http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=75922:gizi-buruk-dan-kemiskinan&catid=830:16-november-2010&Itemid=222
Gizi Buruk dan Kemiskinan
Oleh : James P. Pardede
Pemerintah merilis bahwa angka kemiskinan di negeri ini mengalami penurunan. Data BPS menyampaikan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 memang telah berkurang 1,51 juta orang menjadi 31,02 juta orang (13,33 persen) dibandingkan dengan Maret 2009 sebanyak 32,53 juta orang. Namun, angka kemiskinan itu terbilang tinggi.
Penduduk miskin dalam pendataan ini adalah mereka yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Angka garis kemiskinan pada Maret 2010 adalah Rp 211.726,- per kapita per bulan. Ketersediaan data kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran, sangat penting digunakan untuk mengevaluasi kebijakan strategis pemerintah terhadap kemiskinan. Ini juga penting untuk membandingkan kemiskinan antar waktu dan daerah, serta menentukan target penduduk miskin dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi mereka.
Jika membandingkan antar daerah, BPS mencatat sejumlah wilayah masih menghadapi persoalan kemiskinan yang tinggi. Bahkan, angka kemiskinan yang tertinggi itu justru terjadi di wilayah dengan kekayaan sumber daya alam melimpah, seperti Papua dan Papua Barat. Prosentase angka kemiskinannya mencapai 34-36 persen, jauh lebih besar dibandingkan rata-rata nasional sebesar 13,33 persen.
Selain Papua, propinsi lain yang memiliki prosentase penduduk miskin tinggi adalah Maluku, Nusa Tenggara, Aceh, Bangka Belitung dan lainnya. Jumlah penduduk di propinsi-propinsi tersebut yang memang tidak sebanyak di Jawa, tetapi secara prosentase dibandingkan total penduduk di wilayah tersebut, kelompok orang miskinnya sangat tinggi.
Pengamat Ekonomi Umar Juoro memperkirakan angka kemiskinan mengalami penurunan pada 2010 menjadi 13,5 persen jika dibandingkan dengan jumlah penduduk. Kemiskinan akan turun karena inflasi yang rendah dan juga ekonomi yang lebih baik menyusul pemulihan ekonomi dunia.
Pada 2009, tingkat kemiskinan tercatat mencapai 14,15 persen atau sebanyak 32,53 juta jiwa atau turun dibandingkan 2008 yang mencapai 15,42 persen. Pada 2010, pemerintah menargetkan angka kemiskinan turun lagi menjadi 13 persen.
Menurutnya lagi, angka kemiskinan yang turun ke tingkat 13,5 persen memang lebih tinggi sedikit dibandingkan target pemerintah sebesar 13 persen pada 2010. Namun demikian jika program pemerintah mengatasi kemiskinan bisa berlangsung lebih efektif lagi, target angka kemiskinan bisa tercapai. Untuk mencapainya pemerintah harus lebih banyak lagi menciptakan lapangan kerja di sektor formal dan bukan informal. Karena, di 2009, tingkat inflasi mencapai 2,78 persen atau merupakan rekor terendah dalam 10 tahun terakhir sejak 1999 sebesar 2,1 persen.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Armida Alisyahbana mengatakan bahwa pengentasan kemiskinan memang menjadi program prioritas pemerintah. Jumlah orang miskin yang mendekati miskin per Maret 2010 mencapai 60 juta orang. Hal ini menunjukkan penanggulangan kemiskinan bukan hanya masalah pemerintah namun membutuhkan bantuan dari masyarakat.
Tahun ini saja, anggaran untuk pengentasan kemiskinan mencapai Rp70 triliun-Rp80 triliun, namun angka tersebut sudah termasuk subsidi kepada masyarakat. Anggaran tersebut berhasil menurunkan jumlah kemiskinan dari 14,15 persen pada 2009 menjadi 13,3 pada 2010. Dia juga mengatakan bahwa pemerintah mempunyai program penanggulangan kemiskinan yang dibuat pemerintah adalah terdapat dua program yang terkait dengan program prorakyat, yaitu program penanggulangan kemiskinan yang berbasis keluarga, dan program penanggulangan kemiskinan berbasis masyarakat.
Kurang Gizi
Berbicara tentang kemiskinan, pasti akan bersinggungan langsung dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat seperti masalah kurang gizi dan sulitnya masyarakat miskin mendapatkan akses layanan kesehatan. Permasalahan ini patut mendapat perhatian karena salah satu indikator produktivitas manusia adalah berbadan sehat dan cukup dalam asupan gizi yang seimbang. Bagaimana mungkin negeri ini mencetak SDM berkualitas kalau asupan gizi dan makanan yang masuk ke dalam tubuhnya tidak mendukung.
Tulisan ini tidak mengupas masalah kemiskinan secara detail, tapi akan mengangkat salah satu indikator kemiskinan, yaitu masalah gizi buruk. Gizi buruk adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan, dan kedokteran. Istilah gizi buruk kerap juga disebut busung lapar, meskipun anak yang gizi buruk belum tentu kelaparan. Yang tepat sebenarnya kelaparan tidak kentara (hidden hunger) karena mereka hanya kenyang karbohidrat, tetap "lapar" banyak zat gizi lainnya.
Gizi buruk adalah bentuk terparah (akut) dari proses terjadinya kekurangan gizi. Anak balita sehat atau kurang gizi dapat diketahui dari pertambahan berat badannya tiap bulan sampai usia minimal dua tahun. Apabila pertambahan berat badan sesuai dengan pertambahan umur, menurut standar Organisasi Kesehatan Dunia, dia bergizi baik. Kalau sedikit di bawah standar disebut bergizi kurang yang bersifat kronis. Apabila jauh di bawah standar dikatakan bergizi buruk. Jadi, istilah gizi buruk adalah salah satu bentuk kekurangan gizi tingkat berat atau akut.
Anak yang bergizi kurang, berarti kekurangan gizi pada tingkat ringan atau sedang, belum menunjukkan gejala sakit. Dia seperti anak-anak lain, masih bermain dan sebagainya, tetapi jika diamati dengan saksama badannya mulai kurus. Gizi buruk bukanlah suatu peristiwa yang terjadi seketika. Pada banyak kasus, anak melalui beberapa tahap gangguan pertumbuhan sebelum sampai pada kondisi gizi buruk. Umumnya, anak gizi buruk sudah bermasalah sejak dalam kandungan ibunya. Mereka lahir sebagai anak yang kesekian dari seorang ibu yang mengalami kekurangan gizi atau mengalami KEK (kurang energi kronis, bahasa program yang digunakan saat ini).
Oleh karena cadangan makanan pada ibu hamil sudah sangat terbatas (tidak seperti pada anak pertama atau kedua), maka bayi yang lahir dari ibu yang mengalami KEK mengalami hambatan pertumbuhan sejak dalam kandungan. Hal ini seterusnya berdampak pada berat badan lahir yang rendah (BBLR) atau kurang dari seharusnya.
Bayi yang lahir dengan BBLR, akan memiliki risiko untuk mengalami hambatan pertumbuhan pada tahun-tahun pertama kehidupannya. Lebih daripada itu, akibat status gizi yang rendah, bayi ini juga akan mudah mengalami penyakit infeksi dibanding bayi seumurnya yang lahir dengan berat badan normal. Apabila bayi mengalami penyakit infeksi seperti diare, maka kemungkinan penurunan berat badan dapat dengan mudah terjadi. Dapat diduga kemudian, bayi ini akan mempunyai berat badan yang sangat rendah atau mengalami gangguan pertumbuhan yang berat.
Selanjutnya sudah dapat diduga, anak yang tidak mendapat gizi yang memadai akan mempunyai daya tahan tubuh yang rendah sehingga mudah mengalami penyakit infeksi. Pada kondisi tertentu bayi akan dengan mudah meninggal dengan penyakit yang dideritanya. Bila bayi terus bertahan (tetap hidup), maka kemungkinan mengalami gizi buruk sangat besar.
Dengan demikian, penyebab gizi buruk bukanlah hanya sebatas keterbatasan ibu memberikan makanan kepada anaknya. Keterkaitan satu faktor dengan yang lainnya dalam suatu rangkaian panjang, dimulai sejak terjadinya penanaman benih dalam kandungan seorang ibu, mengisyaratkan kepada kita bahwa kejadian gizi buruk tidak dapat diselesaikan dengan cara yang sederhana.
Kasus gizi buruk lebih cepat menarik perhatian media masa karena dapat dipotret dan kelihatan nyata sakit, kurus, bengkak (busung), dan lemah. Mereka mudah dikenal dan dihitung karena dibawa ke rumah sakit. Keluarga dan masyarakat tidak dapat berbuat banyak bagi anak yang gizi buruk.
Berbeda dengan anak yang gizi kurang, meskipun jumlahnya lebih banyak, mereka kurang mendapat perhatian karena tidak mudah diketahui umum. Padahal, kelompok anak ini adalah kandidat gizi buruk apabila tidak dilakukan upaya pencegahan. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh orangtua dan masyarakat untuk menjaga agar anak yang sehat dan bergizi kurang terhindar dari gizi buruk.
Dapat Dicegah
Maraknya kasus gizi buruk di desa-desa, salah satu penyebabnya adalah tidak berfungsinya posyandu dengan baik dan benar. Terjadinya busung lapar atau gizi buruk adalah suatu proses, tidak tiba-tiba. Karena itu, apabila pemerintah dan masyarakat mau mengerti dan mau bertindak, terjadinya busung lapar dan gizi buruk dapat dicegah, yakni dengan mengetahui sebab langsung dan tidak langsung gizi buruk. Kemudian memantau (surveillance), dan lakukan tindakan pencegahan.
Penyebab langsung gizi buruk adalah, Pertama, bayi dan anak balita tidak mendapat makanan yang bergizi seimbang, dalam hal ini air susu ibu, dan kalau sudah lebih dari enam bulan anak tidak mendapat makanan pendamping selain ASI.
Makanan pendamping yang baik tidak hanya cukup mengandung energi dan protein, tetapi juga mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B, vitamin, dan mineral lainnya. Hanya keluarga mampu dan berpendidikan yang mampu menyediakan makanan pendamping yang baik ini, baik memasak sendiri atau membeli.
Karena itu, umumnya anak-anak mereka tumbuh kembang dengan baik, sedangkan anak balita dari keluarga tidak mampu harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi anak balita.
Kedua, pola pengasuhan anak. Suatu studi positive deviance mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan anak balita di suatu desa miskin hanya sebagian kecil yang gizi buruk, padahal orangtua mereka semuanya petani miskin. Dari studi ini diketahui pola pengasuhan anak berpengaruh terhadap timbulnya gizi buruk.
Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan dan mengerti soal pentingnya ASI, posyandu, kebersihan, meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat. Unsur pendidikan wanita berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak. Sebaliknya sebagian anak yang gizi buruk ternyata diasuh oleh nenek atau tetangga bukan kerabat yang juga miskin dan tidak berpendidikan. Banyaknya wanita yang meninggalkan desa mencari kerja di kota, bahkan menjadi TKI, kemungkinan juga dapat menjadi penyebab gizi buruk.
Ketiga, pelayanan kesehatan, terutama imunisasi, penanganan diare dengan oralit, tindakan cepat pada anak balita yang tidak naik berat badan, pendidikan dan penyuluhan kesehatan dan gizi, dukungan pelayanan di posyandu, penyediaan air bersih, kebersihan lingkungan, dan sebagainya. Pelayanan kesehatan yang lemah dan tidak memuaskan masyarakat terkait dengan kedua penyebab di atas.
Dikhawatirkan, mewabahnya berbagai penyakit menular akhir-akhir ini, seperti demam berdarah, diare, polio, dan malaria, secara hampir bersamaan waktu di mana-mana menggambarkan melemahnya pelayanan kesehatan di daerah-daerah. Munculnya kasus gizi buruk logikanya juga terkait dengan hal tersebut.
Kemiskinan sangat erat kaitannya dengan masalah gizi buruk. Data dari Indonesia dan di negara lain menunjukkan adanya hubungan antara kurang gizi dan kemiskinan. Proporsi anak yang gizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik dengan pendapatan.
Data empiris dari dunia menunjukkan bahwa program perbaikan gizi dapat dilakukan tanpa harus menunggu rakyat menjadi makmur, tetapi menjadi bagian yang eksplisit dari program pembangunan untuk memakmurkan rakyat. Perlu juga diketahui, bahwa selama masyarakat belum demokratis dan transparan, selama masih ada KKN, masalah kekurangan gizi tidak akan dapat diatasi sampai tuntas.
Ada kesan masalah kurang gizi di negeri tercinta ini masih "tersembunyikan" di balik hiruk-pikuknya kasus korupsi, bencana alam yang melanda beberapa daerah, pesta demokrasi, transformasi, otonomi, serta agenda studi banding para eksekutif dan legislatif.
Padahal, di balik hiruk-pikuk itu, sejak krisis berbagai program dan proyek telah digelar pemerintah dengan anggaran ratusan miliar rupiah bahkan mungkin triliun dengan berbagai nama menarik, di antaranya Program Jaring Pengaman Sosial (JPS), Dana Kompensasi BBM, Bantuan Pangan Raskin (untuk keluarga miskin), dan Makanan Tambahan Balita Kurang Gizi (MPASI), program Jamkesmas, PNPM, Program Keluarga Harapan (PKH), Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) serta program pengentasan kemiskinan lainnya.
Program tersebut bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat miskin. Karena label miskin inilah barangkali program-program itu relatif mudah mendapat persetujuan anggaran oleh pemerintah dan DPR atau DPRD meskipun belum ada bukti efektif tidaknya program dan proyek tersebut.
Kita berharap, dengan adanya program-program bantuan yang disalurkan oleh pemerintah kepada masyarakat miskin bukan hanya sebatas program yang pada gilirannya banyak dinikmati oleh orang-orang yang (kalau didata ulang) tidak masuk dalam kategori miskin.
Lantas, benarkah orang miskin datang mengambil beras miskin dengan naik sepeda motor ? Kategori penduduk miskin seperti apa sebenarnya yang dapat bantuan beras miskin tersebut ? Masyarakat luas masih banyak yang belum mengetahui hal ini. Ada orang yang benar-benar miskin dan seharusnya mendapatkan bantuan yang layak tapi malah terpinggirkan.***
Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan pendidikan tinggal di Medan.
No comments:
Post a Comment