Iman Sjahputra:
Masalah HaKI Masih Perlu Sosialisasi

Merebaknya pen­jua­lan VCD bajakan di beberapa kota besar di Indonesia sebenar­nya tidak bisa lepas dari siapa otak pelaku perbanyakan dari VCD bajakan tersebut. Kalau penjual boleh dikatakan hanya mencari keuntungan dari pro­duk yang ia jual tanpa pernah memikirkan apakah produk tersebut original atau bukan.
Yang terkena imbasnya adalah toko-toko penjual VCD yang original dan mempunyai ijin usaha jelas. Omzet pen­jualan mereka jadi berkurang, keuntungan yang mereka pero­leh pun makin sedikit.

Hal ini terlontar dari pem­bicaraan Analisa dengan salah seorang pengacara yang konsen dalam menangani perma­sala­han Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) Iman Sjahputra, SH.,SpN.,LL.M saat berada di Me­dan beberapa waktu lalu.

Dalam perbincangan tersebut, lulusan Master of Law, the American University, Washington College of Laws, U.S.A. ( LL.M, 1996) ini menegaskan kalau pembajakan itu sebenarnya tidak terlepas dari pihak pencipta dan produser. Kalau saja royaltinya sesuai dan pengawasan terhadap setiap produksi dilaksanakan dengan ketat, yang namanya pembajakan mungkin akan bisa ditelusuri dimana proses terjadinya.

Sebenarnya, dengan keikutsertaan Indonesia dalam pergaulan masyarakat dunia berkaitan dengan HaKI juga ditegaskan tatkala Indonesia memutuskan menjadi anggota World Intellectual Property Organization (WIPO) pada 1974. Selanjutnya, Indonesia meratifikasi pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization / WTO).

Dalam persetujuan pembentukan WTO tersebut, terlampir pula perjanjian tentang aspek-aspek yang terkait dengan perdagangan HaKI (Trade Related Aspects of Intellectual Property rights - TRIPs). Kemudian, pemerintah bersama DPR menjadikannya sebagai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994.

Semestinya, lanjut pria yang sering menulis di berbagai media ini, setelah Indonesia menjadi anggota WIPO, HaKI telah membudaya di seluruh masyarakatnya. Nyatanya, jangankan khalayak biasa, di kalangan intelektual pun yang seharusnya lebih mengenal HaKI, tingkat kesadarannya masih rendah.

Padahal HaKI telah menjadi alat perdagangan dan alat persaingan dalam perdagangan internasional. Apabila ada negara anggota WTO melakukan pelanggaran atas perjanjian TRIPs, maka dibenarkan melakukan pembalasan, sampai-sampai dibenarkan melakukan pembalasan silang (cross retaliation) oleh negara yang dilanggar haknya secara hukum internasional.

Itu sebabnya, praktisi hukum Iman Sjahputra mengkritisi keras soal memblenya penegakan hukum di bidang HaKI ini. “Memprihatinkan!” katanya. “Buktinya” Luangkan saja waktu anda sejenak menelusuri shopping mall hingga emperan toko-toko di manapun. Anda akan menemukan barang-barang bajakan yang luar biasa banyaknya. Dari barang ciptaan seperti VCD (video compact disc), CD (compact disc), optical disc, program software sampai dengan produk-produk merek terkenal (Donna Karan New York, Burbery, Calvin Klein, Hugo Boss) sangat mudah didapatkan,” ungkap Iman Sjahputra.

Tidak mengherankan, lanjut Iman, dari pembajakan kaset saja selama tahun 2001, negara telah dirugikan senilai Rp 271 miliar. Sangat jelas, kelemahannya terletak di aparat penegak hukum.

Sosialisasi tentang HaKI ini masih harus terus dilaksanakan hingga ke kalanangan masyarakat kelas bawah. Kelak dengan upaya ini, masyarakat akan mengerti betapa pentingnya melindungi hak cipta.

Seiring dengan perkembangan teknologi sekarang, persoalan yang muncul kemudian adalah masalah penegakan hukum internet. Dengan internet manusia kini bisa melakukan berbagai hal dalam kehidupannya. Namun, keberadaan internet seiring eskalasi teknologi informasi, sering diibaratkan bagai pisau bermata dua.

“Satu sisi bisa mensejahterakan, satu sisi lainnya ebrpotensi mengundang terjadinya perbuatan melanggar hukum,” tandas pria asal Sumatera Utara ini.

Sebagai contoh adalah, kerawanan bertransaksi di internet kini boleh menjadi perhatian dan peringatan bagi konsumen yang biasanya menggunakan internet selaku ajang transasksi. Karena tergiur dengan iklan di internet (website luar negeri) dan mencoba membeli dengan kartu kredit. Ternyata, barang yang dipesan tidak sesuai dengan yang diharapkan, bahkan ada juga yang memesan dan telah membayar tapi pesanan tak pernah diterima.

Menghadapi permasalahan seperti ini, katanya, kemana konsumen harus mengadu ? Lantas muncul pertanyaan, apakah klausula ini dapat diterapkan pada pelaku usaha yang berdomisili di luar negeri ? Jawabnya adalah kecil kemungkinan dapat berlaku. Karena kita tak punya peraturan seperti yang di terapkan di Uni Eropa sana.

Untuk itu, saran Iman, kepada konsumen yang sering menggunakan internet dan tergiur untuk bertransaksi lewat internet ada baiknya teliti dulu apakah website tersebut asli atau palsu. Siapa tau saat konsumen membeli website-nya masih up to date. Tapi setelah transaksi terjadi website-nya telah raib. (james p pardede)

No comments: