Keaksaraan Fungsional, Menuju Masyarakat Bebas Buta Aksara

Oleh : James P. Pardede

Salah satu tujuan Gerakan Nasional Percepatan Pemberan­tasan Buta Aksara (GNP-PBA) adalah memberdayakan masya­rakat buta aksara agar mem­pe­roleh pelajaran pendidikan se­ca­ra bermutu sehingga menja­di insan yang produktif dan me­ningkat kesejahteraannya. Unt­uk mencapai ini, masyarakat bu­ta aksara perlu memiliki ke­mam­puan membaca, menu­lis, berhitung dan berkomu­nikasi dalam bahasa Indonesia.

Upaya pemberantasan buta aksara di du­kung oleh In­pres Nomor 5 Tahun 2006 ten­tang Gerakan Nasional Perce­patan Penun­tasan Wajib Belajar 9 Tahun dan Pemberantasan Bu­ta Aksa­ra (GNP-PWB/PBA), Ke­pu­­tu­san bersama Men­dik­nas, Men­dagri dan Meneg Pem­ber­dayaan Perempuan ten­tang percepatan PBA, khususnya kaum perem­puan serta adanya penanda­tanganan MoU antara Mendik­nas dengan 26 Guber­nur dan Bupati/Walikota me­nge­nai PBA di daerah masing-masing.

Berdasarkan data nasional, sebanyak 81 persen lebih pen­duduk buta aksara terkon­sen­trasi di 9 provinsi, yakni Jawa Timur, Jawa Barat, Ban­ten, Ka­li­mantan Barat, Sulawesi Sela­tan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Papua. Si­sa­nya dibagi rata terse­bar di 22 provinsi lainnya di Indonesia.

Sementara itu, data Biro Pusat Statistik Juni 2006 me­nun­jukkan, jumlah buta aksara mencapai 8,35 persen atau sebanyak 13.186.255 pen­duduk. Sementara usia 15 sam­pai 44 tahun mencapai 2,89 persen atau sebanyak 3.227.593 pen­duduk dan usia 45 tahun ke atas mencapai 21,58 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau sebanyak 9.938.632 pen­duduk.

Dalam sebuah kesempatan, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Ace Suryadi mengung­kapkan bahwa untuk 2007 pe­merintah menyiapkan ang­garan Rp. 1,25 triliun untuk me­ngu­rangi angka buta aksara yang saat ini mencapai 2,2 juta orang di seluruh tanah air.
Lantas, mengapa upaya pem­berantasan buta aksara tidak pernah tuntas ? Banyak faktor yang jadi penye­bab. Di­an­tara­nya masyarakat buta ak­sara ting­gal di daerah sangat ter­pen­cil dan terisolasi, ekono­mi ke­luarga sangat lemah serta moti­vasi belajar sangat rendah.

Berbagai program telah diuji coba dalam upaya mengurangi angka buta aksara di tanah air. Salah satu program yang sejak 1995 telah dikembangkan ada­lah program keaksaraan fung­sional (KF).

Dimana, program keak­sara­an fungsional merupakan salah satu bentuk layanan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) bagi ma­sya­rakat yang belum dan ingin memiliki kemampuan ca-lis-tung, dan setelah mengikuti program ini (hasil belajarnya) mereka memiliki kemampuan “baca-tulis-hitung” dan meng­gunakannya serta berfungsi ba­gi kehidupannya. Artinya mere­ka tidak hanya memiliki ke­mam­puan ca-lis-tung dan kete­rampilan berusaha atau ber­mata-pencaharian saja, tetapi juga dapat survive dalam dunia kehidupannya.

Menurut Kasubdis PLS Di­nas Pendidikan Provinsi Su­matera Utara Drs. H. Ibnu Saud Nasution untuk member­daya­kan warga buta aksara di Suma­tera Utara program keak­sa­raan fungsional menjadi satu pro­gram yang sangat tepat, teruta­ma dalam pelaksanaannya yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat.

Sebab, lanjutnya, program ini bisa berjalan dengan baik dan mudah diterapkan di te­ngah-tengah masyarakat buta aksara yang kebanyakan dari mereka bekerja sebagai petani, nelayan, buruh dan ibu rumah tangga.

KERJA SAMA

Untuk menjangkau ke­lom­pok-kelompok yang masih buta aksara khususnya usia 15 tahun ke atas, Dinas Pendidikan Pro­vinsi melakukan pendekatan dengan pihak kabupaten/kota dalam mendata keberadaan me­reka. Dengan upaya ini, jumlah warga buta aksara di berbagai kabu­paten/kota bisa diketahui. Action dan anggaran untuk penun­tasannya pun bisa dialo­kasikan dalam APBD.

Jika diilihat dari komponen Human Development Index (HDI) menurut Kabupaten/Kota di Sumut yang diolah dari data BPS Provinsi Sumut 2006 (Susenas 2004) diperoleh bah­wa, Kabupaten Nias Selatan (15,6 persen) ma­sih menjadi daerah yang memi­liki angka warga buta ak­sara tertinggi di Sumut disusul Nias (14 persen), sisanya ter­sebar di kabupaten/kota lainnya.

Ibnu Saud Nasution me­nge­mukakan, untuk mengatasi ma­salah buta aksara ini tidak bisa dipaksakan dengan menga­jar­kan baca, tulis, dan berhitung semata,tetapi pengajarannya harus bersifat fungsional yang ilmunya lang­sung dapat diman­faatkan dalam menyiapkan me­re­ka mengha­dapi peker­jaan. De­ngan demi­kian mereka sadar hahwa pe­nge­tahuan mem­baca, berhitung, menulis ternya­ta da­pat menam­bah produk­tifitas­nya dalam bekerja.

Bahkan bagi yang sudah dewasa pun kalau sistem bela­jar­nya tidak kontekstual atau tidak digunakan dalam kehi­dupan sehari-hari, ilmu akan hilang lagi, di sinilah perlunya kerjasama dengan dunia in­dus­tri, dunia usaha, ataupun depar­temen terkait agar ikut serta memahami mengentaskan ma­sa­lah buta aksara ini, misal­nya dengan mendirikan Pusal Kegi­atan Belajar Masyarakal (PKBM) di lingkungan mereka belajar.

“Program keaksaraan fung­sional yang diterapkan di be­berapa daerah kabupaten/kota di Sumut disesuaikan dengan profesi me­reka sehari-hari,” papar Nasu­tion.

Misalnya, untuk warga buta aksara yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan, proses penga­jaran keaksaraan bagi mereka adalah dengan me­ngenalkan ikan, pancing, jala, dayung, pe­rahu, harga ikan le­wat huruf dan angka. Mereka juga dibekali keterampilan membuat jala dan yang lainnya yang berkaitan dengan profesi mereka.

“Setelah mereka mengenal huruf dan bisa mengeja kalimat serta menghitung, biasanya mi­nat untuk lebih tahu akan tum­buh kemudian. Di titik ini­lah kre­atifitas tutor sangat me­nen­tukan,” tandasnya.

Sama halnya dengan warga buta aksara yang sehari-hari bekerja sebagai petani. Semen­tara untuk warga buta aksara dari kalangan ibu rumah tangga program KF yang dilaksanakan adalah dengan mengarahkan ibu-ibu rumah tangga memilih keterampilan yang mereka mi­nati apakah menjahit, bordir, memasak atau menyulam. Le­wat pelatihan keterampilan ini upaya untuk mengenalkan ak­sara pun dijalankan bersamaan.

PERLU EVALUASI

Setelah menjalankan pro­gram ini, biasanya setiap tahun akan diadakan evaluasi terha­dap warga buta aksara yang telah mengikuti pembelajaran dan berhak memperoleh Surat Keterangan Melek Aksara (Suk­­ma). Apakah mereka menjadi melek huruf atau jadi lupa huruf di kemudian hari.

Untuk kesinambungan pro­gram KF, perlu ada pembinaan budaya baca dan pengadaan perpustakaan masyarakat se­perti Ta­man Bacaan Masya­rakat (TBM) di setiap desa. Atau, paling tidak ada kepe­dulian dari masyarakat untuk menyumbangkan buku-buku baru atau bekas kepada warga buta aksara yang sudah bisa ca-lis-tung tadi.

Selama ini disinyalir bahwa pemberantasan buta aksara seo­lah-olah hanya menjadi tang­gung jawab pemerintah. Tam­pak­nya strategi penuntasan buta aksara semacam itu sudah tidak relevan lagi. Apalagi melihat kondisi sosial budaya masya­rakat Indonesia yang terus-menerus berubah. Sudah saat­nya prinsip kemitraan, koordi­nasi, sinkronisasi, dan integrasi instansional terkait sangat diperlukan. Kemitraan antara Depdiknas dengan lem­baga-lembaga terkait itu paling tidak ada nuansa baru dalam pember­dayaan warga masya­rakat yang kurang beruntung tadi.

Disamping itu, lembaga ter­kait tersebut bisa saling tukar pe­ngalaman yang bersifat “mu­tual benefit” dalam melak­sa­na­kan program pemberan­tasan buta aksara. TNI dan lembaga terkait lain juga bisa belajar ba­gaimana Depdiknas melaku­kan suatu pelatihan tuto­rial dan meng­im­plemen­tasikan­nya ter­ha­dap warga belajar pen­didikan keaksaraan yang berna­faskan pedagogis-andra­gogis.

“Harapan kita, program KF bisa menyentuh warga buta ak­sara di seluruh wilayah Indo­nesia, khususnya Sumut. Deng­an didukung dana, tutor berpe­ngalaman dan komitmen dari stake holder, masyarakat buta aksara bisa menjadi bebas buta aksara,” papar Ibnu Saud Na­sution.

SETENGAH HATI

Perlu diketahui, keaksaraan fungsional ha­nya dapat dide­fenisikan secara utuh, jika me­ngacu pada kon­teks sosial lokal dan kebutuhan khusus dari se­tiap warga belajar. Sebagai con­toh, warga belajar yang hi­dup di daerah perkotaan, di mana di sekitarnya terdapat berbagai instansi/lembaga pe­merintah dan swasta, serta ter­sedianya berbagai media infor­masi baik cetak maupun elektro­nik, tentu diperlukan pro­gram keaksaraan fungsional dengan penekanan pada ke­mam­puan fungsional yang lebih tinggi seperti belajar tentang akuntan­si, cara meng­gunakan telepon, sopan santun berla­lulintas di jalan raya, serta hal-hal yang berhubungan de­ng­an dunia per­bankan dan seba­gainya.

Namun jika mereka hidup di daerah pedesaan, daerah terpen­cil atau di daerah pedalaman, mung­­­kin yang diperlukan ha­nyalah bagaimana mereka bisa belajar tentang pertanian atau perkebunan.

Anggota De­wan Perwakilan Daerah (DPD) Asal Sumut Par­lin­dungan Purba, SH,MM me­maparkan bahwa untuk pem­berantasan buta aksara peme­rintah jangan sete­ngah hati da­lam menjalankan setiap pro­gram. Kemudian perlu ada si­ner­gi antara pusat dan daerah baik itu dalam realisasi program maupun dalam hal anggaran. Yang terpenting lagi adalah tetap melakukan evaluasi.

“Sebab, warga buta aksara biasanya tidak jauh dari kondisi ekonomi yang sangat lemah atau miskin. Apabila kondisi masyarakat kita makin banyak yang miskin, maka makin ren­tan pula warga miskin ini men­jadi warga buta aksara baru di kemudian hari,” tandasnya.

Kemudian, lanjutnya, demi kesinambungan pembelajaran warga buta aksara, kehadiran TBM di masyarakat jangan dija­dikan ajang proyek yang akhir­nya menjadikan TBM sebagai “Taman Beban Masyarakat”.

Disadari sepenuhnya bahwa pendidikan merupakan salah satu bidang yang sangat penting dan strategis dalam pemba­ngu­nan nasional. Pendidikan yang berkualitas dapat mengan­tarkan Indonesia menjadi bang­sa yang modern, maju, makmur, dan sejahtera yang tercermin pada keunggulan dan kemam­puan bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Untuk itu, pemerintah harus menempatkan pendidikan seba­gai salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Pembangunan pendi­dikan sangat penting karena memberi kontribusi signifikan pada upaya peningkatan kese­jahteraan masyarakat dan men­jadi landasan yang kuat dalam menghadapi era global yang sarat dengan persaingan antar­bangsa yang berlangsung sa­ngat ketat.

Sebab di dunia internasional, keaksaraan juga sudah diakui sebagai hak asasi manusia dan suatu keadaan yang sangat mut­lak bagi perkembangan manu­sia. Suatu analisis tentang hasil survey yang dilakukan di nega­ra-negara berkembang menun­jukkan bahwa pening­katan ke­mampuan keaksaraan ber­dam­pak langsung terhadap in­vestasi dan kinerja seseorang. Keaksa­raan seperti halnya gizi, keseha­tan dan pendapatan mempunyai korelasi dengan peningkatan umur harapan hidup dan penu­runan kematian ibu dan anak.

* Tulisan ini dimuat di Harian Analisa Edisi Minggu, 29 Juli 2007

No comments: