KONVERSI hutan dan lahan pertanian produktif menjadi kebun sawit masih
saja terjadi. Menurut petani, hasil dari bertanam sawit lebih
menjanjikan sehingga banyak petani rela melepas lahannya dan beralih
profesi menjadi pemilik kebun sawit atau sebaliknya menjadi buruh kebun
sawit.
Ekspansi perkebunan sawit di Indonesia hingga saat ini
mencapai 11,5 juta hektare (Sawit Watch, 2013). Alasan pemerintah
membuka usaha perkebunan untuk kesejahteraan rakyat dan tersedianya
lapangan pekerjaan.
Semakin luasnya lahan perkebunan, baik yang
dikelola BUMN, swasta atau perorangan membuka kesempatan bagi pencari
kerja untuk mendapatkan pekerjaan. Ada yang karena desakan kebutuhan
keluarga, satu keluarga memilih bekerja di sektor perkebunan sebagai
buruh.
Kenyataan di lapangan, buruh perkebunan dieksploitasi.
Diperkirakan sekitar 70% buruh di perkebunan adalah buruh harian lepas
(Sawit Watch, 2012).
Hubungan kerja ini mengakibatkan buruh
rentan kesewenang-wenangan dan tidak ada kepastian apakah mendapat
jaminan kesehatan atau jaminan kerja tetap.
Dari beberapa
penelitian yang dilakukan Sawit Watch terungkap adanya indikasi kerja
paksa buruh di perkebunan sawit. Buruh mengalami perlakuan buruk, upah
rendah, target kerja tinggi, pemberlakukan hukuman dan denda tidak adil,
tidak diberikan alat kerja dan alat keselamatan kerja yang memadai,
serta minim fasilitas air bersih, kesehatan, sarana dan prasarana
sekolah bagi anak-anak mereka.
Pantauan di lapangan, buruh
perkebunan syarat kerja umum (SKU) bagian pemanen di salah satu
perkebunan swasta di kawasan Rantauprapat dibayar Rp 1,9 juta per bulan.
Buruh SKU di perkebunan ini harus menyiapkan alat sendiri. Kalau pun
ada dari perusahaan, diharuskan membayar setengah harga.
Perlengkapan kerja lainnya seperti sepatu, kampak, angkong, egrek disediakan sendiri oleh buruh.
Penghasilan
seorang buruh SKU yang dianggap sudah karyawan tetap dengan tanggungan
isteri dan dua anak ternyata tidak cukup. Imbas minimnya penghasilan
buruh perkebunan sawit mendorong isteri bahkan anak turun tangan dan
menjadi buruh harian lepas (BHL) yang memperoleh upah seadanya.
Jauh
sebelum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenakerjaan
diberlakukan di Indonesia, praktik kerja BHL sudah ada di perkebunan.
Praktik
hubungan kerja majikan-buruh eksploitatif ini sudah ada sejak zaman
kolonialisme (Mubyarto, 1992; Kartodirjo, 1999). Kebijakan kolonialisme
waktu itu, terutama di perkebunan, lebih berpihak pada modal, seperti
konsesi tanah murah, pengakuan kepemilikan tanah bagi pengusaha asing
(hak erfpacht) dan legitimasi hubungan kerja bebasis "kuli kontrak"
melalui kebijakan perburuhan ordonansi koeli dan ponale sanksi lebih
ditujukan menjerat buruh menjadi abdi tuan kebun (perbudakan) (Said,
1977).
Beberapa tahun kemudian, secara konsisten pemerintah waktu
itu memperjuangkan hubungan kerja majikan-buruh bersifat kolektif
berbasis kesejahteraan. Setidaknya tiga undang-undang yaitu
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan, Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948
tentang Pengawasan Perburuhan, yang oleh banyak ahli dikatakan sebagai
salah satu undang-undang paling progresif dan protektif terhadap
buruh/pekerja pada masanya dan jauh lebih bagus dari Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenakerjaan.
