Oleh : James P. Pardede
Baru-baru ini, beberapa orangtua yang menyekolahkan anaknya
di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMK N) dan Sekolah Menengah Atas Negeri
(SMA N) mengeluh dengan adanya uang komite sekolah yang besarannya bervariasi.
Salah satu SMK di Medan ada yang mengutip Rp. 500 ribu per siswa per bulan, ada
juga yang mengutip Rp. 300 ribu per siswa per bulan.
Banyak orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah negeri
merasa dibohongi oleh kepala sekolah melalui komite sekolah karena pada awalnya
sudah dijanjikan besaran uang komite Rp. 500 ribu per siswa hanya dikutip
selama peserta didik masih duduk di kelas X (sepuluh), setelah naik kelas XI
(sebelas) besaran uang komite akan turun di angka Rp. 200 Ribu sampai Rp. 300
ribu.
Kenyataannya, setelah naik kelas XI, sampai hari ini beberapa
sekolah masih memberlakukan uang komite sekolah dengan besaran yang sama pada
saat masih duduk di kelas X. Hal ini membuat beberapa orangtua merasa keberatan
dengan besaran uang komite angkanya masih tetap bertahan. Jika dihitung secara
gamblang saja, dalam satu kelas ada 40 siswa dikalikan Rp.500 ribu, berarti ada
Rp. 20 juta uang komite yang terkumpul dari satu kelas. Kalau di sekolah
tersebut jumlah siswa yang ada mencapai lima kelas saja, maka satu bulan ada
Rp. 100 juta jumlah uang komite yang masuk ke kas sekolah.
Dari perbincangan dengan beberapa orangtua, menyampaikan
bahwa sebagian dari mereka sangat terbebani dengan adanya uang komite tersebut.
Akan tetapi, karena adanya surat edaran yang sebagian sampai ke orangtua
peserta didik dan sebagian lagi tidak sampai menyampaikan bahwa peruntukan uang
komite yang dikutip adalah untuk merenovasi gedung sekolah, menambah fasilitas
sekolah dan menggaji guru honor yang mengajar di sekolah tersebut.
Pertanyaan orangtua saat ini adalah, ada beberapa sekolah
yang memberlakukan uang komite yang besarannya bervariasi sampai sekarang belum
ada realisasi dari janji-janji manis kepala sekolah yang katanya akan membangun
sekolah dan membenahi fasilitas sekolah. Kemudian, jumlah guru honor yang ada
di sekolah tersebut juga paling ada 10 orang. Lantas, uang yang terkumpul
hingga mencapai puluhan dan bahkan seratusan juta itu mengalir kemana ?
Beberapa orangtua yang ekonominya lumayan mapan mungkin tidak
mempermasalahkan besaran kutipan, hanya saja orangtua dari kalangan ini sangat
mengharapkan adanya keterbukaan dari pihak sekolah untuk melaporkan kemana saja
uang komite itu dialokasikan. Laporan pertanggungjawabannya harus jelas dan
terbuka, pihak sekolah harus benar-benar dalam mengelola uang yang dikutip dari
orangtua peserta didik.
Keterbukaan peruntukan uang komite sekolah harus menjadi
perhatian pihak sekolah SMA dan SMK yang memberlakukan pengutipan uang komite
sekolah kepada peserta didik. Jangan jadikan sebutan uang komite sekolah
sebagai judul kutipan, padahal dibalik itu pihak sekolah sedang melakukan
pungutan liar untuk kepentingan yang tak jelas kemana arahnya.
Menyikapi hal ini, semua elemen harus memiliki kepedulian yang
sama dalam mengawasi kemana saja peruntukan uang komite sekolah yang dikutip
selama ini. Kalau laporannya jelas, terbuka dan transparan pasti orangtua tidak
akan merasa ‘dibohongi’ oleh pihak sekolah.
Seperti diamanatkan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2013
tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 4 bahwa Pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai cultural dan kemajemukan bangsa, diharapkan
dapat mencerdaskan semua masyarakat tanpa memandang latar belakang.
Sayangnya, pendidikan saat ini cenderung diskriminatif dan
suka membeda-bedakan. Sekolah negeri yang diharapkan dapat menampung
siswa-siswi kurang mampu justru membatasi ruang gerak mereka dengan melakukan
komersialisasi pendidikan. Mulai dari proses penerimaan siswa baru, pihak
sekolah, guru, orangtua dan tak tertutup kemungkinan keterlibatan oknum di
dinas pendidikan telah melegalkan sistem percaloan untuk masuk ke sekolah
negeri.
Kepentingan Oknum
Jika
mengacu pada PP RI nomor 71 tahun 2000 tentang tata cara pelaksanaan peran
serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi, Undang Undang RI nomor 31 tahun 1991 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi, Undang Undang RI nomor 20 tahun 2010
tentang perubahan atas UU nomor 31 tahun 1991 tentang tindak pidana korupsi dan
PP nomor 17 tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, tidak
berlebihan rasanya kalau banyak kalangan menduga adanya penyimpangan penggunaan
dan kutipan bulanan siswa oleh pihak sekolah.
Ramainya
perbincangan tentang uang komite sekolah yang memberatkan orangtua ini membuat Ombudsman
RI angkat bicara dan meminta agar keberadaan komite sekolah yang saat ini ada
di setiap sekolah dibubarkan. Permintaan itu dikeluarkan menyusul komite
sekolah kerap dijadikan sebagai alat untuk melakukan pungutan liar terhadap
peserta didik.
Ketua
Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Utara (Sumut), Abdyadi Siregar, mengatakan berdasarkan
Pasal 181 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Pengelolaan Pendidikan, diatur tidak diperbolehkan adanya kutipan kepada siswa.
Kutipan tersebut seperti menjual pakaian sekolah, uang les, atau uang buku.
Namun belakangan, keberadaan komite sekolah dijadikan alat untuk melakukan
kutipan tersebut, sehingga tidak mengatasnamakan sekolah.
Komite
sekolah atau komite madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orangtua
atau wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli
pendidikan. Fungsi utama mereka seharusnya memberikan masukan dan pertimbangan
kepada sekolah dalam mengambil kebijakan, bukan justru sebaliknya ikut serta
mencari keuntungan dengan begitu mudahnya menyetujui usulan kutipan dari pihak
sekolah.
Dunia
pendidikan kita saat ini sedang dilanda berbagai persoalan. Ditengah kondisi
itu, banyak orang yang mencari keuntungan dengan menjadi komite sekolah.
Sehingga, komite sekolah cenderung menjadi pihak yang mengedepankan kepentingan-kepentingan
‘oknum’ yang melakukan berbagai cara untuk keuntungan pribadi dan golongan.
Pertanyaan yang merebak saat ini adalah, benarkah uang-uang
kutipan yang diberlakukan di sekolah negeri untuk biaya operasional sekolah,
penambahan fasilitas sekolah dan gaji guru honor yang mengajar ? Informasi
terakhir dari Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan, uang komite untuk Sekolah
Dasar Negeri (SD N) dan Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMP N) tahun 2017
sudah dihapuskan. Uang komite untuk SMA/SMK Negeri tetap ada, tapi harus dengan
kesepatakan bersama dan tidak memberatkan orangtua peserta didik.
Harapan ke depan, pihak sekolah dan komite sekolah serta
evaluasi dari Dewan Pendidikan perlu kiranya melakukan monitoring serta
evaluasi sudah sejauh mana peruntukan uang komite sekolah yang dikutip dari
peserta didik apakah telah dijalankan dengan benar dan transparan. Kemudian,
pihak sekolah dan komite sekolah harus terbuka dalam memberikan laporan
pertanggungjawaban terkait alokasi dana yang terkumpul dari uang komite
sekolah.
·
Penulis adalah
tenaga pendidik yang peduli dengan masalah pendidikan.
No comments:
Post a Comment