Merdeka dari Kemiskinan ?

Harian Medan Bisnis-Jumat, 19 Agustus 2011

Merdeka dari Kemiskinan ?

Oleh : James P. Pardede

Permasalahan gizi buruk yang sangat erat kaitannya dengan masalah kemiskinan seakan luput dari perhatian kita, anak-anak yang terpaksa putus sekolah juga perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Di usia 66 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, elit politik di negeri ini masih disibukkan dengan kasus korupsi mantan Bendahara Partai Demokrat M. Nazaruddin, pelaku korupsi lainnya yang kabur ke luar negeri masih menjadi tanda tanya apakah mereka juga akan ditangkap atau tertangkap. Jika dihitung jumlah uang yang mereka korupsi sangat bermanfaat untuk membantu masyarakat miskin yang kesulitan mencari pekerjaan dan atau sekadar mencari uang untuk makan.

Kasus-kasus gizi buruk juga sebenarnya banyak terjadi di sekitar kita, hanya saja yang mencuat ke permukaan cuma beberapa kasus. Seharusnya, aparat pemerintah paling terdepan seperti lurah atau kepala desa bisa melakukan pendataan tentang keberadaan warganya apakah ada yang menderita gizi buruk atau tidak.

Revitalisasi Puskesmas dan Posyandu dalam hal ini sangat membantu dalam melacak anak-anak gizi buruk. Karena, biasanya ibu-ibu PKK atau petugas Posyandu akan mengajak ibu-ibu membawa anaknya untuk immunisasi atau sekadar timbang berat badan dan mendapat suplemen makanan tambahan seperti vitamin. Adanya pertemuan rutin di Puskesmas dan Posyandu antara petugas kesehatan dengan masyarakat akan mengetahui apakah keluarga tersebut benar memperoleh asupan gizi yang seimbang. Anak yang terkena gizi buruk juga akan mudah di deteksi.

Seperti telah disampaikan di awal tulisan ini, permasalahan gizi buruk sangat erat kaitannya dengan masalah kemiskinan. Kegagalan pemerintah dalam memerangi kemiskinan adalah salah satu bukti ketidakseriusan pemerintah dalam menuntaskannya. Banyak sudah program yang dijalankan, hanya saja masih belum menyentuh sampai ke titik persoalan. Daya beli masyarakat masih terus terpuruk. Padahal Indonesia dikenal kaya karena berlimpahnya sumber daya alam dan sumber daya manusia. Ironisnya, negara dan rakyatnya tetap miskin. Rakyat terjebak dengan prinsip yang dibangun negara, yakni romantisisme beras murah. Pemerintah memberantas kemiskinan dengan program pemberian beras murah yang disalurkan oleh Bulog. Pemberitan beras murah dianggap mampu meringankan beban masyarakat miskin.

Setiap tahun jumlah penduduk di negeri ini terus bertambah, dengan pertambahan penduduk ini berarti bertambah pula kebutuhan penduduk akan bahan pangan. Impian negeri ini untuk swasembada pangan hanya tertuang di atas kertas, sementara kenyataanya kebutuhan akan pangan tak mudah ditopang oleh sektor pertanian yang ada saat ini. Upaya pemerintah untuk terus memurah-murahkan harga beras, jelas tidak memberi ruang untuk melanjutkan gerakan diversifikasi konsumsi pangan yang sudah digelar sejak tahun 1974. Sementara itu, alih fungsi lahan telah menggrogoti lahan subur pertanian tanaman pangan yang pada gilirannya menurunkan produksi padi nasional.

Kondisi negara kita yang dikenal sebagai negara agraris, tapi sampai hari ini perma¬salahan kekurangan pa¬ngan dan kekurangan gizi masih tetap saja terjadi. Hal ini terjadi karena kebijakan pemerintah di bidang pangan dan pertanian hampir tidak ada yang memihak kepada rakyat. Para pengamat, pela¬ku usaha, dan anggota DPR menegaskan kebijakan pa¬ngan pemerintah sama sekali tidak berpihak kepada petani dan masyarakat kelas bawah. Hal itu dibuktikan dari pe¬merintah yang tidak antisi¬patif terhadap perma¬salahan yang timbul khususnya di bidang pertanian.

Pemerintah seharusnya memiliki kebijakan yang mendasar bagi kedaulatan pangan. Untuk jangka pan¬jang bangsa, dengan populasi penduduk Indonesia yang banyak, bangsa Indonesia harus mengusahakan pa¬ngan¬nya sendiri. Penduduk di pedesaan yang banyak dan lahan yang luas harus bisa diaktifkan. Indonesia yang dikenal sebagai bangsa agra¬ris, berubah menjadi negeri sejuta ironi. Negeri yang memiliki segalanya harus mengalami kekurangan ba¬nyak hal karena peme¬rin¬tah melupakan sektor pertanian.
Kondisi Rawan Pangan

Kita memiliki lautan luas yang sarat dengan segala jenis ikan sebagai sumber protein, tetapi sejumlah besar warga harus mengalami gizi buruk karena jarang me¬ngon¬sumsi ikan. Kita juga dika¬runia perkebunan kelapa sawit yang luasnya berjuta-juta hektar, tetapi minyak go¬reng kerap hilang dari kehidupan wong cilik. Masa¬lah ketahanan pangan di In¬donesia berganda. Selain im-portir yang berwajah spe¬kulan kerap bermain di air ke¬ruh, berbagai bencana ban¬jir dan kekeringan yang kini acap terjadi juga men¬jadi pen¬dorong produksi berku¬rang.

Isu pemanasan global menjadi perbincangan hangat di seluruh dunia dan ditengarai sebagai salah satu penyebab sektor pertanian kian berkurang produksinya. Petani jadi kesulitan dalam memprediksi kapan waktu menanam yang tepat. Dalam kaitan ini, pemerintah harus lebih serius dalam merespon pende¬ritaan puluhan ribu petani yang sawahnya gagal panen.

Selama ini pemerintah masih kurang serius dalam mengangkat derajat kehidupan masyarakat miskin yang ada di pedesaan yang notabene memiliki pekerjaan sebagai petani dan buruh tani. Malah setiap tahun puluhan triliun disedot dari daerah untuk pem¬bang¬unan perkotaan. Tarik uang dari pedesaan untuk perko¬taan. Diharapkan pemerintah mengambil kebijakan pokok untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan bahan pangan guna mencegah ra¬wan pangan dan gizi buruk di masa datang. Lonjakan har¬ga pangan yang dise¬babkan peningkatan harga di pasar global tidak dapat diatasi dengan kebijakan yang bersifat sementara.

Kondisi rawan pangan sering terjadi di beberapa dae¬rah. Lantas, upaya apa yang bisa dilakukan untuk me¬ngatasi kondisi ini ? Ke depan, pemerintah harus mela¬kukan proses edukasi untuk mem-perkenalkan potensi pangan lokal, juga harus menciptakan lapa¬ngan kerja dan mendukung gerakan an¬ti¬korupsi yang kini diga¬gas berbagai kelompok ma¬sya¬rakat. Pemahaman tek¬nologi pe-ngolahan pang¬an non-beras yang masih minim di tengah masyarakat men¬jadi diagnosa lain gagal-nya di¬versifikasi konsumsi. Ter¬se¬dianya beraneka ragam pro¬¬duk pangan amat diten¬tukan leh perkem¬bangan teknologi pengolahan pangan.

Masyarakat kelompok menengah ke atas seharusnya bisa menjadi pelopor gerakan diversifikasi konsumsi berbasis sumber daya lokal. Mereka bisa dikondisikan untuk tidak lagi menikmati pangan murah yang justru disubsidi oleh uang rakyat. Mereka harus disadarkan bahwa diversifikasi konsumsi tidak sekadar mengganti beras dengan singkong atau jagung, tetapi substansinya hendak menumbuhkan perekonomian petani selaku produsen pangan.

Sumut sebagai salah satu sentra beras bisa saja mengalami kekurangan ba¬han pangan. Bahkan bebe¬rapa daerah disinyalir sa¬ngat rawan terhadap keku¬rangan pangan. Itu sebabnya, ego sektoral harus dihi¬langkan. Setiap departemen yang terkait dengan pembangunan ketahanan pangan harus mau duduk bersama untuk mencari solusi. Departemen PU harus membenahi saluran irigasi yang mampu mengari sawah secara berkesinambungan sehingga ketika datang kemarau panjang petani tidak kehilangan air. Departemen keuangan harus menyediakan dana untuk memberi subsidi pupuk, benih dan modal bagi petani.

Departemen perdagangan harus menata secara baik tata niaga hasil pertanian sehingga petani mendapat harga yang baik setiap panen. Selama ini petani selalu dirugikan. Petani disuruh menanam padi tapi tidak ada jaminan harga ketika mereka panen. Jika petani sudah memperoleh insentif dari usaha taninya, kita bisa bisa mengakhiri kebijakan yang dengan gampang mengimpor komoditas pertanian sebagai pilihan utama.

Dalam rangka memperingati hari ulang tahun kemerdekaan RI yang ke-66 ini, mari sama-sama kita menyatukan persepsi bahwa permasalahan gizi buruk dan kemiskinan adalah tanggungjawab kita bersama. Bukan hanya tanggungjawab pemerintah semata. Jika di sekitar kita ada warga miskin yang benar-benar lebih layak untuk mendapatkan bantuan, segera laporkan ke aparat pemerintah di kelurahan atau kecamatan. Dengan upaya ini, program pemerintah membantu masyarakat miskin akan lebih mengena sampai ke sasarannya. Dengan upaya ini, kita akan sama-sama merasakan dan menikmati kemerdekaan yang sesungguhnya. Lantas, sampai kapan kita benar-benar merdeka dari permasalahan gizi buruk dan kemiskinan ini ? ***

* Penulis adalah pemerhati masalah kemiskinan dan pertanian.

No comments: