Menumbuhkan Motivasi, Menggali Potensi yang Tersembunyi

Oleh : James P. Pardede

Tidak mudah untuk me­wu­­jud­kan target Indonesia me­nu­runkan angka buta aksara hing­ga 5 persen pada 2009 men­datang, diperlukan komit­men se­mua elemen bangsa dan ino­vasi-inovasi yang kreatif oleh pa­ra tutor dalam memelek­ak­sa­rakan war­ga bela­jar buta aksa­ra di bebe­rapa daerah di Indo­ne­sia. Terutama daerah yang ang­ka buta aksaranya ma­sih ter­golong sangat tinggi.
Dalam sebuah kesempatan, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo menge­mu­kakan bahwa untuk menun­tas­kan masalah buta aksara agar lebih cepat dan efisien perlu ‘di­ke­royok’ ramai-ramai. Mulai dari pemerintah pusat, peme­rintah daerah (pemda), swasta, perusahaan, LSM maupun orga­­nisasi kemasyarakatan.
Memang, siapa pun menga­kui kalau potret masyarakat buta huruf atau buta aksara identik dengan kantong kemiskinan pe­ngetahuan, kete­rampilan, dan ke­­terbelakangan. Oleh karena itu, fenomena daerah tertinggal me­mang se­nantiasa bersen­tu­han lang­sung dengan karak­te­ristik masya­rakatnya yang ber­ci­rikan keter­ba­tasan sumber da­ya baik sum­ber daya alam apa­lagi sumber daya manu­sianya.
Untuk menetapkan daerah mis­kin beberapa variabel do­minan­nya dirujuk dari penda­patan penduduk, kecukupan ke­butu­han dasar, dan derajat kese­ha­tan. Hasilnya menunjuk­kan bah­wa kantong kemiskinan bagi masyarakat Indonesia ter­se­bar di ribuan kecamatan dan ribuan desa tertinggal. Adapun ukuran kemiskinan pengeta­huan, khu­susnya masyarakat yang dika­tegorikan buta huruf dan buta aksara, dilihat dari sensus pen­duduk yang datanya menun­juk­kan bahwa masya­rakat tersebut (baca: usia 15-44 tahun) mengi­dap penyakit tiga buta, buta ak­sara, buta penge­tahuan umum/pendidikan da­sar, dan buta ba­ha­sa Indonesia.
Selain itu, tingginya angka putus sekolah di tingkat SD te­rutama kelas 1,2,dan 3 juga ber­po­tensi menciptakan buta ak­sara. Jika melihat perkem­ba­ng­an penurunan buta aksara hing­ga 2006, hasilnya sangat meng­gembirakan. Tapi sema­kin se­dikit jumlah pendu­duk buta ak­sara, maka akan semakin sulit memberantasnya. Karena, pen­du­duk buta aksara yang ter­sisa adalah yang terma­suk da­lam golongan hardrock (sangat sulit dimelek­aksara­kan).
Mengatasi permasalahan ma­­sih tingginya angka buta aksara, diperlukan kerja sama berbagai pihak seperti dipapar­kan di atas. Misalnya, lembaga atau instansi pemerin­tah seperti perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan unit pelaksana tek­nis. Selain itu, juga diperlukan peran swasta seperti perusaha­an, BUMN, perban­kan, serta or­ganisasi masyarakat dan kea­gamaan.
Menumbuhkan Motivasi
Jika mengamati kondisi buta ak­sara di Indonesia, maka pola pem­be­lajaran bagi penduduk buta ak­sara harus dilaksanakan secara utuh dan terpadu. Bila perlu, upaya-upaya dengan pen­dekatan psikologis dan profesi perlu dite­rap­kan, antara lain me­numbuhkan motivasi warga be­lajar yang terdeteksi dalam kate­gori warga buta ak­sara.
Motivasi warga belajar ada­lah dorongan yang me­nye­bab­kan terjadinya suatu perbu­atan atau tindakan tertentu. Belajar terjadi karena adanya motivasi yang mendorong seseorang un­tuk melakukan perbuatan bela­jar. Dorongan itu dapat timbul dari diri warga belajar yang ber­sumber dari kebutuhan tertentu yang ingin mendapat pemuasan; atau dorongan yang timbul kare­na rangsangan dari luar diri war­ga belajar, sehingga ia mela­ku­kan kegiatan belajar.
Motivasi yang timbul dari da­­lam diri warga belajar akan lebih baik dibandingkan dengan motivasi yang disebabkan oleh rang­sangan dari luar, namun da­lam prakteknya seringkali mo­tivasi dari dalam sulit dite­mui bahkan cenderung tidak ada. Keadaan demikian memer­lukan rangsangan dari luar se­hingga timbul motivasi belajar.
Rangsangan atau upaya me­numbuhkan motivasi warga be­lajar sebenarnya masih memer­lukan cara-cara yang inovatif dan kreatif. Apakah itu lewat pen­­dekatan kekeluargaan, kea­gamaan atau lewat pekerjaan. Pendekatan lewat kekeluargaan dan keagamaan mungkin tidak terlalu sulit. Yang sulit adalah pen­dekatan lewat pekerjaan. Ber­dasarkan fakta di lapangan, para pekerja termasuk petani di beberapa daerah sangat sulit mem­bagi waktu untuk belajar dan bekerja.
Kreatifitas dari tutor dalam menggiring dan menumbuhkan motivasi warga seperti ini sa­ngat menentukan. Sebab, warga belajar yang ingin diberdayakan ke­banyakan dari kalangan o­rang dewasa (usia antara 15 - 44 tahun) yang telah ba­­nyak makan ‘asam dan ga­ram’ kehidupan.
Dalam pertumbuhan seseo­rang sampai masa dewasa, dia banyak memperoleh pengala­man dalam hidupnya, dan telah banyak belajar dari pengalaman hidup tersebut. Hasil dari peng­alaman itulah yang menen­tukan sikap hidup, pendirian, jalan pikiran, nilai dan sebagainya dari orang bersangkutan.
Apabila sikap hidup, pikiran, ide, pengalaman, informasi dan sebagainya yang terdapat pada diri warga belajar dipupuk dan dikembangkan, maka akan mem­­bantu perkembangan atau ke­majuan belajarnya. Sebalik­nya, apabila hal itu ternyata meng­halangi kemajuan belajar yang bersangkutan, maka men­ja­di kewajiban tutor untuk me­nga­dakan usaha untuk merubah sikap hidup, pendirian atau jalan pikiran tersebut, sehingga dapat membantunya ke arah kema­juan yang dicita-citakan.
Perlu diketahui, bahwa sikap dan pendirian yang menjadi peng­­halang antara lain: Perta­ma, lekas merasa puas dengan hasil yang telah dicapai (tidak ingin mencapai hasil yang lebih baik). Kedua, tidak suka me­man­faatkan waktu luang deng­an kegiatan-kegiatan yang sebe­narnya memberi manfaat posi­tif. Ketiga, tidak suka menga­dakan penelitian atau perhi­tu­ngan sebelum melakukan sesu­atu pekerjaan. Keempat, kurang tekun dan disiplin dalam mela­kukan sesuatu. Kelima, menga­baikan aturan-aturan atau nor­ma-norma yang berdasar ilmu pengetahuan. Keenam, tidak percaya pada kemampuan diri sendiri dan ketujuh, tidak suka bekerjasama dengan orang lain.
Karena sikap hidup dan pen­dirian tersebut, merupakan hasil pengalaman masa lampau, ma­ka untuk mengubahnya harus diberikan pengalaman-penga­laman baru dan motivasi-mo­tivasi positif yang pada akhirnya menimbulkan pengertian, kesa­daran dan keyakinan bahwa me­­reka memiliki potensi yang ter­sembunyi. Bahwa mereka me­miliki potensi yang harus digali agar memiliki rasa per­caya pada diri sendiri, mem­buang rasa gengsi yang tinggi, me­ninggal­kan sikap mau me­nang sendiri dan menge­depan­kan kebersa­ma­an dalam menye­lesaikan se­buah persoalan.
Upaya menumbuhkan moti­vasi kepada warga belajar dan calon warga belajar harus dapat menyadarkan dan meyakinakan warga belajar bahwa mereka yang cepat merasa puas dengan hasil pekerjaannya akan jauh ke­­­tinggalan dengan mereka yang selalu ingin mencapai hasil yang lebih baik. Memberi pe­ngalaman baru dan menum­buh­kan motivasi warga belajar ha­rus dilaksanakan sebagai tinda­kan sosial edukatif dalam pro­gram keaksaraan fungsional ter­hadap warga belajar.
Dengan memperhatikan hal-hal seperti dikemukakan di atas, para pengelola program keak­saraan fungsional senantiasa harus berusaha untuk dapat me­ngenal dan memahami berbagai segi kehidupan orang dewasa. Dengan demikian, kita dapat mengenal dan memahami un­sur-unsur kehidupan orang de­wa­sa itu yang benar-benar mem­bawa keuntungan dan man­faat lahir bathin bagi setiap individu dan masyarakat secara keseluruhannya. Unsur-unsur yang mengandung kegu­naan inilah yang harus dijadikan ba­han dalam menyusun materi pembelajaran.
Menggali Potensi
Setelah upaya penyadaran dan motivasi dari warga belajar tumbuh dengan baik dan dengan memperhatikan tingkat kecer­dasan serta kemampuan belajar pada orang dewasa sebagai­ma­na dikemukakan di atas, maka da­lam program keak­sa­raan fung­­­sional kita perlu berpe­do­man pada konsep : materi pem­be­lajaran menggunakan ba­ha­sa yang mudah dimengerti, ma­teri pembelajaran dengan con­toh-contoh dari kehidupan se­hari-hari, mengajak mereka men­­cari contoh dari kehidupan mereka sendiri, mengajak me­reka memahami tentang sesuatu hal sebab akibat, mem­prak­tek­kan hal-hal yang telah diajarkan, jangan bebani mereka dengan ha­falan dan berikan mereka rangsangan untuk berfikir deng­an cara mengajukan perta­nya­an-pertanyaan yang dapat me­nggali kemampuan berfikir me­reka.
Sebenarnya, yang paling penting dalam penuntasan war­ga buta aksara adalah bagai­ma­na cara menggali potensi yang tersem­bunyi di dalam diri mere­ka. Deng­an meng­­gali potensi tersebut kita akan me­nge­tahui ke arah mana minat dan ke­mampuan mereka dalam me­ningkatkan taraf hidupnya di kemudian hari.
Lantas, kenapa pemberan­tasan buta aksara begitu penting sampai peme­rintah melun­cur­kan pro­gram nasional yang di­be­ri nama Gerakan Nasional Pem­beran­tasan Buta Aksara (GNPBA) ?
Karena pemberantasan buta aksara merupakan bagian dari Education for All dan Mille­ni­um Development Goals (MD­Gs). Maka pelaksanaannya bu­kan cuma bertujuan agar warga buta aksara menjadi melek hu­ruf latin atau bisa berhitung. Ta­­pi lebih dari itu, warga buta aksara juga harus didorong un­tuk bisa mening­katkan kualitas hidupnya.
Upaya-upaya lainnya yang bisa dilakukan untuk member­dayakan warga buta aksara sete­lah mendapat dukungan moti­vasi dan penyadaran dari berba­gai elemen sebenarnya masih sangat beragam.
Misal­nya, melalui program bekerja sambil belajar yang me­rupakan pola pembelajaran dan pember­dayaan penduduk secara terpa­du antara upaya pembi­naan pengetahuan dan ke­teram­pilan upajiwa dan mencari naf­kah (vokasional). Inilah yang dina­makan pende­katan bekerja dan belajar, yang dapat diterap­kan dalam mem­ber­daya­kan pen­du­duk usia dewasa (ba­ca: buta ak­sara) me­lalui pen­de­katan an­dra­gogi dan integratif.
Pendekatan dengan bahan ajar yang langsung bersentuhan dengan profesi warga belajar diharapkan akan lebih memu­dahkan mereka dalam me­nye­rap pelajaran yang disam­pai­kan.
Jaringan Belajar
Disamping itu, ada beberapa konsekuensi logis dalam pende­katan tutorial terpadu ini khu­susnya dalam konteks percepa­tan pemberan­tasan buta aksara sambil beker­ja. Pertama, kegia­tan pem­berdayaan penduduk dewasa (15-44 tahun) dalam upaya memberantas kemiski­nan pe­ngetahuan dan ketunaan kete­rampilan ini hendaknya ber­mula dari upaya menggenjot kesadaran dari warga belajar itu sendiri (inner consciousness) bah­wa belajar sambil bekerja pada hakikatnya merupakan su­atu kebutuhan di samping ke­wajiban.
Melalui program tutorial ter­padu ini diharapkan dapat di­ting­katkan dan diberdayakan kemauan dan potensi setiap pen­duduk atau warga belajar untuk berbuat yang terbaik termasuk belajar untuk melek huruf, me­nambah pe­nge­tahuan dan kete­rampilan.
Kedua, pola tutorial terpadu hendaknya diikuti dengan pem­bangunan jaringan belajar (lear­ning network) yang dapat me­ngon­­disikan setiap penduduk/warga belajar untuk senantiasa melek ilmu pengetahuan dan keterampilan. Ini berarti warga belajar tidak berhenti seusai mengikuti program pendidikan keaksaraan dan sekadar mem­pe­roleh surat keterangan melek aksara (Sukma).
Melalui jaringan belajar ma­syarakat ini seperti diba­ngun­nya perpustakaan desa, taman bacaan masyarakat, pusat sum­ber belajar masyarakat, dan lain-lain diharapkan masyarakat/warga belajar diajak untuk terus belajar sepanjang hayat (life long education) dalam rangka peningkatan kualitas hidupnya.
Ini perlu ditindaklanjuti ke­be­­radaannya mengingat pada beberapa kasus pelaksanaan pendidikan keaksaraan, banyak warga belajar yang tadinya su­dah mulai melek aksara/huruf, mereka kembali menjadi ma­sya­rakat yang “lupa huruf”. Ala­sannya, antara lain tidak adanya kesinambungan pro­gram pem­belajaran setelah mengikuti pen­­didikan keaksaraan karena tidak dibinanya jaringan belajar di antara kelompok masyarakat/warga belajar itu sendiri.
Pada akhirnya, dukungan dan partisipasi masyarakat sangat mutlak dibutuhkan untuk menunjang program pengen­tasan buta aksara yang tengah digalakkan oleh pemerintah. Me­libatkan seluruh komponen masyarakat bertujuan untuk menggalakkan kerja sama dan menumbuhkan rasa tang­gung­jawab moral untuk mencer­daskan kehidupan berbangsa dan bernegara, menghilangkan kebodohan dan mengurangi angka kemiskinan. Jika semua elemen masyarakat memiliki komitmen untuk ikut menum­buhkan motivasi dan menggali potensi yang tersembunyi dari warga buta aksara di negeri ini, target pemerintah ke depan un­tuk membebaskan Indonesia da­ri buta aksara bisa terealisasi. Semoga.

No comments: