UMKM - Harian Analisa edisi Minggu, 12 Oktober 2008
UMKM, Tak Butuh Janji Tapi Solusi
Oleh : James P. Pardede
Sudah lebih sepuluh tahun Misliani Tanjung (36) berjualan koran, tabloid, majalah, rokok, permen dan jajanan lainnya di Jalan Balai Kota Medan (Simpang Jalan Tembakau Deli). Setiap hari ia bisa mengantongi untung untuk tambahan biaya hidup bersama suami dan dua anaknya.
“Sejak gadis saya sudah berjualan sampai menikah dan punya dua anak,” katanya saat ditemui di lokasi usahanya di pinggiran jalan Balai Kota Medan.
Dengan bermodalkan mobil tua yang sudah butut (Daihatsu Hijet 55 keluaran tahun 70-anyang mesinnya tak berfungsi lagi), Misliani tetap ramah dalam melayani pembeli. Mobil bekas yang ia gunakan sebagai tempat berjualan merupakan warisan dari kakaknya.
Menurut pengakuan Misliani, selama berjualan di kawasan jalan protokol yang ramai dilintasi kendaraan bermotor tersebut banyak suka duka yang ia hadapi. Kucing-kucingan dengan petugas penertiban dan polisi pamong praja sudah sering terjadi. Duka lainnya, kalau hujan lebat dan cuaca kurang mendukung, omzet bisa berkurang.
Sebenarnya, kata Misliani, ia memiliki kerinduan untuk mendapatkan bantuan dari perbankan untuk mengganti mobil butut yang ia tempati sekarang dengan mobil pick-up baru yang bisa dirancang sedemikian rupa menjadi warung berjalan dan bisa dipindah-pindahkan dengan mudah.
“Kalau yang ada sekarang sudah kurang nyaman dan sempit,” tandasnya.
Kenapa tidak mencoba mengajukan kredit ke bank ? Demikian pertanyaan yang terlontar dari Analisa.
“Mana mungkin bank mau mengasihkan kredit sama usaha kecil seperti kami ini. Padahal, kalau saja ada bank yang mau memberikan pinjaman dan pendampingan, mungkin masih bisa meningkat dari yang sekarang, ” tegasnya.
Apa yang dihadapi Misliani hampir sama dengan Marni (30) yang sudah bertahun-tahun menggeluti usaha berjualan nasi dan lontong untuk sarapan pagi, sore harinya usaha berjualan mie goreng, nasi goreng diteruskan suaminya.
Membuka usaha di kawasan perumahan Komplek Kejaksaan Simpang Selayang Medan, Marni masih menyewa rumah sederhana berdinding tepas dan papan serta beratapkan seng.
Walau dengan kondisi yang serba darurat tersebut, Marni bersama suaminya terus berupaya untuk mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Ditengah kondisi seperti itu pun, Marni masih sempat untuk menanamkan kebiasaan menabung kepada anaknya agar kelak setelah mereka dewasa bisa belajar hidup mandiri.
Niat untuk pengembangan usaha, menurut pengakuan Marni ia masih enggan mengajukan kredit ke perbankan. Terlalu rumit dan harus ada agunan. Sementara mereka hanya tinggal di rumah kontrakan dan usaha yang mereka geluti pun boleh dikata masuk dalam kategori usaha mikro kecil menengah yang sangat sederhana.
Belum Penuh
Dua jenis usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang dipaparkan diatas boleh dikatakan jadi gambaran (wajah) jutaan UMKM yang ada di Indonesia. Banyak dari mereka yang tidak mengerti bagaimana untuk mendapatkan akses bantuan kredit dari perbankan. Namun demikian, banyak juga yang berhasil mendapatkan link ke perbankan. Pendampingan dari pemerintah, pihak swasta atau lembaga lainnya pun belum sepenuhnya bisa menyentuh keinginan UMKM.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, persoalan utama yang dihadapi UMKM saat ini adalah keberpihakan pemerintah yang belum penuh untuk memberikan pendampingan dan pembinaan. Beberapa perbankan pun masih enggan untuk menyalurkan kreditnya ke sektor ini. Padahal, sektor UMKM sudah teruji menjadi salah satu sektor yang tahan terhadap terpaan badai krisis moneter di tahun 1997 yang lalu. Sektor ini banyak yang tetap bertahan dan terus melangkah walau perlahan.
Kemudian persoalan cukup krusial adalah mayoritas pengusaha UMKM tidak bankable (tidak memenuhi syarat untuk memperoleh kredit dari bank). Terutama kepada pengusaha pemula yang tanpa pengalaman, tanpa pembukuan dan administrasi usaha memadai serta belum adanya konsep usaha sehingga kurang memiliki jaminan kredit (collateral).
Pemerhati permasalahan ekonomi kecil dan menengah di Sumatera Utara, dr. Sofyan Tan menegaskan bahwa tahun ini sebenarnya ada prospek yang baik terutama untuk sektor UMKM. Jika melihat trend yang terjadi belakangan ini, beberapa perbankan swasta sangat gencar untuk menggulirkan bantuan kredit kepada pengusaha UMKM.
Untuk mendukung upaya ini, lanjut Sofyan Tan pemerintah daerah perlu melakukan perbaikan birokrasi dan memperkecil aturan-aturan yang memberatkan pelaku UMKM.
Selain itu, tambahnya, pemerintah harus ikut berperan dalam menjembatani pelaku UMKM dalam mendapatkan bantuan kredit dari perbankan. Dengan cara ini, UMKM bisa bangkit dan ikut meningkatkan perekonomian bangsa.
Setiap pelaku UMKM sangat membutuhkan informasi dan sosialisasi tentang bagaimana pengurusan ijin-ijin untuk kelangsungan dan pengembangan usaha mereka. Mereka juga sangat mengharapkan adanya kejujuran dan transparansi dari instansi terkait tentang biaya-biaya yang harus mereka keluarkan.
UMKM memang tidak bisa dilihat sebelah mata. Seperti kita ketahui, UMKM adalah sektor yang paling fleksibel dalam menyerap tenaga kerja secara cepat dan alamiah dibandingkan sektor lain. Jumlah yang banyak serta sebaran yang merata, menjadikan sektor ini tidak hanya mampu menciptakan pertumbuhan namun sekaligus mengurangi disparitas antar daerah.
Ketahanan yang Relatif
Peran UMKM dalam perekonomian domestik semakin meningkat terutama setelah krisis 1997. Di saat perbankan menghadapi kesulitan untuk mencari debitur yang tidak bermasalah, UMKM menjadi alternatif penyaluran kredit perbankan. Berdasarkan statistik BPS tahun 2000, UMKM (kurang lebih 40 juta unit) mendominasi lebih dari 90 persen total unit usaha dan menyerap angkatan kerja dengan prosentase yang hampir sama.
Data BPS juga memperkirakan 57persen PDB bersumber dari unit usaha ini dan menyumbang hampir 15persen dari ekspor barang Indonesia. Ditinjau dari reputasi kreditnya, UMKM juga mempunyai prestasi yang cukup membanggakan dengan tingkat kemacetan kredit yang relatif kecil. Pada akhir 2002, kredit bermasalah UMKM (non-performing loan/NPL) hanya 3,9 persen, jauh lebih kecil dibandingkan dengan total kredit perbankan yang mencapai 10,2 persen.
Kondisi tersebut mencerminkan bahwa pemberian kredit ke UMKM merupakan salah satu upaya dalam rangka penyebaran risiko perbankan, sementara suku bunga kredit UMKM sesuai dengan tingkat bunga pasar sehingga bank akan mempunyai margin yang cukup.
Sektor ini mempunyai ketahanan yang relatif lebih baik dibandingkan dengan usaha besar karena kurangnya ketergantungan pada bahan baku impor dan potensi pasar yang tinggi mengingat harga produk yang dihasilkan relatif rendah sehingga terjangkau oleh golongan ekonomi lemah.
Namun demikian, UMKM juga mempunyai karakteristik pembiayaan yang unik, yakni diperlukannya ketersediaan dana pada saat ini, jumlah dan sasaran yang tepat, prosedur yang relatif sederhana, adanya kemudahan akses ke sumber pembiayaan serta perlunya program pendampingan (technical assistance).
Dibalik ketangguhan puluhan juta UMKM di atas, upaya pengembangan UMKM masih menjumpai berbagai kendala seperti pengelolaan usaha yang masih tradisional, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang belum memadai, skala dan teknik produksi yang rendah serta masih terbatasnya akses kepada lembaga keuangan, khususnya perbankan.
Solusi Usaha
Ditengah kondisi seperti sekarang ini, beberapa perbankan mulai mengurangi porsi pemberian kredit ke koorporasi dan mengalihkannya ke sektor ritel khususnya usaha mikro kecil dan menengah. Hal ini dilakukan oleh beberapa perbankan karena UMKM dianggap mempunyai peranan dan potensi yang sangat besar.
Salah satu dari sekian banyak perbankan yang saat ini serius untuk menyalurkan bantuan kredit kepada sektor UMKM adalah PT Bank Internasional Indonesia Tbk (BII). Sebagai wujud nyata kepedulian lembaga keuangan ini terhadap perkembangan ekonomi kecil, salah satu produk yang ditawarkan untuk UMKM adalah BII Suka (Solusi Usaha Kecil Anda) yang ditujukan khusus untuk pengusaha kecil dan menengah.
Komitmen BII untuk kerjasama dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebagai saluran pendistribusian kredit kepada bisnis UKM melalui linkage program, telah berhasil memenangkan penghargaan Kriya Pranala Pratama Award dari Bank Indonesia pada awal Maret 2008 lalu. Kriya Pranala Award merupakan penghargaan yang diberikan oleh BI bagi bank umum yang melaksanakan linkage program dalam penyaluran kredit usaha mikro kecil bekerjasama dengan BPR.
Berbeda dengan tahun sebelumnya, dimana penghargaan diberikan berdasarkan kategorisasi aspek-aspek tertentu, pada tahun 2007 penilaian dilakukan secara komprehensif mencakup aspek-aspek tertinggi dalam plafond, terbesar dalam outstanding, terluas dalam coverage area, dan terbanyak bekerja sama dengan BPR.
Presiden Direktur BII, Henry Ho pernah mengatakan bahwa kinerja mereka saat ini sangat menjanjikan dan sesuai dengan harapan. Perkembangan yang pesat telah terealisasi dalam peningkatan kredit inti dan simpanan serta membaiknya penyisihan kerugian kredit.
Meskipun inflasi terus meningkat sejak akhir tahun 2007, biaya-biaya dapat dikendalikan dengan baik.Ketidakpastian yang berkelanjutan dalam pasar uang dunia dan tekanan persaingan yang kuat, ketatnya spread kredit, tekanan inflasi dengan kenaikan harga pangan dan minyak yang bisa berdampak pada keseluruhan kinerja ekonomi secara luas dan industri perbankan di Indonesia.
Dalam hal penyaluran kredit ke UMKM, beberapa perbankan termasuk BII pastilah akan tetap mengedepankan unsur kehati-hatian dalam mengambil keputusan. Tidak lantas semua UMKM bisa dibiayai. Perbankan juga melakukan klasifikasi terhadap UMKM yang layak dan tidak layak dalam memperoleh kucuran kredit. Bank Indonesia selaku penjaga gawang inflasi diharapkan ikut mengawasi dan mensosialisasikan hal ini ke berbagai pihak.
Karena untuk penyaluran kredit ini pun, banyak elemen penting yang harus diperhatikan oleh pelaku UMKM. Dari beberapa elemen penting yang perlu mendapat perhatian tersebut, salah satu diantaranya adalah permasalahan kesiapan SDM yang berkecimpung dalam UMKM tersebut.
Menagih Janji
Pada sebuah kesempatan Menneg Koperasi dan UKM Drs. Suryadharma Ali mengatakan bahwa selama ini pelaku UMKM sering dipersepsikan sebagai pelaku usaha yang miskin, bodoh, malas, dan tidak efesien. Pelaku UMKM juga dinilai kurang produktif, pasif dan skeptis, sehingga tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalahnya, selain meminta bantuan material.
Di antara titik kelemahan UMKM tersebut, kata Suryadharma Ali, adalah bukti ketidakmampuan mereka mengorganisasikan diri sehingga mampu melakukan tindakan kolektif secara produktif, efektif, dan efesien. Ketidakmampuan ini disebabkan lemahnya kemampuan manajerial dan vested interest (kepentingan pribadi) para pelaku UMKM itu sendiri.
Terkait dengan pentingnya peningkatan kualitas SDM pelaku UMKM antara lain terbentur pada minimnya program bantuan seperti modal, peningkatan kapasitas serta lemahnya koordinasi antara lembaga dalam memberikan pendidikan bagi pelaku UMKM. Hal ini juga terpaut dengan minimnya alokasi anggaran dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk mendidik dan melatih mereka.
Andai saja pemerintah mau memberikan pendampingan dan pembinaan kepada beberapa pelaku UMKM, seperti Misliani Tanjung dan Marni yang memiliki kerinduan untuk mendapatkan bantuan dana (kredit) dari perbankan. Barangkali, cita-cita mereka untuk mengembangkan usaha sudah tertanam selama bertahun-tahun.
Namun sampai hari ini, belum ada satu lembaga keuangan atau dampingan dari pemerintah untuk mengubah nasib mereka. Yang jelas, jutaan UMKM yang tahan terhadap terpaan krisis masih menagih janji manis dari pemerintah. Selama ini mereka sudah bosan mendengar janji-janji manis tersebut. Mereka, tak butuh janji tapi solusi.
No comments:
Post a Comment