Gizi Buruk Erat Kaitannya dengan Masalah Kemiskinan
Gizi buruk adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan, dan kedokteran. Dunia pers lebih suka pakai istilah “busung lapar” meskipun anak yang gizi buruk belum tentu kelaparan. Yang tepat sebenarnya kelaparan tidak kentara (hidden hunger) karena mereka hanya kenyang karbohidrat, tetap “lapar” banyak zat gizi lainnya.
Gizi buruk adalah bentuk terparah (akut) dari proses terjadinya kekurangan gizi. Anak balita (bawah lima tahun) sehat atau kurang gizi dapat diketahui dari pertambahan berat badannya tiap bulan sampai usia minimal dua tahun (baduta).
Apabila pertambahan berat badan sesuai dengan pertambahan umur menurut suatu standar Organisasi Kesehatan Dunia, dia bergizi baik. Kalau sedikit di bawah standar disebut bergizi kurang yang bersifat kronis. Apabila jauh di bawah standar dikatakan bergizi buruk. Jadi, istilah gizi buruk adalah salah satu bentuk kekurangan gizi tingkat berat atau akut.
Anak yang bergizi kurang, berarti kekurangan gizi pada tingkat ringan atau sedang, belum menunjukkan gejala sakit. Dia seperti anak-anak lain, masih bermain dan sebagainya, tetapi jika diamati dengan saksama badannya mulai kurus.
Seperti disampaikan salah seorang dokter kandungan dr. Syamsul Nasution, SpOG saat dihubungi lewat ponsel menegaskan, bahwa anak sejak dalam kandungan juga sangat perlu mendapat asupan gizi yang seimbang.
“Anak sejak usia 3 bulan dalam kandungan sudah perlu mendapat asupan gizi yang seimbang,” paparnya.
Dalam masa perkembangan janin sampai anak lahir pun masalah kecukupan gizi sangat perlu diperhatikan, lanjutnya.
“Kalau tidak, pada saat persalinan anak akan lahir dibawah berat badan lazim (tidak normal),” paparnya.
Akibat berat badan bayi lahir tidak normal ini, diperkirakan ke depan anak akan mengalami gizi buruk dan menyebabkan anak mudah terserang beragam penyakit.
Masih menurut Syamsul, gizi buruk bukanlah suatu peristiwa yang terjadi seketika. Pada banyak kasus, anak melalui beberapa tahap gangguan pertumbuhan sebelum sampai pada kondisi gizi buruk. Umumnya, anak gizi buruk sudah bermasalah sejak dalam kandungan ibunya. Mereka lahir sebagai anak yang kesekian dari seorang ibu yang mengalami kekurangan gizi atau mengalami KEK (kurang energi kronis, bahasa program yang digunakan saat ini).
Oleh karena cadangan makanan pada ibu hamil sudah sangat terbatas (tidak seperti pada anak pertama atau kedua), maka bayi yang lahir dari ibu yang mengalami KEK mengalami hambatan pertumbuhan sejak dalam kandungan. Hal ini seterusnya berdampak pada berat badan lahir yang rendah (BBLR) atau kurang dari seharusnya.
Bayi yang lahir dengan BBLR, lanjut Syamsul Nasution, akan memiliki risiko untuk mengalami hambatan pertumbuhan pada tahun-tahun pertama kehidupannya. Lebih daripada itu, akibat status gizi yang rendah, bayi ini juga akan mudah mengalami penyakit infeksi dibanding bayi seumurnya yang lahir dengan berat badan normal. Apabila bayi mengalami penyakit infeksi seperti diare, maka kemungkinan penurunan berat badan dapat dengan mudah terjadi. Dapat diduga kemudian, bayi ini akan mempunyai berat badan yang sangat rendah atau mengalami gangguan pertumbuhan yang berat.
Bayi yang lahir dari seorang ibu KEK, juga akan memperoleh ASI dengan kualitas dan kuantitas yang rendah. Hal ini akan sangat mempengaruhi perkembangan bayi mengingat ASI merupakan satu-satunya makanan bayi yang terbaik. Apabila ASI tidak cukup, anak menjadi rewel, dan akibatnya bayi akan diberikan makanan tambahan selain ASI lebih dini.
Makanan yang diberikan oleh ibu seperti ini (karena tingkat pengetahuan, kebiasaan setempat, dan juga kemiskinannya) pada umumnya hanya terdiri dari sumber karbohidrat semata berupa tepung beras atau bubur yang sangat lembek. Dengan asupan makanan seperti ini tentu sangat jauh dari kebutuhan gizi yang adekuat bagi bayi.
Selanjutnya sudah dapat diduga, tandas Syamsul, anak yang tidak mendapat gizi yang memadai akan mempunyai daya tahan tubuh yang rendah sehingga mudah mengalami penyakit infeksi. Pada kondisi tertentu bayi akan dengan mudah meninggal dengan penyakit yang dideritanya. Bila bayi terus bertahan (tetap hidup), maka kemungkinan mengalami gizi buruk sangat besar.
Umumnya masa sakit pada anak akan terus berkepanjangan bila bayi tidak segera dilihat oleh petugas kesehatan. Kalau toh dilihat oleh petugas kesehatan, kadang tidak banyak yang bisa dilakukan untuk menolong mereka. Biasanya, petugas kesehatan hanya memberikan obat terhadap penyakit yang diderita oleh si anak dengan penyuluhan yang singkat. Praktik pola asuh yang diterapkan oleh si ibu selama ini terhadap anaknya, yang merupakan praktik turun-temurun yang dilihatnya dari ibunya, tidak mampu dijamah oleh petugas kesehatan yang memang terbatas kemampuannya.
Dengan demikian, penyebab gizi buruk bukanlah hanya sebatas keterbatasan ibu memberikan makanan kepada anaknya. Keterkaitan satu faktor dengan yang lainnya dalam suatu rangkaian panjang, dimulai sejak terjadinya penanaman benih dalam kandungan seorang ibu, mengisyaratkan kepada kita bahwa kejadian gizi buruk tidak dapat diselesaikan dengan cara yang sederhana.
Mengutip data BPS 2003, dari sekitar 5 juta anak balita (27,5 persen) yang kekurangan gizi, lebih kurang 3,6 juta anak (19,2 persen) dalam tingkat gizi kurang, dan 1,5 juta anak gizi buruk (8,3 persen).
Meskipun jumlahnya relatif lebih sedikit, kasus gizi buruk lebih cepat menarik perhatian media masa karena dapat dipotret dan kelihatan nyata penderitaan anak: sakit, kurus, bengkak (busung), dan lemah. Mereka mudah dikenal dan dihitung karena dibawa ke rumah sakit. Keluarga dan masyarakat tidak dapat berbuat banyak bagi anak yang gizi buruk.
Berbeda dengan anak yang gizi kurang, meskipun jumlahnya lebih banyak, mereka kurang mendapat perhatian karena tidak mudah diketahui umum. Padahal, kelompok anak ini adalah kandidat gizi buruk apabila tidak dilakukan upaya pencegahan. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh orangtua dan masyarakat untuk menjaga agar anak yang sehat dan bergizi kurang terhindar dari gizi buruk.
Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memantau pertambahan berat badan anak (terutama baduta) dengan kartu menuju sehat (KMS) di posyandu, dengan syarat bahwa posyandunya masih melakukan fungsi utamanya, yakni melakukan pemantauan berat badan anak dengan baik dan benar. Menurut penelitian, banyak posyandu yang tidak lagi melakukan fungsi tersebut dengan baik dan benar.
Yang perlu disikapi, terus maraknya kasus gizi buruk di desa-desa salah satu sebab utamanya adalah tidak berfungsinya posyandu dengan baik dan benar.
Terjadinya busung lapar atau gizi buruk adalah suatu proses, tidak tiba-tiba. Karena itu, apabila pemerintah dan masyarakat mau mengerti dan mau bertindak, terjadinya busung lapar dan gizi buruk dapat dicegah, yakni dengan mengetahui sebab langsung dan tidak langsung gizi buruk. Kedua memantau (surveillance), dan lakukan tindakan pencegahan.
Penyebab langsung yang dialami oleh anak ada dua. Pertama, bayi dan anak balita tidak mendapat makanan yang bergizi seimbang, dalam hal ini air susu ibu, dan kalau sudah lebih dari enam bulan anak tidak mendapat makanan pendamping selain ASI.
Makanan pendamping yang baik tidak hanya cukup mengandung energi dan protein, tetapi juga mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B, vitamin, dan mineral lainnya. Hanya keluarga mampu dan berpendidikan yang mampu menyediakan makanan pendamping yang baik ini, baik memasak sendiri atau membeli.
Karena itu, umumnya anak-anak mereka tumbuh kembang dengan baik, sedangkan anak balita dari keluarga tidak mampu harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi anak balita.
Kedua, pola pengasuhan anak. Suatu studi positive deviance mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan anak balita di suatu desa miskin hanya sebagian kecil yang gizi buruk, padahal orangtua mereka semuanya petani miskin. Dari studi ini diketahui pola pengasuhan anak berpengaruh terhadap timbulnya gizi buruk.
Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan dan mengerti soal pentingnya ASI, posyandu, kebersihan, meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat.
Unsur pendidikan wanita berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak. Sebaliknya sebagian anak yang gizi buruk ternyata diasuh oleh nenek atau tetangga bukan kerabat yang juga miskin dan tidak berpendidikan. Banyaknya wanita yang meninggalkan desa mencari kerja di kota, bahkan menjadi TKI, kemungkinan juga dapat menjadi penyebab gizi buruk.
Ketiga, pelayanan kesehatan, terutama imunisasi, penanganan diare dengan oralit, tindakan cepat pada anak balita yang tidak naik berat badan, pendidikan dan penyuluhan kesehatan dan gizi, dukungan pelayanan di posyandu, penyediaan air bersih, kebersihan lingkungan, dan sebagainya. Pelayanan kesehatan yang lemah dan tidak memuaskan masyarakat terkait dengan kedua penyebab di atas.
Dikhawatirkan, mewabahnya berbagai penyakit menular akhir-akhir ini, seperti demam berdarah, diare, polio, dan malaria, secara hampir bersamaan waktu di mana-mana menggambarkan melemahnya pelayanan kesehatan di daerah-daerah. Munculnya kasus gizi buruk logikanya juga terkait dengan hal tersebut.
TIMBAL BALIK
Kemiskinan merupakan penyebab pokok atau akar masalah gizi buruk. Data dari Indonesia dan di negara lain menunjukkan adanya hubungan antara kurang gizi dan kemiskinan. Proporsi anak yang gizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin kecil pendapatan penduduk, makin tinggi persentase anak yang kekurangan gizi; makin tinggi pendapatan, makin kecil persentasenya.
Hubungannya bersifat timbal balik. Kurang gizi berpotensi sebagai penyebab kemiskinan melalui rendahnya pendidikan dan produktivitas. Sebaliknya, kemiskinan menyebabkan anak tidak mendapat makanan bergizi yang cukup sehingga kurang gizi dan seterusnya.
Kemiskinan merupakan salah satu penghambat keluarga untuk memperoleh akses terhadap ketiga faktor penyebab di atas. Kemiskinan tidak memungkinkan anak balita mendapat makanan pendamping ASI yang baik dan benar.
Kemiskinan dan pendidikan rendah membuat anak tidak memperoleh pengasuhan yang baik sehingga anak tidak memperoleh ASI, misalnya. Kemiskinan juga menghambat anak memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai.
Apakah dengan demikian untuk mencegah gizi buruk harus menunggu berhasilnya pembangunan ekonomi sampai masalah kemiskinan dituntaskan? Masalahnya berapa lama kita harus menunggu perbaikan ekonomi, dan membiarkan anak-anak mati akibat gizi buruk .
Kita tahu pembangunan ekonomi rakyat dan menanggulangi kemiskinan memakan waktu lama. Pada masa Orde Baru diperlukan waktu lebih dari 20 tahun untuk mengurangi penduduk miskin dari 40 persen (1976) menjadi 11 persen (1996).
Data empiris dari dunia menunjukkan bahwa program perbaikan gizi dapat dilakukan tanpa harus menunggu rakyat menjadi makmur, tetapi menjadi bagian yang eksplisit dari program pembangunan untuk memakmurkan rakyat.
Perlu juga diketahui, bahwa selama masyarakat belum demokratis dan transparan, selama masih ada KKN, masalah kekurangan gizi tidak akan dapat diatasi sampai tuntas atau minimal mengurangi angkanya.
Penyakit KKN mengurangi efektivitas pelaksanaan program sehingga program dan proyek yang ditujukan untuk memperbaiki berbagai faktor penyebab (ketahanan pangan, pengasuhan anak, dan pelayanan kesehatan) tidak tampak dampaknya.
Tampaknya masalah kurang gizi di negeri tercinta ini masih “tersembunyikan” di balik hiruk-pikuknya pesta demokrasi, transformasi, otonomi, serta terakhir pemilihan kepala daerah.
Padahal, di balik hiruk-pikuk itu, sejak krisis berbagai program dan proyek telah digelar pemerintah dengan anggaran ratusan miliar rupiah bahkan mungkin triliun dengan berbagai nama menarik, di antaranya Program Jaring Pengaman Sosial (JPS), Dana Kompensasi BBM, Bantuan Pangan Raskin (untuk keluarga), dan Makanan Tambahan Balita Kurang Gizi (MPASI).
Semua atas nama dan demi orang dan anak balita miskin. Karena label miskin inilah barangkali program-program itu relatif mudah mendapat persetujuan anggaran oleh pemerintah dan DPR atau DPRD meskipun belum ada bukti efektif tidaknya program dan proyek tersebut.
Barangkali, dari antara kita masih ada yang ingat dengan kasus seorang dokter puskesmas di suatu desa miskin yang dimutasikan oleh atasannya gara-gara memberikan data kelaparan kepada pers. Ketabuan ini karena adanya kaitan antara kelaparan, gizi buruk, dan kemiskinan. Bicara gizi buruk berarti bicara soal kemiskinan, suatu istilah yang pada waktu itu masih dianggap tabu.
Kita semua berharap, dengan adanya program-program bantuan yang disalurkan oleh pemerintah kepada masyarakat miskin bukan hanya sebatas program yang pada gilirannya banyak dinikmati oleh orang-orang yang (kalau didata ulang) tidak masuk dalam kategori miskin.
Sebab, sejak bergulirnya berbagai bantuan dari pemerintah tersebut, jumlah masyarakat miskin di Indonesia semakin bertambah dengan sangat signifikan. Dalam hal ini, pemerintah perlu melakukan pendataan ulang terhadap penduduk miskin yang sesuai dengan berbagai aturan-aturan yang telah ditetapkan. Benarkah orang miskin datang mengambil dana BLT dengan naik sepeda motor sendiri ? Kategori penduduk miskin seperti apa sebenarnya yang dapat dana BLT tersebut ? Masyarakat luas masih banyak yang belum mengetahui hal ini.
1 comment:
Salam kenal ..
Saya dokter di puskesmas di kabupaten probolinggo, puskesmas kami sedang merencanakan akan membuat klinik tumbuh kembang. Pelayanan tumbuh kembang anak pada balita di kecamatan kami, dan juga pelayanan konsultasi online melalui blog kami
http://balitakami.wordpress.com
Mohon masukan, kritik dan saran untuk lebih berkembangnya blog ini sebagai tempat kita mengoptimalkan tumbuh kembang anak-anak kita.
Terima kasih
draguscn.
Post a Comment