisa dihitung jari. Artinya, infrastruktur perasuransian memang jauh tertinggal, kalah dibandingkan perbankan. Padahal, dengan bekerja sama perbankan, asuransi pun bisa cepat meluaskan jangkauannya di tengah-tengah masyarakat, sampai pelosok desa sekalipun.

Asuransi kini bukan lagi sebagai alat perlindungan diri atau perlindungan harta benda semata. Jangan lupa, asuransi telah berkembang sedemikian jauh, menjadi suatu instrumen investasi yang diharapkan dapat menjamin tersedianya dana untuk kebutuhan masa depan bagi diri peserta dan keluarganya, manakala seseorang sudah tidak produktif lagi menghasilkan uang.

Memang, tak jarang kita jumpai kalau saat ini banyak keluarga Indonesia yang masih kesulitan dalam membagi penghasilannya. Jangankan untuk berasuransi, menyisihkan sedikit saja untuk ditabung sudah kesulitan. Belum lagi kebutuhan mendadak harus menyekolahkan anak-anak dan kebutuhan anak-anak sekolah.

Situasi seperti ini sah-sah saja terjadi. Inflasi, nilai tukar, kondisi moneter yang liar tidak terkendali, yang merupakan wilayah tanggung jawab profesional dan moral pemerintah untuk menjaganya, merupakan momok yang senantiasa menelan nilai aset masyarakat.

Pelaku dan regulator industri perasuransian bertanggung jawab meluruskan persepsi masyarakat yang keliru. Bu¬kankah justru karena minimnya penghasilan sehingga menuntut seseorang harus disiplin menabung agar tidak gelagapan jika menghadapi kebutuhan mendadak, semisal untuk berobat kalau sakit. Menabung secara konvensional itu sendiri sebenarnya bentuk lain dari “perlindungan” yang dilakukan secara sadar atau tidak oleh masyarakat. Berasuransi hanyalah me¬mindahkan pengelolaan risiko kepada pihak lain, yakni perusa¬haan asuransi.

Demikian pula dalam hal perlindungan harta benda, kesadaran masyarakat untuk melindungi harta bendanya dengan asuransi masih dianggap sebagai tindakan buang-buang uang. Membayar premi setiap tahun secara teratur, sedangkan manfaat yang diperoleh sering dirasakan tidak sebanding.

Citra kurang sedap yang melekat pada asuransi masih terasa kental. Saat calon nasabah dibujuk “membeli” polis asuransi untuk menyediakan payung risiko, yang bisa setiap saat datang menimpa atau memusnahkan diri dan aset kita, janji manfaat sepertinya setinggi langit.

Namun, manakala giliran nasabah mengajukan klaim, repotnya minta ampun. Prose¬durnya berbelit, bahkan ada yang tidak jelas karena tidak transparannya proses pemasaran asuransi sejak awal. Begitulah citra asuransi yang masih melekat pada benak sebagian warga masyarakat sehingga popularitas asuransi masih memprihatinkan.

Tak perlu jauh-jauh untuk melihat bukti. Lihat saja misalnya di berbagai media, bertaburan kekecewaan masyarakat pemegang polis diungkapkan. Komplain nasabah terhadap asuransilah yang lebih menonjol. Padahal, mereka yang merasakan manfaat berasuransi juga tak kalah banyaknya. Kalau tidak, tentu sudah lama asuransi lenyap dalam percaturan bisnis. Inilah pekerjaan rumah seluruh komponen industri asuransi. Mulai dari regulator, pelaku, dan lembaga-lembaga penunjangnya, sampai agen independen.

Agen yang berada di garda paling depan industri asuransi juga tak kalah penting dan mendesak pembenahannya. Mulai dari sistem perekrutan, pendidikan dan latihan, serta kepiawaian menyampaikan informasi asuransi, dan menjelaskan produk-produknya kepada masyarakat secara jelas, jujur dan transparan.

Hanya dengan begitu, reputasi industri asuransi dapat diba¬ngun sehingga citra asuransi pun dapat terangkat. Sayangnya, banyak pelaku industri asuransi yang justru mendahulukan penanaman citra, tetapi lupa membangun fondasi industri asuransi, yakni reputasi.

Membangun kesadaran masyarakat berasuransi untuk menyiapkan masa depannya yang lebih baik, menyediakan perlindungan diri dan aset-asetnya di tengah ketidakmampuan pemerintah menyediakan jaminan sosial memadai, memang menuntut kebersamaan seluruh komponen industri asuransi dan regulator.

Upaya untuk membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya asuransi adalah dengan edukasi dan sosialisasi yang tak pernah mengenal kata berhenti.