Upaya Pencegahan Dimulai dari Diri Sendiri
Oleh : James P. Pardede
KASUS-KASUS korupsi di negeri ini masih banyak yang belum tuntas. Ada kasus korupsi yang sudah dilaporkan dan memiliki bukti-bukti kuat masih dalam pemeriksaan, ada yang masih dalam persidangan dan ada juga yang sudah menjalani hukuman. Sebenarnya, banyak kasus korupsi di negeri ini yang sudah diketahui banyak pihak, tapi penyelesaiannya berlarut-larut.
Dalam rangka memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia (9 Desember 2010), ada seruan agar peringatannya tidak hanya sekadar peringatan seremonial saja. Peringatan dengan menempel poster atau spanduk bertuliskan ”Stop ! Korupsi” atau ”Bebaskan Negeri ini dari Tindakan Korupsi.” Setelah itu, korupsi merajalela lagi. Upaya pencegahan paling baik itu sebenarnya dimulai dari diri kita sendiri. Mulai dengan mendisiplinkan diri untuk tidak melakukan korupsi, apakah itu korupsi waktu, korupsi uang dan korupsi lainnya.
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui resolusi 58/4 pada 31 Oktober 2003 menetapkan tanggal 9 Desember sebagai Hari Anti Korupsi se-dunia. Langkah tersebut dilakukan untuk lebih meningkatkan kewaspadaan atas bahaya korupsi dan untuk meningkatkan peran United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) dalam upaya memerangi dan mencegah korupsi.
Ditengah situasi dan kondisi bangsa kita saat ini, ada satu harapan agar pemerintah benar-benar serius dalam mengawal jalannya pemerintahan agar terhindar dari pelaku-pelaku kejahatan para koruptor. Seluruh masyarakat juga menaruh harapan besar kepada Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terpilih Busyro Muqoddas dalam menuntaskan kasus-kasus korupsi yang selama ini sudah terlanjut diketahui masyarakat banyak.
Setelah terpilih menjadi Ketua KPK, Busyro Muqoddas langsung diperhadapkan dengan tugas berat untuk menuntaskan skandal Century dan kasus mafia pajak yang seharusnya dituntaskan sampai ke akar-akarnya. Jika kasus-kasus yang selama ini sudah diketahui masyarakat tidak juga ditusntaskan, maka kepercayaan dan kredibilitas akademisi kampus di mata publik akan luntur.
Belakangan ini, ada 4 kasus besar yang sudah mengemuka ke public dan ini menjadi PR Busyro begitu terpilih menjadi Ketua KPK. Pertama, kasus Bank Century. Sudah sampai sejauh mana KPK menangani permasalahan di Bank Century ini ? Kasus kedua, mafia pajak Gayus Tambunan. Dalam kasus mafia pajak ini, KPK diminta turun tangan mengungkapkan masalah ini dan jangan hanya fokus pada keluar masuknya Gayus Tambunan dari rutan, tetapi bagaimana kasus mafia pajak ini menggurita dan mengungkap orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Kasus ketiga adalah kasus suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S Goeltom. Kasus yang menyeret sejumlah politisi Senayan ini, KPK diminta transparan dan mengungkap semua pelakunya tanpa pandang bulu. Dan keempat adalah masalah salam IPO (penawaran saham perdana) Krakatau Steel. Hal ini harus diusut karena masalah BUMN yang coba dijual ke pihak asing.
Tidak hanya keempat kasus diatas, beberapa kasus lainnya seperti melibatkan Gubernur, Bupati dan Walikota juga harus dituntaskan. Adanya dugaan rekayasa kasus Bibit-Chandra juga harus diusut sampai tuntas untuk penguatan lembaga KPK ke depan.
Tugas berat penuntasan kasus-kasus korupsi juga ada di tangan penegak hukum lainnya. Mulai dari institusi Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Berdasarkan data Bank Dunia, setiap tahunnya tercatat ada sekitar 1 triliun dolar AS digunakan sebagai uang suap dan sebesar 80 miliar dolar AS menjadi kerugian akibat korupsi.
Indonesia sebagai negara hukum telah menempatkan diri pada posisi terdepan dalam pemberantasan korupsi. Pada 9 Desember 2004 pemerintah telah memerintahkan kepada seluruh jajaran kabinet Indonesia Bersatu untuk percepatan pemberantasan korupsi dengan Inpres nomor 5 tahun 2004. Kemudian, pada 2005 dibentuk tim koordinasi pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai tindak lanjut instruksi Presiden. Dalam periode pelaksanaan tugasnya dari tahun 2005 sampai 2007 telah berhasil menyelesaikan 280 kasus/perkara dengan nilai keuangan atau aset negara yang diselamatkan/diamankan sejumlah Rp3,95 triliun.
Mudah-mudahan, upaya percepatan pemberantasan korupsi ini juga berlanjut pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Dimana, dari sekian banyaknya kasus-kasus korupsi di beberapa institusi yang melibatkan oknum-oknum pelaku pemerintahan harus benar-benar dituntaskan.
Jika kita melihat sejenak ke belakang, sewaktu pemilihan gubernur, bupati dan walikota masih dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPRD di daerah, kasus korupsi tetap ada dan merajalela. Hanya saja, sejak bergulirnya era reformasi dan pemilihan gubernur, bupati dan walikota dipilih langsung oleh rakyat ada nilai positif dan negatif yang jadi bawaannya. Positifnya adalah masyarakat bisa memilih orang-orang yang dianggap mampu. Negatifnya adalah ada banyak ‘uang’ yang beredar mulai dari pencalonan, kampanye sampai kepada pemilihan. Money politic tak bisa lekang dari demokrasi ini.
Ketika seseorang memutuskan diri untuk mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati atau walikota, berarti harus siap dengan dana ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Ketika terpilih, hal pertama yang terpikir adalah bagaimana caranya uang yang telah digunakan selama proses pemilihan bisa kembali. Sudah menjadi tradisi, kalau di tahun-tahun pertama terpilih akan memunculkan banyak gebrakan dan pembangunan. Di tahun kedua mulai ambil sedikit-sedikit, di tahun ketiga mulai rakus, tahun keempat rakusnya agak berkurang, dan diakhir masa jabatan akan kembali membuat gebrakan untuk mengambil hati rakyat agar kelak terpilih kembali pada putaran berikutnya.
Adanya hembusan isu tentang pemilihan gubernur akan dilakukan oleh pemerintah mendapat reaksi positif dan negatif dari berbagai kalangan. Belum lagi hembusan angin tak sedap yang menciptakan perseteruan antara Presiden SBY dengan gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X. Tak ada yang harus diperdebatkan dengan keistimewaan Yogyakarta.
Pentingnya Kesadaran
Harapan kita ke depan adalah pemerintah benar-benar dalam menegakkan hokum dan tidak pandang bulu. Tidak hanya pada peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia saja kita menyerukan perang terhadap perilaku korup. Perang terhadap perilaku korup justru harus dimulai dari diri sendiri. Dengan mulai mendisiplinkan diri sendiri dan menerapkan perilaku hidup apa adanya.
Selain dengan upaya penyadaran dan introspeksi diri, pemberantasan korupsi juga dilakukan dengan tiga cara yaitu edukatif, preventif dan represif. Banyak pihak yang menyerukan agar peringatan hari anti korupsi se-dunia dijadikan momentum untuk meningkatkan semangat aparatur negara, aparatur pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkan sikap anti korupsi.
Nikmatilah hidup dengan apa adanya, karena hal terpenting yang perlu dilakukan dalam membentengi diri agar tidak korupsi adalah menjadi sadar dan selalu mengucap syukur dalam segala kondisi. Karena, inti kepemimpinan itu adalah kesadaran. Inti spiritualitas juga adalah kesadaran. Banyak orang yang menjalani hidup ini dalam keadaan tertidur. Mereka lahir, tumbuh, menikah, mencari nafkah, membesarkan anak, dan akhirnya meninggal dalam keadaan tertidur. Artinya, banyak orang yang hidup dimuka bumi ini seperti terhipnotis.
Kita pasti tahu kalau korupsi itu merugikan negara dan orang lain, tapi kita tak pernah menyadarinya. Pengertian menyadari amat berbeda dengan mengetahui. Siapa yang tidak tahu kalau berolah raga penting untuk kesehatan, olah raga selalu dianjurkan dokter ketika kita berobat, tapi kita tidak juga melakukannya.
Kita tahu pasti kalau memperjualbelikan jabatan itu salah, tapi banyak orang yang dengan ’happy’ menikmatinya. Yang anehnya lagi, kita semua tahu kalau berselingkuh dapat menghancurkan keutuhan keluarga, tapi banyak orang yang tidak dapat menahan godaan. Itulah contoh mengetahui tapi tidak menyadari.
Pentingnya menyadari hal-hal yang akan kita lakukan apakah merugikan orang lain atau tidak menjadi senjata ampuh dalam melawan perilaku korupsi. Kita juga harus sadar sebelum disadarkan oleh orang lain. Karena, ada dua hal yang dapat membuat orang menjadi sadar. Pertama, peristiwa-peristiwa pahit dan musibah. Kita baru sadar pentingnya kesehatan kalau sudah jatuh sakit. Seorang wanita karier baru menyadari bahwa keluarga jauh lebih penting setelah anaknya terkena narkoba.
Kemudian, yang kedua adalah kematian. Kematian menjadi satu stimulus terbesar yang mampu menyentakkan kita. Banyak tokoh terkenal meninggal begitu saja ketika dinyatakan bersalah melakukan tindakan korupsi. Banyak orang yang tidak siap ketika kejahatannya terungkap, tetapi saat melakukan kejahatan tersebut ia tidak menyadari kalau suatu saat kejahatannya akan terungkap. Kematian menyadarkan kita pada betapa singkatnya hidup ini, betapa seringnya kita meributkan hal-hal sepele, dan betapa bodohnya kita menimbun kekayaan yang tidak sempat kita nikmati.
Lantas, apakah kita perlu mengalami sendiri peristiwa-peristiwa yang pahit itu agar kita sadar? Jawabnya: ya! Tapi kalau sampai hari ini kita merasa cara tersebut terlalu mahal, ada cara kedua yang jauh lebih mudah, yaitu belajarlah mendengarkan.
Dengan mendengar begitu banyak cerita tentang korupsi yang berujung dibalik terali besi, kita harus belajar banyak dari peristiwa ini. Buka mata dan hati dengan sungguh-sungguh untuk mengerti, mendengarkan dan mempertanyakan semua pikiran dan paradigma kita selama ini apakah sudah benar atau tidak.
Penuntasan kasus korupsi di negeri ini harus dimulai dari penyadaran diri sendiri. Dan mulailah dari diri sendiri untuk tidak melakukan korupsi. Karena, korupsi membuat banyak orang rugi termasuk negeri yang kita cintai ini.
* Penulis adalah pemerhati masalah sosial tinggal di Medan.
Gizi Buruk dan Kemiskinan
http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=75922:gizi-buruk-dan-kemiskinan&catid=830:16-november-2010&Itemid=222
Gizi Buruk dan Kemiskinan
Oleh : James P. Pardede
Pemerintah merilis bahwa angka kemiskinan di negeri ini mengalami penurunan. Data BPS menyampaikan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 memang telah berkurang 1,51 juta orang menjadi 31,02 juta orang (13,33 persen) dibandingkan dengan Maret 2009 sebanyak 32,53 juta orang. Namun, angka kemiskinan itu terbilang tinggi.
Penduduk miskin dalam pendataan ini adalah mereka yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Angka garis kemiskinan pada Maret 2010 adalah Rp 211.726,- per kapita per bulan. Ketersediaan data kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran, sangat penting digunakan untuk mengevaluasi kebijakan strategis pemerintah terhadap kemiskinan. Ini juga penting untuk membandingkan kemiskinan antar waktu dan daerah, serta menentukan target penduduk miskin dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi mereka.
Jika membandingkan antar daerah, BPS mencatat sejumlah wilayah masih menghadapi persoalan kemiskinan yang tinggi. Bahkan, angka kemiskinan yang tertinggi itu justru terjadi di wilayah dengan kekayaan sumber daya alam melimpah, seperti Papua dan Papua Barat. Prosentase angka kemiskinannya mencapai 34-36 persen, jauh lebih besar dibandingkan rata-rata nasional sebesar 13,33 persen.
Selain Papua, propinsi lain yang memiliki prosentase penduduk miskin tinggi adalah Maluku, Nusa Tenggara, Aceh, Bangka Belitung dan lainnya. Jumlah penduduk di propinsi-propinsi tersebut yang memang tidak sebanyak di Jawa, tetapi secara prosentase dibandingkan total penduduk di wilayah tersebut, kelompok orang miskinnya sangat tinggi.
Pengamat Ekonomi Umar Juoro memperkirakan angka kemiskinan mengalami penurunan pada 2010 menjadi 13,5 persen jika dibandingkan dengan jumlah penduduk. Kemiskinan akan turun karena inflasi yang rendah dan juga ekonomi yang lebih baik menyusul pemulihan ekonomi dunia.
Pada 2009, tingkat kemiskinan tercatat mencapai 14,15 persen atau sebanyak 32,53 juta jiwa atau turun dibandingkan 2008 yang mencapai 15,42 persen. Pada 2010, pemerintah menargetkan angka kemiskinan turun lagi menjadi 13 persen.
Menurutnya lagi, angka kemiskinan yang turun ke tingkat 13,5 persen memang lebih tinggi sedikit dibandingkan target pemerintah sebesar 13 persen pada 2010. Namun demikian jika program pemerintah mengatasi kemiskinan bisa berlangsung lebih efektif lagi, target angka kemiskinan bisa tercapai. Untuk mencapainya pemerintah harus lebih banyak lagi menciptakan lapangan kerja di sektor formal dan bukan informal. Karena, di 2009, tingkat inflasi mencapai 2,78 persen atau merupakan rekor terendah dalam 10 tahun terakhir sejak 1999 sebesar 2,1 persen.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Armida Alisyahbana mengatakan bahwa pengentasan kemiskinan memang menjadi program prioritas pemerintah. Jumlah orang miskin yang mendekati miskin per Maret 2010 mencapai 60 juta orang. Hal ini menunjukkan penanggulangan kemiskinan bukan hanya masalah pemerintah namun membutuhkan bantuan dari masyarakat.
Tahun ini saja, anggaran untuk pengentasan kemiskinan mencapai Rp70 triliun-Rp80 triliun, namun angka tersebut sudah termasuk subsidi kepada masyarakat. Anggaran tersebut berhasil menurunkan jumlah kemiskinan dari 14,15 persen pada 2009 menjadi 13,3 pada 2010. Dia juga mengatakan bahwa pemerintah mempunyai program penanggulangan kemiskinan yang dibuat pemerintah adalah terdapat dua program yang terkait dengan program prorakyat, yaitu program penanggulangan kemiskinan yang berbasis keluarga, dan program penanggulangan kemiskinan berbasis masyarakat.
