Benarkah Caleg Perempuan Tak Masuk (Per) Hitungan ?

Oleh : James P. Pardede

Siapa yang bilang, calon legislatif dari kalangan perempuan tak masuk hitungan atau diperhitungkan ? Anggota legislatif di DPR RI, DPRD Sumut atau DPRD Medan ada beberapa dari kalangan perempuan yang keberadaannya diperhitungkan. Sepanjang perjalanan mereka menjabat jadi anggota dewan apa yang telah mereka perbuat ? Apakah mereka benar-benar bisa menyuarakan hak-hak perempuan ?

Memang, dari pemberitaan di media cetak dan elektronik, porsi yang diberikan kepada caleg perempuan sangat minim, bahkan hampir tidak ada. Media cetak dan elektronik belum memberikan ruang dan tempat yang seluas-luasnya kepada caleg perempuan dalam menuangkan ide dan pendapatnya. Caleg perempuan atau anggota dewan perempuan pun lebih memilih berbuat untuk rakyat akan tetapi tidak mau mengekspos kegiatannya agar diketahui masyarakat banyak.  

Lantas, keberadaan perempuan dalam Daftar Calon Tetap (DCT) apakah hanya sebagai pelengkap undang-undang tentang keterwakilan perempuan (30 persen kuota perempuan) yang harus dipatuhi atau memang benar-benar memperjuangkan kesetaraan gender ? Untuk memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan di dalam DCT, maka bermunculanlah caleg perempuan dengan berbagai latar belakang. Ada yang tiba-tiba muncul karena ingin mengikuti jejak suami yang masih duduk di legislatif. Ada yang muncul karena selama ini sudah lama berkecimpung di organisasi sayap partai.

Caleg perempuan yang punya modal ‘cukup’ dan memiliki ambisi untuk menduduki salah satu kursi legislatif di DPR RI, DPRD Sumut atau DPRD Kabupaten/Kota pastilah sudah mempersiapkan segala sesuatunya termasuk sosialisasi ke daerah-daerah konstituennya. Bagi yang punya modal pas-pasan mungkin sosialisasi cukup dilakukan di kalangan marga, keluarga atau kerabat dekat saja. Caleg perempuan yang memiliki relasi ke media akan lebih sering terekspos dan beritanya bisa sering-sering muncul di berbagai media.

Bagaimana dengan caleg yang tak punya relasi tapi memiliki kapasitas dan kemampuan yang mumpuni dalam memberikan komentar atau masukan terhadap kondisi bangsa dan negara kita saat ini. Bagaimana media seharusnya menyikapi permasalahan ini ? Kalau dalam aturan tertulisnya, media seharusnya lebih transparan dan tidak diskriminatif terhadap semua peserta partai politik, termasuk para caleg perempuan sebagai caleg di 12 partai yang ikut berkompetisi di Pemilu 2014 nanti. Media seharusnya ikut berpartisipasi mengedukasi masyarakat dalam memilih wakilnya di legislatif.

Media juga harus memastikan bahwa para pemilih dapat menerima informasi yang memadai dan seimbang sehingga pemilih dapat menemukan pilihan berdasarkan informasi tersebut. Dengan demikian, media menjalankan perannya sebagai akses bagi parpol dan legislatif termasuk di dalamnya caleg perempuan ke publik, dengan peran ini juga media dapat menjadi sarana informasi pembelajaran bagi pemilih.

Beberapa media yang ada di Medan, berdasarkan pengamatan penulis masih sangat sedikit yang memberikan apresiasi terhadap caleg perempuan. Beberapa dari caleg yang muncul adalah caleg perempuan yang sampai saat ini masih duduk di legislatif. Dan pemuatan beritanya pun masih sebatas acara-acara seremonial pemberian bantuan, diskusi dan acara-acara sosial lainnya.

Media seharusnya membuka kran pemberitaan secara transparan terhadap semua calon legislatif termasuk calon legislatif dari kalangan perempuan. Pemberitaan media saat ini masih seputar permasalahan DPT dimana tahapan-tahapan yang dilakukan oleh KPU, Bawaslu, Parpol dan pemerintah untuk menuju Pemilihan Umum (Pemilu) 9 April 2014 nanti sepertinya masih bercokol di permasalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang tidak memiliki NIK dan NKK. Dasar hukum DPT adalah Pasal 33 Ayat (2) UU No. 8 Tahun 2012 menyatakan bahwa Daftar Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat : Nomor Induk Kependudukan (NIK), Nama, Tanggal Lahir, Jenis Kelamin dan Alamat warga Negara indonesia yang mempunyai hak memilih.

Memang benar, bahwa validitas data diharapkan dapat mengeliminir terjadinya kecurangan dan memperhitungkan berapa biaya yang akan dialokasikan terhadap pelaksanaan Pemilu 2014 mendatang. Akan tetapi sosialisasi tentang pentingnya masyarakat memberikan hak suaranya di TPS juga sangat menentukan nasib bangsa ini ke depan. Kalau angka partisipasi masyarakat untuk datang ke TPS sangat rendah, berarti kepercayaan masyarakat terhadap pesta demokrasi yang digelar sekali lima tahun itu sudah sangat apatis dan sifatnya menerima apa saya yang menjadi hasil keputusan Pemilu 2014 nanti.

Untuk membangun kembali rasa percaya masyarakat agar datang ke TPS memberikan hak suaranya tidak semudah membalik tangan. Karena, selalu saja ada permasalahan yang selalu mengikutinya. Di tengah situasi dan kondisi seperti ini seharusnya partai politik mengambil peran melalui calon-calon legislatifnya untuk membangunkan kembali keyakinan masyarakat bahwa negeri ini masih bisa diperbaiki, yaitu dengan kebersamaan.

Dari ratusan calon legistalif yang ikut bertarung dan mencetuskan visi misi untuk memperjuangkan nasib rakyat harus benar-benar memanfaatkan waktu yang ada untuk lebih mendekatkan diri ke masyarakat. Tidak hanya caleg dari kalangan laki-laki tapi juga dari caleg perempuan. Adanya berita-berita yang bernada positif atau setuju dengan adanya keterwakilan perempuan di parlemen, akan memberikan argumentasi kalau undang-undang yang mewajibkan partai politik mengakomodir 30 persen calon lageslatif perempuan merupakan kesempatan bagi kaum perempuan untuk meningkatkan karir di bidang politik, serta dapat menyumbangkan pemikirannya dalam kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kepentingan masyarakat secara umum, dan kaum perempuan secara khusus.

Memanfaatkan Peluang

Kaum perempuan harus mengambil kesempatan dan memanfaatkan peluang yang ada dengan cara meningkatkan kualitas diri, termasuk mempersiapkan masalah finansial untuk memberikan bantuan dan biaya-biaya sosialisasi. Memang, di dalam proses perjalanan caleg perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya bisa duduk menjadi salah seorang legislatif tidak mudah. Keberadaan mereka di dalam pencalonan menjadi caleg perempuan ada tiga persoalan yang kemudian muncul menyertainya. Pertama, ada yang menyatakan bahwa kehadiran caleg perempuan dalam DCT adalah menjadi beban bagi partai dan caleg dari kalangan laki-laki. Mengapa jadi beban ? Mungkin ucapan sebagai beban ini akan lebih melekat kepada caleg perempuan yang memiliki ‘jam terbang’ sangat tinggi dan memiliki jaringan yang sangat luas.

Ketika caleg perempuan yang ‘lasak’ ini berpeluang, maka caleg lainnya akan merasa terbeban. Kedua adalah menjadi korban, dimana caleg perempuan yang masuk dalam DPT adalah orang-orang yang sejujurnya tidak memiliki kans untuk menjadi caleg perempuan. Akan tetapi, demi untuk menutupi kuota keterwakilan 30 persen caleg perempuan, mereka pun menjadi korban. Keberadaan caleg perempuan yang hanya pelengkap ini cenderung tidak melakukan apa-apa karena mereka dimasukkan begitu saja dalam daftar calon sementara hingga akhirnya menjadi daftar calon tetap.

Ketiga, adalah caleg perempuan sering dikorbankan ketika mereka pada penghitungan suara memiliki peringkat layak untuk masuk menjadi salah seorang legislatif dan seharusnya berhak untuk duduk di salah satu kursi dewan. Akan tetapi, karena desakan dari partai pendukungnya, caleg perempuan sering dikorbankan dan dijanjikan seribu angan-angan. Sangat jauh berbeda dengan perspektif yang dilakukan oleh caleg perempuan di tingkat pusat (DPR RI) dimana caleg perempuannya banyak yang berasal dari kalangan artis. Ini adalah salah satu upaya partai politik untuk mendongkrak popularitasnya dan meningkatkan perolehan suara pada Pemilu 2014 mendatang.

Judul tulisan ini sebenarnya dipilih hanya untuk menggugah semangat para caleg perempuan agar benar-benar dalam melakukan sosialisasinya di lapangan. Jangan sampai cita-cita untuk menjadi salah seorang wakil rakyat kandas hanya karena sindiran bahwa yang berhak mengurusi politik itu dari kalangan laki-laki saja. Sebenarnya, ada beragam media pendidikan yang bisa digunakan untuk lebih membangkitkan semangat caleg perempuan agar lebih maksimal dalam melakukan pendekatan ke konstituennya.

Media itu bisa lewat penerbitan tabloid atau buletin, diskusi dan dialog interaktif yang didukung oleh radio dan disiarkan secara langsung. Caleg perempuan harus jeli dalam memilih isu-isu yang dianggap sangat relevan dan memberi perspektif bagi kaum perempuan. Kelompok atau organisasi perempuan harus lebih sering menyuarakan keberdaan mereka ketika akan duduk menjadi wakil rakyat akan menjunjung tinggi kejujuran dan tidak korupsi.

Caleg perempuan harus bisa diperhitungkan dan menjadi pertimbangan ketika masyarakat ingin menjatuhkan pilihannya. Caleg perempuan pun harus lebih bijaksana dalam melakukan pendekatan kepada masyarakat. Hindari cara-cara yang salah seperti melakukan kampanye hitam (black campagne) dengan menjelek-jelekkan sesama caleg perempuan dari partai lain di daerah pemilihan yang sama.

Edukasi tentang pentingnya masyarakat memberikan suaranya di TPS akan menentukan nasib bangsa ini lima tahun ke depannya. Pendekatan secara personal (personal touch) akan lebih bermakna dibandingkan memasang baliho atau spanduk di jalanan. Masyarakat kita saat ini butuh sentuhan pribadi dan waktu kita untuk mendengarkan keluhan mereka. Sekaranglah saatnya caleg perempuan harus menjadi perhitungan dan bisa mewujudkan keterwakilannya di parlemen. Semoga !
(Tulisan ini telah dimuat di Harian Analisa Medan)   

No comments: