Oleh : James P. Pardede
Berita terbaru yang dirilis dari Antara menyebutkan, bahwa sebanyak 69 orang penderita HIV/AIDS di Subang meninggal dunia. Dari sebanyak 352 kasus penderita HIV/AIDS di Kabupaten Subang, tercatat ada sebanyak 69 orang penderita HIV/AIDS telah meninggal dunia.
Hal tersebut disampaikan Koordinator Penanggulangan HIV/AIDS, Dinas Kesehatan Kabupaten Subang, Jawa Barat (Jabar), Suwata. Para penderita HIV/AIDS yang meninggal dunia didominasi dengan temuan kasus di kawasan Pantai Utara (Pantura) Subang. Hingga saat ini Dinkes Subang telah menyatakan kawasan pantura Subang sebagai kawasan merah atau kawasan dengan resiko tinggi penyebaran HIV/AIDS dikarenakan di kawasan pantura Subang masih terdapat lokalisasi tersembunyi sehingga proses penyebaran HIV/AIDS di wilyah itu sulit dideteksi.
Berdasar pada temuan Dinkes Subang, penderita HIV/AIDS tahun ini didominasi oleh golongan Pekerja Seks Komersial (PSK) serta pengguna PSK. Adapun untuk titik sebaran terkonsentrasi penularan HIV/AIDS di Subang, terdiri dari 13 titik sebaran. Dominansi dari temuan kasus antara di Kecamatan Patokbeusi, Blanakan, Ciasem, Pamanukan serta Cipunagara Subang.
Dari temuan kasus HIV/AIDS, tiga orang balita dinyatakan positif terjangkit AIDS yang kemungkinan besar penularannya secara golongan peri-natal atau melalui ibunya yang positif terjangkit AIDS.
Jika melihat kebelakang, sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS di Indonesia masih amat jarang, sebagian besar berasal dari kelompok homoseksual. Sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam terutama akibat penularan melalui narkotika suntik. Hingga dengan Maret 2005 tercatat 6.789 kasus HIV/AIDS. Jumlah itu diperkirakan belum menunjukkan angka sebenarnya. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah antara 90.000 sampai 130.000 orang. Estimasi terbaru jumlah yang terinfeksi HIV lebih dari 500.000 orang.
Berakibat Kematian
Data yang ada menunjukkan kesimpulan bahwa epidemi HIV/AIDS di Indonesia sudah berada dalam tahap lanjut. Waspada terhadap penularan penyakit berbahaya ini harus segera disebarluaskan. Serukan 'lampu kuning' untuk HIV/AIDS. Berdasarkan penelitian, penularan terjadi melalui berbagai cara, baik melalui hubungan homoseksual, heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah, hingga dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya.
Infeksi HIV/AIDS juga telah mengenai semua golongan masyarakat, baik kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum.
Jika pada awalnya, sebagian besar orang dalam HIV/AIDS (ODHA) berasal dari kelompok homoseksual maka kini telah terjadi pergeseran dimana persentase penularan secara heteroseksual dan pengguna narkotika semakin meningkat. Beberapa bayi yang terbukti tertular HIV dari ibunya menunjukkan tahap yang lebih lanjut dari tahap penularan heteroseksual.
Informasi yang dilansir dari Harian Analisa, di kota Medan ditemukan 952 HIV (Human Immunodeviciency Virus) positif baru selama ini sebagai sumber penyakit penularan yang bisa berakibat kematian.
Penemuan ini berdasarkan jumlah kunjungan ke klinik VCT (Voluntary Counselling and Testing/konseling dan testing HIV sukarela) sebanyak 12 ribu orang sejak 2006 hingga akhir 2007 dan mereka telah mendapat informasi tentang HIV dan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom).
Bahkan mereka juga sudah dapat mencegahnya agar tidak menularkan kepada orang lain. Selain itu juga mereka telah mendapat perawatan dan pengobatan untuk lebih meningkatkan kualitas hidupnya.
Kasus HIV/AIDS di Sumatera Utara dalam hal ini Dinas Kesehatan Sumut tidak henti-hentinya melakukan upaya penanggulangan HIV/AIDS di Sumut maupun upaya pencegahan dan penanggulangan virus HIV/AIDS dilakukan di bawah koordinasi Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) dan di bawah pengawasan Gubsu dengan melibatkan semua instansi maupun badan yang terkait serta LSM dan di beberapa Kabupaten Kota yang sudah terbentuk Komisi Penanggulangan AIDS.
Dinas Kesehatan dalam hal ini sebagai salah satu anggota dan leading sector harus melakukan beberapa upaya untuk pencegahan dan pelayanan HIV/AIDS. Diantaranya harus ada advokasi ke pemerintah daerah khususnya untuk pendanaan program HIV/AIDS di Kabupaten Kota masing-masing. Bagaimana bisa dilakukan bila tidak ada dananya.
Begitu juga harus ada pembentukan klinik VCT dan CST (Care Support and Treatment) secara bertahap, minimal 1 buah per Kabupaten Kota dengan sasaran kelompok-kelompok risiko tertular virus HIV sebanyak mungkin sehingga diharapkan upaya pencegahan penularan dari kasus tersebut dapat sedini mungkin dilakukan pencegahannya.
Tidak kita pungkiri, bahwa seks bebas dan penyalahgunaan narkoba sangat erat kaitannya dengan penularan HIV/AIDS. Lihat saja, lokalisasi di beberapa kawasan di Sumut, berapa banyak akses penjualan narkoba dan seks bebas terjadi disana.
Razia-razia yang dilakukan aparat kepolisian tidaklah cukup mengehentikan penyebaran visrus penyakit ini. Kampanye kondomisasi yang dielu-elukan dapat mengatasi pencegahan HIV/AIDS yang ditunjang dengan pendirian ATM kondom ternyata tetap tidak membawa hasil yang signifikan.
Kondom bukanlah penyelesaian tuntas, kondom tidak efektif sebagai pencegah penularan virus HIV. Karena pori-pori kondom besarnya 600 kali lebih besar dibanding besar virus HIV. Selain itu, kondom sensitif terhadap perubahan suhu.
Sehingga, penggunaan kondom semakin meningkatkan laju infeksi HIV dan menyuburkan seks bebas. Penerapan ide liberalisme di negeri ini, semakin menambah daftar panjang perusakan generasi bangsa.
Bertindak dengan Tegas
Akibat diadopsinya budaya barat seperti seks bebas menimbulkan berbagai permasalahan mulai kehamilan di luar nikah, aborsi, stress, bunuh diri dan kehancuran keluarga.
Untuk itu, hendaknya kita lebih waspada terhadap budaya yang bersifat merusak generasi bangsa. Pencegahan penularan HIV/AIDS tidak bisa tidak harus diselesaikan dengan penyelesaian yang menyeluruh dan komprehensif bukan parsial. Ideologi sekular/kapitalis yang banyak diemban oleh beberapa negara ternyata tidak berhasil membawa bangsa ini bermatabat. Kebebasan berperilaku yang diagung-agugkan semakin membuat negeri ini terpuruk dan bakal dipastikan kehilangan generasi bangsa yang berkualitas.
Kita semua yakin dan percaya bahwa di setiap ajaran agama selalu ditekankan untuk hidup sehat, berpikir sehat dan menghindari tempat-tempat maksiat. Untuk kasus pencegahan penularan HIV/AIDS ini, ada tiga solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, Pemutusan Rantai Transmisi HIV: Stop Seks Bebas. Aktivitas seks bebas tetap akan terjadi di negeri ini, selama negara juga tetap memfasilitasi terjadinya aktivitas seks bebas.
Ada kontradiksi dalam hal ini, di satu sisi negara ingin penularan HIV/AIDS tidak terus meningkat tetapi di sisi lain negara malah memberikan izin beroperasinya tempat-tempat yang jelas-jelas menumbuh suburkan aktivitas seks bebas. Hendaknya Pemerintah bertindak dengan tegas, bukannya plin-plan karena ini menyangkut generasi bangsa di masa yan akan datang.
Kedua, Pemutusan Rantai Transmisi HIV: Stop Penyalahgunaan Narkoba.
Dimana narkoba dan segala jenisnya sangat berbahaya, karena selain dapat menghilangkan akal manusia juga dapat menularkan HIV/AIDS melaui jarum suntik yang tidak streril. Untuk memberantasnya harus dilakukan peningkatan ketakwaan individu dan menghabisi mafia narkoba hingga ke akar-akarnya. Penyalahgunaan narkoba diberikan sanksi 40 kali cambuk dan bagi pengedar dapat dikenai
hukuman mati.
Ketiga, Pemutusan Rantai Transmisi Melalui ODHA. Untuk menghambat penularan HIV/AIDS melalui “efek spiral”, maka yang harus dilakukan Pemerintah bagi ODHA yang terbukti terinfeksi karena zina dan sudah menikah akan dirajam. Sedangkan ODHA yang terinfeksi karena aktifitas homoseks haruslah dibunuh untuk menekan jumlah yang tertular akibat “efek spiral”. Langkah ini harus ditempuh oleh negara dengan menindak secara tegas bagi para pelaku. Adanya sanksi yang berat dapat semakin menurunkan jumlah penularan HIV/AIDS.
Bagi ODHA yang tidak terkena sanksi yang mematikan dan terinfeksi karena “efek spiral” yaitu dengan membuat karantina bagi ODHA.
Karantina ini bukanlah diskriminasi bagi ODHA karena dalam masa karantina semua kebutuhan fisik dan nalurinya wajib dipenuhi oleh negara serta akan dimotivasi untuk sembuh. Selain terapi fisik, ODHA akan diberikan terapi psikoreligi yaitu dengan memotivasi kesembuhan dan meningkatkan ketakwaan. Selama masa karantina ODHA dapat melakukan aktivitas normal sepanjang tidak membahayakan individu sehat lainnya. Transfusi darah juga harus dipastikan darah donor bersih dari infeksi virus HIV dan yang tidak kalah pentingnya negara wajib menyediakan perawatan khusus bagi ODHA dengan resiko penularan terhadap tenaga kesehatan secara maksimal.
* Penulis adalah pemerhati masalah sosial
No comments:
Post a Comment