Kurang Gizi
Berbicara tentang kemiskinan, pasti akan bersinggungan langsung dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat seperti masalah kurang gizi dan sulitnya masyarakat miskin mendapatkan akses layanan kesehatan. Permasalahan ini patut mendapat perhatian karena salah satu indikator produktivitas manusia adalah berbadan sehat dan cukup dalam asupan gizi yang seimbang. Bagaimana mungkin negeri ini mencetak SDM berkualitas kalau asupan gizi dan makanan yang masuk ke dalam tubuhnya tidak mendukung.
Tulisan ini tidak mengupas masalah kemiskinan secara detail, tapi akan mengangkat salah satu indikator kemiskinan, yaitu masalah gizi buruk. Gizi buruk adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan, dan kedokteran. Istilah gizi buruk kerap juga disebut busung lapar, meskipun anak yang gizi buruk belum tentu kelaparan. Yang tepat sebenarnya kelaparan tidak kentara (hidden hunger) karena mereka hanya kenyang karbohidrat, tetap "lapar" banyak zat gizi lainnya.
Gizi buruk adalah bentuk terparah (akut) dari proses terjadinya kekurangan gizi. Anak balita sehat atau kurang gizi dapat diketahui dari pertambahan berat badannya tiap bulan sampai usia minimal dua tahun. Apabila pertambahan berat badan sesuai dengan pertambahan umur, menurut standar Organisasi Kesehatan Dunia, dia bergizi baik. Kalau sedikit di bawah standar disebut bergizi kurang yang bersifat kronis. Apabila jauh di bawah standar dikatakan bergizi buruk. Jadi, istilah gizi buruk adalah salah satu bentuk kekurangan gizi tingkat berat atau akut.
Anak yang bergizi kurang, berarti kekurangan gizi pada tingkat ringan atau sedang, belum menunjukkan gejala sakit. Dia seperti anak-anak lain, masih bermain dan sebagainya, tetapi jika diamati dengan saksama badannya mulai kurus. Gizi buruk bukanlah suatu peristiwa yang terjadi seketika. Pada banyak kasus, anak melalui beberapa tahap gangguan pertumbuhan sebelum sampai pada kondisi gizi buruk. Umumnya, anak gizi buruk sudah bermasalah sejak dalam kandungan ibunya. Mereka lahir sebagai anak yang kesekian dari seorang ibu yang mengalami kekurangan gizi atau mengalami KEK (kurang energi kronis, bahasa program yang digunakan saat ini).
Oleh karena cadangan makanan pada ibu hamil sudah sangat terbatas (tidak seperti pada anak pertama atau kedua), maka bayi yang lahir dari ibu yang mengalami KEK mengalami hambatan pertumbuhan sejak dalam kandungan. Hal ini seterusnya berdampak pada berat badan lahir yang rendah (BBLR) atau kurang dari seharusnya.
Bayi yang lahir dengan BBLR, akan memiliki risiko untuk mengalami hambatan pertumbuhan pada tahun-tahun pertama kehidupannya. Lebih daripada itu, akibat status gizi yang rendah, bayi ini juga akan mudah mengalami penyakit infeksi dibanding bayi seumurnya yang lahir dengan berat badan normal. Apabila bayi mengalami penyakit infeksi seperti diare, maka kemungkinan penurunan berat badan dapat dengan mudah terjadi. Dapat diduga kemudian, bayi ini akan mempunyai berat badan yang sangat rendah atau mengalami gangguan pertumbuhan yang berat.
Selanjutnya sudah dapat diduga, anak yang tidak mendapat gizi yang memadai akan mempunyai daya tahan tubuh yang rendah sehingga mudah mengalami penyakit infeksi. Pada kondisi tertentu bayi akan dengan mudah meninggal dengan penyakit yang dideritanya. Bila bayi terus bertahan (tetap hidup), maka kemungkinan mengalami gizi buruk sangat besar.
Dengan demikian, penyebab gizi buruk bukanlah hanya sebatas keterbatasan ibu memberikan makanan kepada anaknya. Keterkaitan satu faktor dengan yang lainnya dalam suatu rangkaian panjang, dimulai sejak terjadinya penanaman benih dalam kandungan seorang ibu, mengisyaratkan kepada kita bahwa kejadian gizi buruk tidak dapat diselesaikan dengan cara yang sederhana.
Kasus gizi buruk lebih cepat menarik perhatian media masa karena dapat dipotret dan kelihatan nyata sakit, kurus, bengkak (busung), dan lemah. Mereka mudah dikenal dan dihitung karena dibawa ke rumah sakit. Keluarga dan masyarakat tidak dapat berbuat banyak bagi anak yang gizi buruk.
Berbeda dengan anak yang gizi kurang, meskipun jumlahnya lebih banyak, mereka kurang mendapat perhatian karena tidak mudah diketahui umum. Padahal, kelompok anak ini adalah kandidat gizi buruk apabila tidak dilakukan upaya pencegahan. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh orangtua dan masyarakat untuk menjaga agar anak yang sehat dan bergizi kurang terhindar dari gizi buruk.
Dapat Dicegah
Maraknya kasus gizi buruk di desa-desa, salah satu penyebabnya adalah tidak berfungsinya posyandu dengan baik dan benar. Terjadinya busung lapar atau gizi buruk adalah suatu proses, tidak tiba-tiba. Karena itu, apabila pemerintah dan masyarakat mau mengerti dan mau bertindak, terjadinya busung lapar dan gizi buruk dapat dicegah, yakni dengan mengetahui sebab langsung dan tidak langsung gizi buruk. Kemudian memantau (surveillance), dan lakukan tindakan pencegahan.
Penyebab langsung gizi buruk adalah, Pertama, bayi dan anak balita tidak mendapat makanan yang bergizi seimbang, dalam hal ini air susu ibu, dan kalau sudah lebih dari enam bulan anak tidak mendapat makanan pendamping selain ASI.
Makanan pendamping yang baik tidak hanya cukup mengandung energi dan protein, tetapi juga mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B, vitamin, dan mineral lainnya. Hanya keluarga mampu dan berpendidikan yang mampu menyediakan makanan pendamping yang baik ini, baik memasak sendiri atau membeli.
Karena itu, umumnya anak-anak mereka tumbuh kembang dengan baik, sedangkan anak balita dari keluarga tidak mampu harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi anak balita.
Kedua, pola pengasuhan anak. Suatu studi positive deviance mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan anak balita di suatu desa miskin hanya sebagian kecil yang gizi buruk, padahal orangtua mereka semuanya petani miskin. Dari studi ini diketahui pola pengasuhan anak berpengaruh terhadap timbulnya gizi buruk.
Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan dan mengerti soal pentingnya ASI, posyandu, kebersihan, meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat. Unsur pendidikan wanita berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak. Sebaliknya sebagian anak yang gizi buruk ternyata diasuh oleh nenek atau tetangga bukan kerabat yang juga miskin dan tidak berpendidikan. Banyaknya wanita yang meninggalkan desa mencari kerja di kota, bahkan menjadi TKI, kemungkinan juga dapat menjadi penyebab gizi buruk.
Ketiga, pelayanan kesehatan, terutama imunisasi, penanganan diare dengan oralit, tindakan cepat pada anak balita yang tidak naik berat badan, pendidikan dan penyuluhan kesehatan dan gizi, dukungan pelayanan di posyandu, penyediaan air bersih, kebersihan lingkungan, dan sebagainya. Pelayanan kesehatan yang lemah dan tidak memuaskan masyarakat terkait dengan kedua penyebab di atas.
Dikhawatirkan, mewabahnya berbagai penyakit menular akhir-akhir ini, seperti demam berdarah, diare, polio, dan malaria, secara hampir bersamaan waktu di mana-mana menggambarkan melemahnya pelayanan kesehatan di daerah-daerah. Munculnya kasus gizi buruk logikanya juga terkait dengan hal tersebut.
Kemiskinan sangat erat kaitannya dengan masalah gizi buruk. Data dari Indonesia dan di negara lain menunjukkan adanya hubungan antara kurang gizi dan kemiskinan. Proporsi anak yang gizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik dengan pendapatan.
Data empiris dari dunia menunjukkan bahwa program perbaikan gizi dapat dilakukan tanpa harus menunggu rakyat menjadi makmur, tetapi menjadi bagian yang eksplisit dari program pembangunan untuk memakmurkan rakyat. Perlu juga diketahui, bahwa selama masyarakat belum demokratis dan transparan, selama masih ada KKN, masalah kekurangan gizi tidak akan dapat diatasi sampai tuntas.
Ada kesan masalah kurang gizi di negeri tercinta ini masih "tersembunyikan" di balik hiruk-pikuknya kasus korupsi, bencana alam yang melanda beberapa daerah, pesta demokrasi, transformasi, otonomi, serta agenda studi banding para eksekutif dan legislatif.
Padahal, di balik hiruk-pikuk itu, sejak krisis berbagai program dan proyek telah digelar pemerintah dengan anggaran ratusan miliar rupiah bahkan mungkin triliun dengan berbagai nama menarik, di antaranya Program Jaring Pengaman Sosial (JPS), Dana Kompensasi BBM, Bantuan Pangan Raskin (untuk keluarga miskin), dan Makanan Tambahan Balita Kurang Gizi (MPASI), program Jamkesmas, PNPM, Program Keluarga Harapan (PKH), Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) serta program pengentasan kemiskinan lainnya.
Program tersebut bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat miskin. Karena label miskin inilah barangkali program-program itu relatif mudah mendapat persetujuan anggaran oleh pemerintah dan DPR atau DPRD meskipun belum ada bukti efektif tidaknya program dan proyek tersebut.
Kita berharap, dengan adanya program-program bantuan yang disalurkan oleh pemerintah kepada masyarakat miskin bukan hanya sebatas program yang pada gilirannya banyak dinikmati oleh orang-orang yang (kalau didata ulang) tidak masuk dalam kategori miskin.
Lantas, benarkah orang miskin datang mengambil beras miskin dengan naik sepeda motor ? Kategori penduduk miskin seperti apa sebenarnya yang dapat bantuan beras miskin tersebut ? Masyarakat luas masih banyak yang belum mengetahui hal ini. Ada orang yang benar-benar miskin dan seharusnya mendapatkan bantuan yang layak tapi malah terpinggirkan.***
Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan pendidikan tinggal di Medan.
Gizi Buruk dan Kemiskinan
Oleh : James P. Pardede
Pemerintah merilis bahwa angka kemiskinan di negeri ini mengalami penurunan. Data BPS menyampaikan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 memang telah berkurang 1,51 juta orang menjadi 31,02 juta orang (13,33 persen) dibandingkan dengan Maret 2009 sebanyak 32,53 juta orang. Namun, angka kemiskinan itu terbilang tinggi.
Penduduk miskin dalam pendataan ini adalah mereka yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Angka garis kemiskinan pada Maret 2010 adalah Rp 211.726,- per kapita per bulan. Ketersediaan data kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran, sangat penting digunakan untuk mengevaluasi kebijakan strategis pemerintah terhadap kemiskinan. Ini juga penting untuk membandingkan kemiskinan antar waktu dan daerah, serta menentukan target penduduk miskin dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi mereka.
Jika membandingkan antar daerah, BPS mencatat sejumlah wilayah masih menghadapi persoalan kemiskinan yang tinggi. Bahkan, angka kemiskinan yang tertinggi itu justru terjadi di wilayah dengan kekayaan sumber daya alam melimpah, seperti Papua dan Papua Barat. Prosentase angka kemiskinannya mencapai 34-36 persen, jauh lebih besar dibandingkan rata-rata nasional sebesar 13,33 persen.
Selain Papua, propinsi lain yang memiliki prosentase penduduk miskin tinggi adalah Maluku, Nusa Tenggara, Aceh, Bangka Belitung dan lainnya. Jumlah penduduk di propinsi-propinsi tersebut yang memang tidak sebanyak di Jawa, tetapi secara prosentase dibandingkan total penduduk di wilayah tersebut, kelompok orang miskinnya sangat tinggi.
Pengamat Ekonomi Umar Juoro memperkirakan angka kemiskinan mengalami penurunan pada 2010 menjadi 13,5 persen jika dibandingkan dengan jumlah penduduk. Kemiskinan akan turun karena inflasi yang rendah dan juga ekonomi yang lebih baik menyusul pemulihan ekonomi dunia.
Pada 2009, tingkat kemiskinan tercatat mencapai 14,15 persen atau sebanyak 32,53 juta jiwa atau turun dibandingkan 2008 yang mencapai 15,42 persen. Pada 2010, pemerintah menargetkan angka kemiskinan turun lagi menjadi 13 persen.
Menurutnya lagi, angka kemiskinan yang turun ke tingkat 13,5 persen memang lebih tinggi sedikit dibandingkan target pemerintah sebesar 13 persen pada 2010. Namun demikian jika program pemerintah mengatasi kemiskinan bisa berlangsung lebih efektif lagi, target angka kemiskinan bisa tercapai. Untuk mencapainya pemerintah harus lebih banyak lagi menciptakan lapangan kerja di sektor formal dan bukan informal. Karena, di 2009, tingkat inflasi mencapai 2,78 persen atau merupakan rekor terendah dalam 10 tahun terakhir sejak 1999 sebesar 2,1 persen.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Armida Alisyahbana mengatakan bahwa pengentasan kemiskinan memang menjadi program prioritas pemerintah. Jumlah orang miskin yang mendekati miskin per Maret 2010 mencapai 60 juta orang. Hal ini menunjukkan penanggulangan kemiskinan bukan hanya masalah pemerintah namun membutuhkan bantuan dari masyarakat.
Tahun ini saja, anggaran untuk pengentasan kemiskinan mencapai Rp70 triliun-Rp80 triliun, namun angka tersebut sudah termasuk subsidi kepada masyarakat. Anggaran tersebut berhasil menurunkan jumlah kemiskinan dari 14,15 persen pada 2009 menjadi 13,3 pada 2010. Dia juga mengatakan bahwa pemerintah mempunyai program penanggulangan kemiskinan yang dibuat pemerintah adalah terdapat dua program yang terkait dengan program prorakyat, yaitu program penanggulangan kemiskinan yang berbasis keluarga, dan program penanggulangan kemiskinan berbasis masyarakat.
Kurang Gizi
Berbicara tentang kemiskinan, pasti akan bersinggungan langsung dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat seperti masalah kurang gizi dan sulitnya masyarakat miskin mendapatkan akses layanan kesehatan. Permasalahan ini patut mendapat perhatian karena salah satu indikator produktivitas manusia adalah berbadan sehat dan cukup dalam asupan gizi yang seimbang. Bagaimana mungkin negeri ini mencetak SDM berkualitas kalau asupan gizi dan makanan yang masuk ke dalam tubuhnya tidak mendukung.
Tulisan ini tidak mengupas masalah kemiskinan secara detail, tapi akan mengangkat salah satu indikator kemiskinan, yaitu masalah gizi buruk. Gizi buruk adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan, dan kedokteran. Istilah gizi buruk kerap juga disebut busung lapar, meskipun anak yang gizi buruk belum tentu kelaparan. Yang tepat sebenarnya kelaparan tidak kentara (hidden hunger) karena mereka hanya kenyang karbohidrat, tetap "lapar" banyak zat gizi lainnya.
Gizi buruk adalah bentuk terparah (akut) dari proses terjadinya kekurangan gizi. Anak balita sehat atau kurang gizi dapat diketahui dari pertambahan berat badannya tiap bulan sampai usia minimal dua tahun. Apabila pertambahan berat badan sesuai dengan pertambahan umur, menurut standar Organisasi Kesehatan Dunia, dia bergizi baik. Kalau sedikit di bawah standar disebut bergizi kurang yang bersifat kronis. Apabila jauh di bawah standar dikatakan bergizi buruk. Jadi, istilah gizi buruk adalah salah satu bentuk kekurangan gizi tingkat berat atau akut.
Anak yang bergizi kurang, berarti kekurangan gizi pada tingkat ringan atau sedang, belum menunjukkan gejala sakit. Dia seperti anak-anak lain, masih bermain dan sebagainya, tetapi jika diamati dengan saksama badannya mulai kurus. Gizi buruk bukanlah suatu peristiwa yang terjadi seketika. Pada banyak kasus, anak melalui beberapa tahap gangguan pertumbuhan sebelum sampai pada kondisi gizi buruk. Umumnya, anak gizi buruk sudah bermasalah sejak dalam kandungan ibunya. Mereka lahir sebagai anak yang kesekian dari seorang ibu yang mengalami kekurangan gizi atau mengalami KEK (kurang energi kronis, bahasa program yang digunakan saat ini).
Oleh karena cadangan makanan pada ibu hamil sudah sangat terbatas (tidak seperti pada anak pertama atau kedua), maka bayi yang lahir dari ibu yang mengalami KEK mengalami hambatan pertumbuhan sejak dalam kandungan. Hal ini seterusnya berdampak pada berat badan lahir yang rendah (BBLR) atau kurang dari seharusnya.
Bayi yang lahir dengan BBLR, akan memiliki risiko untuk mengalami hambatan pertumbuhan pada tahun-tahun pertama kehidupannya. Lebih daripada itu, akibat status gizi yang rendah, bayi ini juga akan mudah mengalami penyakit infeksi dibanding bayi seumurnya yang lahir dengan berat badan normal. Apabila bayi mengalami penyakit infeksi seperti diare, maka kemungkinan penurunan berat badan dapat dengan mudah terjadi. Dapat diduga kemudian, bayi ini akan mempunyai berat badan yang sangat rendah atau mengalami gangguan pertumbuhan yang berat.
Selanjutnya sudah dapat diduga, anak yang tidak mendapat gizi yang memadai akan mempunyai daya tahan tubuh yang rendah sehingga mudah mengalami penyakit infeksi. Pada kondisi tertentu bayi akan dengan mudah meninggal dengan penyakit yang dideritanya. Bila bayi terus bertahan (tetap hidup), maka kemungkinan mengalami gizi buruk sangat besar.
Dengan demikian, penyebab gizi buruk bukanlah hanya sebatas keterbatasan ibu memberikan makanan kepada anaknya. Keterkaitan satu faktor dengan yang lainnya dalam suatu rangkaian panjang, dimulai sejak terjadinya penanaman benih dalam kandungan seorang ibu, mengisyaratkan kepada kita bahwa kejadian gizi buruk tidak dapat diselesaikan dengan cara yang sederhana.
Kasus gizi buruk lebih cepat menarik perhatian media masa karena dapat dipotret dan kelihatan nyata sakit, kurus, bengkak (busung), dan lemah. Mereka mudah dikenal dan dihitung karena dibawa ke rumah sakit. Keluarga dan masyarakat tidak dapat berbuat banyak bagi anak yang gizi buruk.
Berbeda dengan anak yang gizi kurang, meskipun jumlahnya lebih banyak, mereka kurang mendapat perhatian karena tidak mudah diketahui umum. Padahal, kelompok anak ini adalah kandidat gizi buruk apabila tidak dilakukan upaya pencegahan. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh orangtua dan masyarakat untuk menjaga agar anak yang sehat dan bergizi kurang terhindar dari gizi buruk.
Dapat Dicegah
Maraknya kasus gizi buruk di desa-desa, salah satu penyebabnya adalah tidak berfungsinya posyandu dengan baik dan benar. Terjadinya busung lapar atau gizi buruk adalah suatu proses, tidak tiba-tiba. Karena itu, apabila pemerintah dan masyarakat mau mengerti dan mau bertindak, terjadinya busung lapar dan gizi buruk dapat dicegah, yakni dengan mengetahui sebab langsung dan tidak langsung gizi buruk. Kemudian memantau (surveillance), dan lakukan tindakan pencegahan.
Penyebab langsung gizi buruk adalah, Pertama, bayi dan anak balita tidak mendapat makanan yang bergizi seimbang, dalam hal ini air susu ibu, dan kalau sudah lebih dari enam bulan anak tidak mendapat makanan pendamping selain ASI.
Makanan pendamping yang baik tidak hanya cukup mengandung energi dan protein, tetapi juga mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B, vitamin, dan mineral lainnya. Hanya keluarga mampu dan berpendidikan yang mampu menyediakan makanan pendamping yang baik ini, baik memasak sendiri atau membeli.
Karena itu, umumnya anak-anak mereka tumbuh kembang dengan baik, sedangkan anak balita dari keluarga tidak mampu harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi anak balita.
Kedua, pola pengasuhan anak. Suatu studi positive deviance mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan anak balita di suatu desa miskin hanya sebagian kecil yang gizi buruk, padahal orangtua mereka semuanya petani miskin. Dari studi ini diketahui pola pengasuhan anak berpengaruh terhadap timbulnya gizi buruk.
Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan dan mengerti soal pentingnya ASI, posyandu, kebersihan, meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat. Unsur pendidikan wanita berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak. Sebaliknya sebagian anak yang gizi buruk ternyata diasuh oleh nenek atau tetangga bukan kerabat yang juga miskin dan tidak berpendidikan. Banyaknya wanita yang meninggalkan desa mencari kerja di kota, bahkan menjadi TKI, kemungkinan juga dapat menjadi penyebab gizi buruk.
Ketiga, pelayanan kesehatan, terutama imunisasi, penanganan diare dengan oralit, tindakan cepat pada anak balita yang tidak naik berat badan, pendidikan dan penyuluhan kesehatan dan gizi, dukungan pelayanan di posyandu, penyediaan air bersih, kebersihan lingkungan, dan sebagainya. Pelayanan kesehatan yang lemah dan tidak memuaskan masyarakat terkait dengan kedua penyebab di atas.
Dikhawatirkan, mewabahnya berbagai penyakit menular akhir-akhir ini, seperti demam berdarah, diare, polio, dan malaria, secara hampir bersamaan waktu di mana-mana menggambarkan melemahnya pelayanan kesehatan di daerah-daerah. Munculnya kasus gizi buruk logikanya juga terkait dengan hal tersebut.
Kemiskinan sangat erat kaitannya dengan masalah gizi buruk. Data dari Indonesia dan di negara lain menunjukkan adanya hubungan antara kurang gizi dan kemiskinan. Proporsi anak yang gizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik dengan pendapatan.
Data empiris dari dunia menunjukkan bahwa program perbaikan gizi dapat dilakukan tanpa harus menunggu rakyat menjadi makmur, tetapi menjadi bagian yang eksplisit dari program pembangunan untuk memakmurkan rakyat. Perlu juga diketahui, bahwa selama masyarakat belum demokratis dan transparan, selama masih ada KKN, masalah kekurangan gizi tidak akan dapat diatasi sampai tuntas.
Ada kesan masalah kurang gizi di negeri tercinta ini masih "tersembunyikan" di balik hiruk-pikuknya kasus korupsi, bencana alam yang melanda beberapa daerah, pesta demokrasi, transformasi, otonomi, serta agenda studi banding para eksekutif dan legislatif.
Padahal, di balik hiruk-pikuk itu, sejak krisis berbagai program dan proyek telah digelar pemerintah dengan anggaran ratusan miliar rupiah bahkan mungkin triliun dengan berbagai nama menarik, di antaranya Program Jaring Pengaman Sosial (JPS), Dana Kompensasi BBM, Bantuan Pangan Raskin (untuk keluarga miskin), dan Makanan Tambahan Balita Kurang Gizi (MPASI), program Jamkesmas, PNPM, Program Keluarga Harapan (PKH), Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) serta program pengentasan kemiskinan lainnya.
Program tersebut bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat miskin. Karena label miskin inilah barangkali program-program itu relatif mudah mendapat persetujuan anggaran oleh pemerintah dan DPR atau DPRD meskipun belum ada bukti efektif tidaknya program dan proyek tersebut.
Kita berharap, dengan adanya program-program bantuan yang disalurkan oleh pemerintah kepada masyarakat miskin bukan hanya sebatas program yang pada gilirannya banyak dinikmati oleh orang-orang yang (kalau didata ulang) tidak masuk dalam kategori miskin.
Lantas, benarkah orang miskin datang mengambil beras miskin dengan naik sepeda motor ? Kategori penduduk miskin seperti apa sebenarnya yang dapat bantuan beras miskin tersebut ? Masyarakat luas masih banyak yang belum mengetahui hal ini. Ada orang yang benar-benar miskin dan seharusnya mendapatkan bantuan yang layak tapi malah terpinggirkan.***
Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan pendidikan tinggal di Medan.
Pencegahan HIV/AIDS
CEGAH PENULARAN HIV/AIDS SEJAK DINI
Oleh : James P. Pardede
Berita terbaru yang dirilis dari Antara menyebutkan, bahwa sebanyak 69 orang penderita HIV/AIDS di Subang meninggal dunia. Dari sebanyak 352 kasus penderita HIV/AIDS di Kabupaten Subang, tercatat ada sebanyak 69 orang penderita HIV/AIDS telah meninggal dunia.
Hal tersebut disampaikan Koordinator Penanggulangan HIV/AIDS, Dinas Kesehatan Kabupaten Subang, Jawa Barat (Jabar), Suwata. Para penderita HIV/AIDS yang meninggal dunia didominasi dengan temuan kasus di kawasan Pantai Utara (Pantura) Subang. Hingga saat ini Dinkes Subang telah menyatakan kawasan pantura Subang sebagai kawasan merah atau kawasan dengan resiko tinggi penyebaran HIV/AIDS dikarenakan di kawasan pantura Subang masih terdapat lokalisasi tersembunyi sehingga proses penyebaran HIV/AIDS di wilyah itu sulit dideteksi.
Berdasar pada temuan Dinkes Subang, penderita HIV/AIDS tahun ini didominasi oleh golongan Pekerja Seks Komersial (PSK) serta pengguna PSK. Adapun untuk titik sebaran terkonsentrasi penularan HIV/AIDS di Subang, terdiri dari 13 titik sebaran. Dominansi dari temuan kasus antara di Kecamatan Patokbeusi, Blanakan, Ciasem, Pamanukan serta Cipunagara Subang.
Dari temuan kasus HIV/AIDS, tiga orang balita dinyatakan positif terjangkit AIDS yang kemungkinan besar penularannya secara golongan peri-natal atau melalui ibunya yang positif terjangkit AIDS.
Jika melihat kebelakang, sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS di Indonesia masih amat jarang, sebagian besar berasal dari kelompok homoseksual. Sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam terutama akibat penularan melalui narkotika suntik. Hingga dengan Maret 2005 tercatat 6.789 kasus HIV/AIDS. Jumlah itu diperkirakan belum menunjukkan angka sebenarnya. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah antara 90.000 sampai 130.000 orang. Estimasi terbaru jumlah yang terinfeksi HIV lebih dari 500.000 orang.
Berakibat Kematian
Data yang ada menunjukkan kesimpulan bahwa epidemi HIV/AIDS di Indonesia sudah berada dalam tahap lanjut. Waspada terhadap penularan penyakit berbahaya ini harus segera disebarluaskan. Serukan 'lampu kuning' untuk HIV/AIDS. Berdasarkan penelitian, penularan terjadi melalui berbagai cara, baik melalui hubungan homoseksual, heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah, hingga dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya.
Infeksi HIV/AIDS juga telah mengenai semua golongan masyarakat, baik kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika pada awalnya, sebagian besar orang dalam HIV/AIDS (ODHA) berasal dari kelompok homoseksual maka kini telah terjadi pergeseran dimana persentase penularan secara heteroseksual dan pengguna narkotika semakin meningkat. Beberapa bayi yang terbukti tertular HIV dari ibunya menunjukkan tahap yang lebih lanjut dari tahap penularan heteroseksual.
Informasi yang dilansir dari Harian Analisa, di kota Medan ditemukan 952 HIV (Human Immunodeviciency Virus) positif baru selama ini sebagai sumber penyakit penularan yang bisa berakibat kematian. Penemuan ini berdasarkan jumlah kunjungan ke klinik VCT (Voluntary Counselling and Testing/konseling dan testing HIV sukarela) sebanyak 12 ribu orang sejak 2006 hingga akhir 2007 dan mereka telah mendapat informasi tentang HIV dan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom).
Bahkan mereka juga sudah dapat mencegahnya agar tidak menularkan kepada orang lain. Selain itu juga mereka telah mendapat perawatan dan pengobatan untuk lebih meningkatkan kualitas hidupnya. Kasus HIV/AIDS di Sumatera Utara dalam hal ini Dinas Kesehatan Sumut tidak henti-hentinya melakukan upaya penanggulangan HIV/AIDS di Sumut maupun upaya pencegahan dan penanggulangan virus HIV/AIDS dilakukan di bawah koordinasi Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) dan di bawah pengawasan Gubsu dengan melibatkan semua instansi maupun badan yang terkait serta LSM dan di beberapa Kabupaten Kota yang sudah terbentuk Komisi Penanggulangan AIDS.
Dinas Kesehatan dalam hal ini sebagai salah satu anggota dan leading sector harus melakukan beberapa upaya untuk pencegahan dan pelayanan HIV/AIDS. Diantaranya harus ada advokasi ke pemerintah daerah khususnya untuk pendanaan program HIV/AIDS di Kabupaten Kota masing-masing. Bagaimana bisa dilakukan bila tidak ada dananya.
Begitu juga harus ada pembentukan klinik VCT dan CST (Care Support and Treatment) secara bertahap, minimal 1 buah per Kabupaten Kota dengan sasaran kelompok-kelompok risiko tertular virus HIV sebanyak mungkin sehingga diharapkan upaya pencegahan penularan dari kasus tersebut dapat sedini mungkin dilakukan pencegahannya.
Tidak kita pungkiri, bahwa seks bebas dan penyalahgunaan narkoba sangat erat kaitannya dengan penularan HIV/AIDS. Lihat saja, lokalisasi di beberapa kawasan di Sumut, berapa banyak akses penjualan narkoba dan seks bebas terjadi disana. Razia-razia yang dilakukan aparat kepolisian tidaklah cukup mengehentikan penyebaran visrus penyakit ini. Kampanye kondomisasi yang dielu-elukan dapat mengatasi pencegahan HIV/AIDS yang ditunjang dengan pendirian ATM kondom ternyata tetap tidak membawa hasil yang signifikan.
Kondom bukanlah penyelesaian tuntas, kondom tidak efektif sebagai pencegah penularan virus HIV. Karena pori-pori kondom besarnya 600 kali lebih besar dibanding besar virus HIV. Selain itu, kondom sensitif terhadap perubahan suhu. Sehingga, penggunaan kondom semakin meningkatkan laju infeksi HIV dan menyuburkan seks bebas. Penerapan ide liberalisme di negeri ini, semakin menambah daftar panjang perusakan generasi bangsa.
Bertindak dengan Tegas
Akibat diadopsinya budaya barat seperti seks bebas menimbulkan berbagai permasalahan mulai kehamilan di luar nikah, aborsi, stress, bunuh diri dan kehancuran keluarga. Untuk itu, hendaknya kita lebih waspada terhadap budaya yang bersifat merusak generasi bangsa. Pencegahan penularan HIV/AIDS tidak bisa tidak harus diselesaikan dengan penyelesaian yang menyeluruh dan komprehensif bukan parsial. Ideologi sekular/kapitalis yang banyak diemban oleh beberapa negara ternyata tidak berhasil membawa bangsa ini bermatabat. Kebebasan berperilaku yang diagung-agugkan semakin membuat negeri ini terpuruk dan bakal dipastikan kehilangan generasi bangsa yang berkualitas.
Kita semua yakin dan percaya bahwa di setiap ajaran agama selalu ditekankan untuk hidup sehat, berpikir sehat dan menghindari tempat-tempat maksiat. Untuk kasus pencegahan penularan HIV/AIDS ini, ada tiga solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, Pemutusan Rantai Transmisi HIV: Stop Seks Bebas. Aktivitas seks bebas tetap akan terjadi di negeri ini, selama negara juga tetap memfasilitasi terjadinya aktivitas seks bebas. Ada kontradiksi dalam hal ini, di satu sisi negara ingin penularan HIV/AIDS tidak terus meningkat tetapi di sisi lain negara malah memberikan izin beroperasinya tempat-tempat yang jelas-jelas menumbuh suburkan aktivitas seks bebas. Hendaknya Pemerintah bertindak dengan tegas, bukannya plin-plan karena ini menyangkut generasi bangsa di masa yan akan datang.
Kedua, Pemutusan Rantai Transmisi HIV: Stop Penyalahgunaan Narkoba. Dimana narkoba dan segala jenisnya sangat berbahaya, karena selain dapat menghilangkan akal manusia juga dapat menularkan HIV/AIDS melaui jarum suntik yang tidak streril. Untuk memberantasnya harus dilakukan peningkatan ketakwaan individu dan menghabisi mafia narkoba hingga ke akar-akarnya. Penyalahgunaan narkoba diberikan sanksi 40 kali cambuk dan bagi pengedar dapat dikenai hukuman mati.
Ketiga, Pemutusan Rantai Transmisi Melalui ODHA. Untuk menghambat penularan HIV/AIDS melalui “efek spiral”, maka yang harus dilakukan Pemerintah bagi ODHA yang terbukti terinfeksi karena zina dan sudah menikah akan dirajam. Sedangkan ODHA yang terinfeksi karena aktifitas homoseks haruslah dibunuh untuk menekan jumlah yang tertular akibat “efek spiral”. Langkah ini harus ditempuh oleh negara dengan menindak secara tegas bagi para pelaku. Adanya sanksi yang berat dapat semakin menurunkan jumlah penularan HIV/AIDS. Bagi ODHA yang tidak terkena sanksi yang mematikan dan terinfeksi karena “efek spiral” yaitu dengan membuat karantina bagi ODHA.
Karantina ini bukanlah diskriminasi bagi ODHA karena dalam masa karantina semua kebutuhan fisik dan nalurinya wajib dipenuhi oleh negara serta akan dimotivasi untuk sembuh. Selain terapi fisik, ODHA akan diberikan terapi psikoreligi yaitu dengan memotivasi kesembuhan dan meningkatkan ketakwaan. Selama masa karantina ODHA dapat melakukan aktivitas normal sepanjang tidak membahayakan individu sehat lainnya. Transfusi darah juga harus dipastikan darah donor bersih dari infeksi virus HIV dan yang tidak kalah pentingnya negara wajib menyediakan perawatan khusus bagi ODHA dengan resiko penularan terhadap tenaga kesehatan secara maksimal.
* Penulis adalah pemerhati masalah sosial
Tulisan ini telah dimuat di Harian Analisa Medan
Oleh : James P. Pardede
Berita terbaru yang dirilis dari Antara menyebutkan, bahwa sebanyak 69 orang penderita HIV/AIDS di Subang meninggal dunia. Dari sebanyak 352 kasus penderita HIV/AIDS di Kabupaten Subang, tercatat ada sebanyak 69 orang penderita HIV/AIDS telah meninggal dunia.
Hal tersebut disampaikan Koordinator Penanggulangan HIV/AIDS, Dinas Kesehatan Kabupaten Subang, Jawa Barat (Jabar), Suwata. Para penderita HIV/AIDS yang meninggal dunia didominasi dengan temuan kasus di kawasan Pantai Utara (Pantura) Subang. Hingga saat ini Dinkes Subang telah menyatakan kawasan pantura Subang sebagai kawasan merah atau kawasan dengan resiko tinggi penyebaran HIV/AIDS dikarenakan di kawasan pantura Subang masih terdapat lokalisasi tersembunyi sehingga proses penyebaran HIV/AIDS di wilyah itu sulit dideteksi.
Berdasar pada temuan Dinkes Subang, penderita HIV/AIDS tahun ini didominasi oleh golongan Pekerja Seks Komersial (PSK) serta pengguna PSK. Adapun untuk titik sebaran terkonsentrasi penularan HIV/AIDS di Subang, terdiri dari 13 titik sebaran. Dominansi dari temuan kasus antara di Kecamatan Patokbeusi, Blanakan, Ciasem, Pamanukan serta Cipunagara Subang.
Dari temuan kasus HIV/AIDS, tiga orang balita dinyatakan positif terjangkit AIDS yang kemungkinan besar penularannya secara golongan peri-natal atau melalui ibunya yang positif terjangkit AIDS.
Jika melihat kebelakang, sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS di Indonesia masih amat jarang, sebagian besar berasal dari kelompok homoseksual. Sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam terutama akibat penularan melalui narkotika suntik. Hingga dengan Maret 2005 tercatat 6.789 kasus HIV/AIDS. Jumlah itu diperkirakan belum menunjukkan angka sebenarnya. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah antara 90.000 sampai 130.000 orang. Estimasi terbaru jumlah yang terinfeksi HIV lebih dari 500.000 orang.
Berakibat Kematian
Data yang ada menunjukkan kesimpulan bahwa epidemi HIV/AIDS di Indonesia sudah berada dalam tahap lanjut. Waspada terhadap penularan penyakit berbahaya ini harus segera disebarluaskan. Serukan 'lampu kuning' untuk HIV/AIDS. Berdasarkan penelitian, penularan terjadi melalui berbagai cara, baik melalui hubungan homoseksual, heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah, hingga dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya.
Infeksi HIV/AIDS juga telah mengenai semua golongan masyarakat, baik kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika pada awalnya, sebagian besar orang dalam HIV/AIDS (ODHA) berasal dari kelompok homoseksual maka kini telah terjadi pergeseran dimana persentase penularan secara heteroseksual dan pengguna narkotika semakin meningkat. Beberapa bayi yang terbukti tertular HIV dari ibunya menunjukkan tahap yang lebih lanjut dari tahap penularan heteroseksual.
Informasi yang dilansir dari Harian Analisa, di kota Medan ditemukan 952 HIV (Human Immunodeviciency Virus) positif baru selama ini sebagai sumber penyakit penularan yang bisa berakibat kematian. Penemuan ini berdasarkan jumlah kunjungan ke klinik VCT (Voluntary Counselling and Testing/konseling dan testing HIV sukarela) sebanyak 12 ribu orang sejak 2006 hingga akhir 2007 dan mereka telah mendapat informasi tentang HIV dan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom).
Bahkan mereka juga sudah dapat mencegahnya agar tidak menularkan kepada orang lain. Selain itu juga mereka telah mendapat perawatan dan pengobatan untuk lebih meningkatkan kualitas hidupnya. Kasus HIV/AIDS di Sumatera Utara dalam hal ini Dinas Kesehatan Sumut tidak henti-hentinya melakukan upaya penanggulangan HIV/AIDS di Sumut maupun upaya pencegahan dan penanggulangan virus HIV/AIDS dilakukan di bawah koordinasi Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) dan di bawah pengawasan Gubsu dengan melibatkan semua instansi maupun badan yang terkait serta LSM dan di beberapa Kabupaten Kota yang sudah terbentuk Komisi Penanggulangan AIDS.
Dinas Kesehatan dalam hal ini sebagai salah satu anggota dan leading sector harus melakukan beberapa upaya untuk pencegahan dan pelayanan HIV/AIDS. Diantaranya harus ada advokasi ke pemerintah daerah khususnya untuk pendanaan program HIV/AIDS di Kabupaten Kota masing-masing. Bagaimana bisa dilakukan bila tidak ada dananya.
Begitu juga harus ada pembentukan klinik VCT dan CST (Care Support and Treatment) secara bertahap, minimal 1 buah per Kabupaten Kota dengan sasaran kelompok-kelompok risiko tertular virus HIV sebanyak mungkin sehingga diharapkan upaya pencegahan penularan dari kasus tersebut dapat sedini mungkin dilakukan pencegahannya.
Tidak kita pungkiri, bahwa seks bebas dan penyalahgunaan narkoba sangat erat kaitannya dengan penularan HIV/AIDS. Lihat saja, lokalisasi di beberapa kawasan di Sumut, berapa banyak akses penjualan narkoba dan seks bebas terjadi disana. Razia-razia yang dilakukan aparat kepolisian tidaklah cukup mengehentikan penyebaran visrus penyakit ini. Kampanye kondomisasi yang dielu-elukan dapat mengatasi pencegahan HIV/AIDS yang ditunjang dengan pendirian ATM kondom ternyata tetap tidak membawa hasil yang signifikan.
Kondom bukanlah penyelesaian tuntas, kondom tidak efektif sebagai pencegah penularan virus HIV. Karena pori-pori kondom besarnya 600 kali lebih besar dibanding besar virus HIV. Selain itu, kondom sensitif terhadap perubahan suhu. Sehingga, penggunaan kondom semakin meningkatkan laju infeksi HIV dan menyuburkan seks bebas. Penerapan ide liberalisme di negeri ini, semakin menambah daftar panjang perusakan generasi bangsa.
Bertindak dengan Tegas
Akibat diadopsinya budaya barat seperti seks bebas menimbulkan berbagai permasalahan mulai kehamilan di luar nikah, aborsi, stress, bunuh diri dan kehancuran keluarga. Untuk itu, hendaknya kita lebih waspada terhadap budaya yang bersifat merusak generasi bangsa. Pencegahan penularan HIV/AIDS tidak bisa tidak harus diselesaikan dengan penyelesaian yang menyeluruh dan komprehensif bukan parsial. Ideologi sekular/kapitalis yang banyak diemban oleh beberapa negara ternyata tidak berhasil membawa bangsa ini bermatabat. Kebebasan berperilaku yang diagung-agugkan semakin membuat negeri ini terpuruk dan bakal dipastikan kehilangan generasi bangsa yang berkualitas.
Kita semua yakin dan percaya bahwa di setiap ajaran agama selalu ditekankan untuk hidup sehat, berpikir sehat dan menghindari tempat-tempat maksiat. Untuk kasus pencegahan penularan HIV/AIDS ini, ada tiga solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, Pemutusan Rantai Transmisi HIV: Stop Seks Bebas. Aktivitas seks bebas tetap akan terjadi di negeri ini, selama negara juga tetap memfasilitasi terjadinya aktivitas seks bebas. Ada kontradiksi dalam hal ini, di satu sisi negara ingin penularan HIV/AIDS tidak terus meningkat tetapi di sisi lain negara malah memberikan izin beroperasinya tempat-tempat yang jelas-jelas menumbuh suburkan aktivitas seks bebas. Hendaknya Pemerintah bertindak dengan tegas, bukannya plin-plan karena ini menyangkut generasi bangsa di masa yan akan datang.
Kedua, Pemutusan Rantai Transmisi HIV: Stop Penyalahgunaan Narkoba. Dimana narkoba dan segala jenisnya sangat berbahaya, karena selain dapat menghilangkan akal manusia juga dapat menularkan HIV/AIDS melaui jarum suntik yang tidak streril. Untuk memberantasnya harus dilakukan peningkatan ketakwaan individu dan menghabisi mafia narkoba hingga ke akar-akarnya. Penyalahgunaan narkoba diberikan sanksi 40 kali cambuk dan bagi pengedar dapat dikenai hukuman mati.
Ketiga, Pemutusan Rantai Transmisi Melalui ODHA. Untuk menghambat penularan HIV/AIDS melalui “efek spiral”, maka yang harus dilakukan Pemerintah bagi ODHA yang terbukti terinfeksi karena zina dan sudah menikah akan dirajam. Sedangkan ODHA yang terinfeksi karena aktifitas homoseks haruslah dibunuh untuk menekan jumlah yang tertular akibat “efek spiral”. Langkah ini harus ditempuh oleh negara dengan menindak secara tegas bagi para pelaku. Adanya sanksi yang berat dapat semakin menurunkan jumlah penularan HIV/AIDS. Bagi ODHA yang tidak terkena sanksi yang mematikan dan terinfeksi karena “efek spiral” yaitu dengan membuat karantina bagi ODHA.
Karantina ini bukanlah diskriminasi bagi ODHA karena dalam masa karantina semua kebutuhan fisik dan nalurinya wajib dipenuhi oleh negara serta akan dimotivasi untuk sembuh. Selain terapi fisik, ODHA akan diberikan terapi psikoreligi yaitu dengan memotivasi kesembuhan dan meningkatkan ketakwaan. Selama masa karantina ODHA dapat melakukan aktivitas normal sepanjang tidak membahayakan individu sehat lainnya. Transfusi darah juga harus dipastikan darah donor bersih dari infeksi virus HIV dan yang tidak kalah pentingnya negara wajib menyediakan perawatan khusus bagi ODHA dengan resiko penularan terhadap tenaga kesehatan secara maksimal.
* Penulis adalah pemerhati masalah sosial
Tulisan ini telah dimuat di Harian Analisa Medan
Ulos Batak
http://www.medantalk.com/ulos-masih-terhormat-bagi-suku-batak/
Ulos, Masih Memiliki Tempat Terhormat bagi Suku Batak
Oleh : James P. Pardede
ULOS dalam pesta dan upacara adat suku Batak sangat¬lah penting. Tidak hanya dalam pesta pernikahan, sama halnya dalam upacara adat mangongkal holi, dimana dalam setiap kesempatan seluruh pomparan keturu¬nan dalam pesta adat selalu menyandangkan ulos di bahu mereka.
Ulos tak hanya sebagai benda berharga dimata adat suku Batak, ulos juga mempunyai makna dan nilai luhur yang sangat tinggi.
Menurut penelitian para ahli Antropologi, nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Hindia Belanda. Berdasarkan waktu perpindahan nenek moyang kita dari Hindia Belanda, suku bangsa Indonesia terbagi atas Melayu Tua yang mendiami daerah pedalaman dan Melayu Muda mendiami pesisir pantai. Suku Batak adalah termasuk Melayu Tua.
Sejak zaman dulu, nenek moyang kita sudah memiliki suatu budaya tenun. Keunikan desain yang diciptakan nenek moyang kita pada masa itu adalah kemampuan suatu karya yang mencerminkan unsur-unsur yang erat hubungannya dengan unsur kepercayaan, pemujaan kepada leluhur dan memuja keagungan alam. Semua itu tersimpul pada liku-liku benang, warna benang dan tarikan garis jalur benang yang menghiasi sebuah kain atau ulos hasil tenunan.
Teknik pembuatan kain atau ulos, nenek moyang suku Batak telah membuat benang dari kapas dengan jalan “Manorha” dan menenunnya menjadi kain dengan jalan “Martonun”. Warna yang pada awalnya lebih dominan digunakan adalah tiga warna. Yaitu warna Putih berarti suci, warna Merah berarti Berani dan warna Hitam berarti kuat, teguh dan kokoh. Proses pewarnaan saat ini sudah dilakukan dengan cara sintetik dan cara alami menggunakan sari daun-daunan (Indigovera).
Belakangan, selain merupakan warisan budaya yang perlu dilestarikan, ulos Batak juga sudah banyak mengalami perubahan karena adanya inovasi dalam peningkatan proses produksi yang menyangkut proses pewarnaan maupun desain yang digunakan.
Namun demikian, makna sakral yang tersirat di dalam Ulos Batak tetap dipertahankan terutama dalam upacara adat Batak. Ulos Batak pun ternyata memiliki nilai artistik yang khas dan telah memasuki pasaran hingga memi¬liki nilai ekonomi yang semakin tinggi. Ulos Batak saat ini peruntukannya bukan hanya berfungsi dalam kegiatan budaya masyarakat Batak, tetapi juga dinikmati dan dihargai oleh bangsa lain yang sekaligus mencerminkan tingkat martabat bangsa.
Dalam seni budaya Batak, ulos mempunyai beberapa fung¬si. Selain berfungsi sebagai bahan pakaian sehari-hari, baik bagi pria maupun wanita, ulos juga dipakai dalam upacara adat Batak.
Pemberian ulos menjadi satu ungkapan atau pernyataan sebagai lambang Ulos Ni Daging dan Ulos Ni Tondi. Ulos Ni Daging adalah merupakan pernyataan bahwa ulos itu dapat melindungi tubuh secara alami. Ulos Ni Tondi berarti perlambang bahwa apa yang diinginkan oleh tondi (roh/jiwa) dari seseorang (seperti hagabeon, hahorason dan hasangapon) akan tercapai.
Dalam kekerabatan dan kekeluargaan suku Batak dikenal “Dalihan Natolu” yang berarti somba marhula-hula, elek marboru dan manat mardongan tubu. Ditengah lingkup kekerabatan inilah ulos Batak berperan untuk meningkatkan rasa saling mengasihi dan saling menghargai.
Menurut kepercayaan suku Batak, hula-hula yang berhak memberi berkat (pasu-pasu) kepada pihak borunya dimana dipercayai bahwa pasu-pasu dari pihak hula-hula ke pihak boru akan memperoleh hahorason, hagabeon dan hamoraon.
Kadang-kadang, pemberian ulos sudah tidak lagi harus dalam upacara adat, sudah banyak yang menjadikan ulos sebagai kado dan cenderamata kepada orang-orang tertentu yang pantas diberi ulos. Dalam situasi seperti ini, nilai dan makna ulos sebagai pelindung dan pemberi berkat sudah bergeser. Ulos akhirnya hanya bermakna sebagai pemberian biasa yang nilainya tak kurang dan tak lebih sebesar harga ulos itu sendiri.
Ulos sebagaimana dikenal secara phisik merupakan sehelai kain yang ditenun dari benang oleh penenun secara tradisional. selain hanya selembar kain, sesungguhnya ulos berarti juga alat untuk menghangatkan badan (selimut) yang bisa menghalangi tubuh dari terpaan angin yang dingin juga beragam penyakit yang datang menyerang.
Sesungguhnya ulos juga meru¬pakan cerminan dari seni yang ada dalam kehidupan dan jiwa orang Batak, apakah itu dalam tata cara perbuatannya, tata cara pemberian, fungsi dan makna yang terkandung dalam ulos sesuai dengan jenis ulos dan saat pemberian atau pemakaiannya.
Sesungguhnya, ulos tak hanya memiliki makna sesuai dengan peruntukannya. Ulos juga me¬miliki makna yang lebih dalam ssuai dengan tulisan dan corak¬nya. Membaca ulos seperti yang dilakukan para orang tua dimulai dari sisi warna, bentuk, panjang dan lebar, garis-gari dalam ulos, benang dan motif.
Menurut para ahli ulos, membaca ulos dimulai dari garis putih dari ujung ke ujung dan jumlah garis tersebut harus ganjil sehingga ulos tersebut baik dipakai, kemudian dibaca juga ukuran panjang - lebar ulos, keseimbangan penggunaan benang. Umumnya ukuran-ukuran yang dipakai harus dihitung ganjil, sebab bila genap disebut kepu¬nyaan ‘hatoban” (atau budak).
Pemakaian ulos pada umum¬nya dilihat dari tempat dimana diletakkan. Misalnya di pundak kanan, dililitkan di kepala, dililitkan di badan (hohop). Pemakaian tergantung pada kegiatan adat yang dilakukan dan status sosial pemakai.
Apabila ulos digunakan seba¬gai ikat kepala memberi makna sesuai warna ulos, yakni tali-tali warna hitam artinya kekuatan dan keteguhan jiwa, tali-tali warna putih menunjukkan kesaktian dan kesucian hati, sementara warna merah mengandung makna berani, kekar dan kuat dalam perang.
Dari paparan diatas, ternyata ulos adalah merupakan gamba¬ran kehidupan, kerajaan dan cita-cita orang Batak. Di dalamnya tersirat seni yang indah dan mengandung makna yang dalam. Sebagai sebuah hasil karya seni, ulos juga telah merambah ke sanubari kita membawa kese¬jukan, memberi kesejahteraan bagi para perajinnya.
Ulos sebagai benda sakral dalam upacara adat suku Batak kian bergeser akibat masuknya budaya asing. Ulos yang dulunya masih banyak digunakan sebagai pakaian sehari-hari, kini hanya berfungsi dan bermakna dalam upacara adat Batak.
Tapi jangan heran, ulos bagi sebagian besar suku Batak masih memiliki tempat terhormat.
Ulos, Masih Memiliki Tempat Terhormat bagi Suku Batak
Oleh : James P. Pardede
ULOS dalam pesta dan upacara adat suku Batak sangat¬lah penting. Tidak hanya dalam pesta pernikahan, sama halnya dalam upacara adat mangongkal holi, dimana dalam setiap kesempatan seluruh pomparan keturu¬nan dalam pesta adat selalu menyandangkan ulos di bahu mereka.
Ulos tak hanya sebagai benda berharga dimata adat suku Batak, ulos juga mempunyai makna dan nilai luhur yang sangat tinggi.
Menurut penelitian para ahli Antropologi, nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Hindia Belanda. Berdasarkan waktu perpindahan nenek moyang kita dari Hindia Belanda, suku bangsa Indonesia terbagi atas Melayu Tua yang mendiami daerah pedalaman dan Melayu Muda mendiami pesisir pantai. Suku Batak adalah termasuk Melayu Tua.
Sejak zaman dulu, nenek moyang kita sudah memiliki suatu budaya tenun. Keunikan desain yang diciptakan nenek moyang kita pada masa itu adalah kemampuan suatu karya yang mencerminkan unsur-unsur yang erat hubungannya dengan unsur kepercayaan, pemujaan kepada leluhur dan memuja keagungan alam. Semua itu tersimpul pada liku-liku benang, warna benang dan tarikan garis jalur benang yang menghiasi sebuah kain atau ulos hasil tenunan.
Teknik pembuatan kain atau ulos, nenek moyang suku Batak telah membuat benang dari kapas dengan jalan “Manorha” dan menenunnya menjadi kain dengan jalan “Martonun”. Warna yang pada awalnya lebih dominan digunakan adalah tiga warna. Yaitu warna Putih berarti suci, warna Merah berarti Berani dan warna Hitam berarti kuat, teguh dan kokoh. Proses pewarnaan saat ini sudah dilakukan dengan cara sintetik dan cara alami menggunakan sari daun-daunan (Indigovera).
Belakangan, selain merupakan warisan budaya yang perlu dilestarikan, ulos Batak juga sudah banyak mengalami perubahan karena adanya inovasi dalam peningkatan proses produksi yang menyangkut proses pewarnaan maupun desain yang digunakan.
Namun demikian, makna sakral yang tersirat di dalam Ulos Batak tetap dipertahankan terutama dalam upacara adat Batak. Ulos Batak pun ternyata memiliki nilai artistik yang khas dan telah memasuki pasaran hingga memi¬liki nilai ekonomi yang semakin tinggi. Ulos Batak saat ini peruntukannya bukan hanya berfungsi dalam kegiatan budaya masyarakat Batak, tetapi juga dinikmati dan dihargai oleh bangsa lain yang sekaligus mencerminkan tingkat martabat bangsa.
Dalam seni budaya Batak, ulos mempunyai beberapa fung¬si. Selain berfungsi sebagai bahan pakaian sehari-hari, baik bagi pria maupun wanita, ulos juga dipakai dalam upacara adat Batak.
Pemberian ulos menjadi satu ungkapan atau pernyataan sebagai lambang Ulos Ni Daging dan Ulos Ni Tondi. Ulos Ni Daging adalah merupakan pernyataan bahwa ulos itu dapat melindungi tubuh secara alami. Ulos Ni Tondi berarti perlambang bahwa apa yang diinginkan oleh tondi (roh/jiwa) dari seseorang (seperti hagabeon, hahorason dan hasangapon) akan tercapai.
Dalam kekerabatan dan kekeluargaan suku Batak dikenal “Dalihan Natolu” yang berarti somba marhula-hula, elek marboru dan manat mardongan tubu. Ditengah lingkup kekerabatan inilah ulos Batak berperan untuk meningkatkan rasa saling mengasihi dan saling menghargai.
Menurut kepercayaan suku Batak, hula-hula yang berhak memberi berkat (pasu-pasu) kepada pihak borunya dimana dipercayai bahwa pasu-pasu dari pihak hula-hula ke pihak boru akan memperoleh hahorason, hagabeon dan hamoraon.
Kadang-kadang, pemberian ulos sudah tidak lagi harus dalam upacara adat, sudah banyak yang menjadikan ulos sebagai kado dan cenderamata kepada orang-orang tertentu yang pantas diberi ulos. Dalam situasi seperti ini, nilai dan makna ulos sebagai pelindung dan pemberi berkat sudah bergeser. Ulos akhirnya hanya bermakna sebagai pemberian biasa yang nilainya tak kurang dan tak lebih sebesar harga ulos itu sendiri.
Ulos sebagaimana dikenal secara phisik merupakan sehelai kain yang ditenun dari benang oleh penenun secara tradisional. selain hanya selembar kain, sesungguhnya ulos berarti juga alat untuk menghangatkan badan (selimut) yang bisa menghalangi tubuh dari terpaan angin yang dingin juga beragam penyakit yang datang menyerang.
Sesungguhnya ulos juga meru¬pakan cerminan dari seni yang ada dalam kehidupan dan jiwa orang Batak, apakah itu dalam tata cara perbuatannya, tata cara pemberian, fungsi dan makna yang terkandung dalam ulos sesuai dengan jenis ulos dan saat pemberian atau pemakaiannya.
Sesungguhnya, ulos tak hanya memiliki makna sesuai dengan peruntukannya. Ulos juga me¬miliki makna yang lebih dalam ssuai dengan tulisan dan corak¬nya. Membaca ulos seperti yang dilakukan para orang tua dimulai dari sisi warna, bentuk, panjang dan lebar, garis-gari dalam ulos, benang dan motif.
Menurut para ahli ulos, membaca ulos dimulai dari garis putih dari ujung ke ujung dan jumlah garis tersebut harus ganjil sehingga ulos tersebut baik dipakai, kemudian dibaca juga ukuran panjang - lebar ulos, keseimbangan penggunaan benang. Umumnya ukuran-ukuran yang dipakai harus dihitung ganjil, sebab bila genap disebut kepu¬nyaan ‘hatoban” (atau budak).
Pemakaian ulos pada umum¬nya dilihat dari tempat dimana diletakkan. Misalnya di pundak kanan, dililitkan di kepala, dililitkan di badan (hohop). Pemakaian tergantung pada kegiatan adat yang dilakukan dan status sosial pemakai.
Apabila ulos digunakan seba¬gai ikat kepala memberi makna sesuai warna ulos, yakni tali-tali warna hitam artinya kekuatan dan keteguhan jiwa, tali-tali warna putih menunjukkan kesaktian dan kesucian hati, sementara warna merah mengandung makna berani, kekar dan kuat dalam perang.
Dari paparan diatas, ternyata ulos adalah merupakan gamba¬ran kehidupan, kerajaan dan cita-cita orang Batak. Di dalamnya tersirat seni yang indah dan mengandung makna yang dalam. Sebagai sebuah hasil karya seni, ulos juga telah merambah ke sanubari kita membawa kese¬jukan, memberi kesejahteraan bagi para perajinnya.
Ulos sebagai benda sakral dalam upacara adat suku Batak kian bergeser akibat masuknya budaya asing. Ulos yang dulunya masih banyak digunakan sebagai pakaian sehari-hari, kini hanya berfungsi dan bermakna dalam upacara adat Batak.
Tapi jangan heran, ulos bagi sebagian besar suku Batak masih memiliki tempat terhormat.
DPM Tetap Pantau Kualitas Air Permukaan dan Air Tanah
Oleh : James P. Pardede
Sudah sejak lama, nama Dairi Prima Mineral (DPM) sebagai pemegang kontrak karya generasi ke-VII mengemuka di Sumatera Utara. Banyak persepsi yang muncul ke permukaan. Ada yang positif dan ada juga yang negatif. Dalam sebuah kesempatan Bangun Simamora (Manager Community Relations & Development), Basuki Indrajat (Chief Geologist) dan Jumadi (Suvervisor Health, Savety & Environment) menyampaikan bahwa DPM belum melakukan kegiatan eksploitasi (penambangan) tetapi masih eksplorasi (penelitian) dan kegiatan konstruksi di luar kawasan hutan lindung.
Menanggapi banyaknya isu negatif yang mengatakan bahwa DPM telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan merusak keberadaan hutan lindung, dengan tegas Bangun Simamora menyampaikan bahwa anggapan negatif tersebut tidak benar.
"Kalau masyarakat ingin mendapatkan informasi tentang DPM secara terperinci, bisa langsung melihat dari dekat keberadaan perusahaan. Kita tetap terbuka dalam memberikan informasi," kata Simamora.
Karena, lanjutnya, DPM masih menunggu persetujuan dari pemerintah tentang permohonan ijin pinjam pakai hutan lindung. Dimana, hutan lindung yang dimohonkan ke pemerintah adalah sekitar 38 Ha. Ijin pinjam pakai hutan lindung harus didahului dengan Peraturan Presiden mengenai penambangan bawah tanah di dalam kawasan hutan lindung sebagai payung hukumnya.
Masalah Amdal sebagai salah satu persyaratan penting dalam mendapatkan ijin sudah disetujui sejak 2005 sampai 2007 mulai dari Amdal Tambang, Amdal Jalan dan Amdal Pelabuhan.
Dari hasil penelitian DPM sejak 1998, bijih timah hitam dan seng yang dinyatakan layak untuk ditambang adalah pada lokasi prospek Anjing hitam di Sopokomil, Dairi. Kegiatan eksplorasi saat ini adalah mencari deposist baru seperti di Lae Jehe dan Sinar Pagi. Layak tidaknya sebuah atau lebih mineral ditambang sangat ditentukan oleh konsentrasi bijih dan volume bijih serta kajian ekonomi dan teknis penambangannya. Sampai sejauh ini, sudah dipastikan bahwa diluar timah hitam dan seng tidak ada mineral ikutan kainnya yang akan ditambang.
"Rencana penambangan nantinya adalah penambangan tertutup dengan metode cut dan fill atau penambangan bawah tanah, dengan jumlah prasarana dan sarana yang sangat minim di atas tanah dan tidak meerusak lingkungan. Kemudian, tailing (sisa pengolahan bijih) disimpan di Tailing storage facilities (TSF), dimana tailing cair diolah sebelum dibuang dan tailing padat digunakan sebagai bahan pencampur penutup stove (lubang bekas pertambangan)," paparnya.
Sementara Suvervisor Health, Savety & Environment, Jumadi menyampaikan bahwa sampai hari ini upaya penyelamatan lingkungan dan pemantauan terus dilakukan untuk menghindari terjadinya pencemaran air dan tanah.
"Survey rutin ada tidaknya area yang terganggu di lokasi eksplorasi terus dilakukan secara berkala. Kemudian, reklamasi kembali lokasi kegiatan eksplorasi dan lokasi konstruksi, reklamasi eks tapak bor di dalam hutan bekerjasama dengan Dinas Kehutanan," papar Jumadi.
Yang tak kalah pentingnya adalah, lanjut Jumadi pemantauan kualitas air permukaan, air tanah, hidrometeorologi (curah hujan, kelembaban dan suhu) serta penyediaan laboratorium internal untuk pengukuran kualitas fisik dan bekerjasama dengan laboratorium independen untuk pengukuran parameter khusus.
Merambah Hutan
Pemantauan terus dilakukan secara berkala, kata Jumadi terutama di daerah-daerah sungai yang berdekatan dengan areal tambang yang akan dipinjam pakai dari pemerintah. Pemantauan kualitas air antara lain dilakukan di Lae Sopokomil, Lae Nilam, Lae Sibolanga, Lae Camp, Lae Julu Kiri serta sumber air lainnya.
Kegiatan yang dilakukan DPM sampai hari ini adalah mengkomunikasikan rencana kegiatan, masalah yang dihadapi dan mensosialisasikan rencana kegiatan usaha dan pengembangan masyarakat. Upaya ini sudah dilakukan secara berkesinambungan termasuk dengan Majelis Jemaat Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Wilayah Barat Kabupaten Dairi di gereja GPdI Polling Kecamatan Silima Pungga Pungga Dairi.
"Adanya anggapan bahwa DPM hanya mempekerjakan tenaga ahli dari luar daerah sangat bertolakbelakang dengan kenyataan. Dimana, sebagian besar tenaga kerja yang akan dan saat ini dipakai dalam operasional perusahaan adalah dari lokal," papar Bangun Simamora.
Di tempat terpisah, Anggota DPRD Sumut dari Fraksi Golkar yang juga putra dairi Richard Eddy M Lingga, SE menyampaikan bahwa keberadaan PT DPM di Dairi sangat membantu masyarakat sekitarnya. Dimana, sebagian dari tenaga kerja yang akan digunakan mereka nantinya adalah tenaga kerja lokal.
"Selain menggairahkan roda perekonomian di Dairi, perusahaan ini juga akan memberikan PAD yang besar bagi kemajuan Dairi di kemudian hari," paparnya.
Adanya anggapan-anggapan miring tentang DPM, kata Richard dalam waktu dekat (akhir Juni) Komisi B dan Komisi D DPRD Sumut sudah mengagendakan rencana kunjungan dalam Banmus dan akan turun langsung ke lokasi bersama-sama dengan instansi terkait untuk melihat keberadaan DPM apakah sudah melakukan eksploitasi atau eksplorasi.
Sebenarnya, dari pantauan Analisa di lapangan, sudah banyak juga masyarakat yang merambah hutan register 66. Masyarakat sudah mulai membuka lahan dengan menebang hutan dan membakarnya. Dari camp DPM terlihat kepulan asap pembakaran pembukaan hutan untuk dijadikan areal perladangan rakyat. Ada juga kawasan hutan lindung yang telah ditanami kelapa sawit.
Dikhawatirkan, jika tindakan masyarakat merambah hutan lindung dan hutan register ini dibiarkan akan merusak keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Tidak hanya masalah keanekaragaman hayati, hutan lindung yang dirambah dan digunduli akan menyebabkan banjir di kemudian hari. Karena, air hujan yang turun tidak lagi ditahan oleh akar tanaman tapi langsung meluncur ke lembah dan mengaliri kawasan pemukiman penduduk.
Semua elemen ikut terlibat dalam menyelamatkan hutan dari perambah. Pemerintah sedang giat-giatnya mensosialisasikan penanaman sejuta pohon, namun di sisi lain ada ratusan pohon ditebang setiap hari oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab.
Oleh : James P. Pardede
Sudah sejak lama, nama Dairi Prima Mineral (DPM) sebagai pemegang kontrak karya generasi ke-VII mengemuka di Sumatera Utara. Banyak persepsi yang muncul ke permukaan. Ada yang positif dan ada juga yang negatif. Dalam sebuah kesempatan Bangun Simamora (Manager Community Relations & Development), Basuki Indrajat (Chief Geologist) dan Jumadi (Suvervisor Health, Savety & Environment) menyampaikan bahwa DPM belum melakukan kegiatan eksploitasi (penambangan) tetapi masih eksplorasi (penelitian) dan kegiatan konstruksi di luar kawasan hutan lindung.
Menanggapi banyaknya isu negatif yang mengatakan bahwa DPM telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan merusak keberadaan hutan lindung, dengan tegas Bangun Simamora menyampaikan bahwa anggapan negatif tersebut tidak benar.
"Kalau masyarakat ingin mendapatkan informasi tentang DPM secara terperinci, bisa langsung melihat dari dekat keberadaan perusahaan. Kita tetap terbuka dalam memberikan informasi," kata Simamora.
Karena, lanjutnya, DPM masih menunggu persetujuan dari pemerintah tentang permohonan ijin pinjam pakai hutan lindung. Dimana, hutan lindung yang dimohonkan ke pemerintah adalah sekitar 38 Ha. Ijin pinjam pakai hutan lindung harus didahului dengan Peraturan Presiden mengenai penambangan bawah tanah di dalam kawasan hutan lindung sebagai payung hukumnya.
Masalah Amdal sebagai salah satu persyaratan penting dalam mendapatkan ijin sudah disetujui sejak 2005 sampai 2007 mulai dari Amdal Tambang, Amdal Jalan dan Amdal Pelabuhan.
Dari hasil penelitian DPM sejak 1998, bijih timah hitam dan seng yang dinyatakan layak untuk ditambang adalah pada lokasi prospek Anjing hitam di Sopokomil, Dairi. Kegiatan eksplorasi saat ini adalah mencari deposist baru seperti di Lae Jehe dan Sinar Pagi. Layak tidaknya sebuah atau lebih mineral ditambang sangat ditentukan oleh konsentrasi bijih dan volume bijih serta kajian ekonomi dan teknis penambangannya. Sampai sejauh ini, sudah dipastikan bahwa diluar timah hitam dan seng tidak ada mineral ikutan kainnya yang akan ditambang.
"Rencana penambangan nantinya adalah penambangan tertutup dengan metode cut dan fill atau penambangan bawah tanah, dengan jumlah prasarana dan sarana yang sangat minim di atas tanah dan tidak meerusak lingkungan. Kemudian, tailing (sisa pengolahan bijih) disimpan di Tailing storage facilities (TSF), dimana tailing cair diolah sebelum dibuang dan tailing padat digunakan sebagai bahan pencampur penutup stove (lubang bekas pertambangan)," paparnya.
Sementara Suvervisor Health, Savety & Environment, Jumadi menyampaikan bahwa sampai hari ini upaya penyelamatan lingkungan dan pemantauan terus dilakukan untuk menghindari terjadinya pencemaran air dan tanah.
"Survey rutin ada tidaknya area yang terganggu di lokasi eksplorasi terus dilakukan secara berkala. Kemudian, reklamasi kembali lokasi kegiatan eksplorasi dan lokasi konstruksi, reklamasi eks tapak bor di dalam hutan bekerjasama dengan Dinas Kehutanan," papar Jumadi.
Yang tak kalah pentingnya adalah, lanjut Jumadi pemantauan kualitas air permukaan, air tanah, hidrometeorologi (curah hujan, kelembaban dan suhu) serta penyediaan laboratorium internal untuk pengukuran kualitas fisik dan bekerjasama dengan laboratorium independen untuk pengukuran parameter khusus.
Merambah Hutan
Pemantauan terus dilakukan secara berkala, kata Jumadi terutama di daerah-daerah sungai yang berdekatan dengan areal tambang yang akan dipinjam pakai dari pemerintah. Pemantauan kualitas air antara lain dilakukan di Lae Sopokomil, Lae Nilam, Lae Sibolanga, Lae Camp, Lae Julu Kiri serta sumber air lainnya.
Kegiatan yang dilakukan DPM sampai hari ini adalah mengkomunikasikan rencana kegiatan, masalah yang dihadapi dan mensosialisasikan rencana kegiatan usaha dan pengembangan masyarakat. Upaya ini sudah dilakukan secara berkesinambungan termasuk dengan Majelis Jemaat Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Wilayah Barat Kabupaten Dairi di gereja GPdI Polling Kecamatan Silima Pungga Pungga Dairi.
"Adanya anggapan bahwa DPM hanya mempekerjakan tenaga ahli dari luar daerah sangat bertolakbelakang dengan kenyataan. Dimana, sebagian besar tenaga kerja yang akan dan saat ini dipakai dalam operasional perusahaan adalah dari lokal," papar Bangun Simamora.
Di tempat terpisah, Anggota DPRD Sumut dari Fraksi Golkar yang juga putra dairi Richard Eddy M Lingga, SE menyampaikan bahwa keberadaan PT DPM di Dairi sangat membantu masyarakat sekitarnya. Dimana, sebagian dari tenaga kerja yang akan digunakan mereka nantinya adalah tenaga kerja lokal.
"Selain menggairahkan roda perekonomian di Dairi, perusahaan ini juga akan memberikan PAD yang besar bagi kemajuan Dairi di kemudian hari," paparnya.
Adanya anggapan-anggapan miring tentang DPM, kata Richard dalam waktu dekat (akhir Juni) Komisi B dan Komisi D DPRD Sumut sudah mengagendakan rencana kunjungan dalam Banmus dan akan turun langsung ke lokasi bersama-sama dengan instansi terkait untuk melihat keberadaan DPM apakah sudah melakukan eksploitasi atau eksplorasi.
Sebenarnya, dari pantauan Analisa di lapangan, sudah banyak juga masyarakat yang merambah hutan register 66. Masyarakat sudah mulai membuka lahan dengan menebang hutan dan membakarnya. Dari camp DPM terlihat kepulan asap pembakaran pembukaan hutan untuk dijadikan areal perladangan rakyat. Ada juga kawasan hutan lindung yang telah ditanami kelapa sawit.
Dikhawatirkan, jika tindakan masyarakat merambah hutan lindung dan hutan register ini dibiarkan akan merusak keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Tidak hanya masalah keanekaragaman hayati, hutan lindung yang dirambah dan digunduli akan menyebabkan banjir di kemudian hari. Karena, air hujan yang turun tidak lagi ditahan oleh akar tanaman tapi langsung meluncur ke lembah dan mengaliri kawasan pemukiman penduduk.
Semua elemen ikut terlibat dalam menyelamatkan hutan dari perambah. Pemerintah sedang giat-giatnya mensosialisasikan penanaman sejuta pohon, namun di sisi lain ada ratusan pohon ditebang setiap hari oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab.
Menyiapkan Masa Depan Anak Sejak Usia Dini
Oleh James P. Pardede
Pendidikan menjadi landasan kuat yang diperlukan untuk meraih kemajuan bangsa di masa depan, bahkan lebih penting lagi sebagai bekal dalam menghadapi era global yang sarat dengan persaingan antar bangsa yang berlangsung sangat ketat.
Dengan demikian, pendidikan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi karena ia merupakan faktor determinan bagi suatu bangsa untuk bisa memenangi kompetisi global.
Berbagai studi menunjukkan, pendidikan bukan saja penting untuk membangun masyarakat terpelajar yang menjelma dalam wujud massa kritis (critical mass), tetapi juga dapat menjadi landasan yang kuat untuk memacu pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan tenaga kerja yang memiliki pengetahuan, menguasai teknologi, dan mempunyai keahlian serta keterampilan. Tenaga kerja dengan kualifikasi pendidikan yang memadai akan memberi kontribusi pada peningkatan produktivitas nasional.
Melihat sedemikian penting peranan pendidikan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia, termasuk upaya peningkatan angka partisipasi kasar (APK) Pendidikan Anak Usia Dunia (PAUD) dengan melibatkan berbagai pihak pemangku kepentingan dan bekerja sama dengan berbagai pihak.
Menurut Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia periode 2009, negara kita masih berada pada peringkat ke-111 dari 182 negara, karena faktor pendidikan dan kesehatan masih tertinggal. Layanan pendidikan dan kesehatan masih tertinggal jauh.
Pendidikan Anak Usia Dini sebagai strategi pembangunan sumber daya manusia haruslah dipandang sebagai titik sentral dan sangat fundamental serta strategis mengingat bahwa, usia dini merupakan masa keemasan (Golden Age) namun sekaligus periode yang sangat kritis dan menentukan tahap kehidupan anak selanjutnya. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa tingkat kapabilitas kecerdasan anak sekitar 50% terjadi sebelum usia 4 tahun, 80% dicapai pada usia 8 tahun, dan 100% pada usia 18 tahun.
Berdasarkan paparan dari Direktur Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal (PNFI) Hamid Muhammad, partisipasi PAUD di Indonesia masih rendah. Data dari Departemen Pendidikan Nasional menunjukkan dari 30 juta anak usia 0-6 tahun, hingga akhir 2008, baru 50 persen saja yang sudah terlayani PAUD.
"Pemerintah tetap berupaya agar angka partisipasi itu terus naik. Apalagi, tujuan pembangunan berkelanjutan (Millenium Development Goals) menargetkan angka 75 persen pada 2015 nanti," paparnya.
Hamid mengakui partisipasi pendidikan usia dini memang masih rendah, masalahnya kata dia yaitu kurangnya perhatian pemerintah daerah terhadap PAUD, rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya PAUD dan minimnya anggaran yang tersedia dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pemerintah daerah, lanjutnya hanya menganggap penting pendidikan wajib belajar 9 tahun (tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama). Akibatnya keberlangsungan PAUD sangat tergantung pada partisipasi masyarakat.
"Padahal, PAUD adalah pendidikan yang sangat penting untuk membangun dan menumbuhkan potensi anak sejak dini, sebelum duduk di bangku sekolah dasar," kata Hamid.
Direktur PAUD Soedjarwo Singowidjojo mengatakan dalam sebuah kesempatan, bahwa data hingga 2008, jumlah lembaga PAUD tercatat 182.201 lembaga. Dari jumlah tersebut, semuanya merupakan lembaga milik masyarakat. Jadi memang belum ada yang dikelola pemerintah.
Masa yang Sangat Strategis
Berkembangnya layanan pendidikan anak usia dini di masyarakat membutuhkan semakin banyak tutor yang memiliki kompetensi untuk bisa merangsang tumbuh-kembang anak usia 0-6 tahun secara maksimal. Namun, penghargaan atau insentif yang diberikan pemerintah kepada tutor pendidikan anak usia dini ini masih minim dan terbatas.
Dari 188.834 tutor pendidikan anak usia dini (PAUD) nonformal yang ada saat ini, baru sekitar 30.000 tutor yang mendapatkan insentif dari pemerintah pada tahun 2008. Besarnya insentif yang diberikan berjumlah Rp. 100.000, itupun hanya untuk enam bulan. Pada 2009, pemerintah mengajukan insentif untuk 50.000 tutor PAUD. Besarnya Rp 1,2 juta/tutor/tahun.
"Ke depan, pemerintah daerah perlu menyediakan anggaran untuk tutor PAUD guna mendukung insentif yang sudah diberikan pemerintah pusat. Peran tutor ini penting untuk mendukung lembaga PAUD nonformal, terutama untuk melayani anak-anak tidak mampu dan di pedesaan, yang terus meningkat," tegasnya.
Karena, masa anak usia dini adalah masa yang sangat strategis dengan memberikan rangsangan yang tepat. Rangsangan-rangsangan itu termasuk di dalamnya adalah perawatan-perawatan yang sifatnya medis. Kemudian memberikan gizi dan rangsangan-rangsangan kecerdasan, serta tempat bermain yang tepat kepada anak agar anak itu cerdas secara komplit bukan hanya cerdas secara intelektual saja.
Pentingnya PAUD untuk pembentukan karakter anak dan peningkatan sumber daya manusia di masa mendatang, beberapa waktu lalu di Indonesia diabaikan dan baru mendapatkan perhatian setelah ada deklarasi Dakkar pada tahun 2000. Kemudian, Indonesia baru meresponnya pada 2002.
Dari sisi anggaran, perhatian kepada PAUD dilonjakkan mulai 2005. Alokasi anggaran untuk PAUD masih difokuskan pada perluasan akses. Upaya ini mampu mendongkrak angka partisipasi kasar PAUD yang saat ini mencapai 53,9 persen lebih.
Program PAUD merupakan salah satu program prioritas Depdiknas. Upaya untuk meningkatkan akses pendidikan dilakukan terutama untuk perintisan PAUD di daerah terpencil. Intinya, kata Direktur Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal (PNFI) Hamid Muhammad, pertama adalah untuk pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan-pelatihan pada pengelola PAUD di desa. Kedua, untuk para pembina di provinsi dan kabupaten. Ketiga, yang paling besar jumlahnya, adalah untuk pendirian lembaga PAUD.
PAUD berperan penting dalam penentuan pola pikir anak pada usia emas 0-6 tahun. Namun, PAUD masih cenderung ditelantarkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Hingga kini, baru separuh dari total 29 juta anak usia dini di Indonesia yang telah terlayani oleh PAUD.
Masih Sangat Rendah
Menurut salah seorang Staff Diklat CU Persada Perempuan Dairi, Rouli Manurung, kualitas hidup manusia ditentukan pada sejauh mana kualitas pendidikan di usia dini. Kemampuan kognitif justru berkembang pesat pada usia 0-6 tahun.
Rouli menegaskan, di Kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat, PAUD masih sangat asing bagi sebagian besar masyarakat.
Sebelumnya, Rouli aktif di Sada Ahmo. Selain peduli pada perbaikan perekonomian keluarga, Sada Ahmo juga menguatkan perempuan agar mampu mendidik anak lebih baik.
"Karena masih kurangnya perhatian pemerintah di dua kabupaten tersebut, Sada Ahmo mendirikan Taman Bina Asuh Anak (TBAA) setara dengan PAUD. Sejak berdiri, TBAA ini telah menghasilkan anak-anak berkualitas dan berhasil. Karena, setiap tahun selalu ada evaluasi terhadap lulusannya," paparnya.
Minat orangtua untuk mengikutsertakan anaknya ke TBAA, lanjut Rouli masih sangat rendah. Tutor atau staff dari Sada Ahmo harus jemput bola untuk mensosialisasikan pentingnya PAUD bagi masa depan anak dan kesiapan anak memasuki usia sekolah.
"Di Dairi dan Pakpak Bharat ada TBAA Tunas Harapan, Singgabu Saarih Lelen M Dates Arkemo dan Sada Ukur. TBAA ini mengajari anak budi pekerti, mengenal huruf dan angka. Yang terpenting adalah membekali mereka mental agar siap memasuki usia sekolah dasar," tandasnya.
Selain mempersiapkan anak untuk memasuki usia sekolah ke jenjang yang labih tinggi, PAUD juga sangat strategis dalam pengembangan kreativitas anak dalam berinteraksi dengan sesamanya, mulai mengenal bahasa Indonesia dan Inggris, mengenal huruf dan angka serta kesiapan mental seiring dengan perkembangannya.
Secara umum, seperti disampaikan Kepala Dinas Pendidikan Sumut Bahrumsyah, PAUD di Sumatera Utara harus dikembangkan. Pasalnya, pada masa itu anak didik membutuhkan motivasi sebagai bekal untuk menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi.
"Dinas Pendidikan Sumut telah melakukan pendataan terhadap Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD 2010. Hasilnya, dari 33 kabupaten/kota, didapati angka sebesar 53,5 persen. Angka ini terbilang tinggi untuk tingkat provinsi, karena kondisi APK PAUD tingkat nasional hanya 53,9 persen," paparnya.
Kondisi APK PAUD tingkat Sumut pada 2009 lalu mencapai 35,6 persen, kata Bahrumsyah dan meningkat hingga 53,5 persen untuk tahun ini. Maka, dengan peningkatan yang cukup signifikan tersebut, diharapkan pada 2011 mendatang meningkat menjadi 60,5 persen. Dan seterusnya pada 2012 meningkat kembali hingga 68,5 persen, serta pada 2013 juga meningkat hingga 75,5 persen.
Karena pentingnya peningkatan kualitas anak menghadapi persaingan era global yang semakin ketat, beberapa waktu lalu seperti dilansir dari berbagai sumber, pada Kebaktian Anak-Kebaktian Remaja (KAKR) Moderamen Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) menggelar pelatihan dengan materi "Pedoman PAUD Terintegrasi Pelayanan Anak, Kreativitas, Usia Emas (Golden Age), Penataan Lingkungan Main (APE), Kebijakan Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Prinsip-prinsip Dasar Penyusunan Kurikulum PAUD, Main Sensorik Motor dan Main Pembangunan, Main Peran dan Main Keaksaraan, Bercerita untuk Balita, Menyanyi dan Mengajarkan Lagu Baru untuk Anak, Mengenal Alat Kelengkapan PAUD dan Merencanakan Pembukaan Kelas PAUD".
Tim PGI Pusat, Pdt. Rosmalia Barus mengatakan kondisi anak-anak di Indonesia saat ini masih sangat memprihatinkan, baik dari segi pendidikan, perlindungan, pemenuhan hak-hak mereka. Jikalau hal ini dibiarkan terus menerus akan berdampak pada menurunnya kualitas sumber daya manusia Indonesia dimasa mendatang.
Untuk mengatasi hal tersebut maka semua elemen bangsa harus ikut terlibat secara serentak, termasuk gereja yang memiliki tugas dan tanggung jawab yang penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Peranan tersebut dapat diwujudkan melalui Program Pendidikan Anak Usia Dini yang terintegrasi dengan Pelayanan Anak, yang selanjutnya dikategorikan sebagai salah satu bentuk layanan Satuan PAUD Sejenis (SPS).
Pelayanan anak adalah suatu upaya gereja dalam meletakkan dasar-dasar iman bagi anak-anak, anak-anak usia 0–18 tahun (UU No 23/2002) ke arah perkembangan sikap, moral, mental, pengetahuan yang diperlukan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Berbasis Keluarga
Karena belum menjadi prioritas, sampai hari ini masih banyak anak usia dini yang berada di pedesaan serta mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu tidak memiliki kesempatan memperoleh pendidikan yang layak sebelum memasuki jenjang pendidikan dasar 9 tahun.
Seperti yang diprogramkan pemerintah, agar sosialisasi PAUD perlu disebarluaskan aksesnya ke berbagai daerah bahkan sampai ke pelosok desa. Program PAUD berbasis keluarga atau home schooling yang dirintis Depdiknas harus benar-benar dijalankan. Konsep dasar dirintisnya PAUD berbasis keluarga adalah karena banyak orangtua yang belum memperoleh kesempatan untuk mengirimkan anaknya ke PAUD, seperti taman penitipan anak, Taman Kanak-kanak, Play Group dan sejenisnya karena keterbatasan ekonomi.
Diharapkan, dengan program PAUD berbasis keluarga ini akan membina orang tua dan keluarga untuk terlibat langsung mengembangkan fungsi jasmani dan rohani anak berkembang secara baik. Peningkatan akses dan mutu layanan PAUD ke berbagai daerah tanpa mengenal status dan latar belakang akan menentukan keberhasilan program peningkatan partisipasi masyarakat dalam mensukseskan PAUD di Indonesia.
Program PAUD berbasis keluarga ini harus mengemban misi membangun bangsa dengan hati nurani. Dimana setiap masyarakat ikut ambil bagian dalam mensosialisasikan pentingnya PAUD bagi anak usia dini kepada setiap keluarga, terutama dalam mempersiapkan mereka memasuki pendidikan dasar.
Banyaknya anak usia dini belum terlayani dengan baik. Hal ini memang merupakan satu tantangan besar bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia pada umumnya, karena mereka merupakan aset yang bernilai tinggi bagi bangsa. Nasib bangsa ini ditentukan di tangan mereka. Jika generasi sekarang sudah rusak, maka ke depan negara ini akan dipenuhi oleh generasi yang sudah rusak pula.
Oleh karena itu, pelaksanaan PAUD perlu terus ditingkatkan dan diperluas jangkauan serta kualitas pelayanannya dengan tetap menumbuhkan partisipasi masyarakat termasuk lembaga tradisional keagamaan dan organisasi sosial masyarakat. Perluasan PAUD diharapkan dapat menunjang keberhasilan pelaksanaan Pendidikan Dasar karena peranannya dalam mempersiapkan anak untuk memasuki bangku sekolah.
Pentingnya dilaksanakan program PAUD disetiap desa diharapkan dapat memutus mata rantai kemiskinan dengan berintergrasi bersama program lainnya seperti pos yandu, PKK, BKB dan program lainnya, sehingga kualitas SDM terutama pada anak usia dini dapat terus meningkat. Untuk itulah, PAUD di tengah-tengah masyarakat sudah sangat diperlukan terutama dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia pada masa mendatang.
Oleh James P. Pardede
Pendidikan menjadi landasan kuat yang diperlukan untuk meraih kemajuan bangsa di masa depan, bahkan lebih penting lagi sebagai bekal dalam menghadapi era global yang sarat dengan persaingan antar bangsa yang berlangsung sangat ketat.
Dengan demikian, pendidikan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi karena ia merupakan faktor determinan bagi suatu bangsa untuk bisa memenangi kompetisi global.
Berbagai studi menunjukkan, pendidikan bukan saja penting untuk membangun masyarakat terpelajar yang menjelma dalam wujud massa kritis (critical mass), tetapi juga dapat menjadi landasan yang kuat untuk memacu pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan tenaga kerja yang memiliki pengetahuan, menguasai teknologi, dan mempunyai keahlian serta keterampilan. Tenaga kerja dengan kualifikasi pendidikan yang memadai akan memberi kontribusi pada peningkatan produktivitas nasional.
Melihat sedemikian penting peranan pendidikan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia, termasuk upaya peningkatan angka partisipasi kasar (APK) Pendidikan Anak Usia Dunia (PAUD) dengan melibatkan berbagai pihak pemangku kepentingan dan bekerja sama dengan berbagai pihak.
Menurut Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia periode 2009, negara kita masih berada pada peringkat ke-111 dari 182 negara, karena faktor pendidikan dan kesehatan masih tertinggal. Layanan pendidikan dan kesehatan masih tertinggal jauh.
Pendidikan Anak Usia Dini sebagai strategi pembangunan sumber daya manusia haruslah dipandang sebagai titik sentral dan sangat fundamental serta strategis mengingat bahwa, usia dini merupakan masa keemasan (Golden Age) namun sekaligus periode yang sangat kritis dan menentukan tahap kehidupan anak selanjutnya. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa tingkat kapabilitas kecerdasan anak sekitar 50% terjadi sebelum usia 4 tahun, 80% dicapai pada usia 8 tahun, dan 100% pada usia 18 tahun.
Berdasarkan paparan dari Direktur Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal (PNFI) Hamid Muhammad, partisipasi PAUD di Indonesia masih rendah. Data dari Departemen Pendidikan Nasional menunjukkan dari 30 juta anak usia 0-6 tahun, hingga akhir 2008, baru 50 persen saja yang sudah terlayani PAUD.
"Pemerintah tetap berupaya agar angka partisipasi itu terus naik. Apalagi, tujuan pembangunan berkelanjutan (Millenium Development Goals) menargetkan angka 75 persen pada 2015 nanti," paparnya.
Hamid mengakui partisipasi pendidikan usia dini memang masih rendah, masalahnya kata dia yaitu kurangnya perhatian pemerintah daerah terhadap PAUD, rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya PAUD dan minimnya anggaran yang tersedia dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pemerintah daerah, lanjutnya hanya menganggap penting pendidikan wajib belajar 9 tahun (tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama). Akibatnya keberlangsungan PAUD sangat tergantung pada partisipasi masyarakat.
"Padahal, PAUD adalah pendidikan yang sangat penting untuk membangun dan menumbuhkan potensi anak sejak dini, sebelum duduk di bangku sekolah dasar," kata Hamid.
Direktur PAUD Soedjarwo Singowidjojo mengatakan dalam sebuah kesempatan, bahwa data hingga 2008, jumlah lembaga PAUD tercatat 182.201 lembaga. Dari jumlah tersebut, semuanya merupakan lembaga milik masyarakat. Jadi memang belum ada yang dikelola pemerintah.
Masa yang Sangat Strategis
Berkembangnya layanan pendidikan anak usia dini di masyarakat membutuhkan semakin banyak tutor yang memiliki kompetensi untuk bisa merangsang tumbuh-kembang anak usia 0-6 tahun secara maksimal. Namun, penghargaan atau insentif yang diberikan pemerintah kepada tutor pendidikan anak usia dini ini masih minim dan terbatas.
Dari 188.834 tutor pendidikan anak usia dini (PAUD) nonformal yang ada saat ini, baru sekitar 30.000 tutor yang mendapatkan insentif dari pemerintah pada tahun 2008. Besarnya insentif yang diberikan berjumlah Rp. 100.000, itupun hanya untuk enam bulan. Pada 2009, pemerintah mengajukan insentif untuk 50.000 tutor PAUD. Besarnya Rp 1,2 juta/tutor/tahun.
"Ke depan, pemerintah daerah perlu menyediakan anggaran untuk tutor PAUD guna mendukung insentif yang sudah diberikan pemerintah pusat. Peran tutor ini penting untuk mendukung lembaga PAUD nonformal, terutama untuk melayani anak-anak tidak mampu dan di pedesaan, yang terus meningkat," tegasnya.
Karena, masa anak usia dini adalah masa yang sangat strategis dengan memberikan rangsangan yang tepat. Rangsangan-rangsangan itu termasuk di dalamnya adalah perawatan-perawatan yang sifatnya medis. Kemudian memberikan gizi dan rangsangan-rangsangan kecerdasan, serta tempat bermain yang tepat kepada anak agar anak itu cerdas secara komplit bukan hanya cerdas secara intelektual saja.
Pentingnya PAUD untuk pembentukan karakter anak dan peningkatan sumber daya manusia di masa mendatang, beberapa waktu lalu di Indonesia diabaikan dan baru mendapatkan perhatian setelah ada deklarasi Dakkar pada tahun 2000. Kemudian, Indonesia baru meresponnya pada 2002.
Dari sisi anggaran, perhatian kepada PAUD dilonjakkan mulai 2005. Alokasi anggaran untuk PAUD masih difokuskan pada perluasan akses. Upaya ini mampu mendongkrak angka partisipasi kasar PAUD yang saat ini mencapai 53,9 persen lebih.
Program PAUD merupakan salah satu program prioritas Depdiknas. Upaya untuk meningkatkan akses pendidikan dilakukan terutama untuk perintisan PAUD di daerah terpencil. Intinya, kata Direktur Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal (PNFI) Hamid Muhammad, pertama adalah untuk pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan-pelatihan pada pengelola PAUD di desa. Kedua, untuk para pembina di provinsi dan kabupaten. Ketiga, yang paling besar jumlahnya, adalah untuk pendirian lembaga PAUD.
PAUD berperan penting dalam penentuan pola pikir anak pada usia emas 0-6 tahun. Namun, PAUD masih cenderung ditelantarkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Hingga kini, baru separuh dari total 29 juta anak usia dini di Indonesia yang telah terlayani oleh PAUD.
Masih Sangat Rendah
Menurut salah seorang Staff Diklat CU Persada Perempuan Dairi, Rouli Manurung, kualitas hidup manusia ditentukan pada sejauh mana kualitas pendidikan di usia dini. Kemampuan kognitif justru berkembang pesat pada usia 0-6 tahun.
Rouli menegaskan, di Kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat, PAUD masih sangat asing bagi sebagian besar masyarakat.
Sebelumnya, Rouli aktif di Sada Ahmo. Selain peduli pada perbaikan perekonomian keluarga, Sada Ahmo juga menguatkan perempuan agar mampu mendidik anak lebih baik.
"Karena masih kurangnya perhatian pemerintah di dua kabupaten tersebut, Sada Ahmo mendirikan Taman Bina Asuh Anak (TBAA) setara dengan PAUD. Sejak berdiri, TBAA ini telah menghasilkan anak-anak berkualitas dan berhasil. Karena, setiap tahun selalu ada evaluasi terhadap lulusannya," paparnya.
Minat orangtua untuk mengikutsertakan anaknya ke TBAA, lanjut Rouli masih sangat rendah. Tutor atau staff dari Sada Ahmo harus jemput bola untuk mensosialisasikan pentingnya PAUD bagi masa depan anak dan kesiapan anak memasuki usia sekolah.
"Di Dairi dan Pakpak Bharat ada TBAA Tunas Harapan, Singgabu Saarih Lelen M Dates Arkemo dan Sada Ukur. TBAA ini mengajari anak budi pekerti, mengenal huruf dan angka. Yang terpenting adalah membekali mereka mental agar siap memasuki usia sekolah dasar," tandasnya.
Selain mempersiapkan anak untuk memasuki usia sekolah ke jenjang yang labih tinggi, PAUD juga sangat strategis dalam pengembangan kreativitas anak dalam berinteraksi dengan sesamanya, mulai mengenal bahasa Indonesia dan Inggris, mengenal huruf dan angka serta kesiapan mental seiring dengan perkembangannya.
Secara umum, seperti disampaikan Kepala Dinas Pendidikan Sumut Bahrumsyah, PAUD di Sumatera Utara harus dikembangkan. Pasalnya, pada masa itu anak didik membutuhkan motivasi sebagai bekal untuk menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi.
"Dinas Pendidikan Sumut telah melakukan pendataan terhadap Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD 2010. Hasilnya, dari 33 kabupaten/kota, didapati angka sebesar 53,5 persen. Angka ini terbilang tinggi untuk tingkat provinsi, karena kondisi APK PAUD tingkat nasional hanya 53,9 persen," paparnya.
Kondisi APK PAUD tingkat Sumut pada 2009 lalu mencapai 35,6 persen, kata Bahrumsyah dan meningkat hingga 53,5 persen untuk tahun ini. Maka, dengan peningkatan yang cukup signifikan tersebut, diharapkan pada 2011 mendatang meningkat menjadi 60,5 persen. Dan seterusnya pada 2012 meningkat kembali hingga 68,5 persen, serta pada 2013 juga meningkat hingga 75,5 persen.
Karena pentingnya peningkatan kualitas anak menghadapi persaingan era global yang semakin ketat, beberapa waktu lalu seperti dilansir dari berbagai sumber, pada Kebaktian Anak-Kebaktian Remaja (KAKR) Moderamen Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) menggelar pelatihan dengan materi "Pedoman PAUD Terintegrasi Pelayanan Anak, Kreativitas, Usia Emas (Golden Age), Penataan Lingkungan Main (APE), Kebijakan Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Prinsip-prinsip Dasar Penyusunan Kurikulum PAUD, Main Sensorik Motor dan Main Pembangunan, Main Peran dan Main Keaksaraan, Bercerita untuk Balita, Menyanyi dan Mengajarkan Lagu Baru untuk Anak, Mengenal Alat Kelengkapan PAUD dan Merencanakan Pembukaan Kelas PAUD".
Tim PGI Pusat, Pdt. Rosmalia Barus mengatakan kondisi anak-anak di Indonesia saat ini masih sangat memprihatinkan, baik dari segi pendidikan, perlindungan, pemenuhan hak-hak mereka. Jikalau hal ini dibiarkan terus menerus akan berdampak pada menurunnya kualitas sumber daya manusia Indonesia dimasa mendatang.
Untuk mengatasi hal tersebut maka semua elemen bangsa harus ikut terlibat secara serentak, termasuk gereja yang memiliki tugas dan tanggung jawab yang penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Peranan tersebut dapat diwujudkan melalui Program Pendidikan Anak Usia Dini yang terintegrasi dengan Pelayanan Anak, yang selanjutnya dikategorikan sebagai salah satu bentuk layanan Satuan PAUD Sejenis (SPS).
Pelayanan anak adalah suatu upaya gereja dalam meletakkan dasar-dasar iman bagi anak-anak, anak-anak usia 0–18 tahun (UU No 23/2002) ke arah perkembangan sikap, moral, mental, pengetahuan yang diperlukan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Berbasis Keluarga
Karena belum menjadi prioritas, sampai hari ini masih banyak anak usia dini yang berada di pedesaan serta mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu tidak memiliki kesempatan memperoleh pendidikan yang layak sebelum memasuki jenjang pendidikan dasar 9 tahun.
Seperti yang diprogramkan pemerintah, agar sosialisasi PAUD perlu disebarluaskan aksesnya ke berbagai daerah bahkan sampai ke pelosok desa. Program PAUD berbasis keluarga atau home schooling yang dirintis Depdiknas harus benar-benar dijalankan. Konsep dasar dirintisnya PAUD berbasis keluarga adalah karena banyak orangtua yang belum memperoleh kesempatan untuk mengirimkan anaknya ke PAUD, seperti taman penitipan anak, Taman Kanak-kanak, Play Group dan sejenisnya karena keterbatasan ekonomi.
Diharapkan, dengan program PAUD berbasis keluarga ini akan membina orang tua dan keluarga untuk terlibat langsung mengembangkan fungsi jasmani dan rohani anak berkembang secara baik. Peningkatan akses dan mutu layanan PAUD ke berbagai daerah tanpa mengenal status dan latar belakang akan menentukan keberhasilan program peningkatan partisipasi masyarakat dalam mensukseskan PAUD di Indonesia.
Program PAUD berbasis keluarga ini harus mengemban misi membangun bangsa dengan hati nurani. Dimana setiap masyarakat ikut ambil bagian dalam mensosialisasikan pentingnya PAUD bagi anak usia dini kepada setiap keluarga, terutama dalam mempersiapkan mereka memasuki pendidikan dasar.
Banyaknya anak usia dini belum terlayani dengan baik. Hal ini memang merupakan satu tantangan besar bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia pada umumnya, karena mereka merupakan aset yang bernilai tinggi bagi bangsa. Nasib bangsa ini ditentukan di tangan mereka. Jika generasi sekarang sudah rusak, maka ke depan negara ini akan dipenuhi oleh generasi yang sudah rusak pula.
Oleh karena itu, pelaksanaan PAUD perlu terus ditingkatkan dan diperluas jangkauan serta kualitas pelayanannya dengan tetap menumbuhkan partisipasi masyarakat termasuk lembaga tradisional keagamaan dan organisasi sosial masyarakat. Perluasan PAUD diharapkan dapat menunjang keberhasilan pelaksanaan Pendidikan Dasar karena peranannya dalam mempersiapkan anak untuk memasuki bangku sekolah.
Pentingnya dilaksanakan program PAUD disetiap desa diharapkan dapat memutus mata rantai kemiskinan dengan berintergrasi bersama program lainnya seperti pos yandu, PKK, BKB dan program lainnya, sehingga kualitas SDM terutama pada anak usia dini dapat terus meningkat. Untuk itulah, PAUD di tengah-tengah masyarakat sudah sangat diperlukan terutama dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia pada masa mendatang.
Subscribe to:
Posts (Atom)