dr. Binsar H. Naibaho :
Menyongsong Dunia Terang Tunanetra

Kerinduannya untuk meno­long sesama terutama masya­rakat kurang mampu dalam memenuhi kesehatan keluarga mereka terjawab sudah dengan didirikannya sebuah klinik kesehatan bersama rekan-rekannya. Hadir dengan sebuah konsep kesehatan yang berbasiskan pelayanan yang seutuhnya dengan sebuah visi “Masyarakat yang sadar akan arti pelayanan Sehat” yang dikemas dengan menggabungkan terapi kebugaran dengan model olah nafas seni Merpati Putih.

Menurut Binsar H. Naibaho yang ditemui di kliniknya Jalan Sei Serayu Medan mengatakan, bahwa klinik tersebut berawal dari kepercayaan dan mandat yang begitu besar dari Ditjen Pajak untuk turut serta dalam penanggulangan bencana alam gempa dan tsunami di Aceh dan Nias tahun 2004 lalu. Berawal dari kepercayaan itu pulalah klinik dengan nama klinik “M-P” dideklarasikan.
Klinik tersebut diperuntukkan untuk masyarakat umum terlebih yang ekonominya menengah ke bawah dan keluarga kurang mampu tanpa dipungut bayaran dan berorientasi ke pelayanan sosial.

Kemudian, lanjutnya, klinik tersebut menjadi tempat pendidikan dan pelatihan peningkatan kepekaan penginderaan tunanetra. Dengan tegas Binsar mengatakan pelatihan dalam hal ini bukan melatih para tunanetra untuk menjadi ahli pijat atau yang lainnya. Tapi melatih mereka untuk menyongsong dunia terang tunanetra Indonesia, khususnya tunanetra di Sumatera Utara.

“Selain mata, manusia rupanya diberi indra penglihatan kedua. Mata kedua itu bisa berupa ujung hidung, ujung telinga, sentuhan tangan, ujung jari atau ujung siku. Dengan latihan secara kontinyu, seorang tunanetra bahkan mampu melihat seperti halnya orang biasa,” paparnya.

Atas dasar ini, Binsar mencoba menerapkannya dan melatih beberap tunanetra untuk bisa berjalan tanpa harus menggunakan tongkat lagi. Bahkan untuk naik sepeda di jalan umum pun para tunanetra bisa dilatih.

Pelatihan untuk tunanetra dibagi dalam tiga tahap. Masing-masing tahap pertama disebut Orientasi Mobilitas yang lebih mengedepankan pengenalan cara latihan dan pengenalan diri. Kemudian tahap kedua disebut Deteksi Benda. Dalam tahap ini, tunanetra akan mampu mencari benda yang disebutkan atau yang diingini. Melawati dan menghindari rintangan-rintangan. Di tahap ini juga peserta sudah dilatih untuk naik sepeda.

Kemudian pada tahap ketiga adalah Deteksi Huruf dan Warna. Pada tahap ini peserta akan mengenal huruf dan warna serta mampu membaca huruf tanpa harus menggunakan huruf Braille lagi.

“Dalam tahap terakhir ini, ada kalanya seseorang sudah lebih cepat untuk mengenal warna atau mengenal huruf,” papar ayah dari tiga anak ini.

Didukung oleh sang istri Rita Helena Br. Hutapea, Binsar tetap konsisten untuk melatih para tunanetra tersebut agar bisa mengikuti setiap pelatihan tanpa dipungut bayaran. Bahkan, biaya transport, pakaian, dan yang lainnya ditanggung oleh klinik “M-P”.

Paling tidak, lanjut lulusan dokter USU ini, kalau peserta mengikuti pelatihan dengan kontinyu diharapkan dalam 18 bulan saja (masing-masing 6 bulan setiap tahap) para tunanetra sudah mampu untuk menyelesaikannya.

“Untuk gelombang pertama ada 8 orang tunanetra yang dilatih, gelombang kedua ada 13 orang. Namun demikian dari antara mereka ada juga yang mengundurkan diri karena alasan jauh dari lokasi pelatihan, kerja dan alasan lainnya,” katanya.

Dalam pelaksanaan latihan, lanjutnya, Binsar menerapkan tenaga medan magnet yang diolah dari energi listrik tubuh manusia, kemudian energi listrik tersebut diolah menjadi medan listrik dan medan listrik ini kemudian dimanfaatkan menjasi medan magnet.

Perlu diketahui, di Indonesia saat ini ada lebih 2 juta orang yang mengalami gangguan penglihatan atau tunanetra. Keadaan mereka makin kurang beruntung karena mayoritas dari mereka berasal dari kalangan ekonomi lemah. Masa depan mereka hanya ada di sekitar panti pijat. Keadaan memprihatinkan ini memacu klinik “M-P” bersinergi dengan Merpati putih untuk terus mengem­bangkan Ilmu Getaran tersebut.

Pendidikan dan pelatihan tunanetra belum banyak dan juga memerlukan banyak biaya, papar Binsar, sedangkan kita tahu bahwa sebagian besar dri mereka memiliki ekonomi pas-pasan, mustahil bagi mereka untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan tersebut.
Akan tetapi, titik cerah untuk menyongsong dunia terang bagi tunanetra telah terbuka dengan dibukanya klinik “M-P” sejak Oktober 2005 lalu. Klinik ini pun siap memfasilitasi pelaksanaan pendidikan dan pelatihan dan peningkatan kepekaan penginderaan tunanetra. (james p pardede)

No comments: