Menyongsong HAI ke-42 :
“Ayo Belajar Sampai Akhir Hayat”
Oleh : James P. Pardede
Dalam falsafah suku Batak ada disebutkan “Anak kon hi do hamoraon di au” (Anak adalah kekayaan bagi orangtua). Berdasar pada falsafah tersebut, suku Batak sangat gigih dalam membimbing anak-anaknya untuk bersekolah hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Tak heran kalau suku Batak tersebar di berbagai penjuru tanah air.
Kasubdis PLS Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara Drs. H. Ibnu Saud Nasution mengakui kalau falsafah tersebut sangat dijunjung tinggi suku Batak. Itu sebabnya, setiap kali suku Batak bertemu dalam pesta atau hajatan, yang pertama kali ditanya adalah: “Berapa anakmu ? Sudah sekolah apa saja anakmu ?” Jika anak-anak mereka bisa sekolah dan berhasil menyandang gelar sarjana, maka orangtua akan bangga dan merasa paling bahagia di daerah tersebut.
Kalau anak-anaknya tidak mau sekolah, orangtua biasanya akan marah besar dan malu pada sanak family. Apabila sang anak benar-benar tidak mau sekolah, maka orangtua akan merasa sakit hati dan membiarkan sang anak begitu saja sampai kelak ia bisa menentukan pasangan hidupnya.
Setelah menikah dan punya anak, sang anak tadi akan mendatangi orangtuanya untuk menyampaikan rasa penyesalannya kenapa dulu ia tidak mau sekolah. Penyesalan memang selalu datang terlambat.
Dalam kondisi seperti ini, orangtua yang bijaksana akan mengarahkan anaknya untuk mengambil program pengajaran keaksaraan atau ikut ujian kesetaraan paket A, B atau C tergantung di tingkat mana si anak tersebut mengalami putus sekolah. Ini demi untuk peningkatkan taraf hidup dan peningkatan kompetensi sang anak dalam memperoleh pekerjaan yang lebih baik.
Menurut data BPS Provinsi Sumatera Utara, angka melek aksara di beberapa kabupaten/kota Sumut sudah menunjukkan angka yang sangat bagus. Bahkan, di beberapa kabupaten/kota hanya sebagian kecil masyarakatnya yang masuk dalam daftar warga buta aksara. Dan biasanya, mereka tinggal di daerah pegunungan atau pedalaman yang sama sekali di kawasan itu tidak ada sekolah atau penduduknya tinggal sangat berjauhan.
Untuk menjangkau ini, partisipasi masyarakat yang tinggal dekat dengan pemukiman mereka sangat diharapkan. Dengan kepedulian ini, diharapkan masyarakat di pelosok mana pun bisa merasakan betapa pentingnya pendidikan dalam memperbaiki taraf hidup mereka dan anak-anak mereka ke depan. Baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal.
TERKAIT ERAT DENGAN KEMISKINAN
Pada jalur pendidikan non formal, permasalahan dalam hal perluasan dan pemerataan akses pendidikan bagi setiap warga masyarakat tetap masih ada. Sampai dengan tahun 2004, pendidikan non formal yang berfungsi baik sebagai transisi dari dunia sekolah ke dunia kerja (transition from school to work) maupun sebagai bentuk pendidikan sepanjang hayat belum dapat diakses secara luas oleh masyarakat. Pada saat yang sama, kesadaran masyarakat khususnya yang berusia dewasa untuk terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya masih sangat rendah.
Seperti dilansir Kompas, anggota tim pengembangan model belajar Kelompok Kerja Pendidikan Masyarakat BP-PLSP Regional I Medan, Sarwo Edy mengatakan, salah satu cara untuk mengurangi tingkat buta aksara di Indonesia adalah dengan cara pendidikan keaksaraan fungsional. Keaksaraan fungsional terdiri atas dua konsep, yaitu keaksaraan dan fungsional. Keaksaraan secara sederhana diartikan sebagai kemampuan untuk membaca, menulis, dan berhitung. Adapun keaksaraan fungsional dapat diartikan sebagai hasil belajar membaca, menulis, dan berhitung para warga belajar bisa digunakan atau bermanfaat bagi peningkatan taraf hidup masyarakat.
Jika melihat masyarakat yang tinggal di pinggiran Sungai Deli Medan, mereka menggunakan air sungai yang keruh untuk mandi, mencuci piring, dan mencuci baju. Meski mereka tinggal di kota, belum tentu mereka bisa mengakses air bersih karena keterbatasan penghasilan.
Mengubah kehidupan masyarakat tepian sungai, yang sudah mengakar dalam air sungai yang keruh, tentu saja tidak mudah. Metode penyuluhan dan membaca tidak akan berhasil dengan baik tanpa dibarengi kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Dalam model belajar yang sedang dikembangkan BP-PSLP Regional I Medan, warga nantinya diharapkan bisa membuat alat penyulingan air bersih yang berasal dari air sungai.
Akan tetapi, kalau mereka masih buta aksara, mereka tidak akan bisa memanfaatkan alat ini dan teknologinya. Itu sebabnya perlu mengajari mereka membaca, menulis, dan berhitung terlebih dahulu sebelum dikenalkan dengan permasalahan sanitasi dan pemanfaatan air sungai.
Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo pada Hari Aksara Internasional ke-41 di Probolinggo menargetkan penurunan angka buta aksara menjadi 5 persen pada 2009 mendatang. Karena, buta aksara terkait erat dengan kemiskinan.
Secara sosial penduduk yang buta aksara akan terisolasi. Hal itu terjadi karena mereka tidak bisa berkomunikasi secara efektif dengan orang lain. Posisi tawarnya pun sangat rendah.
Sejalan dengan target penurunan buta aksara pada akhir 2009, Mendiknas mengungkapkan, maka jumlah yang akan diberantas hingga akhir 2009 sebesar 7,5 juta orang.Adapun target yang akan dicapai pada 2007 ditetapkan sebesar 2,3 juta sehingga sisanya selama dua tahun tinggal 2,1 juta orang.
Di samping itu, pemerintah juga akan menurunkan angka disparitas gender dari 9,6 persen pada 2000 menjadi 3,65 persen pada akhir 2009. Menurut Bambang, masih tingginya angka buta aksara tersebut dipicu banyaknya anak usia yang SD yang belum juga bersekolah (5 persen).
Selain itu, tingginya angka putus sekolah di tingkat SD terutama kelas 1,2,dan 3 juga berpotensi menciptakan buta aksara kembali. Jika melihat perkembangan penurunan buta aksara hingga 2006, hasilnya sangat menggembirakan. Tapi semakin sedikit jumlah penduduk buta aksara, maka akan semakin sulit memberantasnya. Karena, penduduk buta aksara yang tersisa adalah yang termasuk dalam golongan hardrock (sangat sulit dimelekaksarakan).
Untuk mengatasi masalah buta aksara, diperlukan kerja sama berbagai pihak. Misalnya, lembaga atau instansi pemerintah seperti perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan unit pelaksana teknis. Selain itu, juga diperlukan peran swasta seperti perusahaan, BUMN, perbankan, serta organisasi masyarakat dan keagamaan.
Untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) di daerah, cara yang paling mudah dan cepat adalah melalui pemberantasan buta aksara. Karena itu, pemerintah daerah harus bersungguh-sungguh memberikan perhatian yang serius pada pemberantasan buta aksara untuk menaikkan IPM daerahnya.
TANTANGAN JADI PELUANG
Ada dua prinsip atau strategi pendidikan keaksaraan yang harus selalu diperhatikan dan dipegang teguh oleh setiap pendidik dalam rangka menjawab tantangan dan peluang masyarakat yang terus berubah dengan cepat dewasa ini (komisi internasional tentang pendidikan UNESCO), yaitu : Pertama, bahwa pendidikan itu berlangsung sepanjang hayat (life-long education), dan tiada batas usia untuk belajar. Melalui proses belajar sepanjang hayat inilah, manusia mampu meningkatkan kualitas kehidupannya secara terus menerus, mampu mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi serta perkembangan masyarakat yang diakibatkannya, dan budaya untuk menghadapi tantangan masa depan serta mau dan mampu mengubah tantangan menjadi peluang
Pada hakikatnya, seseorang yang sudah berhenti belajar, berarti sudah berhenti berkembang atau lebih kasar lagi, sudah berhenti hidup (bekerja). Belajar dan bekerja giat dapat dilihat sebagai dua buah kegiatan utama manusia, oraet labora – bekerja dan berdoa.
Kedua, dewasa ini, konsep pendidikan keaksaraan tidak hanya “transfer of knowledge” saja atau terjadinya perubahan tanpa arah, tapi harus menumbuhkan budaya; belajar mengetahui (learning to know), belajar berbuat (learning to do), belajar hidup bersama, hidup dengan orang lain yang memiliki keanekaragaman (learning to live together, to live with others) dan belajar menjadi seseorang (learning to be).
Berdasar pada filosofi belajar berlangsung sepanjang hayat dan manusia adalah pembelajar, program pemberantasan buta aksara yang tertuang dalam Inpres No. 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar 9 tahun dan Pemberantasan Buta Aksara (GNP-PWB/PBA) pemerintah pusat dan daerah harus sama-sama memiliki komitmen dalam menjalankan program penuntasan buta aksara di daerahnya masing-masing.
Strategi GNP-PBA bisa dilaksanakan dengan sistem blok (tuntas satu kecamatan dulu baru ke kecamatan lain, begitu terus sampai tingkat kabupaten), pendanaan dengan sinergi antara pusat dan daerah serta peningkatan mutu (standar kompetensi keaksaraan dan penilaian hasil belajar).
Menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), TNI dan komponen bangsa lainnya. Dan yang terpenting adalah memprioritaskan penuntasan warga buta aksara di 9 provinsi terpadat warga buta aksaranya (Jatim, Jateng, Jabar, Sulsel, Kalbar, NTB, NTT, Banten dan Papua).
Untuk menghindari warga buta aksara yang sudah mendapatkan pengajaran ca-lis-tung, perlu ada kesinambungan pengajaran dengan pengadaan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di desa-desa tempat para warga buta aksara bermukim. Beberapa waktu lalu, Analisa pernah menulis keberadaan TBM Plus Mas Raden di Jalan karya Jaya Medan yang setiap harinya ramai dikunjungi masyarakat.
Menurut pemilik TBM Plus Mas Raden Asyiah, tujuan dibentuknya TBM tersebut adalah untuk menumbuhkan minat baca masyarakat, menjadi media pembelajaran yang murah dan menarik serta bermanfaat bagi warga belajar yang masih buta aksara dan telah selesai mengikuti program keaksaraan. Dengan belajar di TBM tersebut, warga buta aksara yang sudah bisa ca-lis-tung bisa meningkat lebih baik dan lestari sepanjang hayat.
Untuk itu, menyongsong Hari Aksara Internasional (HAI) ke-42 nanti, tidak terlalu muluk-muluk jika kita mau mengajak semua warga untuk terus belajar dan belajar. Apabila menemukan warga yang masih buta aksara, berikan mereka jalan keluar agar menjadi melek aksara dan bisa mengetahui yang selama ini tidak mereka ketahui. “Ayo belajar sampai akhir hayat.”
* Tulisan ini dimuat di Harian Analisa Edisi Minggu, 29 Juli 2007
No comments:
Post a Comment