UMKM - Harian Analisa edisi Minggu, 12 Oktober 2008
UMKM, Tak Butuh Janji Tapi Solusi
Oleh : James P. Pardede
Sudah lebih sepuluh tahun Misliani Tanjung (36) berjualan koran, tabloid, majalah, rokok, permen dan jajanan lainnya di Jalan Balai Kota Medan (Simpang Jalan Tembakau Deli). Setiap hari ia bisa mengantongi untung untuk tambahan biaya hidup bersama suami dan dua anaknya.
“Sejak gadis saya sudah berjualan sampai menikah dan punya dua anak,” katanya saat ditemui di lokasi usahanya di pinggiran jalan Balai Kota Medan.
Dengan bermodalkan mobil tua yang sudah butut (Daihatsu Hijet 55 keluaran tahun 70-anyang mesinnya tak berfungsi lagi), Misliani tetap ramah dalam melayani pembeli. Mobil bekas yang ia gunakan sebagai tempat berjualan merupakan warisan dari kakaknya.
Menurut pengakuan Misliani, selama berjualan di kawasan jalan protokol yang ramai dilintasi kendaraan bermotor tersebut banyak suka duka yang ia hadapi. Kucing-kucingan dengan petugas penertiban dan polisi pamong praja sudah sering terjadi. Duka lainnya, kalau hujan lebat dan cuaca kurang mendukung, omzet bisa berkurang.
Sebenarnya, kata Misliani, ia memiliki kerinduan untuk mendapatkan bantuan dari perbankan untuk mengganti mobil butut yang ia tempati sekarang dengan mobil pick-up baru yang bisa dirancang sedemikian rupa menjadi warung berjalan dan bisa dipindah-pindahkan dengan mudah.
“Kalau yang ada sekarang sudah kurang nyaman dan sempit,” tandasnya.
Kenapa tidak mencoba mengajukan kredit ke bank ? Demikian pertanyaan yang terlontar dari Analisa.
“Mana mungkin bank mau mengasihkan kredit sama usaha kecil seperti kami ini. Padahal, kalau saja ada bank yang mau memberikan pinjaman dan pendampingan, mungkin masih bisa meningkat dari yang sekarang, ” tegasnya.
Apa yang dihadapi Misliani hampir sama dengan Marni (30) yang sudah bertahun-tahun menggeluti usaha berjualan nasi dan lontong untuk sarapan pagi, sore harinya usaha berjualan mie goreng, nasi goreng diteruskan suaminya.
Membuka usaha di kawasan perumahan Komplek Kejaksaan Simpang Selayang Medan, Marni masih menyewa rumah sederhana berdinding tepas dan papan serta beratapkan seng.
Walau dengan kondisi yang serba darurat tersebut, Marni bersama suaminya terus berupaya untuk mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Ditengah kondisi seperti itu pun, Marni masih sempat untuk menanamkan kebiasaan menabung kepada anaknya agar kelak setelah mereka dewasa bisa belajar hidup mandiri.
Niat untuk pengembangan usaha, menurut pengakuan Marni ia masih enggan mengajukan kredit ke perbankan. Terlalu rumit dan harus ada agunan. Sementara mereka hanya tinggal di rumah kontrakan dan usaha yang mereka geluti pun boleh dikata masuk dalam kategori usaha mikro kecil menengah yang sangat sederhana.
Belum Penuh
Dua jenis usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang dipaparkan diatas boleh dikatakan jadi gambaran (wajah) jutaan UMKM yang ada di Indonesia. Banyak dari mereka yang tidak mengerti bagaimana untuk mendapatkan akses bantuan kredit dari perbankan. Namun demikian, banyak juga yang berhasil mendapatkan link ke perbankan. Pendampingan dari pemerintah, pihak swasta atau lembaga lainnya pun belum sepenuhnya bisa menyentuh keinginan UMKM.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, persoalan utama yang dihadapi UMKM saat ini adalah keberpihakan pemerintah yang belum penuh untuk memberikan pendampingan dan pembinaan. Beberapa perbankan pun masih enggan untuk menyalurkan kreditnya ke sektor ini. Padahal, sektor UMKM sudah teruji menjadi salah satu sektor yang tahan terhadap terpaan badai krisis moneter di tahun 1997 yang lalu. Sektor ini banyak yang tetap bertahan dan terus melangkah walau perlahan.
Kemudian persoalan cukup krusial adalah mayoritas pengusaha UMKM tidak bankable (tidak memenuhi syarat untuk memperoleh kredit dari bank). Terutama kepada pengusaha pemula yang tanpa pengalaman, tanpa pembukuan dan administrasi usaha memadai serta belum adanya konsep usaha sehingga kurang memiliki jaminan kredit (collateral).
Pemerhati permasalahan ekonomi kecil dan menengah di Sumatera Utara, dr. Sofyan Tan menegaskan bahwa tahun ini sebenarnya ada prospek yang baik terutama untuk sektor UMKM. Jika melihat trend yang terjadi belakangan ini, beberapa perbankan swasta sangat gencar untuk menggulirkan bantuan kredit kepada pengusaha UMKM.
Untuk mendukung upaya ini, lanjut Sofyan Tan pemerintah daerah perlu melakukan perbaikan birokrasi dan memperkecil aturan-aturan yang memberatkan pelaku UMKM.
Selain itu, tambahnya, pemerintah harus ikut berperan dalam menjembatani pelaku UMKM dalam mendapatkan bantuan kredit dari perbankan. Dengan cara ini, UMKM bisa bangkit dan ikut meningkatkan perekonomian bangsa.
Setiap pelaku UMKM sangat membutuhkan informasi dan sosialisasi tentang bagaimana pengurusan ijin-ijin untuk kelangsungan dan pengembangan usaha mereka. Mereka juga sangat mengharapkan adanya kejujuran dan transparansi dari instansi terkait tentang biaya-biaya yang harus mereka keluarkan.
UMKM memang tidak bisa dilihat sebelah mata. Seperti kita ketahui, UMKM adalah sektor yang paling fleksibel dalam menyerap tenaga kerja secara cepat dan alamiah dibandingkan sektor lain. Jumlah yang banyak serta sebaran yang merata, menjadikan sektor ini tidak hanya mampu menciptakan pertumbuhan namun sekaligus mengurangi disparitas antar daerah.
Ketahanan yang Relatif
Peran UMKM dalam perekonomian domestik semakin meningkat terutama setelah krisis 1997. Di saat perbankan menghadapi kesulitan untuk mencari debitur yang tidak bermasalah, UMKM menjadi alternatif penyaluran kredit perbankan. Berdasarkan statistik BPS tahun 2000, UMKM (kurang lebih 40 juta unit) mendominasi lebih dari 90 persen total unit usaha dan menyerap angkatan kerja dengan prosentase yang hampir sama.
Data BPS juga memperkirakan 57persen PDB bersumber dari unit usaha ini dan menyumbang hampir 15persen dari ekspor barang Indonesia. Ditinjau dari reputasi kreditnya, UMKM juga mempunyai prestasi yang cukup membanggakan dengan tingkat kemacetan kredit yang relatif kecil. Pada akhir 2002, kredit bermasalah UMKM (non-performing loan/NPL) hanya 3,9 persen, jauh lebih kecil dibandingkan dengan total kredit perbankan yang mencapai 10,2 persen.
Kondisi tersebut mencerminkan bahwa pemberian kredit ke UMKM merupakan salah satu upaya dalam rangka penyebaran risiko perbankan, sementara suku bunga kredit UMKM sesuai dengan tingkat bunga pasar sehingga bank akan mempunyai margin yang cukup.
Sektor ini mempunyai ketahanan yang relatif lebih baik dibandingkan dengan usaha besar karena kurangnya ketergantungan pada bahan baku impor dan potensi pasar yang tinggi mengingat harga produk yang dihasilkan relatif rendah sehingga terjangkau oleh golongan ekonomi lemah.
Namun demikian, UMKM juga mempunyai karakteristik pembiayaan yang unik, yakni diperlukannya ketersediaan dana pada saat ini, jumlah dan sasaran yang tepat, prosedur yang relatif sederhana, adanya kemudahan akses ke sumber pembiayaan serta perlunya program pendampingan (technical assistance).
Dibalik ketangguhan puluhan juta UMKM di atas, upaya pengembangan UMKM masih menjumpai berbagai kendala seperti pengelolaan usaha yang masih tradisional, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang belum memadai, skala dan teknik produksi yang rendah serta masih terbatasnya akses kepada lembaga keuangan, khususnya perbankan.
Solusi Usaha
Ditengah kondisi seperti sekarang ini, beberapa perbankan mulai mengurangi porsi pemberian kredit ke koorporasi dan mengalihkannya ke sektor ritel khususnya usaha mikro kecil dan menengah. Hal ini dilakukan oleh beberapa perbankan karena UMKM dianggap mempunyai peranan dan potensi yang sangat besar.
Salah satu dari sekian banyak perbankan yang saat ini serius untuk menyalurkan bantuan kredit kepada sektor UMKM adalah PT Bank Internasional Indonesia Tbk (BII). Sebagai wujud nyata kepedulian lembaga keuangan ini terhadap perkembangan ekonomi kecil, salah satu produk yang ditawarkan untuk UMKM adalah BII Suka (Solusi Usaha Kecil Anda) yang ditujukan khusus untuk pengusaha kecil dan menengah.
Komitmen BII untuk kerjasama dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebagai saluran pendistribusian kredit kepada bisnis UKM melalui linkage program, telah berhasil memenangkan penghargaan Kriya Pranala Pratama Award dari Bank Indonesia pada awal Maret 2008 lalu. Kriya Pranala Award merupakan penghargaan yang diberikan oleh BI bagi bank umum yang melaksanakan linkage program dalam penyaluran kredit usaha mikro kecil bekerjasama dengan BPR.
Berbeda dengan tahun sebelumnya, dimana penghargaan diberikan berdasarkan kategorisasi aspek-aspek tertentu, pada tahun 2007 penilaian dilakukan secara komprehensif mencakup aspek-aspek tertinggi dalam plafond, terbesar dalam outstanding, terluas dalam coverage area, dan terbanyak bekerja sama dengan BPR.
Presiden Direktur BII, Henry Ho pernah mengatakan bahwa kinerja mereka saat ini sangat menjanjikan dan sesuai dengan harapan. Perkembangan yang pesat telah terealisasi dalam peningkatan kredit inti dan simpanan serta membaiknya penyisihan kerugian kredit.
Meskipun inflasi terus meningkat sejak akhir tahun 2007, biaya-biaya dapat dikendalikan dengan baik.Ketidakpastian yang berkelanjutan dalam pasar uang dunia dan tekanan persaingan yang kuat, ketatnya spread kredit, tekanan inflasi dengan kenaikan harga pangan dan minyak yang bisa berdampak pada keseluruhan kinerja ekonomi secara luas dan industri perbankan di Indonesia.
Dalam hal penyaluran kredit ke UMKM, beberapa perbankan termasuk BII pastilah akan tetap mengedepankan unsur kehati-hatian dalam mengambil keputusan. Tidak lantas semua UMKM bisa dibiayai. Perbankan juga melakukan klasifikasi terhadap UMKM yang layak dan tidak layak dalam memperoleh kucuran kredit. Bank Indonesia selaku penjaga gawang inflasi diharapkan ikut mengawasi dan mensosialisasikan hal ini ke berbagai pihak.
Karena untuk penyaluran kredit ini pun, banyak elemen penting yang harus diperhatikan oleh pelaku UMKM. Dari beberapa elemen penting yang perlu mendapat perhatian tersebut, salah satu diantaranya adalah permasalahan kesiapan SDM yang berkecimpung dalam UMKM tersebut.
Menagih Janji
Pada sebuah kesempatan Menneg Koperasi dan UKM Drs. Suryadharma Ali mengatakan bahwa selama ini pelaku UMKM sering dipersepsikan sebagai pelaku usaha yang miskin, bodoh, malas, dan tidak efesien. Pelaku UMKM juga dinilai kurang produktif, pasif dan skeptis, sehingga tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalahnya, selain meminta bantuan material.
Di antara titik kelemahan UMKM tersebut, kata Suryadharma Ali, adalah bukti ketidakmampuan mereka mengorganisasikan diri sehingga mampu melakukan tindakan kolektif secara produktif, efektif, dan efesien. Ketidakmampuan ini disebabkan lemahnya kemampuan manajerial dan vested interest (kepentingan pribadi) para pelaku UMKM itu sendiri.
Terkait dengan pentingnya peningkatan kualitas SDM pelaku UMKM antara lain terbentur pada minimnya program bantuan seperti modal, peningkatan kapasitas serta lemahnya koordinasi antara lembaga dalam memberikan pendidikan bagi pelaku UMKM. Hal ini juga terpaut dengan minimnya alokasi anggaran dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk mendidik dan melatih mereka.
Andai saja pemerintah mau memberikan pendampingan dan pembinaan kepada beberapa pelaku UMKM, seperti Misliani Tanjung dan Marni yang memiliki kerinduan untuk mendapatkan bantuan dana (kredit) dari perbankan. Barangkali, cita-cita mereka untuk mengembangkan usaha sudah tertanam selama bertahun-tahun.
Namun sampai hari ini, belum ada satu lembaga keuangan atau dampingan dari pemerintah untuk mengubah nasib mereka. Yang jelas, jutaan UMKM yang tahan terhadap terpaan krisis masih menagih janji manis dari pemerintah. Selama ini mereka sudah bosan mendengar janji-janji manis tersebut. Mereka, tak butuh janji tapi solusi.
UMKM-Analisa edisi Minggu, 12 Oktober 2008
Upaya Pengembangan UMKM
Tak Cukup Hanya Kondusif
Oleh : James P. Pardede
Jika memperhatikan kondisi bangsa seperti sekarang ini, dimana di awal tahun 2008 kemarin, ada prediksi dari beberapa pakar yang mengatakan bahwa tahun 2008 nanti prospek investasi masih mengarah ke sektor industri, niaga, properti dan pariwisata. Investasi di dalam negeri menjadi kunci utama proses pemulihan ekonomi, akan tetapi investasi masih terus menghadapi berbagai persoalan. Dari persoalan regulasi sampai soal keamanan sosial politik.
Melalui Inpres No. 6 Tahun 2007, tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM, terhadap pertumbuhan UKM bisa membantu kondisi perekonomian nasional. Untuk itu semua pihak harus turut membina UMKM, bukan sebaliknya malah menghambatnya.
Mengamati kembali perkembangan perekonomian tahun ini, kita bisa sedikit berbangga karena di tahun ini ada banyak juga perubahan yang terjadi di Indonesia. Walaupun pada akhirnya kita masih dihadapkan pada masalah kemiskinan dan pengangguran.
Kita mengakui kalau di tahun ini ada penurunan investasi akibat dari berbagai persoalan seperti tidak tersedianya pasokan energi untuk kelangsungan sebuah usaha. Padahal, ketika kita mengundang investor untuk menanamkan investasinya di beberapa daerah, kita tidak sadar kalau negara kita sebenarnya tidak siap untuk menyediakan lahan investasi bagi mereka.
Beberapa daerah pun menjadi raja di daerahnya sendiri. Terutama sejak bergulirnya Otonomi Daerah 1999, kabupaten/kota sudah mempunyai kekuatan untuk mencari investor. Telah banyak contoh kisah sukses investasi di beberapa kabupaten dan kota.
Untuk menjaring para investor, banyak evaluasi yang harus dilakukan para pelaksana kekuasaan di daerah. Mereka harus lebih memahami kondisi yang diinginkan kalangan dunia usaha. Daerah juga harus segera menghilangkan watak untuk menggenjot pendapatan asli daerah dari pajak. Dimana hal ini dalam jangka pendek memang memberi keuntungan bagi pemerintah daerah. Namun seterusnya akan membawa dampak bagi stagnannya perekonomian daerah.
Kepastian Hukum
Dalam upaya mengundang investor ke beberapa daerah, seharusnya daerah harus siap dalam beberapa faktor. Antara lain faktor kelembagaan, terutama dalam masalah kepastian hukum, apratur dan pelayanan pemerintah daerah. Termasuk juga potensi ekonomi dan struktur ekonomi di tiap-tiap daerah.
Faktor lainnya adalah faktor sosial politik, keamanan dan budaya daerah setempat, faktor tenaga kerja dan produktivitas terutama dalam masalah ketersediaan tenaga kerja, biaya tenaga kerja dan produktivitas serta kualitas tenaga kerja di setiap daerah.
Pada faktor infrastruktur, hal-hal yang perlu diperhitungkan adalah masalah ketersediaan infrastruktur fisik dan kualitas infrastruktur fisik yang ada di masing-masing daerah.
Selama lima tahun berjalannya otonomi daerah di negeri ini, upaya penciptaan iklim usaha yang kondusif di sebagian daerah masih menemui sejumlah kendala. Salah satu kendala yang sering muncul adalah kehadiran sejumlah peraturan daerah (perda) bermasalah dan distorsi bagi kegiatan dunia usaha serta investasi. Permasalahan tersebut muncul baik dari sisi regulasi perizinan yang berbelit-belit maupun berupa aneka pungutan pajak dan retribusi yang tak wajar. Akibatnya, biaya berbisnis melonjak tajam.
Sejak pemberlakuan otonomi daerah, diakui atau tidak ternyata banyak menimbulkan dampak negatif. Meski pada saat yang bersamaan juga harus diakui tidak sedikit daerah yang mampu menjadikan otonomi daerah sebagai instrumen bagi peningkatan investasi didaerahnya. Di sisi lain, banyak investor asing mengeluhkan sulitnya sistem birokrasi perizinan yang harus dihadapi.
Menilik soal perizinan investasi, keberadaan perda yang tidak mendukung investasi memang menjadi persoalan klasik yang dikeluhkan beberapa tahun terakhir ini. Tak jarang keluhan juga banyak disampaikan kalangan swasta yang menggerutu karena diwajibkan membayar berbagai pungutan dan retribusi yang tidak masuk akal secara bisnis. Padahal, untuk berinvestasi di daerah terpencil, modal yang dibutuhkan jauh lebih tinggi daripada daerah maju.
Perhatian
Beberapa pengamat memprediksikan bahwa tahun ini tetap akan ada pemulihan daya beli dari masyarakat. Tak hanya itu, beberapa perbankan juga akan gencar dalam menyalurkan kreditnya terutaka terhadap pelaku UMKM.
Permasalahan kemiskinan dan pengangguran yang setiap tahunnya selalu menjadi perbincangan hangat juga perlu menjadi prioritas dalam memperbaiki iklim investasi yang kondusif di Sumut.
Sektor UMKM, yang dalam sejarahnya sangat tahan terhadap badai krisis juga perlu mendapat perhatian pemerintah. Krisis ekonomi global yang terjadi di Amerika Serikat belum begitu berpengaruh terhadap sektor usaha kecil ini.
Upaya untuk pengembangan sektor UMKM ini tak cukup hanya menciptakan suasan kondusif, mereka juga sangat membutuhkan dana dan pendampingan untuk pengembangan usahanya.
Pola pendekatan pemberdayaan UMKM ada 4, yaitu : Pola Pendekatan dalam pemberdayaan UMKM, Pola Klaster, pola Kemitraan dan Pola Business Development Service/Provider (BDSP) dimana masing-masin pola ini memiliki sasaran yang ingin dicapai.
Sesuai dengan Instruksi Presiden (Inpres) No.6 Tahun 2007 menekankan pada empat aspek pokok yaitu peningkatan akses UMKM pada sumber pembiayaan, pengembangan kewirausahaan dan SDM, peningkatan peluang pasar dan reformasi peraturan untuk memberdayakan sektor UMKM.
Tenyata, porsi penyaluran kredit UMKM tahun 2007 saja menurun dari 99,5% menjadi 99,3 persen. Perbankan mulai melirik sektor usaha berat. Padahal sektor UMKM seharusnya lebih diperhatikan karena sektor tersebut menyerap 96,1% dari jumlah tenaga kerja yang ada, sementara sektor usaha berat hanya menyerap 3,8-3,9 persen.
Berbenah Diri
Selama ini UMKM selalu berkeluh kesah sulitnya mendapat kucuran kredit, karena selain bunganya yang relative tinggi juga sulitnya persyaratan yang diterapkan dengan dalih faktor kehati-hatian perbankan (prudential banking). Sementara, perbankan membela diri dengan menuding UKM tidak memiliki kesungguhan dan daya juang untuk memenuhi segala persyaratan perbankan.
Disi lain, UMKM pun sebenarnya harus berbenah diri. Meningkatkan kualitas manajemen dan administrasinya, supaya setiap usulan pemohonan kredit yang diajukannya menjadi eligible dan bankable.
Yang pasti hubungan tidak harmonis antara UMKM dengan perbankan bukanlah hubungan yang ideal. Perbankan akan menghadapi kesulitan jika tak mampu menggulirkan dananya sesuai target yang diharapkan. Toh, bank juga harus memenuhi kewajiban membayar bunga kepada nasabah atau pihak ketiga lainnya. Di lain pihak, peranan perbankan selalu dibutuhkan oleh UMKM, karena untuk memperbesar kapasitas usahanya UMKM tentu tidak bisa hanya mengandalkan modalnya sendiri.
Upaya Pengembangan UMKM
Tak Cukup Hanya Kondusif
Oleh : James P. Pardede
Jika memperhatikan kondisi bangsa seperti sekarang ini, dimana di awal tahun 2008 kemarin, ada prediksi dari beberapa pakar yang mengatakan bahwa tahun 2008 nanti prospek investasi masih mengarah ke sektor industri, niaga, properti dan pariwisata. Investasi di dalam negeri menjadi kunci utama proses pemulihan ekonomi, akan tetapi investasi masih terus menghadapi berbagai persoalan. Dari persoalan regulasi sampai soal keamanan sosial politik.
Melalui Inpres No. 6 Tahun 2007, tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM, terhadap pertumbuhan UKM bisa membantu kondisi perekonomian nasional. Untuk itu semua pihak harus turut membina UMKM, bukan sebaliknya malah menghambatnya.
Mengamati kembali perkembangan perekonomian tahun ini, kita bisa sedikit berbangga karena di tahun ini ada banyak juga perubahan yang terjadi di Indonesia. Walaupun pada akhirnya kita masih dihadapkan pada masalah kemiskinan dan pengangguran.
Kita mengakui kalau di tahun ini ada penurunan investasi akibat dari berbagai persoalan seperti tidak tersedianya pasokan energi untuk kelangsungan sebuah usaha. Padahal, ketika kita mengundang investor untuk menanamkan investasinya di beberapa daerah, kita tidak sadar kalau negara kita sebenarnya tidak siap untuk menyediakan lahan investasi bagi mereka.
Beberapa daerah pun menjadi raja di daerahnya sendiri. Terutama sejak bergulirnya Otonomi Daerah 1999, kabupaten/kota sudah mempunyai kekuatan untuk mencari investor. Telah banyak contoh kisah sukses investasi di beberapa kabupaten dan kota.
Untuk menjaring para investor, banyak evaluasi yang harus dilakukan para pelaksana kekuasaan di daerah. Mereka harus lebih memahami kondisi yang diinginkan kalangan dunia usaha. Daerah juga harus segera menghilangkan watak untuk menggenjot pendapatan asli daerah dari pajak. Dimana hal ini dalam jangka pendek memang memberi keuntungan bagi pemerintah daerah. Namun seterusnya akan membawa dampak bagi stagnannya perekonomian daerah.
Kepastian Hukum
Dalam upaya mengundang investor ke beberapa daerah, seharusnya daerah harus siap dalam beberapa faktor. Antara lain faktor kelembagaan, terutama dalam masalah kepastian hukum, apratur dan pelayanan pemerintah daerah. Termasuk juga potensi ekonomi dan struktur ekonomi di tiap-tiap daerah.
Faktor lainnya adalah faktor sosial politik, keamanan dan budaya daerah setempat, faktor tenaga kerja dan produktivitas terutama dalam masalah ketersediaan tenaga kerja, biaya tenaga kerja dan produktivitas serta kualitas tenaga kerja di setiap daerah.
Pada faktor infrastruktur, hal-hal yang perlu diperhitungkan adalah masalah ketersediaan infrastruktur fisik dan kualitas infrastruktur fisik yang ada di masing-masing daerah.
Selama lima tahun berjalannya otonomi daerah di negeri ini, upaya penciptaan iklim usaha yang kondusif di sebagian daerah masih menemui sejumlah kendala. Salah satu kendala yang sering muncul adalah kehadiran sejumlah peraturan daerah (perda) bermasalah dan distorsi bagi kegiatan dunia usaha serta investasi. Permasalahan tersebut muncul baik dari sisi regulasi perizinan yang berbelit-belit maupun berupa aneka pungutan pajak dan retribusi yang tak wajar. Akibatnya, biaya berbisnis melonjak tajam.
Sejak pemberlakuan otonomi daerah, diakui atau tidak ternyata banyak menimbulkan dampak negatif. Meski pada saat yang bersamaan juga harus diakui tidak sedikit daerah yang mampu menjadikan otonomi daerah sebagai instrumen bagi peningkatan investasi didaerahnya. Di sisi lain, banyak investor asing mengeluhkan sulitnya sistem birokrasi perizinan yang harus dihadapi.
Menilik soal perizinan investasi, keberadaan perda yang tidak mendukung investasi memang menjadi persoalan klasik yang dikeluhkan beberapa tahun terakhir ini. Tak jarang keluhan juga banyak disampaikan kalangan swasta yang menggerutu karena diwajibkan membayar berbagai pungutan dan retribusi yang tidak masuk akal secara bisnis. Padahal, untuk berinvestasi di daerah terpencil, modal yang dibutuhkan jauh lebih tinggi daripada daerah maju.
Perhatian
Beberapa pengamat memprediksikan bahwa tahun ini tetap akan ada pemulihan daya beli dari masyarakat. Tak hanya itu, beberapa perbankan juga akan gencar dalam menyalurkan kreditnya terutaka terhadap pelaku UMKM.
Permasalahan kemiskinan dan pengangguran yang setiap tahunnya selalu menjadi perbincangan hangat juga perlu menjadi prioritas dalam memperbaiki iklim investasi yang kondusif di Sumut.
Sektor UMKM, yang dalam sejarahnya sangat tahan terhadap badai krisis juga perlu mendapat perhatian pemerintah. Krisis ekonomi global yang terjadi di Amerika Serikat belum begitu berpengaruh terhadap sektor usaha kecil ini.
Upaya untuk pengembangan sektor UMKM ini tak cukup hanya menciptakan suasan kondusif, mereka juga sangat membutuhkan dana dan pendampingan untuk pengembangan usahanya.
Pola pendekatan pemberdayaan UMKM ada 4, yaitu : Pola Pendekatan dalam pemberdayaan UMKM, Pola Klaster, pola Kemitraan dan Pola Business Development Service/Provider (BDSP) dimana masing-masin pola ini memiliki sasaran yang ingin dicapai.
Sesuai dengan Instruksi Presiden (Inpres) No.6 Tahun 2007 menekankan pada empat aspek pokok yaitu peningkatan akses UMKM pada sumber pembiayaan, pengembangan kewirausahaan dan SDM, peningkatan peluang pasar dan reformasi peraturan untuk memberdayakan sektor UMKM.
Tenyata, porsi penyaluran kredit UMKM tahun 2007 saja menurun dari 99,5% menjadi 99,3 persen. Perbankan mulai melirik sektor usaha berat. Padahal sektor UMKM seharusnya lebih diperhatikan karena sektor tersebut menyerap 96,1% dari jumlah tenaga kerja yang ada, sementara sektor usaha berat hanya menyerap 3,8-3,9 persen.
Berbenah Diri
Selama ini UMKM selalu berkeluh kesah sulitnya mendapat kucuran kredit, karena selain bunganya yang relative tinggi juga sulitnya persyaratan yang diterapkan dengan dalih faktor kehati-hatian perbankan (prudential banking). Sementara, perbankan membela diri dengan menuding UKM tidak memiliki kesungguhan dan daya juang untuk memenuhi segala persyaratan perbankan.
Disi lain, UMKM pun sebenarnya harus berbenah diri. Meningkatkan kualitas manajemen dan administrasinya, supaya setiap usulan pemohonan kredit yang diajukannya menjadi eligible dan bankable.
Yang pasti hubungan tidak harmonis antara UMKM dengan perbankan bukanlah hubungan yang ideal. Perbankan akan menghadapi kesulitan jika tak mampu menggulirkan dananya sesuai target yang diharapkan. Toh, bank juga harus memenuhi kewajiban membayar bunga kepada nasabah atau pihak ketiga lainnya. Di lain pihak, peranan perbankan selalu dibutuhkan oleh UMKM, karena untuk memperbesar kapasitas usahanya UMKM tentu tidak bisa hanya mengandalkan modalnya sendiri.
JALAN TOL : Bangkitkan Partisipasi Masyarakat dalam Setiap Pembangunan
Oleh James P. Pardede
Serangkaian dengan kunjungan kerja Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) ke Kuala Lumpur Malaysia beberapa waktu lalu, Analisa berkesempatan ikut rombongan DPD dan menikmati jalan-jalan di Kuala Lumpur Malaysia yang bersih dan nyaman.
Terutama saat rombongan DPD RI memenuhi undangan pemerintah Malaysia untuk bertemu dengan unsur pemerintahannya di kawasan perkantoran Putra Jaya Malaysia. Jika membandingkan perkembangan jalan-jalan tol di Malaysia dengan di Indonesia, boleh dikata kita tertinggal jauh. Berbicara tentang pembangunan jalan tol, Malaysia patut menjadi contoh bagi Indonesia. Meskipun 27 tahun lalu Malaysia belajar dari Indonesia, tapi fakta membuktikan saat ini pengelolaan tol negeri jiran itu jauh lebih maju.
Tak hanya dalam hal pembangunan jalan tol, beberapa sektor lainnya seperti bidang kesehatan. Indonesia yang dulunya menjadi tempat mereka berguru dan mahasiswa mereka belajar di Indonesia, sekarang justru terbalik. Kita malah jadi berguru dari murid sendiri, masyarakat kita justru berbondong-bondong berobat ke Malaysia.
Berdasar pada kajian dan kunjungan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) beberapa waktu lalu ke negara tetangga tersebut, ada beberapa hal yang bisa ditiru dari Malaysia, salah satu diantaranya adalah soal pembebasan tanah, yang selama ini menjadi hantu bagi investor tol di Indonesia.
Pembangunan jalan tol di satu kawasan bisa terhenti akibat Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) melonjak dua kali lipat dari rencana bisnis yang ditetapkan pada awal tender. Kasus-kasus seperti ini menunjukkan pemerintah tidak siap dalam melaksanakan pembangunan jalan tol. NJOP sebenarnya menjadi satu-satunya instrumen yang dapat dikendalikan, akan tetapi kenyataannya tidak demikian.
Seperti disampaikan Anggota DPD RI Asal Sumatera Utara Parlindungan Purba yang ikut dalam rombongan DPD ke Malaysia beberapa waktu lalu mengatakan, investasi pemerintah dalam pembangunan infrastruktur seperti jalan tol harus benar-benar matang dan mengikuti berbagai kajian.
“Pada umumnya, pembebasan lahan yang sangat sulit menjadi kendala pembangunan jalan tol di Indonesia. Disamping itu, perbankan nasional belum mempunyai skim kredit yang khusus di bidang infrastruktur seperti jalan tol, listrik dan yang lainnya,” paparnya. Dalam kaitan ini, lanjutnya, pemerintah harus memberi insentif bagi swasta apakah dalam bidang perizinan, dukungan perbankan agar cepat mengejar ketertinggalan,” tandasnya.
Lebih Panjang
Memang, pembebasan tanah untuk pembangunan jalan tol di Malaysia relatif tidak menimbulkan masalah berarti. Persoalannya Indonesia dan Malaysia memiliki perbedaan prinsip dalam mengadopsi pembebasan tanah. Tipikal masyarakat Indonesia juga tidak sama dengan negara tetangga.
Malaysia menganut sistem ‘memaksa’ dalam pengadaan tanah bagi fasilitas umum atau dikenal dengan pola “compulsory acquisition”, serta dilaksanakan melalui satu instansi saja dibawah kendali pemerintah. Bagi masyarakat yang tidak puas dapat mengajukan gugatan ganti rugi lebih tinggi, akan tetapi pembangunan tetap berlangsung.
Berbeda jauh dengan Indonesia. Sepanjang gugatan tanah belum selesai maka peralatan kerja tidak diperkenankan memasuki lokasi. Disamping itu pembebasan tanah juga melibatkan berbagai institusi di daerah maupun pusat yang membuat pelaksanaannya menjadi lebih panjang.
Memang sesuai Perpres No. 65 tahun 2005 revisi dari Pepres 36 tahun 2005 pemerintah memiliki kewenangan untuk mencabut hak atas tanah yang akan dilalui jalan tol. Akan tetapi prosesnya cukup panjang mulai dari rekomendasi pemerintah daerah di tingkat bawah (Bupati/ Walikota), Gubernur, Menteri PU, sebelum akhirnya dicabut oleh Presiden.
Sementara di Malaysia, pemerintah memiliki kekuatan memerintah masyarakatnya untuk pindah, di Indonesia sengketa tanah untuk jalan tol sering dibawa ke ranah politik. Akibatnya pemerintah tidak sepenuhnya berhasil melaksanakan pembebasan tanah.
Seperti dilansir dari Kompas (20/8) disebutkan bahwa hingga akhir tahun ini, baru akan dibangun 641 kilometer jalan tol dari rencana 1.600 kilometer. Tol Trans-Jawa juga gagal diwujudkan tahun 2009/2010 sebab lahan belum bebas sehingga konstruksi belum berdiri.
Salah satu upaya untuk mewujudkan konsep investasi pembangunan jalan tol sebagai dukungan terhadap rencna pemerintah untuk mengembangkan jaringan jalan tol dalam keterbatasan APBN adalah dengan menaikkan tarif tol. Upaya ini menjadi agenda terdekat yang dilakukan PT Jasa Marga (Persero) Tbk dalam mengatasi makin besarnya biaya operasional di lapangan.
Menurut Undang-Undang Jalan Nomor 38 Tahun 2004 disebutkan bahwa “...penyesuaian tarif tol tiap dua tahun...didasarkan tarif lama, yang disesuaikan dengan kenaikan tingkat inflasi...”
Dalam sebuah kesempatan Sekretaris Perusahaan PT Jasa Marga Okke Merlina menyampaikan bahwa kenaikan tarif tol berlaku di 13 ruas jalan tol di Indonesia, kecuali tol Sedyatmo dan tol Jakarta - Cikampek. Karena, tarif dua jalan tol ini sudah lebih dulu melakukan penyesuaian tarif.
Melihat perkembangan pembangunan jalan tol di beberapa daerah, mungkin ada anggapan dari sebagian besar masyarakat bahwa investasi di jalan bebas hambatan tersebut sangat menguntungkan dan membangun jalan tol di Indonesia adalah investasi yang empuk.
Anggapan ini belum tentu benar sebab risiko yang dihadapi juga ternyata sangat banyak. Risiko yang harus dihadapi antara lain risiko akibat volume lalulintas kendaraan yang jauh dari prediksi awal, biaya pembebasan tanah yang harganya selangit, suku bunga, inflasi, biaya konstruksi, biaya perawatan dan biaya-biaya lainnya.
Harus Berjalan
Salah satu contoh adalah pengelolaan jalan tol Belawan - Medan - Tanjung Morawa (Belmera) sepanjang 34 kilometer sampai hari ini belum menguntungkan sejak dioperasikan pada
tahun 1986.
Menurut Kepala Cabang Belmera, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, Ricky Distawardhana melalui Kabag Operasionalnya Ir. Teddy Rosady bahwa beban biaya operasional masih lebih besar dibandingkan dengan pendapatan. Salah satu penyebabnya adalah peningkatan pengguna jalan tol sangat kecil. Semester pertama tahun ini hanya 0,5 persen. Lima tahun terakhir peningkatannya dari 2 sampai 5 persen. Peningkatan ini sangat erat kaitannya dengan arus manusia dan barang.
Walaupun operasional beberapa ruas jalan tol di Indonesia belum memetik keuntungan yang sepadan, rencana pemerintah untuk terus meningkatkan pembangunan infrastruktur tetap harus berjalan. Sebab, mobilitas perekonomian Indonesia sangatlah tergantung pada keandalan dan tingkat layanan dari jaringan jalan. Berbagai barang diangkut melalui transportasi jalan darat. Sebuah survey dari tempat asal dan tujuan yang dilakukan oleh Departemen Perhubungan memperlihatkan bahwa sebesar 80 sampai 90 persen jalan berada di pulau Jawa dan Sumatera.
Pengadaan dan pembangunan infrastruktur jalan raya, termasuk jalan tol, merupakan tanggung jawab pemerintah. Namun mengingat keterbatasan dana, pemerintah membuka peluang investasi kepada swasta dengan memberikan konsesi pengelolaan secara komersial untuk jangka waktu tertentu.
Partisipasi Masyarakat
Sampai sejauh ini, pembangunan jalan tol di Indonesia berjalan lambat. Selama tiga puluh tahun sejak pembangunan dan pengoperasian jalan tol pertama, total panjang jalan tol yang sudah ada hanya mencapai sekitar 600-an kilometer lebih. Jumlah ini relatif rendah dibandingkan luas daratan Indonesia.
Sedangkan, Malaysia yang baru memulai pembangunan jalan tol sepuluh tahun dibelakang Indonesia kini memiliki lebih dari 6.000 km jalan tol. Bahkan China hanya dalam kurun dua puluh tahun sudah mampu membangun jalan tol lebih dari 90.000 km. Faktanya, infrastrukur jalan mampu memberikan stimulasi pesatnya pertumbuhan ekonomi sebuah negara.
Di sisi lain, kita juga harus menyadari bahwa pemerintah tidak memiliki dana yang memadai untuk membangun infrastruktur jalan, sehingga salah satu solusinya membuka peluang pada swasta untuk membangun jalan tol.
Rencana pemerintah membangun jalan tol Medan-Tebing Tinggi dan Medan-Binjai juga masih mengalami beberapa kendala termasuk masalah pembebasan lahan. Rencana pembangunan jalan tol Medan-Tebing Tinggi berjarak sekitar 70-an kilometer sangat mendesak direalisasikan. Apalagi saat ini pembangunan Bandara Kuala Namu sudah berjalan.
Diperkirakan, setelah bandara ini selesai dibangun dan beroperasi, roda perekonomian di sekitarnya akan bergerak dengan cepat. Pengembangan kawasan ini akan terjadi seiring dengan pembangunan infrastruktur pendukungnya termasuk jalan tol, sebagai jalan alternatif lebih lancar, cepat dan ekonomis.
Terlaksananya rencana pemerintah ini ke depan tidak terlepas dari peran serta masyarakat dan dukungan dari semua pihak yang terlibat. Dimana, apabila ada masyarakat yang tanahnya terkena pembangunan jalan tol janganlah mematok harga yang tidak wajar (sampai dua kali lipat dari NJOP). Sebab, jalan tol tersebut dibangun bukan untuk kepentingan satu golongan, satu perusahaan atau seseorang, tapi untuk kepentingan seluruh elemen masyarakat dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Itu sebabnya, semua elemen saat ini harus mempunyai rasa memiliki. Untuk mensosialisasikan rasa memiliki tadi, pemerintah perlu membangkitkan partisipasi masyarakat dalam setiap gerak pembangunan, salah satunya pembangunan jalan tol, sebagai jalan alternatif yang lebih lancar, cepat dan ekonomis.
Oleh James P. Pardede
Serangkaian dengan kunjungan kerja Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) ke Kuala Lumpur Malaysia beberapa waktu lalu, Analisa berkesempatan ikut rombongan DPD dan menikmati jalan-jalan di Kuala Lumpur Malaysia yang bersih dan nyaman.
Terutama saat rombongan DPD RI memenuhi undangan pemerintah Malaysia untuk bertemu dengan unsur pemerintahannya di kawasan perkantoran Putra Jaya Malaysia. Jika membandingkan perkembangan jalan-jalan tol di Malaysia dengan di Indonesia, boleh dikata kita tertinggal jauh. Berbicara tentang pembangunan jalan tol, Malaysia patut menjadi contoh bagi Indonesia. Meskipun 27 tahun lalu Malaysia belajar dari Indonesia, tapi fakta membuktikan saat ini pengelolaan tol negeri jiran itu jauh lebih maju.
Tak hanya dalam hal pembangunan jalan tol, beberapa sektor lainnya seperti bidang kesehatan. Indonesia yang dulunya menjadi tempat mereka berguru dan mahasiswa mereka belajar di Indonesia, sekarang justru terbalik. Kita malah jadi berguru dari murid sendiri, masyarakat kita justru berbondong-bondong berobat ke Malaysia.
Berdasar pada kajian dan kunjungan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) beberapa waktu lalu ke negara tetangga tersebut, ada beberapa hal yang bisa ditiru dari Malaysia, salah satu diantaranya adalah soal pembebasan tanah, yang selama ini menjadi hantu bagi investor tol di Indonesia.
Pembangunan jalan tol di satu kawasan bisa terhenti akibat Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) melonjak dua kali lipat dari rencana bisnis yang ditetapkan pada awal tender. Kasus-kasus seperti ini menunjukkan pemerintah tidak siap dalam melaksanakan pembangunan jalan tol. NJOP sebenarnya menjadi satu-satunya instrumen yang dapat dikendalikan, akan tetapi kenyataannya tidak demikian.
Seperti disampaikan Anggota DPD RI Asal Sumatera Utara Parlindungan Purba yang ikut dalam rombongan DPD ke Malaysia beberapa waktu lalu mengatakan, investasi pemerintah dalam pembangunan infrastruktur seperti jalan tol harus benar-benar matang dan mengikuti berbagai kajian.
“Pada umumnya, pembebasan lahan yang sangat sulit menjadi kendala pembangunan jalan tol di Indonesia. Disamping itu, perbankan nasional belum mempunyai skim kredit yang khusus di bidang infrastruktur seperti jalan tol, listrik dan yang lainnya,” paparnya. Dalam kaitan ini, lanjutnya, pemerintah harus memberi insentif bagi swasta apakah dalam bidang perizinan, dukungan perbankan agar cepat mengejar ketertinggalan,” tandasnya.
Lebih Panjang
Memang, pembebasan tanah untuk pembangunan jalan tol di Malaysia relatif tidak menimbulkan masalah berarti. Persoalannya Indonesia dan Malaysia memiliki perbedaan prinsip dalam mengadopsi pembebasan tanah. Tipikal masyarakat Indonesia juga tidak sama dengan negara tetangga.
Malaysia menganut sistem ‘memaksa’ dalam pengadaan tanah bagi fasilitas umum atau dikenal dengan pola “compulsory acquisition”, serta dilaksanakan melalui satu instansi saja dibawah kendali pemerintah. Bagi masyarakat yang tidak puas dapat mengajukan gugatan ganti rugi lebih tinggi, akan tetapi pembangunan tetap berlangsung.
Berbeda jauh dengan Indonesia. Sepanjang gugatan tanah belum selesai maka peralatan kerja tidak diperkenankan memasuki lokasi. Disamping itu pembebasan tanah juga melibatkan berbagai institusi di daerah maupun pusat yang membuat pelaksanaannya menjadi lebih panjang.
Memang sesuai Perpres No. 65 tahun 2005 revisi dari Pepres 36 tahun 2005 pemerintah memiliki kewenangan untuk mencabut hak atas tanah yang akan dilalui jalan tol. Akan tetapi prosesnya cukup panjang mulai dari rekomendasi pemerintah daerah di tingkat bawah (Bupati/ Walikota), Gubernur, Menteri PU, sebelum akhirnya dicabut oleh Presiden.
Sementara di Malaysia, pemerintah memiliki kekuatan memerintah masyarakatnya untuk pindah, di Indonesia sengketa tanah untuk jalan tol sering dibawa ke ranah politik. Akibatnya pemerintah tidak sepenuhnya berhasil melaksanakan pembebasan tanah.
Seperti dilansir dari Kompas (20/8) disebutkan bahwa hingga akhir tahun ini, baru akan dibangun 641 kilometer jalan tol dari rencana 1.600 kilometer. Tol Trans-Jawa juga gagal diwujudkan tahun 2009/2010 sebab lahan belum bebas sehingga konstruksi belum berdiri.
Salah satu upaya untuk mewujudkan konsep investasi pembangunan jalan tol sebagai dukungan terhadap rencna pemerintah untuk mengembangkan jaringan jalan tol dalam keterbatasan APBN adalah dengan menaikkan tarif tol. Upaya ini menjadi agenda terdekat yang dilakukan PT Jasa Marga (Persero) Tbk dalam mengatasi makin besarnya biaya operasional di lapangan.
Menurut Undang-Undang Jalan Nomor 38 Tahun 2004 disebutkan bahwa “...penyesuaian tarif tol tiap dua tahun...didasarkan tarif lama, yang disesuaikan dengan kenaikan tingkat inflasi...”
Dalam sebuah kesempatan Sekretaris Perusahaan PT Jasa Marga Okke Merlina menyampaikan bahwa kenaikan tarif tol berlaku di 13 ruas jalan tol di Indonesia, kecuali tol Sedyatmo dan tol Jakarta - Cikampek. Karena, tarif dua jalan tol ini sudah lebih dulu melakukan penyesuaian tarif.
Melihat perkembangan pembangunan jalan tol di beberapa daerah, mungkin ada anggapan dari sebagian besar masyarakat bahwa investasi di jalan bebas hambatan tersebut sangat menguntungkan dan membangun jalan tol di Indonesia adalah investasi yang empuk.
Anggapan ini belum tentu benar sebab risiko yang dihadapi juga ternyata sangat banyak. Risiko yang harus dihadapi antara lain risiko akibat volume lalulintas kendaraan yang jauh dari prediksi awal, biaya pembebasan tanah yang harganya selangit, suku bunga, inflasi, biaya konstruksi, biaya perawatan dan biaya-biaya lainnya.
Harus Berjalan
Salah satu contoh adalah pengelolaan jalan tol Belawan - Medan - Tanjung Morawa (Belmera) sepanjang 34 kilometer sampai hari ini belum menguntungkan sejak dioperasikan pada
tahun 1986.
Menurut Kepala Cabang Belmera, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, Ricky Distawardhana melalui Kabag Operasionalnya Ir. Teddy Rosady bahwa beban biaya operasional masih lebih besar dibandingkan dengan pendapatan. Salah satu penyebabnya adalah peningkatan pengguna jalan tol sangat kecil. Semester pertama tahun ini hanya 0,5 persen. Lima tahun terakhir peningkatannya dari 2 sampai 5 persen. Peningkatan ini sangat erat kaitannya dengan arus manusia dan barang.
Walaupun operasional beberapa ruas jalan tol di Indonesia belum memetik keuntungan yang sepadan, rencana pemerintah untuk terus meningkatkan pembangunan infrastruktur tetap harus berjalan. Sebab, mobilitas perekonomian Indonesia sangatlah tergantung pada keandalan dan tingkat layanan dari jaringan jalan. Berbagai barang diangkut melalui transportasi jalan darat. Sebuah survey dari tempat asal dan tujuan yang dilakukan oleh Departemen Perhubungan memperlihatkan bahwa sebesar 80 sampai 90 persen jalan berada di pulau Jawa dan Sumatera.
Pengadaan dan pembangunan infrastruktur jalan raya, termasuk jalan tol, merupakan tanggung jawab pemerintah. Namun mengingat keterbatasan dana, pemerintah membuka peluang investasi kepada swasta dengan memberikan konsesi pengelolaan secara komersial untuk jangka waktu tertentu.
Partisipasi Masyarakat
Sampai sejauh ini, pembangunan jalan tol di Indonesia berjalan lambat. Selama tiga puluh tahun sejak pembangunan dan pengoperasian jalan tol pertama, total panjang jalan tol yang sudah ada hanya mencapai sekitar 600-an kilometer lebih. Jumlah ini relatif rendah dibandingkan luas daratan Indonesia.
Sedangkan, Malaysia yang baru memulai pembangunan jalan tol sepuluh tahun dibelakang Indonesia kini memiliki lebih dari 6.000 km jalan tol. Bahkan China hanya dalam kurun dua puluh tahun sudah mampu membangun jalan tol lebih dari 90.000 km. Faktanya, infrastrukur jalan mampu memberikan stimulasi pesatnya pertumbuhan ekonomi sebuah negara.
Di sisi lain, kita juga harus menyadari bahwa pemerintah tidak memiliki dana yang memadai untuk membangun infrastruktur jalan, sehingga salah satu solusinya membuka peluang pada swasta untuk membangun jalan tol.
Rencana pemerintah membangun jalan tol Medan-Tebing Tinggi dan Medan-Binjai juga masih mengalami beberapa kendala termasuk masalah pembebasan lahan. Rencana pembangunan jalan tol Medan-Tebing Tinggi berjarak sekitar 70-an kilometer sangat mendesak direalisasikan. Apalagi saat ini pembangunan Bandara Kuala Namu sudah berjalan.
Diperkirakan, setelah bandara ini selesai dibangun dan beroperasi, roda perekonomian di sekitarnya akan bergerak dengan cepat. Pengembangan kawasan ini akan terjadi seiring dengan pembangunan infrastruktur pendukungnya termasuk jalan tol, sebagai jalan alternatif lebih lancar, cepat dan ekonomis.
Terlaksananya rencana pemerintah ini ke depan tidak terlepas dari peran serta masyarakat dan dukungan dari semua pihak yang terlibat. Dimana, apabila ada masyarakat yang tanahnya terkena pembangunan jalan tol janganlah mematok harga yang tidak wajar (sampai dua kali lipat dari NJOP). Sebab, jalan tol tersebut dibangun bukan untuk kepentingan satu golongan, satu perusahaan atau seseorang, tapi untuk kepentingan seluruh elemen masyarakat dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Itu sebabnya, semua elemen saat ini harus mempunyai rasa memiliki. Untuk mensosialisasikan rasa memiliki tadi, pemerintah perlu membangkitkan partisipasi masyarakat dalam setiap gerak pembangunan, salah satunya pembangunan jalan tol, sebagai jalan alternatif yang lebih lancar, cepat dan ekonomis.
Menumbuhkan Motivasi, Menggali Potensi yang Tersembunyi
Oleh : James P. Pardede
Tidak mudah untuk mewujudkan target Indonesia menurunkan angka buta aksara hingga 5 persen pada 2009 mendatang, diperlukan komitmen semua elemen bangsa dan inovasi-inovasi yang kreatif oleh para tutor dalam memelekaksarakan warga belajar buta aksara di beberapa daerah di Indonesia. Terutama daerah yang angka buta aksaranya masih tergolong sangat tinggi.
Dalam sebuah kesempatan, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengemukakan bahwa untuk menuntaskan masalah buta aksara agar lebih cepat dan efisien perlu ‘dikeroyok’ ramai-ramai. Mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah (pemda), swasta, perusahaan, LSM maupun organisasi kemasyarakatan.
Memang, siapa pun mengakui kalau potret masyarakat buta huruf atau buta aksara identik dengan kantong kemiskinan pengetahuan, keterampilan, dan keterbelakangan. Oleh karena itu, fenomena daerah tertinggal memang senantiasa bersentuhan langsung dengan karakteristik masyarakatnya yang bercirikan keterbatasan sumber daya baik sumber daya alam apalagi sumber daya manusianya.
Untuk menetapkan daerah miskin beberapa variabel dominannya dirujuk dari pendapatan penduduk, kecukupan kebutuhan dasar, dan derajat kesehatan. Hasilnya menunjukkan bahwa kantong kemiskinan bagi masyarakat Indonesia tersebar di ribuan kecamatan dan ribuan desa tertinggal. Adapun ukuran kemiskinan pengetahuan, khususnya masyarakat yang dikategorikan buta huruf dan buta aksara, dilihat dari sensus penduduk yang datanya menunjukkan bahwa masyarakat tersebut (baca: usia 15-44 tahun) mengidap penyakit tiga buta, buta aksara, buta pengetahuan umum/pendidikan dasar, dan buta bahasa Indonesia.
Selain itu, tingginya angka putus sekolah di tingkat SD terutama kelas 1,2,dan 3 juga berpotensi menciptakan buta aksara. Jika melihat perkembangan penurunan buta aksara hingga 2006, hasilnya sangat menggembirakan. Tapi semakin sedikit jumlah penduduk buta aksara, maka akan semakin sulit memberantasnya. Karena, penduduk buta aksara yang tersisa adalah yang termasuk dalam golongan hardrock (sangat sulit dimelekaksarakan).
Mengatasi permasalahan masih tingginya angka buta aksara, diperlukan kerja sama berbagai pihak seperti dipaparkan di atas. Misalnya, lembaga atau instansi pemerintah seperti perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan unit pelaksana teknis. Selain itu, juga diperlukan peran swasta seperti perusahaan, BUMN, perbankan, serta organisasi masyarakat dan keagamaan.
Menumbuhkan Motivasi
Jika mengamati kondisi buta aksara di Indonesia, maka pola pembelajaran bagi penduduk buta aksara harus dilaksanakan secara utuh dan terpadu. Bila perlu, upaya-upaya dengan pendekatan psikologis dan profesi perlu diterapkan, antara lain menumbuhkan motivasi warga belajar yang terdeteksi dalam kategori warga buta aksara.
Motivasi warga belajar adalah dorongan yang menyebabkan terjadinya suatu perbuatan atau tindakan tertentu. Belajar terjadi karena adanya motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan belajar. Dorongan itu dapat timbul dari diri warga belajar yang bersumber dari kebutuhan tertentu yang ingin mendapat pemuasan; atau dorongan yang timbul karena rangsangan dari luar diri warga belajar, sehingga ia melakukan kegiatan belajar.
Motivasi yang timbul dari dalam diri warga belajar akan lebih baik dibandingkan dengan motivasi yang disebabkan oleh rangsangan dari luar, namun dalam prakteknya seringkali motivasi dari dalam sulit ditemui bahkan cenderung tidak ada. Keadaan demikian memerlukan rangsangan dari luar sehingga timbul motivasi belajar.
Rangsangan atau upaya menumbuhkan motivasi warga belajar sebenarnya masih memerlukan cara-cara yang inovatif dan kreatif. Apakah itu lewat pendekatan kekeluargaan, keagamaan atau lewat pekerjaan. Pendekatan lewat kekeluargaan dan keagamaan mungkin tidak terlalu sulit. Yang sulit adalah pendekatan lewat pekerjaan. Berdasarkan fakta di lapangan, para pekerja termasuk petani di beberapa daerah sangat sulit membagi waktu untuk belajar dan bekerja.
Kreatifitas dari tutor dalam menggiring dan menumbuhkan motivasi warga seperti ini sangat menentukan. Sebab, warga belajar yang ingin diberdayakan kebanyakan dari kalangan orang dewasa (usia antara 15 - 44 tahun) yang telah banyak makan ‘asam dan garam’ kehidupan.
Dalam pertumbuhan seseorang sampai masa dewasa, dia banyak memperoleh pengalaman dalam hidupnya, dan telah banyak belajar dari pengalaman hidup tersebut. Hasil dari pengalaman itulah yang menentukan sikap hidup, pendirian, jalan pikiran, nilai dan sebagainya dari orang bersangkutan.
Apabila sikap hidup, pikiran, ide, pengalaman, informasi dan sebagainya yang terdapat pada diri warga belajar dipupuk dan dikembangkan, maka akan membantu perkembangan atau kemajuan belajarnya. Sebaliknya, apabila hal itu ternyata menghalangi kemajuan belajar yang bersangkutan, maka menjadi kewajiban tutor untuk mengadakan usaha untuk merubah sikap hidup, pendirian atau jalan pikiran tersebut, sehingga dapat membantunya ke arah kemajuan yang dicita-citakan.
Perlu diketahui, bahwa sikap dan pendirian yang menjadi penghalang antara lain: Pertama, lekas merasa puas dengan hasil yang telah dicapai (tidak ingin mencapai hasil yang lebih baik). Kedua, tidak suka memanfaatkan waktu luang dengan kegiatan-kegiatan yang sebenarnya memberi manfaat positif. Ketiga, tidak suka mengadakan penelitian atau perhitungan sebelum melakukan sesuatu pekerjaan. Keempat, kurang tekun dan disiplin dalam melakukan sesuatu. Kelima, mengabaikan aturan-aturan atau norma-norma yang berdasar ilmu pengetahuan. Keenam, tidak percaya pada kemampuan diri sendiri dan ketujuh, tidak suka bekerjasama dengan orang lain.
Karena sikap hidup dan pendirian tersebut, merupakan hasil pengalaman masa lampau, maka untuk mengubahnya harus diberikan pengalaman-pengalaman baru dan motivasi-motivasi positif yang pada akhirnya menimbulkan pengertian, kesadaran dan keyakinan bahwa mereka memiliki potensi yang tersembunyi. Bahwa mereka memiliki potensi yang harus digali agar memiliki rasa percaya pada diri sendiri, membuang rasa gengsi yang tinggi, meninggalkan sikap mau menang sendiri dan mengedepankan kebersamaan dalam menyelesaikan sebuah persoalan.
Upaya menumbuhkan motivasi kepada warga belajar dan calon warga belajar harus dapat menyadarkan dan meyakinakan warga belajar bahwa mereka yang cepat merasa puas dengan hasil pekerjaannya akan jauh ketinggalan dengan mereka yang selalu ingin mencapai hasil yang lebih baik. Memberi pengalaman baru dan menumbuhkan motivasi warga belajar harus dilaksanakan sebagai tindakan sosial edukatif dalam program keaksaraan fungsional terhadap warga belajar.
Dengan memperhatikan hal-hal seperti dikemukakan di atas, para pengelola program keaksaraan fungsional senantiasa harus berusaha untuk dapat mengenal dan memahami berbagai segi kehidupan orang dewasa. Dengan demikian, kita dapat mengenal dan memahami unsur-unsur kehidupan orang dewasa itu yang benar-benar membawa keuntungan dan manfaat lahir bathin bagi setiap individu dan masyarakat secara keseluruhannya. Unsur-unsur yang mengandung kegunaan inilah yang harus dijadikan bahan dalam menyusun materi pembelajaran.
Menggali Potensi
Setelah upaya penyadaran dan motivasi dari warga belajar tumbuh dengan baik dan dengan memperhatikan tingkat kecerdasan serta kemampuan belajar pada orang dewasa sebagaimana dikemukakan di atas, maka dalam program keaksaraan fungsional kita perlu berpedoman pada konsep : materi pembelajaran menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, materi pembelajaran dengan contoh-contoh dari kehidupan sehari-hari, mengajak mereka mencari contoh dari kehidupan mereka sendiri, mengajak mereka memahami tentang sesuatu hal sebab akibat, mempraktekkan hal-hal yang telah diajarkan, jangan bebani mereka dengan hafalan dan berikan mereka rangsangan untuk berfikir dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat menggali kemampuan berfikir mereka.
Sebenarnya, yang paling penting dalam penuntasan warga buta aksara adalah bagaimana cara menggali potensi yang tersembunyi di dalam diri mereka. Dengan menggali potensi tersebut kita akan mengetahui ke arah mana minat dan kemampuan mereka dalam meningkatkan taraf hidupnya di kemudian hari.
Lantas, kenapa pemberantasan buta aksara begitu penting sampai pemerintah meluncurkan program nasional yang diberi nama Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Aksara (GNPBA) ?
Karena pemberantasan buta aksara merupakan bagian dari Education for All dan Millenium Development Goals (MDGs). Maka pelaksanaannya bukan cuma bertujuan agar warga buta aksara menjadi melek huruf latin atau bisa berhitung. Tapi lebih dari itu, warga buta aksara juga harus didorong untuk bisa meningkatkan kualitas hidupnya.
Upaya-upaya lainnya yang bisa dilakukan untuk memberdayakan warga buta aksara setelah mendapat dukungan motivasi dan penyadaran dari berbagai elemen sebenarnya masih sangat beragam.
Misalnya, melalui program bekerja sambil belajar yang merupakan pola pembelajaran dan pemberdayaan penduduk secara terpadu antara upaya pembinaan pengetahuan dan keterampilan upajiwa dan mencari nafkah (vokasional). Inilah yang dinamakan pendekatan bekerja dan belajar, yang dapat diterapkan dalam memberdayakan penduduk usia dewasa (baca: buta aksara) melalui pendekatan andragogi dan integratif.
Pendekatan dengan bahan ajar yang langsung bersentuhan dengan profesi warga belajar diharapkan akan lebih memudahkan mereka dalam menyerap pelajaran yang disampaikan.
Jaringan Belajar
Disamping itu, ada beberapa konsekuensi logis dalam pendekatan tutorial terpadu ini khususnya dalam konteks percepatan pemberantasan buta aksara sambil bekerja. Pertama, kegiatan pemberdayaan penduduk dewasa (15-44 tahun) dalam upaya memberantas kemiskinan pengetahuan dan ketunaan keterampilan ini hendaknya bermula dari upaya menggenjot kesadaran dari warga belajar itu sendiri (inner consciousness) bahwa belajar sambil bekerja pada hakikatnya merupakan suatu kebutuhan di samping kewajiban.
Melalui program tutorial terpadu ini diharapkan dapat ditingkatkan dan diberdayakan kemauan dan potensi setiap penduduk atau warga belajar untuk berbuat yang terbaik termasuk belajar untuk melek huruf, menambah pengetahuan dan keterampilan.
Kedua, pola tutorial terpadu hendaknya diikuti dengan pembangunan jaringan belajar (learning network) yang dapat mengondisikan setiap penduduk/warga belajar untuk senantiasa melek ilmu pengetahuan dan keterampilan. Ini berarti warga belajar tidak berhenti seusai mengikuti program pendidikan keaksaraan dan sekadar memperoleh surat keterangan melek aksara (Sukma).
Melalui jaringan belajar masyarakat ini seperti dibangunnya perpustakaan desa, taman bacaan masyarakat, pusat sumber belajar masyarakat, dan lain-lain diharapkan masyarakat/warga belajar diajak untuk terus belajar sepanjang hayat (life long education) dalam rangka peningkatan kualitas hidupnya.
Ini perlu ditindaklanjuti keberadaannya mengingat pada beberapa kasus pelaksanaan pendidikan keaksaraan, banyak warga belajar yang tadinya sudah mulai melek aksara/huruf, mereka kembali menjadi masyarakat yang “lupa huruf”. Alasannya, antara lain tidak adanya kesinambungan program pembelajaran setelah mengikuti pendidikan keaksaraan karena tidak dibinanya jaringan belajar di antara kelompok masyarakat/warga belajar itu sendiri.
Pada akhirnya, dukungan dan partisipasi masyarakat sangat mutlak dibutuhkan untuk menunjang program pengentasan buta aksara yang tengah digalakkan oleh pemerintah. Melibatkan seluruh komponen masyarakat bertujuan untuk menggalakkan kerja sama dan menumbuhkan rasa tanggungjawab moral untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara, menghilangkan kebodohan dan mengurangi angka kemiskinan. Jika semua elemen masyarakat memiliki komitmen untuk ikut menumbuhkan motivasi dan menggali potensi yang tersembunyi dari warga buta aksara di negeri ini, target pemerintah ke depan untuk membebaskan Indonesia dari buta aksara bisa terealisasi. Semoga.
Oleh : James P. Pardede
Tidak mudah untuk mewujudkan target Indonesia menurunkan angka buta aksara hingga 5 persen pada 2009 mendatang, diperlukan komitmen semua elemen bangsa dan inovasi-inovasi yang kreatif oleh para tutor dalam memelekaksarakan warga belajar buta aksara di beberapa daerah di Indonesia. Terutama daerah yang angka buta aksaranya masih tergolong sangat tinggi.
Dalam sebuah kesempatan, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengemukakan bahwa untuk menuntaskan masalah buta aksara agar lebih cepat dan efisien perlu ‘dikeroyok’ ramai-ramai. Mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah (pemda), swasta, perusahaan, LSM maupun organisasi kemasyarakatan.
Memang, siapa pun mengakui kalau potret masyarakat buta huruf atau buta aksara identik dengan kantong kemiskinan pengetahuan, keterampilan, dan keterbelakangan. Oleh karena itu, fenomena daerah tertinggal memang senantiasa bersentuhan langsung dengan karakteristik masyarakatnya yang bercirikan keterbatasan sumber daya baik sumber daya alam apalagi sumber daya manusianya.
Untuk menetapkan daerah miskin beberapa variabel dominannya dirujuk dari pendapatan penduduk, kecukupan kebutuhan dasar, dan derajat kesehatan. Hasilnya menunjukkan bahwa kantong kemiskinan bagi masyarakat Indonesia tersebar di ribuan kecamatan dan ribuan desa tertinggal. Adapun ukuran kemiskinan pengetahuan, khususnya masyarakat yang dikategorikan buta huruf dan buta aksara, dilihat dari sensus penduduk yang datanya menunjukkan bahwa masyarakat tersebut (baca: usia 15-44 tahun) mengidap penyakit tiga buta, buta aksara, buta pengetahuan umum/pendidikan dasar, dan buta bahasa Indonesia.
Selain itu, tingginya angka putus sekolah di tingkat SD terutama kelas 1,2,dan 3 juga berpotensi menciptakan buta aksara. Jika melihat perkembangan penurunan buta aksara hingga 2006, hasilnya sangat menggembirakan. Tapi semakin sedikit jumlah penduduk buta aksara, maka akan semakin sulit memberantasnya. Karena, penduduk buta aksara yang tersisa adalah yang termasuk dalam golongan hardrock (sangat sulit dimelekaksarakan).
Mengatasi permasalahan masih tingginya angka buta aksara, diperlukan kerja sama berbagai pihak seperti dipaparkan di atas. Misalnya, lembaga atau instansi pemerintah seperti perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan unit pelaksana teknis. Selain itu, juga diperlukan peran swasta seperti perusahaan, BUMN, perbankan, serta organisasi masyarakat dan keagamaan.
Menumbuhkan Motivasi
Jika mengamati kondisi buta aksara di Indonesia, maka pola pembelajaran bagi penduduk buta aksara harus dilaksanakan secara utuh dan terpadu. Bila perlu, upaya-upaya dengan pendekatan psikologis dan profesi perlu diterapkan, antara lain menumbuhkan motivasi warga belajar yang terdeteksi dalam kategori warga buta aksara.
Motivasi warga belajar adalah dorongan yang menyebabkan terjadinya suatu perbuatan atau tindakan tertentu. Belajar terjadi karena adanya motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan belajar. Dorongan itu dapat timbul dari diri warga belajar yang bersumber dari kebutuhan tertentu yang ingin mendapat pemuasan; atau dorongan yang timbul karena rangsangan dari luar diri warga belajar, sehingga ia melakukan kegiatan belajar.
Motivasi yang timbul dari dalam diri warga belajar akan lebih baik dibandingkan dengan motivasi yang disebabkan oleh rangsangan dari luar, namun dalam prakteknya seringkali motivasi dari dalam sulit ditemui bahkan cenderung tidak ada. Keadaan demikian memerlukan rangsangan dari luar sehingga timbul motivasi belajar.
Rangsangan atau upaya menumbuhkan motivasi warga belajar sebenarnya masih memerlukan cara-cara yang inovatif dan kreatif. Apakah itu lewat pendekatan kekeluargaan, keagamaan atau lewat pekerjaan. Pendekatan lewat kekeluargaan dan keagamaan mungkin tidak terlalu sulit. Yang sulit adalah pendekatan lewat pekerjaan. Berdasarkan fakta di lapangan, para pekerja termasuk petani di beberapa daerah sangat sulit membagi waktu untuk belajar dan bekerja.
Kreatifitas dari tutor dalam menggiring dan menumbuhkan motivasi warga seperti ini sangat menentukan. Sebab, warga belajar yang ingin diberdayakan kebanyakan dari kalangan orang dewasa (usia antara 15 - 44 tahun) yang telah banyak makan ‘asam dan garam’ kehidupan.
Dalam pertumbuhan seseorang sampai masa dewasa, dia banyak memperoleh pengalaman dalam hidupnya, dan telah banyak belajar dari pengalaman hidup tersebut. Hasil dari pengalaman itulah yang menentukan sikap hidup, pendirian, jalan pikiran, nilai dan sebagainya dari orang bersangkutan.
Apabila sikap hidup, pikiran, ide, pengalaman, informasi dan sebagainya yang terdapat pada diri warga belajar dipupuk dan dikembangkan, maka akan membantu perkembangan atau kemajuan belajarnya. Sebaliknya, apabila hal itu ternyata menghalangi kemajuan belajar yang bersangkutan, maka menjadi kewajiban tutor untuk mengadakan usaha untuk merubah sikap hidup, pendirian atau jalan pikiran tersebut, sehingga dapat membantunya ke arah kemajuan yang dicita-citakan.
Perlu diketahui, bahwa sikap dan pendirian yang menjadi penghalang antara lain: Pertama, lekas merasa puas dengan hasil yang telah dicapai (tidak ingin mencapai hasil yang lebih baik). Kedua, tidak suka memanfaatkan waktu luang dengan kegiatan-kegiatan yang sebenarnya memberi manfaat positif. Ketiga, tidak suka mengadakan penelitian atau perhitungan sebelum melakukan sesuatu pekerjaan. Keempat, kurang tekun dan disiplin dalam melakukan sesuatu. Kelima, mengabaikan aturan-aturan atau norma-norma yang berdasar ilmu pengetahuan. Keenam, tidak percaya pada kemampuan diri sendiri dan ketujuh, tidak suka bekerjasama dengan orang lain.
Karena sikap hidup dan pendirian tersebut, merupakan hasil pengalaman masa lampau, maka untuk mengubahnya harus diberikan pengalaman-pengalaman baru dan motivasi-motivasi positif yang pada akhirnya menimbulkan pengertian, kesadaran dan keyakinan bahwa mereka memiliki potensi yang tersembunyi. Bahwa mereka memiliki potensi yang harus digali agar memiliki rasa percaya pada diri sendiri, membuang rasa gengsi yang tinggi, meninggalkan sikap mau menang sendiri dan mengedepankan kebersamaan dalam menyelesaikan sebuah persoalan.
Upaya menumbuhkan motivasi kepada warga belajar dan calon warga belajar harus dapat menyadarkan dan meyakinakan warga belajar bahwa mereka yang cepat merasa puas dengan hasil pekerjaannya akan jauh ketinggalan dengan mereka yang selalu ingin mencapai hasil yang lebih baik. Memberi pengalaman baru dan menumbuhkan motivasi warga belajar harus dilaksanakan sebagai tindakan sosial edukatif dalam program keaksaraan fungsional terhadap warga belajar.
Dengan memperhatikan hal-hal seperti dikemukakan di atas, para pengelola program keaksaraan fungsional senantiasa harus berusaha untuk dapat mengenal dan memahami berbagai segi kehidupan orang dewasa. Dengan demikian, kita dapat mengenal dan memahami unsur-unsur kehidupan orang dewasa itu yang benar-benar membawa keuntungan dan manfaat lahir bathin bagi setiap individu dan masyarakat secara keseluruhannya. Unsur-unsur yang mengandung kegunaan inilah yang harus dijadikan bahan dalam menyusun materi pembelajaran.
Menggali Potensi
Setelah upaya penyadaran dan motivasi dari warga belajar tumbuh dengan baik dan dengan memperhatikan tingkat kecerdasan serta kemampuan belajar pada orang dewasa sebagaimana dikemukakan di atas, maka dalam program keaksaraan fungsional kita perlu berpedoman pada konsep : materi pembelajaran menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, materi pembelajaran dengan contoh-contoh dari kehidupan sehari-hari, mengajak mereka mencari contoh dari kehidupan mereka sendiri, mengajak mereka memahami tentang sesuatu hal sebab akibat, mempraktekkan hal-hal yang telah diajarkan, jangan bebani mereka dengan hafalan dan berikan mereka rangsangan untuk berfikir dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat menggali kemampuan berfikir mereka.
Sebenarnya, yang paling penting dalam penuntasan warga buta aksara adalah bagaimana cara menggali potensi yang tersembunyi di dalam diri mereka. Dengan menggali potensi tersebut kita akan mengetahui ke arah mana minat dan kemampuan mereka dalam meningkatkan taraf hidupnya di kemudian hari.
Lantas, kenapa pemberantasan buta aksara begitu penting sampai pemerintah meluncurkan program nasional yang diberi nama Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Aksara (GNPBA) ?
Karena pemberantasan buta aksara merupakan bagian dari Education for All dan Millenium Development Goals (MDGs). Maka pelaksanaannya bukan cuma bertujuan agar warga buta aksara menjadi melek huruf latin atau bisa berhitung. Tapi lebih dari itu, warga buta aksara juga harus didorong untuk bisa meningkatkan kualitas hidupnya.
Upaya-upaya lainnya yang bisa dilakukan untuk memberdayakan warga buta aksara setelah mendapat dukungan motivasi dan penyadaran dari berbagai elemen sebenarnya masih sangat beragam.
Misalnya, melalui program bekerja sambil belajar yang merupakan pola pembelajaran dan pemberdayaan penduduk secara terpadu antara upaya pembinaan pengetahuan dan keterampilan upajiwa dan mencari nafkah (vokasional). Inilah yang dinamakan pendekatan bekerja dan belajar, yang dapat diterapkan dalam memberdayakan penduduk usia dewasa (baca: buta aksara) melalui pendekatan andragogi dan integratif.
Pendekatan dengan bahan ajar yang langsung bersentuhan dengan profesi warga belajar diharapkan akan lebih memudahkan mereka dalam menyerap pelajaran yang disampaikan.
Jaringan Belajar
Disamping itu, ada beberapa konsekuensi logis dalam pendekatan tutorial terpadu ini khususnya dalam konteks percepatan pemberantasan buta aksara sambil bekerja. Pertama, kegiatan pemberdayaan penduduk dewasa (15-44 tahun) dalam upaya memberantas kemiskinan pengetahuan dan ketunaan keterampilan ini hendaknya bermula dari upaya menggenjot kesadaran dari warga belajar itu sendiri (inner consciousness) bahwa belajar sambil bekerja pada hakikatnya merupakan suatu kebutuhan di samping kewajiban.
Melalui program tutorial terpadu ini diharapkan dapat ditingkatkan dan diberdayakan kemauan dan potensi setiap penduduk atau warga belajar untuk berbuat yang terbaik termasuk belajar untuk melek huruf, menambah pengetahuan dan keterampilan.
Kedua, pola tutorial terpadu hendaknya diikuti dengan pembangunan jaringan belajar (learning network) yang dapat mengondisikan setiap penduduk/warga belajar untuk senantiasa melek ilmu pengetahuan dan keterampilan. Ini berarti warga belajar tidak berhenti seusai mengikuti program pendidikan keaksaraan dan sekadar memperoleh surat keterangan melek aksara (Sukma).
Melalui jaringan belajar masyarakat ini seperti dibangunnya perpustakaan desa, taman bacaan masyarakat, pusat sumber belajar masyarakat, dan lain-lain diharapkan masyarakat/warga belajar diajak untuk terus belajar sepanjang hayat (life long education) dalam rangka peningkatan kualitas hidupnya.
Ini perlu ditindaklanjuti keberadaannya mengingat pada beberapa kasus pelaksanaan pendidikan keaksaraan, banyak warga belajar yang tadinya sudah mulai melek aksara/huruf, mereka kembali menjadi masyarakat yang “lupa huruf”. Alasannya, antara lain tidak adanya kesinambungan program pembelajaran setelah mengikuti pendidikan keaksaraan karena tidak dibinanya jaringan belajar di antara kelompok masyarakat/warga belajar itu sendiri.
Pada akhirnya, dukungan dan partisipasi masyarakat sangat mutlak dibutuhkan untuk menunjang program pengentasan buta aksara yang tengah digalakkan oleh pemerintah. Melibatkan seluruh komponen masyarakat bertujuan untuk menggalakkan kerja sama dan menumbuhkan rasa tanggungjawab moral untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara, menghilangkan kebodohan dan mengurangi angka kemiskinan. Jika semua elemen masyarakat memiliki komitmen untuk ikut menumbuhkan motivasi dan menggali potensi yang tersembunyi dari warga buta aksara di negeri ini, target pemerintah ke depan untuk membebaskan Indonesia dari buta aksara bisa terealisasi. Semoga.
Seabad Kebangkitan Nasional :
Mempertanyakan Kejujuran Dunia Pendidikan
Tahun ini Indonesia memperingati Seratus tahun Hari Kebangkitan Nasional (Seabad Kebangkitan Nasional). Di beberapa kota, berbagai event telah digelar untuk menyemarakkan acara ini. Yang pasti, memperingati Seabad Kebangkitan kiranya jangan hanya seremonial belaka. Hari ini di peringati, keesokan harinya gaungnya hilang lenyap ditelan bumi.
Secara khusus, tulisan ini akan menyoroti permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan kita setelah 100 tahun bangkit dari keterpurukan. Salah satu topik hangat yang diperbincangkan di berbagai media adalah masalah kecurangan Ujian Nasional (UN) di tingkat pendidikan menengah.
Permasalahan kecurangan pelaksanaan ujian nasional (UN) telah menyita perhatian banyak kalangan. Adanya kecurangan dalam pelaksanaam UN tersebut dibeberkan oleh Komunitas Air Mata Guru (KAMG). Sejumlah barang bukti tentang indikasi pelanggaran UN tersebut diserahkan ke DPD dan dalam sidang paripurna DPD membahas UN ditolak saja.
Sejak adanya kecurangan UN tersebut, beberapa elemen melakukan aksi penolakan UN di Indonesia. Akan tetapi, Mendiknas kembali menegaskan bahwa UN tetap dijalankan. Tahun ini, UN sudah berlangsung, bagi siswa yang sudah mengikuti ujian, sekarang mereka sedang menunggu hasil ujian apakah mereka dinyatakan lulus atau harus mengulang kembali.
Kecurangan UN tahun lalu sebenarnya masih berbekas dalam ingatan kita. Tahun ini kecurangan itu kembali terjadi. Komunitas Air Mata Guru beberapa waktu lalu menyerahkan Laporan Independen Kronologis Pelanggaran POS dan Kecurangan UN SMA/SMK dan SMP?Sederajat 2008 di Sumut ke Anggota DPD RI Asal Provinsi Sumut Parlindungan Purba,SH,MM.
Dalam laporan yang dibacakan oleh Direktur Eksekutif KAMG Januar Pasaribu didampingi Dewan Pembina Denny Boi Saragih terungkap beberapa kasus kecurangan UN di beberapa sekolah di Sumut.
“Sejauh ini, KAMG telah menemukan 21 lokasi terjadinya pelanggaran POS dan kecurangan UN, serta 16 modus operandi pelanggaran POS dan Kecurangan UN 2008 di Sumut untuk tingkat SMA/SMK. Sedangkan untuk tingkat SMP/Sederajat ditemukan 16 lokasi terjadinya pelanggaran POS dan kecurangan UN, 7 modus operandi pelanggaran POS dan kecurangan UN 2008,” jelas Januar Pasaribu.
Beberapa modus pelanggaran POS dan kecurangan UN yang ditemukan dilapangan, kata Januar Pasaribu antara lain guru diminta mengerjakan soal UN di tempat mereka mengajar, pembagian jawaban UN kepada siswa, amplop Lembar Jawaban Ujian Nasional (LJUN) tidak disegel dan dilak, memperbaiki LJUN di sekolah, mengkomunikasikan jawaban lewat SMS, kunci jawaban di tulis di papan ujian, mengijinkan siswa bekerjasama, pembatalan SK guru yang memiliki sikap tegas dalam mengawas dan menjalin kerjasama dengan bimbingan belajar di Medan untuk menyediakan jawaban UN.
Menurut Dewan Pembina KAMG, pelanggaran POS dan kecurangan UN tidak hanya terjadi di sekolah-sekolah yang bukan favorite (berdasarkan catatan pemeringkatan sekolah oleh pemerintah), di sekolah favorite pun juga terjadi kecurangan UN.
Dalam pengungkapan dan penyampaian laporan independen kepada Anggota DPD RI tersebut, KAMG juga memutar video hasil investigasi di lapangan secara tersembunyi. Dalam video tersebut jelas terlihat siswa sengaja datang lebih cepat untuk mempersiapkan contekan (ilmu baru dalam ujian-kopekologi) dimana jawaban-jawaban soal UN telah didistribusikan oleh ‘oknum’ lewat SMS ke HP para siswa. Siswa dengan cekatan menulis jawaban di sapu tangan, kertas kecil dan menyelipkannya di bagian tubuh yang tersembunyi.
Menolak UN
Ironis sekali!! Dunia pendidikan kita telah kehilangan kepercayaan. Sedikit saja rasa jujur ditunjukkan dalam pelaksanaan UN di sekolah-sekolah, akan dianggap sebagai penghianat oleh oknum lain yang menginginkan peringkat sekolahnya bisa dipertahankan.
Anggota DPD RI Parlindungan Purba dengan tegas telah menyatakan agar UN dihapuskan. Opini ini telah terlempar sejak beberapa tahun lalu dan dibawa dalam sidang paripurna di Gedung Senayan.
“Bagaimana mungkin UN bisa berjalan dengan baik kalau kesejahteraan guru-guru yang mengajar masih terlupakan. Menurut laporan, guru-huru yang telah lulus sertifikasi pun belum jelas kapan ia mendapatkan honor yang dijanjikan,” tandas Parlindungan.
Dalam sidak ke beberapa sekolah, kata Parlindungan, masih ada ditemukan sekolah di tengah-tengah kota Medan yang bangunannya hampir rubuh. Guru-guru dan kepala sekolah di tempat tersebut merasa pesismis dengan kondisi dunia pendidikan kita sekarang.
“Sudah berkali-kali sekolah ini diberitakan di koran dan TV, bahkan sudah ebrtahun-tahun, tapi perhatian dari pemerintah masih setengah hati. Kalau hujan turun, proses belajar mengajar akan terganggu karena murid dan guru harus menyelamatkan diri ke lokasi yang tidak terkena hujan,” papar seorang guru yang menolak memberikan namanya.
Ini semua kenyataan yang terjadi di dunia pendidikan kita. Masih banyak elemen yang harus dibenahi. Yang terpenting lagi adalah masalah moralitas bangsa ini. Kalau gurunya sudah melakukan kecurangan, bagaimana pun murid akan mengikuti sikap yang salah tersebut. “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari,” begitu kata pepatah.
Dari kenyataan-kenyataan ini, tegas Parlindungan, ternyata kita belum mampu memproses manusia yang merdeka; mendidik manusia untuk benar-benar menjadi merdeka. Mereka belum mampu memerdekakan bangsa dan manusia Indonesia dari sikap dan sifatnya yang minder, yang tidak fair, yang digerakkan oleh mentalitas kuli dan babu yang cenderung menjilat ke atas dan menginjak ke bawah, yang tidak setia kepada kawan, mudah mengkhianati dan menjualnya, yang enak dan tega memfitnah dan membunuh nama baik dan kesempatan kawan. Dari sana kemudian lahir suatu watak yang tidak suka membela kebenaran.
Suka tidak suka, sadar tidak sadar, harus dikatakan bahwa inilah cermin sebagian besar elite politik kita saat ini, yang tidak berani mengadakan perubahan secara radikal dengan merombak sistem lama yang penuh kepalsuan.
Kejujuran
Sungguh ironis, karena sudah tahu sistem tersebut penuh dengan kebobrokan, namun justru tetap dilestarikan karena berdalih menjaga kesopanan. Tidak ada kesadaran bahwa selama sistem lama masih bercokol, jangan harap menghasilkan elite yang berkualitas.
Akar persoalannya bisa kita lacak, setidak-tidaknya dari bagaimana karakter sistem pendidikan diselenggarakan. Kita melihat bahwa pendidikan dalam bangsa ini hanya menjadi instrumen kekuasaan politik. Pendidikan disubordinasikan dalam kekuasaan politik, dan menghasilkan manusia yang hanya pandai ikut-ikutan.
Mereka bagaikan robot yang dikendalikan oleh remote control, yakni pemegang kekuasaan dan pemilik modal, melalui ideologi penyeragaman. Ini membuat mereka hanya mampu menunggu petunjuk serta pedoman dari atas.
Akibatnya birokrasi menjadi lambat dalam merespon perubahan. Ketidakmampuan itu disebabkan oleh ketidakberdayaan mereka untuk keluar dari kultur lama. Dalam kultur lam itu kemandiran individu direduksi menjadi ketaatan buta yang dikendalikan oleh sistem penyeragaman. Ini membuat reformasi terseok-seok, yang disebabkan oleh ketidakberdayaan untuk merespon perubahan yang begitu cepat.
Seharusnya, tutur Parlindungan, sistem pendidikan yang utuh adalah sistem pendidikan yang terkait dengan penanaman nilai, yakni kejujuran, keadilan, kemanusiaan, kesetiakawanan, profesionalitas, keluhuran, kedisiplinan dan ketulusan. Di sini yang dipentingkan bukan saja sekadar transfer ilmu, tapi juga pembentukan karakter.
Pembentukan karakter terkait dengan realitas kehidupan yang nyata, bukan kehidupan maya yang semu. Realitas hidup sehari-hari menjadi pijakan untuk direfleksikan dalam berbagai ilmu pengetahuan yang diperoleh di bangku sekolah.
Dalam hal ini, anak didik dituntut untuk kritis dalam melihat realitas. Mengapa itu terjadi? Apa yang menyebabkan? Di mana sisi kemanusiaannya? Di mana dimensi sosialnya? Sifat yang kritis untuk mempertanyakan segala sesuatu yang terjadi akhirnya menjadi kebiasaan bahwa segala keputusan yang diambil harus dipertimbangkan dengan jeli dan jernih.
Pendidikan yang selama ini disubordinasikan pada kekuasaan politik, mengakibatkan kebijakan mudah berubah karena tergantung pada siapa yang memegang kekuasaan, seperti sinyalemen Foucault, untuk melestarikan kekuasaan.
Inilah yang membuat pendidikan kita selalu terseok-seok dan tidak mampu mengikuti perubahan yang begitu cepat. Pendidikan kita lebih tergantung pada mesin kekuasaan. Mesin kekuasaan itu selalu mencari kemapanan daripada menginginkan perubahan.
Mempertanyakan Kejujuran Dunia Pendidikan
Tahun ini Indonesia memperingati Seratus tahun Hari Kebangkitan Nasional (Seabad Kebangkitan Nasional). Di beberapa kota, berbagai event telah digelar untuk menyemarakkan acara ini. Yang pasti, memperingati Seabad Kebangkitan kiranya jangan hanya seremonial belaka. Hari ini di peringati, keesokan harinya gaungnya hilang lenyap ditelan bumi.
Secara khusus, tulisan ini akan menyoroti permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan kita setelah 100 tahun bangkit dari keterpurukan. Salah satu topik hangat yang diperbincangkan di berbagai media adalah masalah kecurangan Ujian Nasional (UN) di tingkat pendidikan menengah.
Permasalahan kecurangan pelaksanaan ujian nasional (UN) telah menyita perhatian banyak kalangan. Adanya kecurangan dalam pelaksanaam UN tersebut dibeberkan oleh Komunitas Air Mata Guru (KAMG). Sejumlah barang bukti tentang indikasi pelanggaran UN tersebut diserahkan ke DPD dan dalam sidang paripurna DPD membahas UN ditolak saja.
Sejak adanya kecurangan UN tersebut, beberapa elemen melakukan aksi penolakan UN di Indonesia. Akan tetapi, Mendiknas kembali menegaskan bahwa UN tetap dijalankan. Tahun ini, UN sudah berlangsung, bagi siswa yang sudah mengikuti ujian, sekarang mereka sedang menunggu hasil ujian apakah mereka dinyatakan lulus atau harus mengulang kembali.
Kecurangan UN tahun lalu sebenarnya masih berbekas dalam ingatan kita. Tahun ini kecurangan itu kembali terjadi. Komunitas Air Mata Guru beberapa waktu lalu menyerahkan Laporan Independen Kronologis Pelanggaran POS dan Kecurangan UN SMA/SMK dan SMP?Sederajat 2008 di Sumut ke Anggota DPD RI Asal Provinsi Sumut Parlindungan Purba,SH,MM.
Dalam laporan yang dibacakan oleh Direktur Eksekutif KAMG Januar Pasaribu didampingi Dewan Pembina Denny Boi Saragih terungkap beberapa kasus kecurangan UN di beberapa sekolah di Sumut.
“Sejauh ini, KAMG telah menemukan 21 lokasi terjadinya pelanggaran POS dan kecurangan UN, serta 16 modus operandi pelanggaran POS dan Kecurangan UN 2008 di Sumut untuk tingkat SMA/SMK. Sedangkan untuk tingkat SMP/Sederajat ditemukan 16 lokasi terjadinya pelanggaran POS dan kecurangan UN, 7 modus operandi pelanggaran POS dan kecurangan UN 2008,” jelas Januar Pasaribu.
Beberapa modus pelanggaran POS dan kecurangan UN yang ditemukan dilapangan, kata Januar Pasaribu antara lain guru diminta mengerjakan soal UN di tempat mereka mengajar, pembagian jawaban UN kepada siswa, amplop Lembar Jawaban Ujian Nasional (LJUN) tidak disegel dan dilak, memperbaiki LJUN di sekolah, mengkomunikasikan jawaban lewat SMS, kunci jawaban di tulis di papan ujian, mengijinkan siswa bekerjasama, pembatalan SK guru yang memiliki sikap tegas dalam mengawas dan menjalin kerjasama dengan bimbingan belajar di Medan untuk menyediakan jawaban UN.
Menurut Dewan Pembina KAMG, pelanggaran POS dan kecurangan UN tidak hanya terjadi di sekolah-sekolah yang bukan favorite (berdasarkan catatan pemeringkatan sekolah oleh pemerintah), di sekolah favorite pun juga terjadi kecurangan UN.
Dalam pengungkapan dan penyampaian laporan independen kepada Anggota DPD RI tersebut, KAMG juga memutar video hasil investigasi di lapangan secara tersembunyi. Dalam video tersebut jelas terlihat siswa sengaja datang lebih cepat untuk mempersiapkan contekan (ilmu baru dalam ujian-kopekologi) dimana jawaban-jawaban soal UN telah didistribusikan oleh ‘oknum’ lewat SMS ke HP para siswa. Siswa dengan cekatan menulis jawaban di sapu tangan, kertas kecil dan menyelipkannya di bagian tubuh yang tersembunyi.
Menolak UN
Ironis sekali!! Dunia pendidikan kita telah kehilangan kepercayaan. Sedikit saja rasa jujur ditunjukkan dalam pelaksanaan UN di sekolah-sekolah, akan dianggap sebagai penghianat oleh oknum lain yang menginginkan peringkat sekolahnya bisa dipertahankan.
Anggota DPD RI Parlindungan Purba dengan tegas telah menyatakan agar UN dihapuskan. Opini ini telah terlempar sejak beberapa tahun lalu dan dibawa dalam sidang paripurna di Gedung Senayan.
“Bagaimana mungkin UN bisa berjalan dengan baik kalau kesejahteraan guru-guru yang mengajar masih terlupakan. Menurut laporan, guru-huru yang telah lulus sertifikasi pun belum jelas kapan ia mendapatkan honor yang dijanjikan,” tandas Parlindungan.
Dalam sidak ke beberapa sekolah, kata Parlindungan, masih ada ditemukan sekolah di tengah-tengah kota Medan yang bangunannya hampir rubuh. Guru-guru dan kepala sekolah di tempat tersebut merasa pesismis dengan kondisi dunia pendidikan kita sekarang.
“Sudah berkali-kali sekolah ini diberitakan di koran dan TV, bahkan sudah ebrtahun-tahun, tapi perhatian dari pemerintah masih setengah hati. Kalau hujan turun, proses belajar mengajar akan terganggu karena murid dan guru harus menyelamatkan diri ke lokasi yang tidak terkena hujan,” papar seorang guru yang menolak memberikan namanya.
Ini semua kenyataan yang terjadi di dunia pendidikan kita. Masih banyak elemen yang harus dibenahi. Yang terpenting lagi adalah masalah moralitas bangsa ini. Kalau gurunya sudah melakukan kecurangan, bagaimana pun murid akan mengikuti sikap yang salah tersebut. “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari,” begitu kata pepatah.
Dari kenyataan-kenyataan ini, tegas Parlindungan, ternyata kita belum mampu memproses manusia yang merdeka; mendidik manusia untuk benar-benar menjadi merdeka. Mereka belum mampu memerdekakan bangsa dan manusia Indonesia dari sikap dan sifatnya yang minder, yang tidak fair, yang digerakkan oleh mentalitas kuli dan babu yang cenderung menjilat ke atas dan menginjak ke bawah, yang tidak setia kepada kawan, mudah mengkhianati dan menjualnya, yang enak dan tega memfitnah dan membunuh nama baik dan kesempatan kawan. Dari sana kemudian lahir suatu watak yang tidak suka membela kebenaran.
Suka tidak suka, sadar tidak sadar, harus dikatakan bahwa inilah cermin sebagian besar elite politik kita saat ini, yang tidak berani mengadakan perubahan secara radikal dengan merombak sistem lama yang penuh kepalsuan.
Kejujuran
Sungguh ironis, karena sudah tahu sistem tersebut penuh dengan kebobrokan, namun justru tetap dilestarikan karena berdalih menjaga kesopanan. Tidak ada kesadaran bahwa selama sistem lama masih bercokol, jangan harap menghasilkan elite yang berkualitas.
Akar persoalannya bisa kita lacak, setidak-tidaknya dari bagaimana karakter sistem pendidikan diselenggarakan. Kita melihat bahwa pendidikan dalam bangsa ini hanya menjadi instrumen kekuasaan politik. Pendidikan disubordinasikan dalam kekuasaan politik, dan menghasilkan manusia yang hanya pandai ikut-ikutan.
Mereka bagaikan robot yang dikendalikan oleh remote control, yakni pemegang kekuasaan dan pemilik modal, melalui ideologi penyeragaman. Ini membuat mereka hanya mampu menunggu petunjuk serta pedoman dari atas.
Akibatnya birokrasi menjadi lambat dalam merespon perubahan. Ketidakmampuan itu disebabkan oleh ketidakberdayaan mereka untuk keluar dari kultur lama. Dalam kultur lam itu kemandiran individu direduksi menjadi ketaatan buta yang dikendalikan oleh sistem penyeragaman. Ini membuat reformasi terseok-seok, yang disebabkan oleh ketidakberdayaan untuk merespon perubahan yang begitu cepat.
Seharusnya, tutur Parlindungan, sistem pendidikan yang utuh adalah sistem pendidikan yang terkait dengan penanaman nilai, yakni kejujuran, keadilan, kemanusiaan, kesetiakawanan, profesionalitas, keluhuran, kedisiplinan dan ketulusan. Di sini yang dipentingkan bukan saja sekadar transfer ilmu, tapi juga pembentukan karakter.
Pembentukan karakter terkait dengan realitas kehidupan yang nyata, bukan kehidupan maya yang semu. Realitas hidup sehari-hari menjadi pijakan untuk direfleksikan dalam berbagai ilmu pengetahuan yang diperoleh di bangku sekolah.
Dalam hal ini, anak didik dituntut untuk kritis dalam melihat realitas. Mengapa itu terjadi? Apa yang menyebabkan? Di mana sisi kemanusiaannya? Di mana dimensi sosialnya? Sifat yang kritis untuk mempertanyakan segala sesuatu yang terjadi akhirnya menjadi kebiasaan bahwa segala keputusan yang diambil harus dipertimbangkan dengan jeli dan jernih.
Pendidikan yang selama ini disubordinasikan pada kekuasaan politik, mengakibatkan kebijakan mudah berubah karena tergantung pada siapa yang memegang kekuasaan, seperti sinyalemen Foucault, untuk melestarikan kekuasaan.
Inilah yang membuat pendidikan kita selalu terseok-seok dan tidak mampu mengikuti perubahan yang begitu cepat. Pendidikan kita lebih tergantung pada mesin kekuasaan. Mesin kekuasaan itu selalu mencari kemapanan daripada menginginkan perubahan.
Subscribe to:
Posts (Atom)