Sekarang Saatnya Introspeksi Diri
Oleh : J. Pandapotan Pardede
Penulis adalah jurnalis tinggal di Medan, Sumatera Utara
Jika melihat kondisi bangsa kita saat ini, satu hal yang perlu ditekankan adalah pentingnya untuk melakukan introspeksi diri, evaluasi diri dan memperbaharui diri dari hal-hal yang selama ini telah membuat kita kian terpuruk. Korupsi, kolusi dan nepotisme sudah sejak dulu dibasmi. Bencana yang melanda negeri ini pun kerap datang silih berganti.
Belum lagi hilang dari ingatan kita rentetan bencana (gempa di Bengkulu, Sumatera Barat dan Lampung) yang datang silih berganti mengakibatkan penduduk kehilangan tempat tinggal, persawahan gagal panen yang pada akhirnya menyebabkan turunnya produksi padi di berbagai wilayah diperkirakan bisa mengakibatkan kondisi rawan pangan, bencana juga turut menelan korban jiwa, bencana telah menorehkan rasa sedih yang berkepanjangan.
Menyikapi makin banyaknya bencana yang datang silih berganti tersebut, sekaranglah saatnya untuk melakukan introspeksi diri. Mari kita merenung sejenak. Kesalahan apa yang telah kita perbuat terhadap alam, apa yang telah kita perbuat terhadap sesama, terhadap bangsa dan negara ini.
Ketika kita merenung dengan hati yang sungguh-sungguh, mengingat semua perbuatan masa lampau. Mungkin sangat banyak kesalahan yang telah kita perbuat. Setelah merenung, perasaan bersalah akan muncul, perasaan menyesal pun ikut menyertainya.
Dalam tahapan introspeksi diri tersebut sangat banyak peristiwa-peristiwa masa lampau yang terlintas di benak kita dan tiba-tiba muncul perasaan bersalah untuk tidak melakukannya lagi di kemudian hari. Atau hanya sekedar introspeksi diri mengingat kesalahan masa lalu, lantas mengulanginya lagi di lain kesempatan dan waktu.
Penekanan introspeksi diri seperti diserukan banyak kalangan bukanlah sekedar introspeksi lantas berbuat lagi. Yang terpenting adalah introspeksi diri yang sungguh-sungguh. Dimana dalam perenungan tersebut muncul perasaan bersalah dan sesal. Jika dilakukan dengan sungguh-sungguh, sesal akan membuat orang mengucurkan air mata. Karena sesal adalah suatu persiapan ke arah perbaikan perilaku yang sungguh-sungguh yang disertai perasaan untuk bertobat.
Seseorang baru dinyatakan bertobat jika dengan kesadaran penuh memutuskan untuk tidak lagi melakukan kesalahan atau kejahatan sejak seseorang tersebut memutuskan untuk benar-benar bertobat. Tanpa keputusan dan tekad bulat untuk tidak lagi mengulangi perbuatan masa lampau, tobat tidak akan berjalan sebagaimana diharapkan dan akan sia-sia saja (Kompas 13/3/2007).
Tuhan menciptakan manusia memiliki dua mata, dua telinga dan satu mulut. Berarti dari keadaan ini kita dituntut untuk lebih banyak membaca, mendengar dan sedikit berbicara. Membaca buku-buku yang bermanfaat untuk pengembangan diri dan mendengar nasehat orangtua demi untuk perbaikan masa depan. Menghindari banyak bicara apalagi membicarakan orang lain.
Selama ini, kita terlalu banyak membuang-buang waktu, tenaga dan pikiran untuk sesuatu yang ada di luar diri kita. Terlalu banyak energi dan potensi kita untuk memikirkan kesalahan, kaburukan maupun kelalaian orang lain. Sementara diri kita yang kita anggap sebagai yang terbaik ternyata tidak efektif untuk memperbaiki apa yang kita anggap salah.
Belakangan ini, banyak orang yang menginginkan orang lain berubah sesuai dengan keinginannya. Sebagai contoh si Polan menuding si A dan si B melakukan tindak pidana korupsi. Dengan mati-matian si Polan membeberkan kejelekan si A dan si B. Namun, setelah dilakukan pemeriksaan dan pihak berwajib tidak tinggal diam. Ternyata, usut punya usut justru si Polan yang paling parah melakukan tindak pidana korupsi. Dalam kaitan ini, si Polan menginginkan si A dan si B bisa mengalihkan perhatian pihak berwajib dan melupakan dirinya yang ternyata paling korup.
Kita juga sering melihat orang yang menginginkan Indonesia berubah. Tapi pada saat yang bersamaan, ternyata keluarganya hancur-hancuran, di kantor sendiri tak disukai, di lingkungan masyarakat tak bermanfaat. Keinginan tersebut terlampau muluk-muluk. Jangankan mengubah Indonesia, mengubah anaknya saja tidak mampu. Banyak yang menginginkan situasi negara berubah, tapi kenapa mengubah sikap istri saja tidak sanggup? Mungkin salah satu jawabannya adalah karena kita tidak pernah mempunyai waktu yang memadai untuk bersungguh-sungguh mengubah diri sendiri. Tentu saja, jawaban ini tidak mutlak benar, namun kiranya patut direnungkan baik-baik.
Itu sebabnya kita perlu berpikir tentang diri sendiri. Tapi bukankah orang yang memikirkan diri sendiri itu orang yang egois ? Memang, pandangan itu ada benarnya jika kita memikirkan diri sendiri lalu hasilnya juga hanya untuk diri sendiri. Tapi yang dimaksud di sini adalah memikirkan diri sendiri, justru sebagai upaya sadar dan sungguh-sungguh untuk memperbaiki yang lebih luas.
Mengubah diri dengan sadar, sebenarnya sama dengan mengubah orang lain. Walaupun dia tidak mengucap sepatah kata untuk perubahan itu, perbuatannya sudah menjadi ucapan yang sangat berarti bagi orang lain. Kegigihan kita memperbaiki diri akan membuat orang lain melihat dan merasakannya.
Di lain pihak, jika seseorang tidak pernah berusaha mengubah dirinya, dia pasti akan sulit dengan perubahan yang secara alamiah terus terjadi setiap hari dalam hidupnya. Sesungguhnya, sebesar apa pun dosa kita, pengampunan Allah lebih besar lagi, selama kita mau bertobat. Dan salah satu wujud bukti tobat adalah kegigihan untuk memperbaiki diri.
Selanjutnya, kalau kita mau terjadi perubahan dalam diri sendiri, kita tentunya harus mengetahui apa yang harus diubah. Kuncinya yang pertama adalah kita harus punya keberanian untuk mengetahui kekurangan diri kita sendiri. Dengan keberanian inilah kita akan lebih mudah dalam mengubah diri.
Orang yang berani membuka kekurangan orang lain, itu biasa. Tapi, kalau ada orang yang berani melihat kekurangan diri sendiri, bertanya tentang kekurangan itu secara sistematis, lalu dia buat sistem untuk melihat kekurangan dirinya. Itulah yang luar biasa. Dengan demikian, sejak sekarang milikilah kawan yang bisa menjadi kontributor dalam memberitahukan kekurangan kita, bacalah buku-buku mengenai penyakit hati, dan luangkan waktu untuk mencatat kekurangan diri.
Kalau kita sudah dapat mengendalikan diri dengan baik, ketika berbicara akan terdengar enak, bergaul akan enak. Kita dapat lebih banyak menyelesaikan masalah di mana pun kita berada. Karena sebenarnya ketika kita menjadi orang tua yang bermasalah, kita akan menghancurkan anak-anak kita, ketika kita jadi bos yang bermasalah, kita akan menghancurkan kantor kita.
Jadi walaupun negara benar kalau kita tidak benar, kita sendirilah yang justru merusaknya. Solusi yang tepat untuk menyehatkan bangsa ini adalah teruslah memperbaiki diri, jangan lewatkan hari tanpa perbaikan.
Kalau kita sebagai pemimpin negara, jangan banyak menyalahkan rakyatnya. Lebih baik para penyelenggara negara ini gigih memperbaiki diri sehingga bisa menjadi teladan.
Mengubah diri dan cara hidup berarti berupaya untuk menemukan jati diri yang terbaik dalam kehidupan. Suatu proses memadu elemen pikiran dan hati agar menyatu atau bersepakat memperoleh hidup yang lebih bermakna berupa pencerahan spiritual atau pemahaman nilai-nilai moral kemanusiaan yang memberi ketenangan. Apalagi dalam suasana bulan suci Ramadhan seperti sekarang ini, upaya untuk melakukan introspeksi diri adalah saat yang sangat tepat. Mengevaluasi diri dan melakukan perbaikan hendaknya tidak hanya dilakukan saat bulan Ramadhan, tapi juga setiap saat.
Menyongsong HAI ke-42 :
“Ayo Belajar Sampai Akhir Hayat”
Oleh : James P. Pardede
Dalam falsafah suku Batak ada disebutkan “Anak kon hi do hamoraon di au” (Anak adalah kekayaan bagi orangtua). Berdasar pada falsafah tersebut, suku Batak sangat gigih dalam membimbing anak-anaknya untuk bersekolah hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Tak heran kalau suku Batak tersebar di berbagai penjuru tanah air.
Kasubdis PLS Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara Drs. H. Ibnu Saud Nasution mengakui kalau falsafah tersebut sangat dijunjung tinggi suku Batak. Itu sebabnya, setiap kali suku Batak bertemu dalam pesta atau hajatan, yang pertama kali ditanya adalah: “Berapa anakmu ? Sudah sekolah apa saja anakmu ?” Jika anak-anak mereka bisa sekolah dan berhasil menyandang gelar sarjana, maka orangtua akan bangga dan merasa paling bahagia di daerah tersebut.
Kalau anak-anaknya tidak mau sekolah, orangtua biasanya akan marah besar dan malu pada sanak family. Apabila sang anak benar-benar tidak mau sekolah, maka orangtua akan merasa sakit hati dan membiarkan sang anak begitu saja sampai kelak ia bisa menentukan pasangan hidupnya.
Setelah menikah dan punya anak, sang anak tadi akan mendatangi orangtuanya untuk menyampaikan rasa penyesalannya kenapa dulu ia tidak mau sekolah. Penyesalan memang selalu datang terlambat.
Dalam kondisi seperti ini, orangtua yang bijaksana akan mengarahkan anaknya untuk mengambil program pengajaran keaksaraan atau ikut ujian kesetaraan paket A, B atau C tergantung di tingkat mana si anak tersebut mengalami putus sekolah. Ini demi untuk peningkatkan taraf hidup dan peningkatan kompetensi sang anak dalam memperoleh pekerjaan yang lebih baik.
Menurut data BPS Provinsi Sumatera Utara, angka melek aksara di beberapa kabupaten/kota Sumut sudah menunjukkan angka yang sangat bagus. Bahkan, di beberapa kabupaten/kota hanya sebagian kecil masyarakatnya yang masuk dalam daftar warga buta aksara. Dan biasanya, mereka tinggal di daerah pegunungan atau pedalaman yang sama sekali di kawasan itu tidak ada sekolah atau penduduknya tinggal sangat berjauhan.
Untuk menjangkau ini, partisipasi masyarakat yang tinggal dekat dengan pemukiman mereka sangat diharapkan. Dengan kepedulian ini, diharapkan masyarakat di pelosok mana pun bisa merasakan betapa pentingnya pendidikan dalam memperbaiki taraf hidup mereka dan anak-anak mereka ke depan. Baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal.
TERKAIT ERAT DENGAN KEMISKINAN
Pada jalur pendidikan non formal, permasalahan dalam hal perluasan dan pemerataan akses pendidikan bagi setiap warga masyarakat tetap masih ada. Sampai dengan tahun 2004, pendidikan non formal yang berfungsi baik sebagai transisi dari dunia sekolah ke dunia kerja (transition from school to work) maupun sebagai bentuk pendidikan sepanjang hayat belum dapat diakses secara luas oleh masyarakat. Pada saat yang sama, kesadaran masyarakat khususnya yang berusia dewasa untuk terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya masih sangat rendah.
Seperti dilansir Kompas, anggota tim pengembangan model belajar Kelompok Kerja Pendidikan Masyarakat BP-PLSP Regional I Medan, Sarwo Edy mengatakan, salah satu cara untuk mengurangi tingkat buta aksara di Indonesia adalah dengan cara pendidikan keaksaraan fungsional. Keaksaraan fungsional terdiri atas dua konsep, yaitu keaksaraan dan fungsional. Keaksaraan secara sederhana diartikan sebagai kemampuan untuk membaca, menulis, dan berhitung. Adapun keaksaraan fungsional dapat diartikan sebagai hasil belajar membaca, menulis, dan berhitung para warga belajar bisa digunakan atau bermanfaat bagi peningkatan taraf hidup masyarakat.
Jika melihat masyarakat yang tinggal di pinggiran Sungai Deli Medan, mereka menggunakan air sungai yang keruh untuk mandi, mencuci piring, dan mencuci baju. Meski mereka tinggal di kota, belum tentu mereka bisa mengakses air bersih karena keterbatasan penghasilan.
Mengubah kehidupan masyarakat tepian sungai, yang sudah mengakar dalam air sungai yang keruh, tentu saja tidak mudah. Metode penyuluhan dan membaca tidak akan berhasil dengan baik tanpa dibarengi kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Dalam model belajar yang sedang dikembangkan BP-PSLP Regional I Medan, warga nantinya diharapkan bisa membuat alat penyulingan air bersih yang berasal dari air sungai.
Akan tetapi, kalau mereka masih buta aksara, mereka tidak akan bisa memanfaatkan alat ini dan teknologinya. Itu sebabnya perlu mengajari mereka membaca, menulis, dan berhitung terlebih dahulu sebelum dikenalkan dengan permasalahan sanitasi dan pemanfaatan air sungai.
Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo pada Hari Aksara Internasional ke-41 di Probolinggo menargetkan penurunan angka buta aksara menjadi 5 persen pada 2009 mendatang. Karena, buta aksara terkait erat dengan kemiskinan.
Secara sosial penduduk yang buta aksara akan terisolasi. Hal itu terjadi karena mereka tidak bisa berkomunikasi secara efektif dengan orang lain. Posisi tawarnya pun sangat rendah.
Sejalan dengan target penurunan buta aksara pada akhir 2009, Mendiknas mengungkapkan, maka jumlah yang akan diberantas hingga akhir 2009 sebesar 7,5 juta orang.Adapun target yang akan dicapai pada 2007 ditetapkan sebesar 2,3 juta sehingga sisanya selama dua tahun tinggal 2,1 juta orang.
Di samping itu, pemerintah juga akan menurunkan angka disparitas gender dari 9,6 persen pada 2000 menjadi 3,65 persen pada akhir 2009. Menurut Bambang, masih tingginya angka buta aksara tersebut dipicu banyaknya anak usia yang SD yang belum juga bersekolah (5 persen).
Selain itu, tingginya angka putus sekolah di tingkat SD terutama kelas 1,2,dan 3 juga berpotensi menciptakan buta aksara kembali. Jika melihat perkembangan penurunan buta aksara hingga 2006, hasilnya sangat menggembirakan. Tapi semakin sedikit jumlah penduduk buta aksara, maka akan semakin sulit memberantasnya. Karena, penduduk buta aksara yang tersisa adalah yang termasuk dalam golongan hardrock (sangat sulit dimelekaksarakan).
Untuk mengatasi masalah buta aksara, diperlukan kerja sama berbagai pihak. Misalnya, lembaga atau instansi pemerintah seperti perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan unit pelaksana teknis. Selain itu, juga diperlukan peran swasta seperti perusahaan, BUMN, perbankan, serta organisasi masyarakat dan keagamaan.
Untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) di daerah, cara yang paling mudah dan cepat adalah melalui pemberantasan buta aksara. Karena itu, pemerintah daerah harus bersungguh-sungguh memberikan perhatian yang serius pada pemberantasan buta aksara untuk menaikkan IPM daerahnya.
TANTANGAN JADI PELUANG
Ada dua prinsip atau strategi pendidikan keaksaraan yang harus selalu diperhatikan dan dipegang teguh oleh setiap pendidik dalam rangka menjawab tantangan dan peluang masyarakat yang terus berubah dengan cepat dewasa ini (komisi internasional tentang pendidikan UNESCO), yaitu : Pertama, bahwa pendidikan itu berlangsung sepanjang hayat (life-long education), dan tiada batas usia untuk belajar. Melalui proses belajar sepanjang hayat inilah, manusia mampu meningkatkan kualitas kehidupannya secara terus menerus, mampu mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi serta perkembangan masyarakat yang diakibatkannya, dan budaya untuk menghadapi tantangan masa depan serta mau dan mampu mengubah tantangan menjadi peluang
Pada hakikatnya, seseorang yang sudah berhenti belajar, berarti sudah berhenti berkembang atau lebih kasar lagi, sudah berhenti hidup (bekerja). Belajar dan bekerja giat dapat dilihat sebagai dua buah kegiatan utama manusia, oraet labora – bekerja dan berdoa.
Kedua, dewasa ini, konsep pendidikan keaksaraan tidak hanya “transfer of knowledge” saja atau terjadinya perubahan tanpa arah, tapi harus menumbuhkan budaya; belajar mengetahui (learning to know), belajar berbuat (learning to do), belajar hidup bersama, hidup dengan orang lain yang memiliki keanekaragaman (learning to live together, to live with others) dan belajar menjadi seseorang (learning to be).
Berdasar pada filosofi belajar berlangsung sepanjang hayat dan manusia adalah pembelajar, program pemberantasan buta aksara yang tertuang dalam Inpres No. 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar 9 tahun dan Pemberantasan Buta Aksara (GNP-PWB/PBA) pemerintah pusat dan daerah harus sama-sama memiliki komitmen dalam menjalankan program penuntasan buta aksara di daerahnya masing-masing.
Strategi GNP-PBA bisa dilaksanakan dengan sistem blok (tuntas satu kecamatan dulu baru ke kecamatan lain, begitu terus sampai tingkat kabupaten), pendanaan dengan sinergi antara pusat dan daerah serta peningkatan mutu (standar kompetensi keaksaraan dan penilaian hasil belajar).
Menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), TNI dan komponen bangsa lainnya. Dan yang terpenting adalah memprioritaskan penuntasan warga buta aksara di 9 provinsi terpadat warga buta aksaranya (Jatim, Jateng, Jabar, Sulsel, Kalbar, NTB, NTT, Banten dan Papua).
Untuk menghindari warga buta aksara yang sudah mendapatkan pengajaran ca-lis-tung, perlu ada kesinambungan pengajaran dengan pengadaan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di desa-desa tempat para warga buta aksara bermukim. Beberapa waktu lalu, Analisa pernah menulis keberadaan TBM Plus Mas Raden di Jalan karya Jaya Medan yang setiap harinya ramai dikunjungi masyarakat.
Menurut pemilik TBM Plus Mas Raden Asyiah, tujuan dibentuknya TBM tersebut adalah untuk menumbuhkan minat baca masyarakat, menjadi media pembelajaran yang murah dan menarik serta bermanfaat bagi warga belajar yang masih buta aksara dan telah selesai mengikuti program keaksaraan. Dengan belajar di TBM tersebut, warga buta aksara yang sudah bisa ca-lis-tung bisa meningkat lebih baik dan lestari sepanjang hayat.
Untuk itu, menyongsong Hari Aksara Internasional (HAI) ke-42 nanti, tidak terlalu muluk-muluk jika kita mau mengajak semua warga untuk terus belajar dan belajar. Apabila menemukan warga yang masih buta aksara, berikan mereka jalan keluar agar menjadi melek aksara dan bisa mengetahui yang selama ini tidak mereka ketahui. “Ayo belajar sampai akhir hayat.”
* Tulisan ini dimuat di Harian Analisa Edisi Minggu, 29 Juli 2007
“Ayo Belajar Sampai Akhir Hayat”
Oleh : James P. Pardede
Dalam falsafah suku Batak ada disebutkan “Anak kon hi do hamoraon di au” (Anak adalah kekayaan bagi orangtua). Berdasar pada falsafah tersebut, suku Batak sangat gigih dalam membimbing anak-anaknya untuk bersekolah hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Tak heran kalau suku Batak tersebar di berbagai penjuru tanah air.
Kasubdis PLS Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara Drs. H. Ibnu Saud Nasution mengakui kalau falsafah tersebut sangat dijunjung tinggi suku Batak. Itu sebabnya, setiap kali suku Batak bertemu dalam pesta atau hajatan, yang pertama kali ditanya adalah: “Berapa anakmu ? Sudah sekolah apa saja anakmu ?” Jika anak-anak mereka bisa sekolah dan berhasil menyandang gelar sarjana, maka orangtua akan bangga dan merasa paling bahagia di daerah tersebut.
Kalau anak-anaknya tidak mau sekolah, orangtua biasanya akan marah besar dan malu pada sanak family. Apabila sang anak benar-benar tidak mau sekolah, maka orangtua akan merasa sakit hati dan membiarkan sang anak begitu saja sampai kelak ia bisa menentukan pasangan hidupnya.
Setelah menikah dan punya anak, sang anak tadi akan mendatangi orangtuanya untuk menyampaikan rasa penyesalannya kenapa dulu ia tidak mau sekolah. Penyesalan memang selalu datang terlambat.
Dalam kondisi seperti ini, orangtua yang bijaksana akan mengarahkan anaknya untuk mengambil program pengajaran keaksaraan atau ikut ujian kesetaraan paket A, B atau C tergantung di tingkat mana si anak tersebut mengalami putus sekolah. Ini demi untuk peningkatkan taraf hidup dan peningkatan kompetensi sang anak dalam memperoleh pekerjaan yang lebih baik.
Menurut data BPS Provinsi Sumatera Utara, angka melek aksara di beberapa kabupaten/kota Sumut sudah menunjukkan angka yang sangat bagus. Bahkan, di beberapa kabupaten/kota hanya sebagian kecil masyarakatnya yang masuk dalam daftar warga buta aksara. Dan biasanya, mereka tinggal di daerah pegunungan atau pedalaman yang sama sekali di kawasan itu tidak ada sekolah atau penduduknya tinggal sangat berjauhan.
Untuk menjangkau ini, partisipasi masyarakat yang tinggal dekat dengan pemukiman mereka sangat diharapkan. Dengan kepedulian ini, diharapkan masyarakat di pelosok mana pun bisa merasakan betapa pentingnya pendidikan dalam memperbaiki taraf hidup mereka dan anak-anak mereka ke depan. Baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal.
TERKAIT ERAT DENGAN KEMISKINAN
Pada jalur pendidikan non formal, permasalahan dalam hal perluasan dan pemerataan akses pendidikan bagi setiap warga masyarakat tetap masih ada. Sampai dengan tahun 2004, pendidikan non formal yang berfungsi baik sebagai transisi dari dunia sekolah ke dunia kerja (transition from school to work) maupun sebagai bentuk pendidikan sepanjang hayat belum dapat diakses secara luas oleh masyarakat. Pada saat yang sama, kesadaran masyarakat khususnya yang berusia dewasa untuk terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya masih sangat rendah.
Seperti dilansir Kompas, anggota tim pengembangan model belajar Kelompok Kerja Pendidikan Masyarakat BP-PLSP Regional I Medan, Sarwo Edy mengatakan, salah satu cara untuk mengurangi tingkat buta aksara di Indonesia adalah dengan cara pendidikan keaksaraan fungsional. Keaksaraan fungsional terdiri atas dua konsep, yaitu keaksaraan dan fungsional. Keaksaraan secara sederhana diartikan sebagai kemampuan untuk membaca, menulis, dan berhitung. Adapun keaksaraan fungsional dapat diartikan sebagai hasil belajar membaca, menulis, dan berhitung para warga belajar bisa digunakan atau bermanfaat bagi peningkatan taraf hidup masyarakat.
Jika melihat masyarakat yang tinggal di pinggiran Sungai Deli Medan, mereka menggunakan air sungai yang keruh untuk mandi, mencuci piring, dan mencuci baju. Meski mereka tinggal di kota, belum tentu mereka bisa mengakses air bersih karena keterbatasan penghasilan.
Mengubah kehidupan masyarakat tepian sungai, yang sudah mengakar dalam air sungai yang keruh, tentu saja tidak mudah. Metode penyuluhan dan membaca tidak akan berhasil dengan baik tanpa dibarengi kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Dalam model belajar yang sedang dikembangkan BP-PSLP Regional I Medan, warga nantinya diharapkan bisa membuat alat penyulingan air bersih yang berasal dari air sungai.
Akan tetapi, kalau mereka masih buta aksara, mereka tidak akan bisa memanfaatkan alat ini dan teknologinya. Itu sebabnya perlu mengajari mereka membaca, menulis, dan berhitung terlebih dahulu sebelum dikenalkan dengan permasalahan sanitasi dan pemanfaatan air sungai.
Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo pada Hari Aksara Internasional ke-41 di Probolinggo menargetkan penurunan angka buta aksara menjadi 5 persen pada 2009 mendatang. Karena, buta aksara terkait erat dengan kemiskinan.
Secara sosial penduduk yang buta aksara akan terisolasi. Hal itu terjadi karena mereka tidak bisa berkomunikasi secara efektif dengan orang lain. Posisi tawarnya pun sangat rendah.
Sejalan dengan target penurunan buta aksara pada akhir 2009, Mendiknas mengungkapkan, maka jumlah yang akan diberantas hingga akhir 2009 sebesar 7,5 juta orang.Adapun target yang akan dicapai pada 2007 ditetapkan sebesar 2,3 juta sehingga sisanya selama dua tahun tinggal 2,1 juta orang.
Di samping itu, pemerintah juga akan menurunkan angka disparitas gender dari 9,6 persen pada 2000 menjadi 3,65 persen pada akhir 2009. Menurut Bambang, masih tingginya angka buta aksara tersebut dipicu banyaknya anak usia yang SD yang belum juga bersekolah (5 persen).
Selain itu, tingginya angka putus sekolah di tingkat SD terutama kelas 1,2,dan 3 juga berpotensi menciptakan buta aksara kembali. Jika melihat perkembangan penurunan buta aksara hingga 2006, hasilnya sangat menggembirakan. Tapi semakin sedikit jumlah penduduk buta aksara, maka akan semakin sulit memberantasnya. Karena, penduduk buta aksara yang tersisa adalah yang termasuk dalam golongan hardrock (sangat sulit dimelekaksarakan).
Untuk mengatasi masalah buta aksara, diperlukan kerja sama berbagai pihak. Misalnya, lembaga atau instansi pemerintah seperti perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan unit pelaksana teknis. Selain itu, juga diperlukan peran swasta seperti perusahaan, BUMN, perbankan, serta organisasi masyarakat dan keagamaan.
Untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) di daerah, cara yang paling mudah dan cepat adalah melalui pemberantasan buta aksara. Karena itu, pemerintah daerah harus bersungguh-sungguh memberikan perhatian yang serius pada pemberantasan buta aksara untuk menaikkan IPM daerahnya.
TANTANGAN JADI PELUANG
Ada dua prinsip atau strategi pendidikan keaksaraan yang harus selalu diperhatikan dan dipegang teguh oleh setiap pendidik dalam rangka menjawab tantangan dan peluang masyarakat yang terus berubah dengan cepat dewasa ini (komisi internasional tentang pendidikan UNESCO), yaitu : Pertama, bahwa pendidikan itu berlangsung sepanjang hayat (life-long education), dan tiada batas usia untuk belajar. Melalui proses belajar sepanjang hayat inilah, manusia mampu meningkatkan kualitas kehidupannya secara terus menerus, mampu mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi serta perkembangan masyarakat yang diakibatkannya, dan budaya untuk menghadapi tantangan masa depan serta mau dan mampu mengubah tantangan menjadi peluang
Pada hakikatnya, seseorang yang sudah berhenti belajar, berarti sudah berhenti berkembang atau lebih kasar lagi, sudah berhenti hidup (bekerja). Belajar dan bekerja giat dapat dilihat sebagai dua buah kegiatan utama manusia, oraet labora – bekerja dan berdoa.
Kedua, dewasa ini, konsep pendidikan keaksaraan tidak hanya “transfer of knowledge” saja atau terjadinya perubahan tanpa arah, tapi harus menumbuhkan budaya; belajar mengetahui (learning to know), belajar berbuat (learning to do), belajar hidup bersama, hidup dengan orang lain yang memiliki keanekaragaman (learning to live together, to live with others) dan belajar menjadi seseorang (learning to be).
Berdasar pada filosofi belajar berlangsung sepanjang hayat dan manusia adalah pembelajar, program pemberantasan buta aksara yang tertuang dalam Inpres No. 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar 9 tahun dan Pemberantasan Buta Aksara (GNP-PWB/PBA) pemerintah pusat dan daerah harus sama-sama memiliki komitmen dalam menjalankan program penuntasan buta aksara di daerahnya masing-masing.
Strategi GNP-PBA bisa dilaksanakan dengan sistem blok (tuntas satu kecamatan dulu baru ke kecamatan lain, begitu terus sampai tingkat kabupaten), pendanaan dengan sinergi antara pusat dan daerah serta peningkatan mutu (standar kompetensi keaksaraan dan penilaian hasil belajar).
Menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), TNI dan komponen bangsa lainnya. Dan yang terpenting adalah memprioritaskan penuntasan warga buta aksara di 9 provinsi terpadat warga buta aksaranya (Jatim, Jateng, Jabar, Sulsel, Kalbar, NTB, NTT, Banten dan Papua).
Untuk menghindari warga buta aksara yang sudah mendapatkan pengajaran ca-lis-tung, perlu ada kesinambungan pengajaran dengan pengadaan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di desa-desa tempat para warga buta aksara bermukim. Beberapa waktu lalu, Analisa pernah menulis keberadaan TBM Plus Mas Raden di Jalan karya Jaya Medan yang setiap harinya ramai dikunjungi masyarakat.
Menurut pemilik TBM Plus Mas Raden Asyiah, tujuan dibentuknya TBM tersebut adalah untuk menumbuhkan minat baca masyarakat, menjadi media pembelajaran yang murah dan menarik serta bermanfaat bagi warga belajar yang masih buta aksara dan telah selesai mengikuti program keaksaraan. Dengan belajar di TBM tersebut, warga buta aksara yang sudah bisa ca-lis-tung bisa meningkat lebih baik dan lestari sepanjang hayat.
Untuk itu, menyongsong Hari Aksara Internasional (HAI) ke-42 nanti, tidak terlalu muluk-muluk jika kita mau mengajak semua warga untuk terus belajar dan belajar. Apabila menemukan warga yang masih buta aksara, berikan mereka jalan keluar agar menjadi melek aksara dan bisa mengetahui yang selama ini tidak mereka ketahui. “Ayo belajar sampai akhir hayat.”
* Tulisan ini dimuat di Harian Analisa Edisi Minggu, 29 Juli 2007
Keaksaraan Fungsional, Menuju Masyarakat Bebas Buta Aksara
Oleh : James P. Pardede
Salah satu tujuan Gerakan Nasional Percepatan Pemberantasan Buta Aksara (GNP-PBA) adalah memberdayakan masyarakat buta aksara agar memperoleh pelajaran pendidikan secara bermutu sehingga menjadi insan yang produktif dan meningkat kesejahteraannya. Untuk mencapai ini, masyarakat buta aksara perlu memiliki kemampuan membaca, menulis, berhitung dan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.
Upaya pemberantasan buta aksara di dukung oleh Inpres Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar 9 Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara (GNP-PWB/PBA), Keputusan bersama Mendiknas, Mendagri dan Meneg Pemberdayaan Perempuan tentang percepatan PBA, khususnya kaum perempuan serta adanya penandatanganan MoU antara Mendiknas dengan 26 Gubernur dan Bupati/Walikota mengenai PBA di daerah masing-masing.
Berdasarkan data nasional, sebanyak 81 persen lebih penduduk buta aksara terkonsentrasi di 9 provinsi, yakni Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Papua. Sisanya dibagi rata tersebar di 22 provinsi lainnya di Indonesia.
Sementara itu, data Biro Pusat Statistik Juni 2006 menunjukkan, jumlah buta aksara mencapai 8,35 persen atau sebanyak 13.186.255 penduduk. Sementara usia 15 sampai 44 tahun mencapai 2,89 persen atau sebanyak 3.227.593 penduduk dan usia 45 tahun ke atas mencapai 21,58 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau sebanyak 9.938.632 penduduk.
Dalam sebuah kesempatan, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Ace Suryadi mengungkapkan bahwa untuk 2007 pemerintah menyiapkan anggaran Rp. 1,25 triliun untuk mengurangi angka buta aksara yang saat ini mencapai 2,2 juta orang di seluruh tanah air.
Lantas, mengapa upaya pemberantasan buta aksara tidak pernah tuntas ? Banyak faktor yang jadi penyebab. Diantaranya masyarakat buta aksara tinggal di daerah sangat terpencil dan terisolasi, ekonomi keluarga sangat lemah serta motivasi belajar sangat rendah.
Berbagai program telah diuji coba dalam upaya mengurangi angka buta aksara di tanah air. Salah satu program yang sejak 1995 telah dikembangkan adalah program keaksaraan fungsional (KF).
Dimana, program keaksaraan fungsional merupakan salah satu bentuk layanan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) bagi masyarakat yang belum dan ingin memiliki kemampuan ca-lis-tung, dan setelah mengikuti program ini (hasil belajarnya) mereka memiliki kemampuan “baca-tulis-hitung” dan menggunakannya serta berfungsi bagi kehidupannya. Artinya mereka tidak hanya memiliki kemampuan ca-lis-tung dan keterampilan berusaha atau bermata-pencaharian saja, tetapi juga dapat survive dalam dunia kehidupannya.
Menurut Kasubdis PLS Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara Drs. H. Ibnu Saud Nasution untuk memberdayakan warga buta aksara di Sumatera Utara program keaksaraan fungsional menjadi satu program yang sangat tepat, terutama dalam pelaksanaannya yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat.
Sebab, lanjutnya, program ini bisa berjalan dengan baik dan mudah diterapkan di tengah-tengah masyarakat buta aksara yang kebanyakan dari mereka bekerja sebagai petani, nelayan, buruh dan ibu rumah tangga.
KERJA SAMA
Untuk menjangkau kelompok-kelompok yang masih buta aksara khususnya usia 15 tahun ke atas, Dinas Pendidikan Provinsi melakukan pendekatan dengan pihak kabupaten/kota dalam mendata keberadaan mereka. Dengan upaya ini, jumlah warga buta aksara di berbagai kabupaten/kota bisa diketahui. Action dan anggaran untuk penuntasannya pun bisa dialokasikan dalam APBD.
Jika diilihat dari komponen Human Development Index (HDI) menurut Kabupaten/Kota di Sumut yang diolah dari data BPS Provinsi Sumut 2006 (Susenas 2004) diperoleh bahwa, Kabupaten Nias Selatan (15,6 persen) masih menjadi daerah yang memiliki angka warga buta aksara tertinggi di Sumut disusul Nias (14 persen), sisanya tersebar di kabupaten/kota lainnya.
Ibnu Saud Nasution mengemukakan, untuk mengatasi masalah buta aksara ini tidak bisa dipaksakan dengan mengajarkan baca, tulis, dan berhitung semata,tetapi pengajarannya harus bersifat fungsional yang ilmunya langsung dapat dimanfaatkan dalam menyiapkan mereka menghadapi pekerjaan. Dengan demikian mereka sadar hahwa pengetahuan membaca, berhitung, menulis ternyata dapat menambah produktifitasnya dalam bekerja.
Bahkan bagi yang sudah dewasa pun kalau sistem belajarnya tidak kontekstual atau tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, ilmu akan hilang lagi, di sinilah perlunya kerjasama dengan dunia industri, dunia usaha, ataupun departemen terkait agar ikut serta memahami mengentaskan masalah buta aksara ini, misalnya dengan mendirikan Pusal Kegiatan Belajar Masyarakal (PKBM) di lingkungan mereka belajar.
“Program keaksaraan fungsional yang diterapkan di beberapa daerah kabupaten/kota di Sumut disesuaikan dengan profesi mereka sehari-hari,” papar Nasution.
Misalnya, untuk warga buta aksara yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan, proses pengajaran keaksaraan bagi mereka adalah dengan mengenalkan ikan, pancing, jala, dayung, perahu, harga ikan lewat huruf dan angka. Mereka juga dibekali keterampilan membuat jala dan yang lainnya yang berkaitan dengan profesi mereka.
“Setelah mereka mengenal huruf dan bisa mengeja kalimat serta menghitung, biasanya minat untuk lebih tahu akan tumbuh kemudian. Di titik inilah kreatifitas tutor sangat menentukan,” tandasnya.
Sama halnya dengan warga buta aksara yang sehari-hari bekerja sebagai petani. Sementara untuk warga buta aksara dari kalangan ibu rumah tangga program KF yang dilaksanakan adalah dengan mengarahkan ibu-ibu rumah tangga memilih keterampilan yang mereka minati apakah menjahit, bordir, memasak atau menyulam. Lewat pelatihan keterampilan ini upaya untuk mengenalkan aksara pun dijalankan bersamaan.
PERLU EVALUASI
Setelah menjalankan program ini, biasanya setiap tahun akan diadakan evaluasi terhadap warga buta aksara yang telah mengikuti pembelajaran dan berhak memperoleh Surat Keterangan Melek Aksara (Sukma). Apakah mereka menjadi melek huruf atau jadi lupa huruf di kemudian hari.
Untuk kesinambungan program KF, perlu ada pembinaan budaya baca dan pengadaan perpustakaan masyarakat seperti Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di setiap desa. Atau, paling tidak ada kepedulian dari masyarakat untuk menyumbangkan buku-buku baru atau bekas kepada warga buta aksara yang sudah bisa ca-lis-tung tadi.
Selama ini disinyalir bahwa pemberantasan buta aksara seolah-olah hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Tampaknya strategi penuntasan buta aksara semacam itu sudah tidak relevan lagi. Apalagi melihat kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia yang terus-menerus berubah. Sudah saatnya prinsip kemitraan, koordinasi, sinkronisasi, dan integrasi instansional terkait sangat diperlukan. Kemitraan antara Depdiknas dengan lembaga-lembaga terkait itu paling tidak ada nuansa baru dalam pemberdayaan warga masyarakat yang kurang beruntung tadi.
Disamping itu, lembaga terkait tersebut bisa saling tukar pengalaman yang bersifat “mutual benefit” dalam melaksanakan program pemberantasan buta aksara. TNI dan lembaga terkait lain juga bisa belajar bagaimana Depdiknas melakukan suatu pelatihan tutorial dan mengimplementasikannya terhadap warga belajar pendidikan keaksaraan yang bernafaskan pedagogis-andragogis.
“Harapan kita, program KF bisa menyentuh warga buta aksara di seluruh wilayah Indonesia, khususnya Sumut. Dengan didukung dana, tutor berpengalaman dan komitmen dari stake holder, masyarakat buta aksara bisa menjadi bebas buta aksara,” papar Ibnu Saud Nasution.
SETENGAH HATI
Perlu diketahui, keaksaraan fungsional hanya dapat didefenisikan secara utuh, jika mengacu pada konteks sosial lokal dan kebutuhan khusus dari setiap warga belajar. Sebagai contoh, warga belajar yang hidup di daerah perkotaan, di mana di sekitarnya terdapat berbagai instansi/lembaga pemerintah dan swasta, serta tersedianya berbagai media informasi baik cetak maupun elektronik, tentu diperlukan program keaksaraan fungsional dengan penekanan pada kemampuan fungsional yang lebih tinggi seperti belajar tentang akuntansi, cara menggunakan telepon, sopan santun berlalulintas di jalan raya, serta hal-hal yang berhubungan dengan dunia perbankan dan sebagainya.
Namun jika mereka hidup di daerah pedesaan, daerah terpencil atau di daerah pedalaman, mungkin yang diperlukan hanyalah bagaimana mereka bisa belajar tentang pertanian atau perkebunan.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Asal Sumut Parlindungan Purba, SH,MM memaparkan bahwa untuk pemberantasan buta aksara pemerintah jangan setengah hati dalam menjalankan setiap program. Kemudian perlu ada sinergi antara pusat dan daerah baik itu dalam realisasi program maupun dalam hal anggaran. Yang terpenting lagi adalah tetap melakukan evaluasi.
“Sebab, warga buta aksara biasanya tidak jauh dari kondisi ekonomi yang sangat lemah atau miskin. Apabila kondisi masyarakat kita makin banyak yang miskin, maka makin rentan pula warga miskin ini menjadi warga buta aksara baru di kemudian hari,” tandasnya.
Kemudian, lanjutnya, demi kesinambungan pembelajaran warga buta aksara, kehadiran TBM di masyarakat jangan dijadikan ajang proyek yang akhirnya menjadikan TBM sebagai “Taman Beban Masyarakat”.
Disadari sepenuhnya bahwa pendidikan merupakan salah satu bidang yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan nasional. Pendidikan yang berkualitas dapat mengantarkan Indonesia menjadi bangsa yang modern, maju, makmur, dan sejahtera yang tercermin pada keunggulan dan kemampuan bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Untuk itu, pemerintah harus menempatkan pendidikan sebagai salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Pembangunan pendidikan sangat penting karena memberi kontribusi signifikan pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan menjadi landasan yang kuat dalam menghadapi era global yang sarat dengan persaingan antarbangsa yang berlangsung sangat ketat.
Sebab di dunia internasional, keaksaraan juga sudah diakui sebagai hak asasi manusia dan suatu keadaan yang sangat mutlak bagi perkembangan manusia. Suatu analisis tentang hasil survey yang dilakukan di negara-negara berkembang menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan keaksaraan berdampak langsung terhadap investasi dan kinerja seseorang. Keaksaraan seperti halnya gizi, kesehatan dan pendapatan mempunyai korelasi dengan peningkatan umur harapan hidup dan penurunan kematian ibu dan anak.
* Tulisan ini dimuat di Harian Analisa Edisi Minggu, 29 Juli 2007
Oleh : James P. Pardede
Salah satu tujuan Gerakan Nasional Percepatan Pemberantasan Buta Aksara (GNP-PBA) adalah memberdayakan masyarakat buta aksara agar memperoleh pelajaran pendidikan secara bermutu sehingga menjadi insan yang produktif dan meningkat kesejahteraannya. Untuk mencapai ini, masyarakat buta aksara perlu memiliki kemampuan membaca, menulis, berhitung dan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.
Upaya pemberantasan buta aksara di dukung oleh Inpres Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar 9 Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara (GNP-PWB/PBA), Keputusan bersama Mendiknas, Mendagri dan Meneg Pemberdayaan Perempuan tentang percepatan PBA, khususnya kaum perempuan serta adanya penandatanganan MoU antara Mendiknas dengan 26 Gubernur dan Bupati/Walikota mengenai PBA di daerah masing-masing.
Berdasarkan data nasional, sebanyak 81 persen lebih penduduk buta aksara terkonsentrasi di 9 provinsi, yakni Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Papua. Sisanya dibagi rata tersebar di 22 provinsi lainnya di Indonesia.
Sementara itu, data Biro Pusat Statistik Juni 2006 menunjukkan, jumlah buta aksara mencapai 8,35 persen atau sebanyak 13.186.255 penduduk. Sementara usia 15 sampai 44 tahun mencapai 2,89 persen atau sebanyak 3.227.593 penduduk dan usia 45 tahun ke atas mencapai 21,58 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau sebanyak 9.938.632 penduduk.
Dalam sebuah kesempatan, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Ace Suryadi mengungkapkan bahwa untuk 2007 pemerintah menyiapkan anggaran Rp. 1,25 triliun untuk mengurangi angka buta aksara yang saat ini mencapai 2,2 juta orang di seluruh tanah air.
Lantas, mengapa upaya pemberantasan buta aksara tidak pernah tuntas ? Banyak faktor yang jadi penyebab. Diantaranya masyarakat buta aksara tinggal di daerah sangat terpencil dan terisolasi, ekonomi keluarga sangat lemah serta motivasi belajar sangat rendah.
Berbagai program telah diuji coba dalam upaya mengurangi angka buta aksara di tanah air. Salah satu program yang sejak 1995 telah dikembangkan adalah program keaksaraan fungsional (KF).
Dimana, program keaksaraan fungsional merupakan salah satu bentuk layanan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) bagi masyarakat yang belum dan ingin memiliki kemampuan ca-lis-tung, dan setelah mengikuti program ini (hasil belajarnya) mereka memiliki kemampuan “baca-tulis-hitung” dan menggunakannya serta berfungsi bagi kehidupannya. Artinya mereka tidak hanya memiliki kemampuan ca-lis-tung dan keterampilan berusaha atau bermata-pencaharian saja, tetapi juga dapat survive dalam dunia kehidupannya.
Menurut Kasubdis PLS Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara Drs. H. Ibnu Saud Nasution untuk memberdayakan warga buta aksara di Sumatera Utara program keaksaraan fungsional menjadi satu program yang sangat tepat, terutama dalam pelaksanaannya yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat.
Sebab, lanjutnya, program ini bisa berjalan dengan baik dan mudah diterapkan di tengah-tengah masyarakat buta aksara yang kebanyakan dari mereka bekerja sebagai petani, nelayan, buruh dan ibu rumah tangga.
KERJA SAMA
Untuk menjangkau kelompok-kelompok yang masih buta aksara khususnya usia 15 tahun ke atas, Dinas Pendidikan Provinsi melakukan pendekatan dengan pihak kabupaten/kota dalam mendata keberadaan mereka. Dengan upaya ini, jumlah warga buta aksara di berbagai kabupaten/kota bisa diketahui. Action dan anggaran untuk penuntasannya pun bisa dialokasikan dalam APBD.
Jika diilihat dari komponen Human Development Index (HDI) menurut Kabupaten/Kota di Sumut yang diolah dari data BPS Provinsi Sumut 2006 (Susenas 2004) diperoleh bahwa, Kabupaten Nias Selatan (15,6 persen) masih menjadi daerah yang memiliki angka warga buta aksara tertinggi di Sumut disusul Nias (14 persen), sisanya tersebar di kabupaten/kota lainnya.
Ibnu Saud Nasution mengemukakan, untuk mengatasi masalah buta aksara ini tidak bisa dipaksakan dengan mengajarkan baca, tulis, dan berhitung semata,tetapi pengajarannya harus bersifat fungsional yang ilmunya langsung dapat dimanfaatkan dalam menyiapkan mereka menghadapi pekerjaan. Dengan demikian mereka sadar hahwa pengetahuan membaca, berhitung, menulis ternyata dapat menambah produktifitasnya dalam bekerja.
Bahkan bagi yang sudah dewasa pun kalau sistem belajarnya tidak kontekstual atau tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, ilmu akan hilang lagi, di sinilah perlunya kerjasama dengan dunia industri, dunia usaha, ataupun departemen terkait agar ikut serta memahami mengentaskan masalah buta aksara ini, misalnya dengan mendirikan Pusal Kegiatan Belajar Masyarakal (PKBM) di lingkungan mereka belajar.
“Program keaksaraan fungsional yang diterapkan di beberapa daerah kabupaten/kota di Sumut disesuaikan dengan profesi mereka sehari-hari,” papar Nasution.
Misalnya, untuk warga buta aksara yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan, proses pengajaran keaksaraan bagi mereka adalah dengan mengenalkan ikan, pancing, jala, dayung, perahu, harga ikan lewat huruf dan angka. Mereka juga dibekali keterampilan membuat jala dan yang lainnya yang berkaitan dengan profesi mereka.
“Setelah mereka mengenal huruf dan bisa mengeja kalimat serta menghitung, biasanya minat untuk lebih tahu akan tumbuh kemudian. Di titik inilah kreatifitas tutor sangat menentukan,” tandasnya.
Sama halnya dengan warga buta aksara yang sehari-hari bekerja sebagai petani. Sementara untuk warga buta aksara dari kalangan ibu rumah tangga program KF yang dilaksanakan adalah dengan mengarahkan ibu-ibu rumah tangga memilih keterampilan yang mereka minati apakah menjahit, bordir, memasak atau menyulam. Lewat pelatihan keterampilan ini upaya untuk mengenalkan aksara pun dijalankan bersamaan.
PERLU EVALUASI
Setelah menjalankan program ini, biasanya setiap tahun akan diadakan evaluasi terhadap warga buta aksara yang telah mengikuti pembelajaran dan berhak memperoleh Surat Keterangan Melek Aksara (Sukma). Apakah mereka menjadi melek huruf atau jadi lupa huruf di kemudian hari.
Untuk kesinambungan program KF, perlu ada pembinaan budaya baca dan pengadaan perpustakaan masyarakat seperti Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di setiap desa. Atau, paling tidak ada kepedulian dari masyarakat untuk menyumbangkan buku-buku baru atau bekas kepada warga buta aksara yang sudah bisa ca-lis-tung tadi.
Selama ini disinyalir bahwa pemberantasan buta aksara seolah-olah hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Tampaknya strategi penuntasan buta aksara semacam itu sudah tidak relevan lagi. Apalagi melihat kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia yang terus-menerus berubah. Sudah saatnya prinsip kemitraan, koordinasi, sinkronisasi, dan integrasi instansional terkait sangat diperlukan. Kemitraan antara Depdiknas dengan lembaga-lembaga terkait itu paling tidak ada nuansa baru dalam pemberdayaan warga masyarakat yang kurang beruntung tadi.
Disamping itu, lembaga terkait tersebut bisa saling tukar pengalaman yang bersifat “mutual benefit” dalam melaksanakan program pemberantasan buta aksara. TNI dan lembaga terkait lain juga bisa belajar bagaimana Depdiknas melakukan suatu pelatihan tutorial dan mengimplementasikannya terhadap warga belajar pendidikan keaksaraan yang bernafaskan pedagogis-andragogis.
“Harapan kita, program KF bisa menyentuh warga buta aksara di seluruh wilayah Indonesia, khususnya Sumut. Dengan didukung dana, tutor berpengalaman dan komitmen dari stake holder, masyarakat buta aksara bisa menjadi bebas buta aksara,” papar Ibnu Saud Nasution.
SETENGAH HATI
Perlu diketahui, keaksaraan fungsional hanya dapat didefenisikan secara utuh, jika mengacu pada konteks sosial lokal dan kebutuhan khusus dari setiap warga belajar. Sebagai contoh, warga belajar yang hidup di daerah perkotaan, di mana di sekitarnya terdapat berbagai instansi/lembaga pemerintah dan swasta, serta tersedianya berbagai media informasi baik cetak maupun elektronik, tentu diperlukan program keaksaraan fungsional dengan penekanan pada kemampuan fungsional yang lebih tinggi seperti belajar tentang akuntansi, cara menggunakan telepon, sopan santun berlalulintas di jalan raya, serta hal-hal yang berhubungan dengan dunia perbankan dan sebagainya.
Namun jika mereka hidup di daerah pedesaan, daerah terpencil atau di daerah pedalaman, mungkin yang diperlukan hanyalah bagaimana mereka bisa belajar tentang pertanian atau perkebunan.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Asal Sumut Parlindungan Purba, SH,MM memaparkan bahwa untuk pemberantasan buta aksara pemerintah jangan setengah hati dalam menjalankan setiap program. Kemudian perlu ada sinergi antara pusat dan daerah baik itu dalam realisasi program maupun dalam hal anggaran. Yang terpenting lagi adalah tetap melakukan evaluasi.
“Sebab, warga buta aksara biasanya tidak jauh dari kondisi ekonomi yang sangat lemah atau miskin. Apabila kondisi masyarakat kita makin banyak yang miskin, maka makin rentan pula warga miskin ini menjadi warga buta aksara baru di kemudian hari,” tandasnya.
Kemudian, lanjutnya, demi kesinambungan pembelajaran warga buta aksara, kehadiran TBM di masyarakat jangan dijadikan ajang proyek yang akhirnya menjadikan TBM sebagai “Taman Beban Masyarakat”.
Disadari sepenuhnya bahwa pendidikan merupakan salah satu bidang yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan nasional. Pendidikan yang berkualitas dapat mengantarkan Indonesia menjadi bangsa yang modern, maju, makmur, dan sejahtera yang tercermin pada keunggulan dan kemampuan bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Untuk itu, pemerintah harus menempatkan pendidikan sebagai salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Pembangunan pendidikan sangat penting karena memberi kontribusi signifikan pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan menjadi landasan yang kuat dalam menghadapi era global yang sarat dengan persaingan antarbangsa yang berlangsung sangat ketat.
Sebab di dunia internasional, keaksaraan juga sudah diakui sebagai hak asasi manusia dan suatu keadaan yang sangat mutlak bagi perkembangan manusia. Suatu analisis tentang hasil survey yang dilakukan di negara-negara berkembang menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan keaksaraan berdampak langsung terhadap investasi dan kinerja seseorang. Keaksaraan seperti halnya gizi, kesehatan dan pendapatan mempunyai korelasi dengan peningkatan umur harapan hidup dan penurunan kematian ibu dan anak.
* Tulisan ini dimuat di Harian Analisa Edisi Minggu, 29 Juli 2007
PAUD yang Terpadu Hingga ke Pelosok Desa
Oleh : James P. Pardede
Kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi sangat penting, karena menjadi tolak ukur dalam indeks pembangunan manusia yang saat ini Indonesia menduduki peringkat 108 dari 177 negara. Selain itu, dalam tujun pembangunan millennium atau MDGs merupakan upaya internasional dan nasional untuk memenuhi kebutuhan kesejahteraan rakyat dan meningkatkan kualitas SDM.
Tak hanya itu, dalam era persaingan global yang penuh tantangan saat ini, pembangunan suatu negara akan terjadi apabila didukung oleh SDM yang berkualitas, professional, mandiri dan handal. Salah satu upaya untuk menghasilkan SDM berkualitas ini adalah memprioritaskan pembangunan di bidang pendidikan.
Karena, pembangunan pendidikan merupakan salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Pembangunan pendidikan sangat penting karena perannya yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan ; sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Itu sebabnya, pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak setiap warga negara dalam memperoleh layanan pendidikan guna meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, yang mewajibkan pemerintah bertanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan kesejahteraan umum.
Pendidikan menjadi landasan kuat yang diperlukan untuk meraih kemajuan bangsa di masa depan, bahkan lebih penting lagi sebagai bekal dalam menghadapi era global yang sarat dengan persaingan antarbangsa yang berlangsung sangat ketat. Dengan demikian, pendidikan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi karena ia merupakan faktor determinan bagi suatu bangsa untuk bisa memenangi kompetisi global.
Berbagai studi menunjukkan, pendidikan bukan saja penting untuk membangun masyarakat terpelajar yang menjelma dalam wujud massa kritis (critical mass), tetapi juga dapat menjadi landasan yang kuat untuk memacu pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan tenaga kerja yang memiliki pengetahuan, menguasai teknologi, dan mempunyai keahlian serta keterampilan. Tenaga kerja dengan kualifikasi pendidikan yang memadai akan memberi kontribusi pada peningkatan produktivitas nasional.
Melihat sedemikian penting peranan pendidikan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia, termasuk pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2008.
Selama ini, pembangunan pendidikan telah membuahkan hasil yang cukup baik. Pencapaian pembangunan pendidikan antara lain dapat dilihat pada peningkatan angka partisipasi kasar (APK) di setiap jenjang pendidikan. Menurut data Susenas 2004, APK pada jenjang SD/MI dan SMP/MTs masing-masing telah mencapai 107,13 persen dan 82,24 persen, sedangkan APK pada jenjang SMA/SMK/MA telah mencapai 54,38 persen.
PENDIDIKAN DASAR
Meskipun demikian, angka partisipasi pendidikan penduduk Indonesia perlu terus-menerus ditingkatkan, mengingat sampai dengan tahun 2003 jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang telah menyelesaikan jenjang sekolah menengah pertama atau jenjang yang lebih tinggi baru mencapai 45,8 persen. Sementara itu, pada tahun 2004 rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas baru mencapai 7,24 tahun. Meskipun pada tahun 2004 angka partisipasi sekolah (APS) penduduk usia 7 sampai 12 tahun sudah hampir 100 persen, angka partisipasi sekolah penduduk usia 13 sampai 15 tahun dan penduduk usia 16 sampai 18 tahun masing-masing baru mencapai 83,5 persen dan 53,5 persen (Susenas 2004).
Untuk itu, diperlukan upaya sungguh-sungguh baik oleh pemerintah maupun masyarakat agar dapat meningkatkan angka partisipasi pendidikan penduduk Indonesia. Dalam hal ini, pada tahun 2006, pencapaian APS diperkirakan masih sebesar 83,2 persen pada kelompok usia 13 sampai 15 tahun dan 56,0 persen pada kelompok usia 16 sampai 18 tahun sesuai sasaran RKP 2006.
Selain itu, upaya untuk menyiapkan anak-anak memasuki jenjang pendidikan dasar dilakukan melalui pengembangan pendidikan anak usia dini (PAUD), yang mencakup berbagai jenis seperti Taman Kanak-Kanak, Raudhatul Athfal, Bustanul Athfal, TK Al-Qur’an, Tempat Penitipan Anak, dan Kelompok Bermain. Sampai dengan tahun 2004, telah tertampung sebanyak lebih dari 1,8 juta anak usia 4–6 tahun di berbagai jenis TK, termasuk TK Luar Biasa.
Adapun untuk pendidikan anak usia dini, dari jumlah sekitar 28,3 juta anak berusia 0 sampai 6 tahun, yang tertampung di berbagai jenis satuan PAUD baru sebanyak 7,9 juta anak atau sebesar 28 persen, sedangkan yang tidak dapat ditampung sebanyak 20,4 juta anak atau sebesar 72 persen. Rendahnya daya tampung pendidikan anak usia dini terutama disebabkan oleh rendahnya jangkauan pelayanan PAUD.
Jumlah lembaga yang memberikan pelayanan PAUD masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan jumlah anak usia 0 sampai 6 tahun yang perlu dilayani. Selain itu, sebagian besar anak usia dini tinggal di wilayah perdesaan sementara lembaga-lembaga penyelenggara PAUD sebagian terbesar terdapat di wilayah perkotaan.
Oleh karena itu, pelaksanaan PAUD perlu terus ditingkatkan dan diperluas jangkauan serta kualitas pelayanannya dengan tetap menumbuhkan partisipasi masyarakat termasuk lembaga tradisional keagamaan dan organisasi sosial masyarakat. Perluasan PAUD diharapkan dapat menunjang keberhasilan pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun karena peranannya dalam mempersiapkan anak untuk memasuki bangku sekolah.
PERLUASAN AKSES
Pada jalur pendidikan nonformal juga menghadapi permasalahan dalam hal perluasan dan pemerataan akses pendidikan bagi setiap warga masyarakat. Sampai dengan tahun 2004, pendidikan nonformal yang berfungsi baik sebagai transisi dari dunia sekolah ke dunia kerja (transition from school to work) maupun sebagai bentuk pendidikan sepanjang hayat belum dapat diakses secara luas oleh masyarakat. Pada saat yang sama, kesadaran masyarakat khususnya yang berusia dewasa untuk terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya masih sangat rendah.
Kemudian, dalam menentukan arah kebijakan pembangunan pendidikan dirumuskan dengan merujuk pada konvensi internasional mengenai pendidikan atau berkaitan dengan pembangunan pendidikan seperti Pendidikan Untuk Semua (Education For All), Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of Child), Millenium Development Goals (MDGs), dan World Summit on Sustainable Development.
Dalam rangka mencapai sasaran tersebut di atas, kebijakan pembangunan pendidikan harus mencakup pemerataan dan perluasan akses pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi pendidikan serta pemantapan good governance, yang salah satu dari rinciannya adalah meningkatkan pemerataan dan keterjangkauan pendidikan anak usia dini melalui penyediaan sarana dan prasarana pendidikan dan didukung dengan sinkronisasi penyelenggaraan pendidikan anak usia dini yang dilakukan oleh sektor-sektor pembangunan terkait dan peningkatan peranserta masyarakat.
Diharapkan, dengan upaya perluasan akses dan perbaikan mutu layanan PAUD yang terpadu hingga menjangkau ke pelosok desa, maka angka partisipasi PAUD di Indonesia akan meningkat dengan signifikan. Anak usia dini 0 sampai 6 tahun akan terlayani pendidikan dini.
Pentingnya dilaksanakan program PAUD disetiap desa diharapkan dapat memutuskan mata rantai kemiskinan dengan berintergrasi bersama program lainnya seperti pos yandu, BKB dan program lainnya, sehingga kualitas SDM terutama pada anak usia dini dapat terus meningkat. Untuk itulah, PAUD di tengah tengah masyarakat sudah sangat diperlukan sekali untuk membentuk anak seusia dini.
Oleh : James P. Pardede
Kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi sangat penting, karena menjadi tolak ukur dalam indeks pembangunan manusia yang saat ini Indonesia menduduki peringkat 108 dari 177 negara. Selain itu, dalam tujun pembangunan millennium atau MDGs merupakan upaya internasional dan nasional untuk memenuhi kebutuhan kesejahteraan rakyat dan meningkatkan kualitas SDM.
Tak hanya itu, dalam era persaingan global yang penuh tantangan saat ini, pembangunan suatu negara akan terjadi apabila didukung oleh SDM yang berkualitas, professional, mandiri dan handal. Salah satu upaya untuk menghasilkan SDM berkualitas ini adalah memprioritaskan pembangunan di bidang pendidikan.
Karena, pembangunan pendidikan merupakan salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Pembangunan pendidikan sangat penting karena perannya yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan ; sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Itu sebabnya, pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak setiap warga negara dalam memperoleh layanan pendidikan guna meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, yang mewajibkan pemerintah bertanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan kesejahteraan umum.
Pendidikan menjadi landasan kuat yang diperlukan untuk meraih kemajuan bangsa di masa depan, bahkan lebih penting lagi sebagai bekal dalam menghadapi era global yang sarat dengan persaingan antarbangsa yang berlangsung sangat ketat. Dengan demikian, pendidikan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi karena ia merupakan faktor determinan bagi suatu bangsa untuk bisa memenangi kompetisi global.
Berbagai studi menunjukkan, pendidikan bukan saja penting untuk membangun masyarakat terpelajar yang menjelma dalam wujud massa kritis (critical mass), tetapi juga dapat menjadi landasan yang kuat untuk memacu pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan tenaga kerja yang memiliki pengetahuan, menguasai teknologi, dan mempunyai keahlian serta keterampilan. Tenaga kerja dengan kualifikasi pendidikan yang memadai akan memberi kontribusi pada peningkatan produktivitas nasional.
Melihat sedemikian penting peranan pendidikan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia, termasuk pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2008.
Selama ini, pembangunan pendidikan telah membuahkan hasil yang cukup baik. Pencapaian pembangunan pendidikan antara lain dapat dilihat pada peningkatan angka partisipasi kasar (APK) di setiap jenjang pendidikan. Menurut data Susenas 2004, APK pada jenjang SD/MI dan SMP/MTs masing-masing telah mencapai 107,13 persen dan 82,24 persen, sedangkan APK pada jenjang SMA/SMK/MA telah mencapai 54,38 persen.
PENDIDIKAN DASAR
Meskipun demikian, angka partisipasi pendidikan penduduk Indonesia perlu terus-menerus ditingkatkan, mengingat sampai dengan tahun 2003 jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang telah menyelesaikan jenjang sekolah menengah pertama atau jenjang yang lebih tinggi baru mencapai 45,8 persen. Sementara itu, pada tahun 2004 rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas baru mencapai 7,24 tahun. Meskipun pada tahun 2004 angka partisipasi sekolah (APS) penduduk usia 7 sampai 12 tahun sudah hampir 100 persen, angka partisipasi sekolah penduduk usia 13 sampai 15 tahun dan penduduk usia 16 sampai 18 tahun masing-masing baru mencapai 83,5 persen dan 53,5 persen (Susenas 2004).
Untuk itu, diperlukan upaya sungguh-sungguh baik oleh pemerintah maupun masyarakat agar dapat meningkatkan angka partisipasi pendidikan penduduk Indonesia. Dalam hal ini, pada tahun 2006, pencapaian APS diperkirakan masih sebesar 83,2 persen pada kelompok usia 13 sampai 15 tahun dan 56,0 persen pada kelompok usia 16 sampai 18 tahun sesuai sasaran RKP 2006.
Selain itu, upaya untuk menyiapkan anak-anak memasuki jenjang pendidikan dasar dilakukan melalui pengembangan pendidikan anak usia dini (PAUD), yang mencakup berbagai jenis seperti Taman Kanak-Kanak, Raudhatul Athfal, Bustanul Athfal, TK Al-Qur’an, Tempat Penitipan Anak, dan Kelompok Bermain. Sampai dengan tahun 2004, telah tertampung sebanyak lebih dari 1,8 juta anak usia 4–6 tahun di berbagai jenis TK, termasuk TK Luar Biasa.
Adapun untuk pendidikan anak usia dini, dari jumlah sekitar 28,3 juta anak berusia 0 sampai 6 tahun, yang tertampung di berbagai jenis satuan PAUD baru sebanyak 7,9 juta anak atau sebesar 28 persen, sedangkan yang tidak dapat ditampung sebanyak 20,4 juta anak atau sebesar 72 persen. Rendahnya daya tampung pendidikan anak usia dini terutama disebabkan oleh rendahnya jangkauan pelayanan PAUD.
Jumlah lembaga yang memberikan pelayanan PAUD masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan jumlah anak usia 0 sampai 6 tahun yang perlu dilayani. Selain itu, sebagian besar anak usia dini tinggal di wilayah perdesaan sementara lembaga-lembaga penyelenggara PAUD sebagian terbesar terdapat di wilayah perkotaan.
Oleh karena itu, pelaksanaan PAUD perlu terus ditingkatkan dan diperluas jangkauan serta kualitas pelayanannya dengan tetap menumbuhkan partisipasi masyarakat termasuk lembaga tradisional keagamaan dan organisasi sosial masyarakat. Perluasan PAUD diharapkan dapat menunjang keberhasilan pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun karena peranannya dalam mempersiapkan anak untuk memasuki bangku sekolah.
PERLUASAN AKSES
Pada jalur pendidikan nonformal juga menghadapi permasalahan dalam hal perluasan dan pemerataan akses pendidikan bagi setiap warga masyarakat. Sampai dengan tahun 2004, pendidikan nonformal yang berfungsi baik sebagai transisi dari dunia sekolah ke dunia kerja (transition from school to work) maupun sebagai bentuk pendidikan sepanjang hayat belum dapat diakses secara luas oleh masyarakat. Pada saat yang sama, kesadaran masyarakat khususnya yang berusia dewasa untuk terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya masih sangat rendah.
Kemudian, dalam menentukan arah kebijakan pembangunan pendidikan dirumuskan dengan merujuk pada konvensi internasional mengenai pendidikan atau berkaitan dengan pembangunan pendidikan seperti Pendidikan Untuk Semua (Education For All), Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of Child), Millenium Development Goals (MDGs), dan World Summit on Sustainable Development.
Dalam rangka mencapai sasaran tersebut di atas, kebijakan pembangunan pendidikan harus mencakup pemerataan dan perluasan akses pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi pendidikan serta pemantapan good governance, yang salah satu dari rinciannya adalah meningkatkan pemerataan dan keterjangkauan pendidikan anak usia dini melalui penyediaan sarana dan prasarana pendidikan dan didukung dengan sinkronisasi penyelenggaraan pendidikan anak usia dini yang dilakukan oleh sektor-sektor pembangunan terkait dan peningkatan peranserta masyarakat.
Diharapkan, dengan upaya perluasan akses dan perbaikan mutu layanan PAUD yang terpadu hingga menjangkau ke pelosok desa, maka angka partisipasi PAUD di Indonesia akan meningkat dengan signifikan. Anak usia dini 0 sampai 6 tahun akan terlayani pendidikan dini.
Pentingnya dilaksanakan program PAUD disetiap desa diharapkan dapat memutuskan mata rantai kemiskinan dengan berintergrasi bersama program lainnya seperti pos yandu, BKB dan program lainnya, sehingga kualitas SDM terutama pada anak usia dini dapat terus meningkat. Untuk itulah, PAUD di tengah tengah masyarakat sudah sangat diperlukan sekali untuk membentuk anak seusia dini.
Pendidikan Anak Usia Dini Lewat Keluarga
Oleh : James P. Pardede
Sebagian masyarakat Indonesia belum sepenuhnya menyadari pentingnya pendidikan bagi anak usia dini. Padahal, pendidikan anak usia dini (PAUD) saat ini diakui menjadi tahapan penting dalam pendidikan anak, seperti tertuang dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional.
PAUD merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani maupun rohani anak agar memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Usia 0 sampai 6 tahun merupakan masa emas bagi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Selain gizi yang cukup, beragam stimulus atau rangsangan untuk perkembangan fisik, yakni koordinasi syaraf motorik halus dan kasar, kecerdasan yang meliputi daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi serta kecerdasan spritual.
Oleh sebab itu, pendidikan yang diberikan pada anak usia dini, bukan saja sangat penting bagi perkembangan kemampuan dasar anak untuk menempuh jenjang pendidikan selanjutnya, tetapi juga turut memberikan kontribusi yang sangat besar dalam mempercepat keberhasilan peningkatan SDM.
Selain itu, usia dini, khususnya pada usia 0-5 tahun atau di bawah lima tahun (Balita), juga merupakan kurun waktu yang sangat menentukan bagi pembentukan karakter dan kepribadian seorang anak.
Usia 0-5 tahun ini juga merupakan usia penting bagi pengembangan intelegensi permanen diri seorang anak. Oleh sebab itu, di negara-negara maju, pembangunan pendidikan untuk anak usia dini ini mendapat perhatian yang sangat serius serta menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Itu sebabnya, setiap orang tua dapat menjadikan anaknya seorang anak yang cerdas dan kreatif. Semua orang tua dapat melakukannya, jika para orag tua mau mengutamakan kebutuhan dan kepentingan sang anak.
Berkenaan dengan upaya untuk membentuk kecerdasan seorang anak, selain terpenuhinya kebutuhan fisik-biologis, terutama kebutuhan gizi yang baik sejak dalam kandungan serta kasih sayang yang dapat memberikan rasa aman, terlindungi, dihargai dan diperhatikan, maka hal lain yang harus dilakukan adalah dengan memberikan stimulasi sedini mungkin sejak dalam kandungan serta pada masa keemasan tumbuh kembang sang anak.
Adapun yang dimaksud dengan stimulasi dini adalah rangsangan yang dilakukan sejak bayi baru lahir yang dilakukan setiap hari untuk merangsang semua sistem panca indera. Dan, sebagai bentuk pendidikan, stimulasi dimaksud sebaiknya diberikan sejak janin berusia 6 bulan dalam kandungan.
Kemudian, guna membentuk anak yang kreatif, orang tua harus dapat memberi contoh tanpa memaksa, akan tetapi memberi keberanian atau tantangan untuk anak berkreasi, memberikan penghargaan dan pujian atas keberhasilan dan perilaku yang baik. Memberikan koreksi dan bukan dalam bentuk ancaman atau hukuman bila anak melakukan kesalahan.
Terkait dengan pentingnya PAUD ini, baik itu yang dilakukan secara formal, non formal atau informal, pemerintah dan masyarakat perlu mengkaji, menelaah dan mencarikan jalan keluar yang terbaik, khususnya terhadap berbagai permasalahan yang menyebabkan PAUD, pada sebagian besar masyarakat kita belum mendapat perhatian yang serius.
Karena, dalam kenyataannya, dengan berbagai faktor penyebab, sebagian besar masyarakat, terutama orang tua belum begitu memahami akan potensi luar biasa yang dimiliki anak-anak pada usia yang sangat menentukan tumbuh kembang seorang anak tersebut.
Sebagai contoh, masih terbatasnya pengetahuan dan informasi yang dimiliki orangtua yang menyebabkan potensi yang dimiliki anak tidak dapat berkembang dengan baik sebagaimana mestinya.
Kesuksesan pendidikan dalam upaya mencerdaskan kehidupan berbangsa yang berbasis moral dan akhlak mulia, sangat tergantung pada penyelenggaraan PAUD. Semua ini menunjukan betapa pentingnya PAUD sebagai pendidikan yang berhubungan dengan moralitas.
Karena, dari berbagai penelitian pun terbukti bahwa usia dini (0-6 tahun) merupakan periode atau masa keemasan (the golden age) yang sangat menentukan tahap perkembangan anak selanjutnya. Disebutkan bahwa kecerdasan anak 50 persen dicapai pada usia 0-4 tahun, sebanyak 80 persen pada usia delapan tahun dan 100 persen pada usia 18 tahun.
Pada masa emas, seorang anak mampu menyerap ide dan ilmu atau pelajaran jauh lebih kuat daripada orang dewasa, sehingga memberikan pendidikan kepada anak di usia tersebut sangat penting untuk tumbuh kembangnya.
Penelitian itu juga menyebutkan, kecepatan pertumbuhan otak anak sangat tinggi hingga mencapai 50 persen dari keseluruhan perkembangan otak anak selama hidupnya sehingga pada usia emas merupakan waktu yang sangat tepat untuk menggali segala potensi kecerdasan anak sebanyak-banyaknya.
Namun sayangnya, pemahaman masyarakat akan pentingnya pendidikan anak usia dini masih terbilang rendah. Dirjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Depdiknas, Ace Suryadi mengakui saat ini penyelenggaraan PAUD belum menjadi prioritas pemerintah sehingga penyelenggaran PAUD masih menjadi inisiatif swasta dan masyarakat .
Karena belum menjadi prioritas, lanjut Ace Suryadi maka masih banyak anak usia dini yang berada di pedesaan serta mereka yang berasal dari keluarga miskin tidak memiliki kesempatan memperoleh pendidikan yang layak sebelum memasuki jenjang pendidikan dasar 9 tahun.
Oleh karena itu, Depdiknas tengah merintis program PAUD berbasis keluarga atau home schooling PAUD untuk memperluas akses pendidikan pra sekolah bagi anak usia 0-6 tahun khususnya bagi kelompok tidak mampu sebelum memasuki pendidikan dasar.
Konsep dasar dirintisnya PAUD berbasis keluarga adalah karena banyak orangtua yang belum memperoleh kesempatan untuk mengirimkan anaknya ke PAUD, seperti taman penitipan anak, Taman Kanak-kanak, Play Group dan sejenisnya karena keterbatasan ekonomi.
Diharapkan, dengan program PAUD berbasis keluarga ini akan membina orang tua dan keluarga untuk terlibat langsung mengembangkan fungsi jasmani dan rohani anak berkembang secara baik. Peningkatan akses dan mutu layanan PAUD ke berbagai daerah tanpa mengenal status dan latar belakang akan menentukan keberhasilan program peningkatan partisipasi masyarakat dalam mensukseskan PAUD di Indonesia.
Program PAUD berbasis keluarga ini juga harus mengemban misi membangun bangsa dengan hati nurani. Dimana setiap masyarakat ikut ambil bagian dalam mensosialisasikan pentingnya PAUD bagi anak usia dini kepada setiap keluarga, terutama dalam mempersiapkan mereka memasuki pendidikan dasar.
Lebih lanjut Ace mengatakan, program PAUD berbasis keluarga bertujuan untuk menanamkan konsep pendidikan bagi anak pra sekolah dengan cara-cara benar seperti tanpa kekerasan, tanpa ancaman, tanpa harus ditakut-takuti sehingga tanpa memandang status dan latar belakang keluarganya, maka anak-anak memiliki kesempatan untuk tumbuh kembang secara baik dan siap memasuki pendidikan lanjutan.
Banyaknya anak usia dini belum terlayani dengan baik. Hal ini memang merupakan satu tantangan besar bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia pada umumnya, karena mereka merupakan aset yang bernilai tinggi bagi bangsa. Nasib bangsa ini ditentukan di tangan mereka. Jika generasi sekarang sudah rusak, maka ke depan negara ini akan dipenuhi oleh generasi yang sudah rusak pula.
Oleh : James P. Pardede
Sebagian masyarakat Indonesia belum sepenuhnya menyadari pentingnya pendidikan bagi anak usia dini. Padahal, pendidikan anak usia dini (PAUD) saat ini diakui menjadi tahapan penting dalam pendidikan anak, seperti tertuang dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional.
PAUD merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani maupun rohani anak agar memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Usia 0 sampai 6 tahun merupakan masa emas bagi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Selain gizi yang cukup, beragam stimulus atau rangsangan untuk perkembangan fisik, yakni koordinasi syaraf motorik halus dan kasar, kecerdasan yang meliputi daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi serta kecerdasan spritual.
Oleh sebab itu, pendidikan yang diberikan pada anak usia dini, bukan saja sangat penting bagi perkembangan kemampuan dasar anak untuk menempuh jenjang pendidikan selanjutnya, tetapi juga turut memberikan kontribusi yang sangat besar dalam mempercepat keberhasilan peningkatan SDM.
Selain itu, usia dini, khususnya pada usia 0-5 tahun atau di bawah lima tahun (Balita), juga merupakan kurun waktu yang sangat menentukan bagi pembentukan karakter dan kepribadian seorang anak.
Usia 0-5 tahun ini juga merupakan usia penting bagi pengembangan intelegensi permanen diri seorang anak. Oleh sebab itu, di negara-negara maju, pembangunan pendidikan untuk anak usia dini ini mendapat perhatian yang sangat serius serta menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Itu sebabnya, setiap orang tua dapat menjadikan anaknya seorang anak yang cerdas dan kreatif. Semua orang tua dapat melakukannya, jika para orag tua mau mengutamakan kebutuhan dan kepentingan sang anak.
Berkenaan dengan upaya untuk membentuk kecerdasan seorang anak, selain terpenuhinya kebutuhan fisik-biologis, terutama kebutuhan gizi yang baik sejak dalam kandungan serta kasih sayang yang dapat memberikan rasa aman, terlindungi, dihargai dan diperhatikan, maka hal lain yang harus dilakukan adalah dengan memberikan stimulasi sedini mungkin sejak dalam kandungan serta pada masa keemasan tumbuh kembang sang anak.
Adapun yang dimaksud dengan stimulasi dini adalah rangsangan yang dilakukan sejak bayi baru lahir yang dilakukan setiap hari untuk merangsang semua sistem panca indera. Dan, sebagai bentuk pendidikan, stimulasi dimaksud sebaiknya diberikan sejak janin berusia 6 bulan dalam kandungan.
Kemudian, guna membentuk anak yang kreatif, orang tua harus dapat memberi contoh tanpa memaksa, akan tetapi memberi keberanian atau tantangan untuk anak berkreasi, memberikan penghargaan dan pujian atas keberhasilan dan perilaku yang baik. Memberikan koreksi dan bukan dalam bentuk ancaman atau hukuman bila anak melakukan kesalahan.
Terkait dengan pentingnya PAUD ini, baik itu yang dilakukan secara formal, non formal atau informal, pemerintah dan masyarakat perlu mengkaji, menelaah dan mencarikan jalan keluar yang terbaik, khususnya terhadap berbagai permasalahan yang menyebabkan PAUD, pada sebagian besar masyarakat kita belum mendapat perhatian yang serius.
Karena, dalam kenyataannya, dengan berbagai faktor penyebab, sebagian besar masyarakat, terutama orang tua belum begitu memahami akan potensi luar biasa yang dimiliki anak-anak pada usia yang sangat menentukan tumbuh kembang seorang anak tersebut.
Sebagai contoh, masih terbatasnya pengetahuan dan informasi yang dimiliki orangtua yang menyebabkan potensi yang dimiliki anak tidak dapat berkembang dengan baik sebagaimana mestinya.
Kesuksesan pendidikan dalam upaya mencerdaskan kehidupan berbangsa yang berbasis moral dan akhlak mulia, sangat tergantung pada penyelenggaraan PAUD. Semua ini menunjukan betapa pentingnya PAUD sebagai pendidikan yang berhubungan dengan moralitas.
Karena, dari berbagai penelitian pun terbukti bahwa usia dini (0-6 tahun) merupakan periode atau masa keemasan (the golden age) yang sangat menentukan tahap perkembangan anak selanjutnya. Disebutkan bahwa kecerdasan anak 50 persen dicapai pada usia 0-4 tahun, sebanyak 80 persen pada usia delapan tahun dan 100 persen pada usia 18 tahun.
Pada masa emas, seorang anak mampu menyerap ide dan ilmu atau pelajaran jauh lebih kuat daripada orang dewasa, sehingga memberikan pendidikan kepada anak di usia tersebut sangat penting untuk tumbuh kembangnya.
Penelitian itu juga menyebutkan, kecepatan pertumbuhan otak anak sangat tinggi hingga mencapai 50 persen dari keseluruhan perkembangan otak anak selama hidupnya sehingga pada usia emas merupakan waktu yang sangat tepat untuk menggali segala potensi kecerdasan anak sebanyak-banyaknya.
Namun sayangnya, pemahaman masyarakat akan pentingnya pendidikan anak usia dini masih terbilang rendah. Dirjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Depdiknas, Ace Suryadi mengakui saat ini penyelenggaraan PAUD belum menjadi prioritas pemerintah sehingga penyelenggaran PAUD masih menjadi inisiatif swasta dan masyarakat .
Karena belum menjadi prioritas, lanjut Ace Suryadi maka masih banyak anak usia dini yang berada di pedesaan serta mereka yang berasal dari keluarga miskin tidak memiliki kesempatan memperoleh pendidikan yang layak sebelum memasuki jenjang pendidikan dasar 9 tahun.
Oleh karena itu, Depdiknas tengah merintis program PAUD berbasis keluarga atau home schooling PAUD untuk memperluas akses pendidikan pra sekolah bagi anak usia 0-6 tahun khususnya bagi kelompok tidak mampu sebelum memasuki pendidikan dasar.
Konsep dasar dirintisnya PAUD berbasis keluarga adalah karena banyak orangtua yang belum memperoleh kesempatan untuk mengirimkan anaknya ke PAUD, seperti taman penitipan anak, Taman Kanak-kanak, Play Group dan sejenisnya karena keterbatasan ekonomi.
Diharapkan, dengan program PAUD berbasis keluarga ini akan membina orang tua dan keluarga untuk terlibat langsung mengembangkan fungsi jasmani dan rohani anak berkembang secara baik. Peningkatan akses dan mutu layanan PAUD ke berbagai daerah tanpa mengenal status dan latar belakang akan menentukan keberhasilan program peningkatan partisipasi masyarakat dalam mensukseskan PAUD di Indonesia.
Program PAUD berbasis keluarga ini juga harus mengemban misi membangun bangsa dengan hati nurani. Dimana setiap masyarakat ikut ambil bagian dalam mensosialisasikan pentingnya PAUD bagi anak usia dini kepada setiap keluarga, terutama dalam mempersiapkan mereka memasuki pendidikan dasar.
Lebih lanjut Ace mengatakan, program PAUD berbasis keluarga bertujuan untuk menanamkan konsep pendidikan bagi anak pra sekolah dengan cara-cara benar seperti tanpa kekerasan, tanpa ancaman, tanpa harus ditakut-takuti sehingga tanpa memandang status dan latar belakang keluarganya, maka anak-anak memiliki kesempatan untuk tumbuh kembang secara baik dan siap memasuki pendidikan lanjutan.
Banyaknya anak usia dini belum terlayani dengan baik. Hal ini memang merupakan satu tantangan besar bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia pada umumnya, karena mereka merupakan aset yang bernilai tinggi bagi bangsa. Nasib bangsa ini ditentukan di tangan mereka. Jika generasi sekarang sudah rusak, maka ke depan negara ini akan dipenuhi oleh generasi yang sudah rusak pula.
LOMBA KARYA TULIS PEMUDA TINGKAT NASIONAL dan PENGHARGAAN UNTUK PENULIS ARTIKEL KEPEMUDAAN
Dalam Rangka Ari Sumpah Pemuda ke-79, Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga bekerja sama dengan Forum Lingkar Pena (FLP menyelenggarakan
LOMBA KARYA TULIS PEMUDA TINGKAT NASIONAL dan PENGHARGAAN UNTUK PENULIS ARTIKEL KEPEMUDAAN. Berhadiah Total: Rp 30 juta!
Persyaratan Lomba Karya Tulis:
Naskah berbentuk “esai” dengan tema “Kepemimpinan Pemuda”.
Lomba dibagi dalam 3 kategori: pelajar, mahasiswa, dan umum.
Lomba terbuka untuk semua WNI berusia 15-35 tahun.
Esai tidak bertentangan dengan SARA dan tidak mengandung unsur pornografi.
Naskah merupakan karya asli, bukan terjemahan, atau saduran.
Naskah belum pernah dipublikasikan di media massa cetak/elektronik dan tidak sedang diikutkan dalam lomba sejenis.
Naskah ditulis dengan Bahasa Indonesia yang baik, diketik di kertas A4, font Times New Roman, 6-12 halaman, spasi ganda.
Mencantumkan kategori di sudut kiri amplop pengiriman naskah.
Nama penulis harus diletakkan pada halaman terpisah dengan lembar naskah
Naskah dikirim rangkap 3 (tiga).
Persyaratan Penghargaan Penulis:
Artikel telah dimuat di media massa cetak antara bulan Januari - September 2007 yang bertema Kepemudaan.
Melampirkan artikel (atau fotokopinya) yang telah dimuat sebanyak tiga rangkap.
Lomba terbuka untuk umum (tanpa batasan usia)
Artikel tidak bertentangan dengan SARA dan tidak mengandung unsur pornografi.
Mencantumkan “Penghargaan Penulis” di sudut kiri amplop.
Persyaratan Teknis:
Pengiriman naskah disertai dengan fotokopi identitas diri (KTP/SIM/Kartu Pelajar/Paspor dan biodata singkat: nama, alamat lengkap, nomor telepon/handphone, e-mail)
Pengiriman naskah lomba esai atau penghargaan penulis dikirim ke:
Panitia Lomba Karya Tulis Tingkat Nasional dan Penghargaan Penulis
d.a Rumah Cahaya FLP
Jl. Keadilan Raya No 13 Blok XVI Depok Timur 16418
Naskah ditunggu selambat-lambatnya tanggal 3 Oktober 2007
HADIAH
Lomba Karya Tulis Pemuda
Untuk masing-masing kategori:
Juara I : Rp 2.500.000 + paket hadiah buku
Juara II : Rp 2.000.000 + paket hadiah buku
Juara III : Rp 1.500.000 + paket hadiah buku
3 pemenang hiburan @ Rp 500.000 + paket hadiah buku
Penghargaan Penulis Artikel Kepemudaan
Juara I : Rp 2.500.000 + paket hadiah buku
Juara II : Rp 2.000.000 + paket hadiah buku
Juara III : Rp 1.500.000 + paket hadiah buku
Pengumuman pemenang dapat dilihat di http://www.forumlingkarpena.net dan http://forumlingkarpena.multiply.com pada 18 Oktober 2007.
Pemenang pertama Lomba Karya Tulis dari setiap kategori dan pemenang utama Penghargaan Penulis yang berdomisili di Indonesia akan diundang ke Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2007 dengan biaya kedatangan ditanggung panitia.
Acara ini diselenggarakan oleh :
Deputi Bidang Pemberdayaan Kepemimpinan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga bekerja sama dengan Forum Lingkar Pena
Didukung oleh:
Majalah Remaja Annida
Lingkar Pena Publishing House
DAR Mizan
Keterangan lebih lanjut hubungi
Lisa: (021) 573-8158
Koko: 0813-67675459
Denny: 0888-1425763
Dee: 0813-82828440
Dalam Rangka Ari Sumpah Pemuda ke-79, Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga bekerja sama dengan Forum Lingkar Pena (FLP menyelenggarakan
LOMBA KARYA TULIS PEMUDA TINGKAT NASIONAL dan PENGHARGAAN UNTUK PENULIS ARTIKEL KEPEMUDAAN. Berhadiah Total: Rp 30 juta!
Persyaratan Lomba Karya Tulis:
Naskah berbentuk “esai” dengan tema “Kepemimpinan Pemuda”.
Lomba dibagi dalam 3 kategori: pelajar, mahasiswa, dan umum.
Lomba terbuka untuk semua WNI berusia 15-35 tahun.
Esai tidak bertentangan dengan SARA dan tidak mengandung unsur pornografi.
Naskah merupakan karya asli, bukan terjemahan, atau saduran.
Naskah belum pernah dipublikasikan di media massa cetak/elektronik dan tidak sedang diikutkan dalam lomba sejenis.
Naskah ditulis dengan Bahasa Indonesia yang baik, diketik di kertas A4, font Times New Roman, 6-12 halaman, spasi ganda.
Mencantumkan kategori di sudut kiri amplop pengiriman naskah.
Nama penulis harus diletakkan pada halaman terpisah dengan lembar naskah
Naskah dikirim rangkap 3 (tiga).
Persyaratan Penghargaan Penulis:
Artikel telah dimuat di media massa cetak antara bulan Januari - September 2007 yang bertema Kepemudaan.
Melampirkan artikel (atau fotokopinya) yang telah dimuat sebanyak tiga rangkap.
Lomba terbuka untuk umum (tanpa batasan usia)
Artikel tidak bertentangan dengan SARA dan tidak mengandung unsur pornografi.
Mencantumkan “Penghargaan Penulis” di sudut kiri amplop.
Persyaratan Teknis:
Pengiriman naskah disertai dengan fotokopi identitas diri (KTP/SIM/Kartu Pelajar/Paspor dan biodata singkat: nama, alamat lengkap, nomor telepon/handphone, e-mail)
Pengiriman naskah lomba esai atau penghargaan penulis dikirim ke:
Panitia Lomba Karya Tulis Tingkat Nasional dan Penghargaan Penulis
d.a Rumah Cahaya FLP
Jl. Keadilan Raya No 13 Blok XVI Depok Timur 16418
Naskah ditunggu selambat-lambatnya tanggal 3 Oktober 2007
HADIAH
Lomba Karya Tulis Pemuda
Untuk masing-masing kategori:
Juara I : Rp 2.500.000 + paket hadiah buku
Juara II : Rp 2.000.000 + paket hadiah buku
Juara III : Rp 1.500.000 + paket hadiah buku
3 pemenang hiburan @ Rp 500.000 + paket hadiah buku
Penghargaan Penulis Artikel Kepemudaan
Juara I : Rp 2.500.000 + paket hadiah buku
Juara II : Rp 2.000.000 + paket hadiah buku
Juara III : Rp 1.500.000 + paket hadiah buku
Pengumuman pemenang dapat dilihat di http://www.forumlingkarpena.net dan http://forumlingkarpena.multiply.com pada 18 Oktober 2007.
Pemenang pertama Lomba Karya Tulis dari setiap kategori dan pemenang utama Penghargaan Penulis yang berdomisili di Indonesia akan diundang ke Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2007 dengan biaya kedatangan ditanggung panitia.
Acara ini diselenggarakan oleh :
Deputi Bidang Pemberdayaan Kepemimpinan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga bekerja sama dengan Forum Lingkar Pena
Didukung oleh:
Majalah Remaja Annida
Lingkar Pena Publishing House
DAR Mizan
Keterangan lebih lanjut hubungi
Lisa: (021) 573-8158
Koko: 0813-67675459
Denny: 0888-1425763
Dee: 0813-82828440
Subscribe to:
Posts (Atom)