Berikan Kesempatan yang Sama kepada Anak Berkebutuhan Khusus

Oleh : James P. Pardede

Dalam sebuah kesempatan, penulis pernah berkunjung ke sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) di Medan. Di sana ada puluhan anak-anak berkebutuhan khusus sedang belajar berhitung dengan gurunya. Menyaksikan anak-anak berkebutuhan khusus sedang belajar, penulis hanya bisa berseru di dalam hati. Tuhan pasti punya rencana yang indah bagi setiap orang dengan kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Di depan kelas, seorang ibu bercerita kalau anaknya yang sudah berusia 12 tahun masih suka ngompol di celana. Saat usia 2 tahun, dokter memberitahu kalah anaknya mengidap penyakit autis. Autisme masih menjadi mimpi buruk bagi sebagian besar orangtua.

Beberapa orangtua langsung merasa stres saat mendengar anaknya didiagnosis autisme. Beberapa pusat penanganan anak autis sudah banyak tersebar di beberapa kota besar di Indonesia. Sayangnya, orangtua penyandang autis di daerah mungkin merasa kesulitan jika hendak merujuk anaknya ke kota. Di kalangan masyarakat juga masih ada pemahaman bahwa anak-anak autis bisa menularkan penyakitnya.

Maka, beberapa orangtua justru menyembunyikan anaknya yang mengidap autis. Pada kenyataannya, penanganan autis di tingkat nasional memang masih jalan di tempat. Pantauan di sekolah anak-anak berkebutuhan khusus, banyak anak berkebutuhan khusus mengalami masalah serius dalam pengendalian perilaku dan memerlukan bantuan untuk mengendalikan ledakan-ledakan perilaku agresif, yang tidak relevan dengan situasi sosial sehari-hari.

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah mengeluarkan Peraturan Menteri No. 10 tahun 2011 yang berisi tentang pemenuhan hak-hak anak berkebutuhan khusus, yaitu hak untuk hidup, mendapat perlindungan dan tumbuh kembang. Beberapa anak penyandang autisme diketahui memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Namun kemampuan ini kurang tergali dengan optimal karena kurangnya kemampuan berkomunikasi penyandang autis.

Untuk mengoptimalkan kemampuan anak autis, sebaiknya orangtua tidak menitikberatkan latihan pada hal yang sulit dilakukan anak. Misalnya, apabila anak tidak menyukai pelajaran bahasa dan lebih menyukai matematika, maka anak jangan dibebani dengan menggenjot belajar bahasa, namun sebaiknya lebih berfokus untuk mengembangkan kemampuan matematikanya.

Salah satu faktor yang paling penting dalam keberhasilan penanganan autisme adalah keterlibatan dan komunikasi orang tua. Orang tua tidak seharusnya menyerahkan sepenuhnya penanganan anaknya yang menyandang autis kepada terapis. Pada banyak kasus, anak autis berhasil berkembang menjadi lebih baik jika orang tua ikut memantau dan terlibat dalam terapi di rumah, apalagi dalam menerapkan kebiasaan-kebiasaan yang sulit. Anak yang dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental, ketidakmampuan belajar atau gangguan atensi, gangguan emosional atau perilaku, hambatan fisik, komunikasi, autisme, traumatic brain injury, hambatan pendengaran, hambatan penglihatan, dan anak-anak yang memiliki bakat khusus.

Dari beberapa hasil penelitian yang dilakukan terhadap anak-anak berkebutuhan khusus, kebanyakan masyarakat mengatakan bahwa ABK perlu penanganan khusus dan perlu untuk diperhatikan, tentunya dengan memberikan pendidikan secara formal melalui SLB juga dengan kegiatan-kegiatan lain yang dapat membantu mereka menjadi mandiri. Penekanan yang harus dilakukan terhadap masyarakat adalah menyadarkan masyarakat bahwa tidak ada satu anak manusia yang tidak memiliki kekurangan.

Tidak ada satu anak manusia yang ingin dilahirkan ke dunia ini dengan menyandang kelainan atau memiliki kecacatan. Seorang ibu pun tidak pernah menghendaki kelahiran anaknya memiliki kekurangan. Itu sebabnya, sejak kelahirannya ke dunia, anak cacat atau anak berkebutuhan khusus tidak dikehendaki oleh kedua orang tuanya. Inilah konsekuensi logis bila ABK akan menghadapi banyak tantangan dari lingkungan keluarga, masyarakat, maupun lingkungan pendidikan.

Semakin dini ABK diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan anak seusianya, semakin kuat mental ABK menghadapi tantangan yang ada di lingkungan tempatnya berada. Ia juga akan jauh lebih berkembang bila dibandingkan dengan mereka yang diasingkan dan tidak disekolahkan. Data yang terhimpun dari Dit.PPK-LK Dikdas sampai tahun 2011, ada sebanyak 356.192 anak berkebutuhan khusus (ABK) dengan disabilitas.

Namun baru terlayani 85.645 ABK disabilitas yang memperoleh layanan pendidikan pada Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Sekolah Terpadu maupun sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. Artinya sebanyak 249.339 ABK disabilitas (70%) usia 5-18 tahun yang belum sekolah. Data sementara dari Dit.PPK-LK Dikdas tahun 2010/2011 lebih dari 1.654 sekolah penyelenggara pendidikan inklusif (SD-SMP) yang melayani 18.176 ABK dengan disabilitas. Sementara jumlah Sekolah Luar Biasa (SLB) baik negeri dan swasta sebanyak 1.785 sekolah.

Sejak delapan tahun terakhir pendidikan inklusif telah menjadi solusi alternatif mewujudkan pendidikan untuk semua (Education for All). Direktur PPK-LK Dikdas Dr. Mudjito A.K, M.Si mengakui bahwa pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi ABK disabilitas merupakan perkara yang wajib bagi pemerintah. Namun peran masyarakat dan pengusaha tidak dapat melepaskan tanggung jawab sepenuhnya kepada pemerintah. Karena jangkauan pelayanan pemerintah yang terbatas. Sebagian masyarakat yang memiliki ABK dengan disabilitas ini tidak menyekolahkan anak-anaknya karena malu.

Sebagian lagi, kerena himpitan ekonomi. Selain itu masalah geografis maupun ABK yang tinggal di daerah pelosok dan 3T (Tertinggal, Terpencil, Terdepan/Terluar) sehingga menyulitkan mereka untuk bersekolah. Berikan Kesempatan yang Sama Populasi anak berkebutuhan khusus di Indonesia diperkirakan mencapai 350 ribu orang. Namun, jumlah anak yang sudah masuk di jenjang pendidikan baru sekitar 85 ribu orang. Mereka ditampung di sekitar 1.600 sekolah luar biasa se-Indonesia. Artinya, pemerintah baru mengkomodir sekitar 30 persen anak berkebutuhan khusus.

Selain faktor biaya, banyak orang tua yang cenderung menyembunyikan anaknya karena merasa malu. Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendibud) Bidang Pendidikan, Prof Musliar Kasim PhD menyampaikan bahwa masalah yang dihadapi pemerintah saat ini, yakni kurangnya kesadaran masyarakat khususnya para orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus untuk menyekolahkan anaknya. Itu sebabnya, pemerintah menyerukan agar masyarakat jangan rendah diri jika memiliki anak berkebutuhan khusus.

Untuk meyakinkan masyarakat agar mau menyekolahkan anak-anak mereka yang berkebutuhan khusus atau cacat, peran seluruh elemen masyarakat sangat menentukan. Di zaman sekarang, banyak orang tua yang hanya memiliki sedikit waktu untuk keluarga. Hal tersebut juga berdampak pada anak-anak yang menjadi kurang perhatian, terutama pada anak-anak yang berkebutuhan khusus.

Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang memang secara signifikan berbeda dalam beberapa dimensi yang penting dari fungsi kemanusiaannya. Penyebab seorang anak mengalami keterbelakangan mental ini disebabkan beberapa hal. Antara lain dari dalam dan dari luar. Jika dari dalam adalah karena faktor keturunan. Sedangkan dari luar memiliki banyak penyebab. Penyebab dari luar ada beberapa faktor.

Satu di antaranya karena maternal malanutritisi (malanutrisi pada ibu). Ini biasanya terjadi pada ibu hamil yang tidak menjaga pola makan yang sehat, keracunan atau efek substansi. Hal tersebut bisa memicu kerusakan pada plasma inti, kerusakan pada otak waktu kelahiran, gangguan pada otak. Misalnya tumor otak, bisa juga karena gangguan fisiologis seperti down syndrome.

Sementara penyebab dari luar, misalnya karena pengaruh lingkungan dan kebudayaan. Biasanya ini terjadi pada anak yang dibesarkan di lingkungan yang buruk. Kasus abusif, penolakan atau kurang stimulasi yang ekstrem dapat berakibat pada keterbelakangan mental. Pada umumnya, anak-anak yang berkebutuhan khusus dan sebagian anak normal mengembangkan suatu bentuk perilaku yang perlu perhatian dan penanganan secara khusus dan hati-hati. Perilaku tersebut bisa saja terjadi karena anak merasa frustrasi tidak dapat mengekspresikan dirinya dengan kata-kata yang komunikatif agar dipahami orang lain.

Akhirnya amarahnya meledak dan mengamuk. Autis sendiri adalah sebuah gangguan perkembangan kompleks, gangguan neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak anak sehingga membuatnya tidak mampu berkomunikasi maupun berinteraksi dengan sekitarnya secara efektif, dengan gejala yang terlihat pada usia tiga tahun. Gejala yang mudah dilihat adalah sikap yang cenderung tidak mempedulikan sekitarnya dan serta seakan hidup dalam dunianya sendiri. Ketika berinteraksi dengan anak autis, biasanya si anak tidak pernah fokus dan selalu ingin melakukan sesuatu yang menurutnya asyik. Sejauh ini memang belum ditemukan cara atau obat untuk menyembuhkan autis, tetapi terdapat terapi yang dapat membantu penderita autis.

Dalam rangka peringatan Hari Autis Sedunia 2013 (2 April) bertemakan "Light it Up Blue" yang diramaikan dengan memakai baju berwarna biru atau menyalakan benda-benda lain yang berwarna biru. Menurut autismspeaks.org, warna biru dipilih karena mewakili anak laki-laki yang paling banyak didiagnosa menderita autis. Gangguan autisme mayoritas muncul 5 kali lipat lebih banyak pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Perhitungannya adalah, autisme muncul pada 1 dari 88 anak, dan 1 dari 54 yang diantaranya adalah anak laki-laki.

Untuk memperingati Hari Autis Sedunia ini ada baiknya kita untuk berempati dan memperlakukan mereka seperti selayaknya manusia normal. Berikan kesempatan yang sama kepada anak autis untuk menikmati hidup yang lebih bermakna. Pendampingan dan kasih sayang akan memudahkan mereka dalam belajar mandiri. * Penulis adalah peduli pendidikan dan masalah sosial

Cegah Penularan HIV-AIDS Sejak Dini

Oleh : James P. Pardede

Berita terbaru yang dirilis dari Antara menyebutkan, bahwa sebanyak 69 orang penderita HIV/AIDS di Subang meninggal dunia. Dari sebanyak 352 kasus penderita HIV/AIDS di Kabupaten Subang, tercatat ada sebanyak 69 orang penderita HIV/AIDS telah meninggal dunia.

Hal tersebut disampaikan Koordinator Penanggulangan HIV/AIDS, Dinas Kesehatan Kabupaten Subang, Jawa Barat (Jabar), Suwata. Para penderita HIV/AIDS yang meninggal dunia didominasi dengan temuan kasus di kawasan Pantai Utara (Pantura) Subang. Hingga saat ini Dinkes Subang telah menyatakan kawasan pantura Subang sebagai kawasan merah atau kawasan dengan resiko tinggi penyebaran HIV/AIDS dikarenakan di kawasan pantura Subang masih terdapat lokalisasi tersembunyi sehingga proses penyebaran HIV/AIDS di wilyah itu sulit dideteksi.

Berdasar pada temuan Dinkes Subang, penderita HIV/AIDS tahun ini didominasi oleh golongan Pekerja Seks Komersial (PSK) serta pengguna PSK. Adapun untuk titik sebaran terkonsentrasi penularan HIV/AIDS di Subang, terdiri dari 13 titik sebaran. Dominansi dari temuan kasus antara di Kecamatan Patokbeusi, Blanakan, Ciasem, Pamanukan serta Cipunagara Subang. Dari temuan kasus HIV/AIDS, tiga orang balita dinyatakan positif terjangkit AIDS yang kemungkinan besar penularannya secara golongan peri-natal atau melalui ibunya yang positif terjangkit AIDS.

Jika melihat kebelakang, sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS di Indonesia masih amat jarang, sebagian besar berasal dari kelompok homoseksual. Sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam terutama akibat penularan melalui narkotika suntik. Hingga dengan Maret 2005 tercatat 6.789 kasus HIV/AIDS. Jumlah itu diperkirakan belum menunjukkan angka sebenarnya. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah antara 90.000 sampai 130.000 orang. Estimasi terbaru jumlah yang terinfeksi HIV lebih dari 500.000 orang.
Berakibat Kematian

Data yang ada menunjukkan kesimpulan bahwa epidemi HIV/AIDS di Indonesia sudah berada dalam tahap lanjut. Waspada terhadap penularan penyakit berbahaya ini harus segera disebarluaskan. Serukan 'lampu kuning' untuk HIV/AIDS. Berdasarkan penelitian, penularan terjadi melalui berbagai cara, baik melalui hubungan homoseksual, heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah, hingga dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya. Infeksi HIV/AIDS juga telah mengenai semua golongan masyarakat, baik kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum.

Jika pada awalnya, sebagian besar orang dalam HIV/AIDS (ODHA) berasal dari kelompok homoseksual maka kini telah terjadi pergeseran dimana persentase penularan secara heteroseksual dan pengguna narkotika semakin meningkat. Beberapa bayi yang terbukti tertular HIV dari ibunya menunjukkan tahap yang lebih lanjut dari tahap penularan heteroseksual. Informasi yang dilansir dari Harian Analisa, di kota Medan ditemukan 952 HIV (Human Immunodeviciency Virus) positif baru selama ini sebagai sumber penyakit penularan yang bisa berakibat kematian.

Penemuan ini berdasarkan jumlah kunjungan ke klinik VCT (Voluntary Counselling and Testing/konseling dan testing HIV sukarela) sebanyak 12 ribu orang sejak 2006 hingga akhir 2007 dan mereka telah mendapat informasi tentang HIV dan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom). Bahkan mereka juga sudah dapat mencegahnya agar tidak menularkan kepada orang lain. Selain itu juga mereka telah mendapat perawatan dan pengobatan untuk lebih meningkatkan kualitas hidupnya.

Kasus HIV/AIDS di Sumatera Utara dalam hal ini Dinas Kesehatan Sumut tidak henti-hentinya melakukan upaya penanggulangan HIV/AIDS di Sumut maupun upaya pencegahan dan penanggulangan virus HIV/AIDS dilakukan di bawah koordinasi Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) dan di bawah pengawasan Gubsu dengan melibatkan semua instansi maupun badan yang terkait serta LSM dan di beberapa Kabupaten Kota yang sudah terbentuk Komisi Penanggulangan AIDS. Dinas Kesehatan dalam hal ini sebagai salah satu anggota dan leading sector harus melakukan beberapa upaya untuk pencegahan dan pelayanan HIV/AIDS. Diantaranya harus ada advokasi ke pemerintah daerah khususnya untuk pendanaan program HIV/AIDS di Kabupaten Kota masing-masing. Bagaimana bisa dilakukan bila tidak ada dananya. 

Begitu juga harus ada pembentukan klinik VCT dan CST (Care Support and Treatment) secara bertahap, minimal 1 buah per Kabupaten Kota dengan sasaran kelompok-kelompok risiko tertular virus HIV sebanyak mungkin sehingga diharapkan upaya pencegahan penularan dari kasus tersebut dapat sedini mungkin dilakukan pencegahannya. Tidak kita pungkiri, bahwa seks bebas dan penyalahgunaan narkoba sangat erat kaitannya dengan penularan HIV/AIDS. Lihat saja, lokalisasi di beberapa kawasan di Sumut, berapa banyak akses penjualan narkoba dan seks bebas terjadi disana.

Razia-razia yang dilakukan aparat kepolisian tidaklah cukup mengehentikan penyebaran visrus penyakit ini. Kampanye kondomisasi yang dielu-elukan dapat mengatasi pencegahan HIV/AIDS yang ditunjang dengan pendirian ATM kondom ternyata tetap tidak membawa hasil yang signifikan. Kondom bukanlah penyelesaian tuntas, kondom tidak efektif sebagai pencegah penularan virus HIV. Karena pori-pori kondom besarnya 600 kali lebih besar dibanding besar virus HIV. Selain itu, kondom sensitif terhadap perubahan suhu.

Sehingga, penggunaan kondom semakin meningkatkan laju infeksi HIV dan menyuburkan seks bebas. Penerapan ide liberalisme di negeri ini, semakin menambah daftar panjang perusakan generasi bangsa. Bertindak dengan Tegas Akibat diadopsinya budaya barat seperti seks bebas menimbulkan berbagai permasalahan mulai kehamilan di luar nikah, aborsi, stress, bunuh diri dan kehancuran keluarga.

Untuk itu, hendaknya kita lebih waspada terhadap budaya yang bersifat merusak generasi bangsa. Pencegahan penularan HIV/AIDS tidak bisa tidak harus diselesaikan dengan penyelesaian yang menyeluruh dan komprehensif bukan parsial. Ideologi sekular/kapitalis yang banyak diemban oleh beberapa negara ternyata tidak berhasil membawa bangsa ini bermatabat. Kebebasan berperilaku yang diagung-agugkan semakin membuat negeri ini terpuruk dan bakal dipastikan kehilangan generasi bangsa yang berkualitas.

Kita semua yakin dan percaya bahwa di setiap ajaran agama selalu ditekankan untuk hidup sehat, berpikir sehat dan menghindari tempat-tempat maksiat. Untuk kasus pencegahan penularan HIV/AIDS ini, ada tiga solusi yang dapat diberikan yaitu: Pertama, Pemutusan Rantai Transmisi HIV: Stop Seks Bebas. Aktivitas seks bebas tetap akan terjadi di negeri ini, selama negara juga tetap memfasilitasi terjadinya aktivitas seks bebas.

Ada kontradiksi dalam hal ini, di satu sisi negara ingin penularan HIV/AIDS tidak terus meningkat tetapi di sisi lain negara malah memberikan izin beroperasinya tempat-tempat yang jelas-jelas menumbuh suburkan aktivitas seks bebas. Hendaknya Pemerintah bertindak dengan tegas, bukannya plin-plan karena ini menyangkut generasi bangsa di masa yan akan datang. Kedua, Pemutusan Rantai Transmisi HIV: Stop Penyalahgunaan Narkoba.

Dimana narkoba dan segala jenisnya sangat berbahaya, karena selain dapat menghilangkan akal manusia juga dapat menularkan HIV/AIDS melaui jarum suntik yang tidak streril. Untuk memberantasnya harus dilakukan peningkatan ketakwaan individu dan menghabisi mafia narkoba hingga ke akar-akarnya. Penyalahgunaan narkoba diberikan sanksi 40 kali cambuk dan bagi pengedar dapat dikenai hukuman mati. 

Ketiga, Pemutusan Rantai Transmisi Melalui ODHA. Untuk menghambat penularan HIV/AIDS melalui “efek spiral”, maka yang harus dilakukan Pemerintah bagi ODHA yang terbukti terinfeksi karena zina dan sudah menikah akan dirajam. Sedangkan ODHA yang terinfeksi karena aktifitas homoseks haruslah dibunuh untuk menekan jumlah yang tertular akibat “efek spiral”. Langkah ini harus ditempuh oleh negara dengan menindak secara tegas bagi para pelaku. Adanya sanksi yang berat dapat semakin menurunkan jumlah penularan HIV/AIDS.

Bagi ODHA yang tidak terkena sanksi yang mematikan dan terinfeksi karena “efek spiral” yaitu dengan membuat karantina bagi ODHA. Karantina ini bukanlah diskriminasi bagi ODHA karena dalam masa karantina semua kebutuhan fisik dan nalurinya wajib dipenuhi oleh negara serta akan dimotivasi untuk sembuh. Selain terapi fisik, ODHA akan diberikan terapi psikoreligi yaitu dengan memotivasi kesembuhan dan meningkatkan ketakwaan. Selama masa karantina ODHA dapat melakukan aktivitas normal sepanjang tidak membahayakan individu sehat lainnya. Transfusi darah juga harus dipastikan darah donor bersih dari infeksi virus HIV dan yang tidak kalah pentingnya negara wajib menyediakan perawatan khusus bagi ODHA dengan resiko penularan terhadap tenaga kesehatan secara maksimal. * Penulis adalah pemerhati masalah sosial