Kondisi buruh perkebunan
kelapa sawit makin dipersuram oleh minimnya kebebasan berserikat di
perkebunan. Buruh yang mencoba mendirikan serikat buruh diintimidasi,
dipindahkan ke pekerjaan lain yang tidak disukainya, upah dikurangi,
bahkan terancam di-PHK. Belakangan, beberapa buruh yang terlibat serikat
pekerja atau serikat buruh pergerakannya sangat melekat dan selalu
diawasi pihak perusahaan.
Pilihan Sangat Sulit
Keberadaan
BHL yang bisa sewaktu-waktu di-PHK perusahaan perkebunan membuat banyak
di antaranya tidak bisa berkutik dan terikat aturan yang ada di
perusahaan perkebunan. Jika suami menjadi buruh SKU, sang isteri dan
anak akan menjadi BHL demi untuk menambah income keluarga.
Banyak
di antara isteri yang bekerja di bagian penyemprotan atau pengumpul
tandan buah segar (TBS) mengeluhkan perlakuan perusahaan yang
mempekerjakan mereka sampai bertahun-tahun tapi tidak ada kepastian akan
diangkat menjadi buruh SKU atau hanya sebagai BHL seumur hidup.
Persoalan
dan perlakuan apa pun yang dihadapi buruh di perkebunan sangat jarang
terekspose ke luar, bahkan hampir tak pernah terdengar.
Dengan
masuknya serikat buruh ke perkebunan, beberapa persoalan yang dihadapi
buruh ada yang bisa diselesaikan dan ada juga yang tersimpan rapi hanya
sebagai catatan hitam serikat buruh. Persoalan buruh, ketika ditangani
akan mendapat tekanan dari perusahaan, apakah masih mau bekerja atau
tidak.
Apa yang menjadi catatan serikat buruh tentang perlakuan
perusahaan perkebunan terhadap BHL sesungguhnya sampai juga ke
pemerintah daerah, hanya saja belum menjadi prioritas selagi masih belum
ada konflik. Ketika ada konflik atau permasalahan di perkebunan mencuat
ke permukaan, sikap pemerintah setempat hanya memediasi agar
permasalahan yang terjadi bisa dicarikan jalan keluarnya.
Berbicara
tentang data jumlah tenaga kerja di perkebunan pasti berbeda jauh
dengan data di atas kertas. Pihak disnakertrans sangat kesulitan dalam
melakukan pengawasan tenaga kerja di perkebunan.
Salah satu
alasannya keterbatasan personel dan jauhnya jarak antara perkebunan yang
satu dengan yang lain. Kalau di perkebunan ada permasalahan buruh yang
laporannya sampai ke disnakertrans, maka timnya akan turun ke lokasi
atau mempertemukan pengusaha dengan karyawan untuk mencari titik temu
dan jalan keluar.
Akibat jarak yang sangat jauh dan lamanya waktu
tempuh mengakibatkan pemerintah setempat mengundang wakil perusahaan
perkebunan datang ke kantor Disnakertrans dan menyelesaikan permasalahan
yang terjadi. Terkadang pihak perusahaan tidak datang atau sebaliknya
buruh yang melaporkan perlakuan tidak manusiawi perusahaan yang absen.
Persoalan
lain yang dihadapi BHL di perkebunan adalah air bersih yang tak
mencukupi kebutuhan keluarga dan tal layak dikonsumsi. BHL terpaksa
membeli air dalam kemasan atau air dalam galon yang setiap waktu
tertentu dijajakan ke perkebunan. Penuturan beberapa buruh yang sudah
lama tinggal di perkebunan, untuk mendapatkan air bersih mereka sudah
menggali sumur sampai kedalaman enam meter tapi tetap saja airnya tidak
layak dikonsumsi.
Masih peliknya permasalahan buruh di perkebunan
sawit perlu mendapat perhatian berbagai pihak, termasuk perusahaan
perkebunan yang mempekerjakan buruh tersebut. Jangan hanya menguras
tenaga mereka demi mendapatkan hasil berlimpah, tanpa mau memperhatikan
kesejahteraannya.
(Oleh: James P. Pardede) Penulis pendidik dan pemerhati masalah sosial
Tulisan ini sudah dimuat di Harian Medan Bisnis